9. Straighten Misunderstanding


Taken by you 2

###

Part 9

Straighten Misunderstanding

###

Ponsel Keydo berdering lagi ketika ia dan Finar baru saja kembali dari makan malam mereka di restaurant hotel di lantai paling atas. Membuat pria itu terpaksa mengangkat panggilan itu setelah sejenak melirik id callernya dengan mendesah kesal. Sekali lagi waktu bersantainya diganggu oleh ponsel sialan.

"Ada apa, Ana?" tanya Keydo dingin.

Finar yang merasa tak tahu harus melakukan apa, memilih berjalan ke kamar mandi untuk mengganti gaunnya dengan piyama tidur dan bersiap untuk tidur. Ia lelah sekali dan ingin segera menginstirahatkan badannya.

Sepuluh menit kemudian ia keluar dari kamar mandi. Sudah membasuh muka dan menggosok giginya. Melihat Keydo yang duduk di sofa memunggunginya dan masih berbincang dengan ponsel di telinga dan laptop di pangkuan.

"Hanya masalah seperti ini aku tahu kau bisa menyelesaikannya tanpaku. Aku menyalakan ponselku hanya untuk masalah darurat."

"..."

"Kecuali aku membutuhkanku, sekali lagi jangan menghubungiku hanya untuk masalah sepeleh seperti ini, Ana. Apa kau mengerti?!"

Klik..

Keydo mengakhiri panggilan tanpa memberi kesempatan seseorang di seberang sana untuk menjawab. Lagipula pertanyaannya adalah perintah. Tak butuh jawaban atau pun alasan. Apalagi penolakan.

Ia meletakkan ponsel di atas meja kaca dengan kasar sambil beranjak dari duduknya. Melangkah menuju nakas dengan tangan kiri melepas kancing kemeja. Tangan kanannya memegang teko kaca dan menuangkan air putih ke dalam gelas yang kosong. Setelah mengisinya setengah, Keydo pun meneguknya. Sambil matanya menatap Finar yang sedang berbaring di atas kasur. Mengangkat selimut ke bahu dan mencari posisi tidur yang nyaman memunggunginya.

Melihat itu, Keydo segera meneguk minumannya hingga tandas. Meletakkan gelasnya yang kosong kembali ke atas nampan. Naik ke atas ranjang dan menarik selimut Finar. Memeluknya dari belakang bersamaan mendaratkan kecupan yang panas dan basah di leher Finar selama beberapa saat.

Finar terlonjak kaget dan hampir saja berteriak ketika Keydo tiba-tiba memeluknya dengan erat. Membuatnya tak bisa bergerak bebas apalagi menghindar. Nafasnya tercekat di tenggorokan ketika merasakan bibir Keydo yang menciumi lehernya. Terasa hangat dan panas secara bersamaan. Membuat jantungnya berpacu keras. Berdentum-dentum dengan ritme yang tidak jelas, diikuti gelenyar aneh yang menyerbu dan melumpuhkan tubuhnya.

"Malam ini, kau tidak berpikir aku akan melewatkannya hanya dengan tidur seperti kemarin malam, bukan?" Keydo mengucapkannya lambat-lambat dengan nada yang sangat sensual.

Kata-kata yang sangat mesra itu mampu membuat seluruh tubuh Finar memanas hampir terbakar. Baru saja Keydo marah-marah dengan orang lain dan di detik berikutnya pria itu mampu berkata-kata lembut padanya. Membuatnya bertanya-tanya, kenapa pria itu bisa begitu cepat merubah suasana hatinya. Sekalipun perubahan drastis itu lebih baik buat Finar, karena lebih menakutkan lagi jika Keydo melampiaskan kemarahannya dengan mencumbu atau berbuat kasar padanya. Setidaknya ia sedikit beruntung dengan kenyamanan dan kelembutan yang diberikan pria kejam dan temperamental itu.

Dengan gerakan lembut, Keydo membalikkan tubuh Finar menghadapnya dan setengah menindih. Meletakkan telapak tangannya di pipi Finar sambil mengusapkan ibu jarinya dengan lembut di pipi Finar yang mulai memerah karena malu dan penuh kegugupan. Membuat Keydo sangat gemas. "Kau tahu aku menyempatkan liburan ini dengan membawamu untuk bersenang-senang, bukan?"

Finar menelan ludahnya. Sangat jelas dan gamblang apa maksud kata bersenang-senang yang dimaksud Keydo.

"Mulai malam ini, selain menerimaku. Aku ingin kau juga membalasku dan menikmatinya bersamaku. Apa kau mengerti?" mata tajam Keydo menatap serius dan memenjarakan Finar.

Finar hanya mematung. Tatapan Keydo benar-benar membuatnya tak berdaya. Ia takut Keydo marah padanya karena tak bisa menandingi pengalaman pria itu menidurinya. Belum detak jantungnya yang tidak mau berkompromi untuk menormalkan degupannya. Membuat Finar malah melemparkan tatapan waspada pada Keydo.

"Jantungmu berdetak begitu cepat seakan ada singa yang siap akan menerkammu." Keydo menyipitkan mata dan terkekeh geli, "Walaupun memang seperti itu."

Sekali lagi Finar menelan ludahnya. Seakan belum cukup pria itu mempermalukannya.

"Apakah aku menyakitimu ketika kita berada di atas ranjang?" tanya Keydo.

Pipi Finar langsung memerah mendengar pertanyaan Keydo yang blak-blakan itu. Akan menggelengkan kepalanya tapi ia tahu itu akan tampak konyol mengingat hubungan macam apa yang mereka jalani. Jadi ia hanya mengalihkan pandangannya ke arah mana pun kecuali wajah Keydo yang hanya beberapa inci di atas wajahnya. Namum Keydo seolah tak terima dan memaksanya kembali menatap wajah pria itu.

"Aku sedang bertanya." Keydo menekan suaranya yang berbisik. "Dan kita harus saling jujur agar hubungan ini berjalan dengan lancar."

Finar mendengkus, "Memangnya hubungan macam apa yang sedang kita jalani? Pernikahan ini hanyalah pemaksaanmu saja. Dan kau tahu benar aku tak pernah bersedia melakukannya."

Keydo terkekeh dengan kalimat sinis Finar, "Aku tidak akan menyangkalnya, tapi... aku tak pernah main-main dengan pernikahan ini."

"Dan aku tidak serius dengan pernikahan ini," desis Finar. Mengabaikan ketakutan yang menyeruak di dadanya jika saja Keydo tersinggung dengan kata-katanya.

"Benarkah?" suara Keydo bernada mengejek. Mengingat keberanian Finar di antara tubuhnya yang gemetar ketakutan, "Kalau begitu kau harus mulai serius dengan pernikahan kita, karena mulai sekarang kau harus terbiasa menjadi milikku, selamanya. Termasuk terbiasa dengan tubuhmu yang kusentuh sesukaku."

Belum sempat Finar membuka mulutnya untuk membalas kalimat Keydo, tapi pria itu sudah terlanjur membungkam bibirnya dengan lumatan dan mengambil alih kerja otaknya.

***

Pagi itu Keydo terbangun dari tidurnya karena sinar matahari pagi yang hangat menerpa wajahnya. Ia mengerjap beberapa kali sebelum membuka matanya dengan sempurna. Mendapati sesosok hangat yang tertidur di lengan memunggunginya. Menyadari siapa yang ada di pelukan, pria itu tersenyum kecil yang tidak diketahui apa penyebabnya.

Mengabaiakan pertanyaan tentang apa yang membuatnya tiba-tiba melengkungkan kedua sudut bibirnya ke atas ketika mengingat tubuh itu adalah tubuh Finar Ellard. Tubuh wanitanya. Tubuh istrinya.

Ia berniat untuk bangkit dan segera berendam sesuai kebiasannya di pagi hari. Namun kenyamanan yang diberikan Finar saat ia memeluknya seperti ini, membuat Keydo mengurungkan niatnya. Ia masih ingin menikmati kepemilikannya atas diri Finar dan memeluk Finar yang masih terlelap semakin erat.

Suara bel yang berbunyi di kamarnya membuat Keydo terusik dari kenyamanannya. Mengernyitkan dahinya memikirkan siapa yang sudah mengganggu pagi harinya yang cerah, karena setahunya ia tidak memesan apa pun.

Lalu dengan lembut dan sepelan mungkin ia meletakkan kepala Finar di atas bantal, dan diselimutinya tubuh telanjang Finar dengan selimut tebal hingga pundak wanita itu. Namun sepertinya Finar merasa tak nyaman, Keydo melihat Finar mengeluarkan lengannya dari selimut ketika Keydo meraih jubah tidur yang tersampir di kursi. Sehingga memperlihatkan sebagian punggung Finar yang mulus dan menggodanya.

Mengabaikan godaan itu, Keydo mengalihkan pandangannya. Mengancingkan piyama sambil berjalan menuju pintu. Dengan enggan ia membuka pintu kamarnya sedikit. Memastikan siapa dulu yang memencet bel kamarnya sepagi ini.

Wajahnya menegang saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Walaupun ia sama sekali tidak terkejut sosok itu mengetahui kamar hotelnya.

Ya, memang tak sulit bagi Herren untuk mengetahuinya, karena tadi malam Reno memberitahunya bahwa Herren adalah pemilik hotel ini. Dan itu membuat privasi seorang Keydo Ellard terganggu. Ia tak menyukai hal itu sehingga menyuruh asisten kepercayaannya untuk membuatkan reservasi di hotel lain.

"Apa begini caramu menyapa tamu, Keydo?" sapa Herren dengan nada datarnya. Ia tak suka seringai di sudut bibir Keydo yang ditujukan padanya. Namun Herren berusaha menahan. Ia tahu Keydo masih marah padanya, dan ia pantas mendapatkan perlakuan dingin pria itu.

"Ada urusan apa kau kemari?" tanya Keydo dingin, tidak mengacuhkan sindiran Herren.

"Maaf jika aku mengganggu tidurmu, tapi sepertinya kita butuh cepat bicara," ucap Herren tegas. Tatapannya keras dan tak terbantahkan. Penuh tekad yang kuat. Masalah mereka harus segera diselesaikan. Kesalahpahaman mereka harus segera diluruskan.

Keydo hanya terdiam. Mengamati keseriusan dan tekad yang kuat di wajah Herren sebelum menjawab, "Urusan kita sudah selesai. Tidak ada lagi yang harus dibicarakan."

"Banyak yang harus kubicarakan denganmu, Keydo," balas Herren tak mau menyerah dengan penolakan Keydo.

Keydo mendecakkan lidah. Tersenyum menyeringai atas pemaksaan wanita keras kepala di hadapannya ini, "Selain karena aku tidak bisa dan tidak mau. Kau tahu, sekarang kau berada di waktu dan tempat yang tidak tepat untuk menerima tawaranmu. Juga..." Keydo mengedikkan bahu menunjukkan keadaannya yang berantakan. Rambut acak-acakan dan piyama tidur yang baru dikenakannya beberapa menit yang lalu. Juga aroma tubuhnya dan Finar yang bercampur jadi satu sehabis permainan panas mereka semalam yang masih melekat di sekujur kulit tubuhnya. Ia bahkan tidak berniat membersihkan tubuhnya beberapa jam ke depan karena ingin melanjutkan permainan mereka jika saja wanita di hadapannya ini tidak mengganggu rencananya. "...kau bertamu pagi sekali, sehingga aku belum membersihkan diriku."

Herren mengamati penampilan Keydo yang acak-acakan sehabis bangun tidur, dan ia memilih mengacuhkannya saja. Yang ia pedulikan saat ini hanyalah membutuhkan kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Keydo. Itulah sebabnya ia mendatangi kamar yang di reservasi atas nama Kaheza Ellard pagi-pagi sekali pada anak buahnya. "Aku tidak peduli dengan penampilanmu, Keydo. Lagipula... aku sudah terbiasa melihatmu seperti ini, bukan?"

Keydo hanya menyeringai kecil dengan kalimat terakhir Herren. Ya, Herren memang sering masuk ke apartemennya pagi-pagi sekali untuk membangunkan dan mengantarkan sarapan, karena dulu ketika mereka masih berpacaran, apartemen mereka memang bersebelahan. "Tapi kau tidak mungkin mengajakku keluar dengan penampilan seperti ini, kan?"

"Kita tidak perlu keluar. Kita akan bicara di sini. Kau tidak keberatan untuk mempersilahkanku masuk, bukan?"

"Dulu kau adalah kekasihku. Jadi kau bisa masuk sesukamu ke ruangan pribadiku, tapi... keadaan sudah berubah jika kau melupakannya, Herren. Aku sudah mengatakan padamu tadi, bahwa kau berada di tempat dan waktu yang tidak tepat. Jika kau memang sangat ingin berbicara denganku, kau bisa membuat janji dengan asisten pribadiku. Mungkin aku akan mempertimbangkannya mengingat hubungan baik kita di masa lalu."

Herren tak mengatakan apa pun.

"Tapi... untuk seminggu ini, aku masih ingin menikmati liburanku. Maksudku... bulan maduku." Keydo menegaskan suaranya di penghujung kalimatnya.

Herren menarik nafasnya berat dan dalam sebelum menghembuskannya dengan perlahan. "Kalau begitu, aku akan memaksa, Keydo." Secepat ia menyelesaikan kalimatnya, secepat itu pula ia mendorong tubuh Keydo dan menerobos masuk ke dalam kamar tersebut.

Keydo terhuyung ke belakang. Mendengkus marah dengan kelakuan Herren yang memaksa memasuki kamar pribadinya dengan tanpa ijin. Walaupun ia sebenarnya tidak punya tekad yang kuat untuk mencegah wanita itu, mengingat perasaan Herren kepadanya masih sama. Membuatnya tersenyum penuh kepuasan karena tahu apa yang akan dirasakan oleh wanita itu melihat keadaan Finar di dalam sana. Ia pun membalikkan badannya dan melihat Herren yang kini berdiri di tengan ruangan. Semakin puas karena wanita itu tampak membeku di tempat.

Herren berdiri mematung penuh ketidakpercayaan sambil membekap mulutnya yang terkesiap kaget. Pemandangan yang menyambutnya seakan menusuk tepat di jantungnya, untuk kedua kalinya. Sehingga menciptakan rasa sesak yang begitu menyiksa di dadanya.

Bagaimana tidak, ia melihat sosok yang sangat familiar baginya, Finar. Masih tertidur di atas ranjang. Memunggunginya dengan sebagian punggung yang tidak tertutupi apa pun. Ia yakin wanita itu tidak mengenakan apa pun di balik selimut tebal yang hanya menutupi sebagian tubuh telanjangnya. Mempertegas pemandangan yang sangat menyakitkan di hadapannya, "Aa... aapa yang dilakukan Finar di sini?"

"Ke mana sopan santunmu, Herren? Menerobos masuk kamar pengantin baru tanpa permisi." Keydo menggeleng-gelengkan kepalanya dan tangan disilangkan di depan dada dengan sikap santai dan penuh ketenangan. Sama sekali tidak mengacuhkan pertanyaan dan ekspresi wajah Herren.

Dengan tidak memedulikan wajahnya yang pucat pasi di hadapan Keydo, Herren menoleh. Menatap Keydo dengan tangan menunjuk ke arah ranjang. "Kenapa... kenapa Finar tidur..." suara Herren hampir berteriak karena marah. Namun ia kembali menurunkan suaranya ketika menyadari Finar yang masih tertidur, "...di atas kasur kamarmu?"

Keydo terkekeh geli, "Pertanyaan macam apa itu, Herren? Di mana lagi istri tidur kalau bukan di sisi suaminya?"

"Tidak." Herren menggelengkan kepala tidak percaya. Terlihat jelas di matanya bahwa ia sangat terluka dengan pemandangan dan jawaban Keydo. "Aku yakin ini hanyalah permainanmu saja, Keydo. Kau tahu aku masih mencintaimu, bukan? Jadi hentikanlah sandiwara ini. Ini benar-benar menyakitiku."

Kali ini kalimat Herren benar-benar mengena di hati Keydo. Seketika wajahnya langsung membeku seperti permukaan es. Menatap mata Herren yang mulai berkaca-kaca dengan tatapan tajamnya. Tak peduli lagi pada wajah penuh permohonan yang ada dihadapannya.

"Menyakitimu?" desis Keydo mengulangi kalimat Herren. "Tidakkah kau mengingat rasa sakit yang telah kau berikan padaku dulu, Herren?"

"Apa kau benar-benar sudah tidak mencintaiku lagi?"

"Aku sudah mengatakan padamu jawabannya."

"Tidak, Keydo," sangkal Herren keras kepala. "Dulu aku sangat yakin cintamu padaku sangat besar. Apa yang membuatmu bisa tiba-tiba membenciku? Mungkinkan terjadi kesalahpahaman di antara kita?"

Keydo hanya membuang wajahnya dan mendengkus sinis atas kenaifan wanita itu.

"Ya. Pasti ada kesalahpahaman di antara kita." Herren mengangguk meyakinkan Keydo sekaligus dirinya.

Keydo menoleh, "Tidak ada kesalahpahaman seperti yang kau maksudkan itu, Herren. Dari awal aku tidak mau menjadi penghalang bagimu. Penghalang dari impianmu."

"Apa... apa mungkin kau belum menerima suratku?" Herren masih tak mau menyerah dengan penolakan kasar Keydo. "Surat yang kuletakkan di kamarmu. Bersama cincin pernikahan kita. Apa kau belum membacanya?"

"Aku sudah membacanya," jawab Keydo tegas dan tajam. "Aku membacanya hanya satu kali dan aku bisa langsung mengingatnya. Mengingat dengan sangat jelas setiap kata yang kau tuliskan di dalamnya. Bahkan aku bisa mengingatnya di luar kepalaku, dan berkali-kali aku memikirkannya, hanya satu kesimpulan yang bisa kumengerti. Kau lebih memilih impianmu daripada diriku."

"Aku tidak bermaksud seperti itu. Hanya saja, kesempatan itu datang hanya satu kali di kehidupanku." Herren dia sesaat, "Dan kau, aku kira kau bisa memahamiku karena aku tahu cintamu padaku sangat dalam. Bahkan melebihi diriku."

"Ya. Aku memang memahamimu. Itulah sebabnya saat itu aku memutuskan untuk melepaskanmu. Di saat itu juga kau telah membuang hatiku. Sampai detik ini pun, aku sama sekali tidak ada niat untuk mencari atau pun memungutnya jika kebetulan aku menemukannya di jalanku."

Air mata pecah di mata Herren. Dia tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya ada penyesalan dan keputusasaan. Hatinya yang sudah hancur semakin hancur tak bersisa. Harapan yang membuatnya bertahan sampai detik ini telah musnah bagai daun kering yang dilahap oleh api.

Saat ini, satu-satunya hal yang diinginkannya adalah menghilang. Berharap bumi yang dipijaknya menelan tubuhnya. Membawanya menghilang dalam kegelapan. Tanpa rasa, tanpa warna dan tanpa suara. Namun itu tidak terjadi. Kenyataan di hadapannya benar-benar sangat nyata. Senyata rasa sakit dan sesak di dadanya.

"Tidak ada kata cinta dalam kamusku, Herren. Kau yang memutuskan pilihan itu padaku, dan aku sama sekali tidak berniat untuk merubahnya sampai kapan pun. Apakah semuanya sudah cukup jelas bagimu?" tanya Keydo mengakhiri penjelasannya. Sejenak air mata yang mengalir membasahi pipi Herren mempengaruhi dirinya, tapi tubuh yang tertidur pulas di atas ranjang menyadarkannya. Bahwa di detik ia menikah dengan Finar, sejak itulah Finar yang akan menjadi satu-satunya wanita yang berada di sisinya. Dan ia tidak mengijinkan atau membiarkan otak dan perasaannya memikirkan wanita lain untuk menggantikan posisi Finar. Adik kesayangan Alan. Termasuk Herren. Ia tidak akan menghancurkan persahabatannya hanya karena kata sentimentil bernama cinta itu.

Herren masih membeku. Tak mampu menatap wajah Keydo. Bahkan dengan merasakan aura yang menguar dari tubuh pria itu, cukup memberitahunya bahwa Keydo tak main-main dengan kalimatnya. Bahwa pria itu kini benar-benar sudah menikah dengan Finar, dan pernikahan itu bukanlah main-main atau pun sandiwara seperti yang dia kira. Begitu pun dengan pemandangan yang terpampang jelas di depan mereka saat ini. Menertawakan dan menamparnya.

"Sekarang kau bisa keluar. Aku tidak mau Finar melihatmu di sini saat dia terbangun. Bagaimana pun dia adalah istriku. Akan sangat melukai harga diriku jika ia sampai memergokiku bersama dengan mantan tunanganku di kamar kami," tambah Keydo dengan nada tak terbantahkan, karena ini menyangkut harga dirinya sebagai seorang pria dan suami.

Herren melirik sejenak ke tempat Finar yang masih tertidur pulas. Begitu nyaman dan tenang. Sangat kontras dengan keadaannya saat ini. Yang membuatnya tak bisa menahan diri atas rasa cemburu yang menyergap. Merenggut semua harapan dan cintanya.

Dengan langkah berat, Herren mulai mengangkat kaki dan membalikkan badan. Sejenak langkahnya terhenti ketika berada di samping Keydo. Menengok sekali lagi wajah yang memunggunginya. Ia berharap. Harapan yang kini ia tahu sudah musnah sejak dari dulu. Ia menangis. Tanpa suara dengan air mata yang tidak henti-hentinya membasahi pipi.

"Aku harap ini terakhir kalinya kita membicarakan masalah pribadi," ucap Keydo dengan suara pelan. Namun masih terdengar jelas di telinga Herren. "Karena awalnya kukira semua ini karena aku marah padamu. Rasa sakit yang pernah kurasakan disebabkan karena aku sangat mencintaimu, tapi perlahan, rasa sakit itu menghilang, Herren. Menghilang mungkin karena aku memaafkanmu, tetapi juga karena aku telah berubah. Lalu akhirnya aku menyadari, perubahan itu juga telah merubah perasaanku padamu."

Seakan belum cukup rasa sakit yang dirasakan Herren. Kalimat-kalimat Keydo baru saja semakin mempertegasnya. Membuat rasa sakit itu semakin tak tertahankan.

"Herren?" gumaman suara yang berasal dari atas ranjang menarik perhatian Keydo sesaat setelah ia mendengar suara pintu kamar tertutup. Membuat Keydo menoleh ke arah ranjang dan mendapati Finar sudah membalikkan badannya dan menengok ke arah pintu. Kemudian bangkit terduduk dan menatapnya sambil bertanya, "Apakah tadi Herren?"

****

Repost

Monday, 15 July 2019





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top