6. Honeymoon?
Taken by you 2
###
Part 6
Honeymoon?
###
"Finar?" gumam Alan lirih dan tak percaya. Lalu kembali mendongak untuk menatap Keydo yang hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban sekaligus mengisyaratkan pada Alan untuk melihat lebih banyak dan mengamatinya baik-baik.
Sedangkan kedua orang tua paruh baya yang ada di samping kanan Alan, langsung mengambil beberapa foto dari sekian banyak lembar yang dipegang Alan.
"Apa kau sudah menemukannya?" tanya Alan antusias.
"Foto itu diambil dua hari yang lalu. Dan sepertinya tidak ada yang perlu kalian khawatirkan tentang keadaanya," jawab Keydo. Kembali menyandarkan punggung dengan penuh keangkuhan.
Alan menghembuskan nafas beratnya. Tidak bisa menahan diri untuk tidak menunjukkan kelegaannya di depan Keydo. Ia sangat tahu, tidak perlu lagi mempertanyakan bagaimana Keydo bisa menemukan Finar. Kekuasaan Keydo memang tidak perlu dipertanyakan seberapa besar ruang lingkupnya. Dan ia sadar, jika Herren tidak kembali, bukan berarti wanita itu berhasil melarikan diri, melainkan karena Keydolah yang sengaja melepaskan wanita itu. Begitu juga kepercayaannya pada wanita itu.
"Apa kau sudah menemuinya?" tanya Alan lagi.
"Dia tidak akan sebaik itu jika aku sudah menemuinya. Dan... untuk sementara ini, aku membutuhkan dia dalam keadaan baik-baik saja sementara aku harus mengurus sesuatu yang lain. Sampai hari pernikahan kami tiba. Saat aku membutuhkan Finar di sisiku."
"Apa kau benar-benar akan menikahinya?"
"Aku sudah kehabisan orang yang bisa kupercaya. Aku membutuhkan seseorang yang tidak akan menusukku dari belakang." Keydo mengucapkannya dengan sangat pelan dan penuh ketenangan. Berbeda dengan tatapan matanya yang tajam dam dingin tepat mengunci pandangan Alan. "Dan kau akan menjadi orang yang kubutuhkan itu."
Finar tertegun cukup lama ketika Alan mengakhiri ceritanya. Mencerna baik-baik cerita kakaknya hingga ia menemukan jawaban seutuhnya dari berbagai pertanyaan yang sempat menghujaninya tentang pernikahannya dengan Keydo.
"Sekali lagi maafkan kakak membuat keadaanmu seperti ini. Hanya ini pilihan terbaik yang bisa kami berikan untukmu."
Finar diam. Otaknya masih berpikir. Mencoba mencerna kembali semua informasi yang baru saja diterima dari kakaknya sekali lagi. Apakah semua itu benar adanya?
'Jika benar, jadi...'
'Selama ini, bukan aku yang berhasil lari dari cengkeraman Keydo. Melainkan Keydo yang sengaja membiarkanku dalam pelarian. Membiarkanku hidup dalam kemiskinan sebagai bentuk dari balas dendam Keydo padaku.'
Finar benar-benar merasa tertipu oleh Keydo. Pria itu benar-benar sengaja membiarkan dirinya berkubang dalam mimpi buruk sialan yang selalu menemaninya ketika ia terlelap.
Ataukah...
Mimpi buruk itu hanyalah pertahanan tubuh dan pikirannya yang tahu bahwa dirinya sedang diawasi dan berada dalam genggaman Keydo, tapi dirinya tidak menyadari hal itu. Lalu, mimpi buruk itu berusaha mengingatkan dan memberitahunya untuk berlari lebih jauh lagi.
'Benar-benar sialan,' Finar mengumpat dalam hati.
Tiba-tiba terdengar deringan yang berasal dari saku jas Alan. Alan pun merogoh saku jasnya dan mengangkat panggilan tersebut setelah melirik siapa yang menelfonnya. Mengisyaratkan pada Finar untuk memberi waktu sebentar. "Hallo..."
Finar mengangguk. Melangkah ke sofa yang ada di dekatnya sambil memikirkan penjelasan-penjelasan kakaknya.
Jika Keydo sudah menemukannya dalam waktu sebulan setelah pelariannya. Itu berarti, pria itu sengaja membuatnya menderita dengan membiarkannya berkubang di dalam perasaan khawatir dan takut oleh berbagai macam kemungkinan kalau Keydo berhasil menemukannya.
Tapi, jika Keydo menangkapnya, itu juga tidak akan lebih baik. Sepertinya pria itu hanya sengaja mengulur waktu dan mempermainkannya. Entah apa yang dipikirkan oleh pria kejam itu hingga mempunyai rencana untuk menikahi dirinya.
Dan lagi, pesta pernikahannya menjadi yang terbaik. Tentu saja karena selama ini Keydo sudah mempersiapkannya dan dirinya yang sudah dipersiapkan tanpa ia sadari.
Finar benar-benar merasa dipermainkan. Kembali ia mengutuk dan meratapi dirinya sendiri. Semua ini karena tindakan bodohnya sendiri. Dia sendirilah yang membuat singa itu menoleh ke arahnya. Dan...
"Finar!" panggilan Alan membuyarkan lamunan adiknya. "Maaf, kakak harus segera pergi keluar kota."
Finar bangkit berdiri. Menghampiri kakaknya yang juga melangkah ke arahnya.
"Nanti sore kau berangkat ke Italia. Semoga perjalananmu menyenangkan." Alan menunduk untuk mengecup kening Finar.
Finar mengangguk, "Salam buat kak Fiona."
"Ya. Dia juga menanyakan kabarmu. Kapan-kapan dia akan mengunjungimu."
"Apakah Keydo akan membolehkan kak Fiona berkunjung?"
Alan menyeringai, "Kau akan melihat apa yang mampu istriku lakukan untukmu. Jika saja ia tidak sedang keluar kota di hari pernikahanmu."
Finar mengernyit tak mengerti maksud kalimat kakaknya.
"Ya sudah. Kakak pergi dulu."
Finar mengangguk. Melihat kakaknya membalikkan badan dan melangkah menjauh menuju pintu keluar.
Setelah cukup lama melihat punggung kakaknya yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu utama, Finar melirik jam tanganya sejenak. Pukul sebelas siang. Sepertinya ia masih punya waktu untuk beristirahat dan mengemas pakaiannya.
Tapi, mengingat ia sama sekali tidak membawa pakaian-pakaiannya karena Keydo tiba-tiba membawanya dengan paksa -yang tentunya tanpa mampir ke tempat kosnya-. Dan lagi, pakaian-pakaiannya yang dulu juga ada di rumahnya di kediaman keluarga Sagara. Sepertinya dia tak perlu memikirkan mengemas barang.
Finar pun melangkah menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar yang ditempati sebelumnya. Sejenak melirik ke pintu kamar Keydo sambil membatin, walaupun sekarang Finar dan Keydo adalah pasangan suami istri. Ia tidak harus tinggal di kamar pria kejam itu. Sebisa mungkin ia akan menjauhi interaksi dengan Keydo.
Pria itu tidak baik untuk Finar. Apalagi ketika sudah berhasil menyentuh kulitnya, Finar tahu ia akan lupa diri dan membiarkan Keydo menguasainya. Lagi dan lagi.
'Tidak.'
'Tidak boleh!'
'Aku tidak akan membiarkan Keydo menaklukan dan memanfaatkan diriku lagi.'
Dan baru saja ia merebahkan badannya di atas ranjang yang lembut untuk melepas semua kepenatan pikirannya. Pintu kamarnya terbuka. Finar menoleh dan melihat Keydo yang bersandar di pinggiran pintu dengan bersedekap.
Keydo menatapnya dengan kernyitan di dahinya, juga tatapan datar dan dinginnya, "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Apak kau tidak melihatnya?" jawab Finar tak kalah datarnya. "Aku ingin beristirahat sebentar."
"Di sini bukan tempatmu."
"Aku akan tinggal di kamar ini," ucap Finar memberitahu. Mengabaikan tatapan tajam Keydo.
"Jangan memulainya, Finar," dengan nada malas Keydo memperingatkan.
"Bukankah kamar ini kosong? Kau memintaku tinggal di rumahmu. Jadi, apa salahnya aku memilih kamar untuk diriku sendiri."
"Terserah padaku mau menempatkanmu di mana." Keydo menyeringai. Sebelum kemudian kalimatnya bernada penuh ancaman yang tak terbantahkan, "Dan sekarang, aku menginginkanmu tinggal di kamarku."
Finar bangkit dari tidurnya. Duduk menghadap Keydo dengan tatapan kesalnya, "Kita memang baru saja menikah. Tapi kau tahu pernikahan ini hanyalah keinginanmu yang kau paksakan padaku. Jadi, aku berhak tidur di mana pun aku mau."
"Kau tidak berhak!" tandas Keydo tegas. Mulutnya menegang ikut menegaskan kalimat yang tak bisa diganggu gugat. Begitu juga matanya yang semakin menajam, "Pernikahan ini tanda bahwa aku sudah mengklaim hakku atas dirimu. Aku tak perlu persetujuanmu untuk menempatkanmu di mana. Kau sudah menjadi milikku. Apakah kau masih belum mengerti kalau kau tak punya hak di rumah ini atau pun atas dirimu sendiri?"
"Berhentilah mengatakan aku adalah milikmu!" Finar setengah berteriak. Frustasi mendengar ucapan-ucapan Keydo tentang kepemilikan, "Aku bukan properti yang seenaknya bisa kau beli lalu kau klaim menjadi barang milikmu."
"Aaa..." Keydo tersenyum kecil dan mencemooh. Kemudian dalam sekejap senyuman itu hilang digantikan oleh ekspresi keras dan dingin penuh ancaman miliknya, "Pergi ke kamarku sekarang juga. Jika kau berkelakuan baik, aku mungkin akan memanggilmu istriku seperti yang kau inginkan."
'Aku tidak ingin kau memanggilku sebagai istrimu. Aku hanya ingin kau tidak menganggapku dan memperlakukan aku seperti barang,' batin Finar menjerit.
Namun Finar tidak berani melontarkan makiannya itu. Keydo tampak begitu marah seakan sudah siap meledak kalau dipancing sedikit saja. Jadi, Finar pikir lebih baik dia diam dan mengalah.
"Atau kau ingin aku menggendongmu dan bersikap romantis seperti pengantin baru pada umumnya?"
Segera Finar berdiri dari duduknya dengan sangat cepat. Melangkah ke pintu dengan kaki dihentak-hentakkan dan melemparkan tatapan penuh kedongkolan pada Keydo. Tidak sudi digendong pria temperamental itu.
***
Di kamar Keydo, Finar hanya duduk di pinggir ranjang. Pandangannya mengelilingi ke setiap sudut ruangan. Ini pertama kalinya dia masuk ke kamar Keydo. Tentu saja, memangnya alasan apa yang membuatnya harus masuk ke kamar ini sebelumnya.
Kamar itu luas, mewah, elegan dan kamar utama tentu saja. Warna hitam dan abu-abu mendominasi segala macam perabotan dan dindingnya. Sangat maskulin dan dingin pastinya.
"Kau bilang ingin beristirahat," suara Keydo memecah lamunan Finar dan menghentikan aktifitasnya mengamati setiap sudut ruangan.
Finar menatap Keydo yang memegang macbooknya dengan lirikan sinis. Semenjak keduanya masuk ke kamar Keydo, pria itu langsung sibuk dengan macbooknya. Dan memang lebih baik seperti itu daripada Keydo sibuk membuatnya kesal setengah mati.
"Atau... kau ingin kutemani beristirahat," kata Keydo menggoda. Menatap Finar dengan nakal dari ujung kepala sampai ujung kakinya dengan begitu dalam.
Wajah Finar langsung merona merah. Dengan gugup, ia segera berbaring di ranjang. Membalikkan badan memunggungi Keydo.
"Baiklah." Keydo tersenyum geli dengan tingkah Finar. Sangat aneh wanita itu selalu bisa membuatnya geli dengan tingkahnya dari sejak ia berteman dengan Alan. Kemurkaannya terhadap perbuatan wanita itu setahun yang lalu, ternyata tak mampu menghilangkan perasaan geli dan senang menggoda Finar.
Keydo tersadar. Segera ia kembali sibuk dengan macbooknya. Memeriksa email-email yang masuk. Pekerjaan kantornya benar-benar membuatnya begitu sibuk. Apalagi sebentar lagi ia akan pergi berlibur. Itu pun harus menemui beberapa rekan kerja dan klien untuk mengurus beberapa kontrak kerja.
***
Bab 4
Setelah menempuh perjalanan panjang. Mereka mendarat di bandara internasional. Meskipun lelah, Finar sangat menikmati perjalanan itu. Sudah lama sekali dia tak pergi berlibur. Liburan terakhirnya adalah acara keluarga di pulau Dewata awal tahun kemarin.
Pemandangan, suasana dan keindahan lading-ladang dan pedesaan mampu menghibur hati dan matanya. Sejenak melupakan kebenciannya terhadap Keydo.
"Apa kau menikmatinya?" tanya Keydo yang duduk di sebelah Finar. Menoleh ke arah wanita itu dengan mengangkat alis menunjuk pemandangan perkebunan anggur yang luas.
Finar melirik macbook yang ada di pangkuan Keydo. Ya, pria itu masih juga sibuk dengan pekerjaannya, dengkus Finar.
Lalu ia membalas tatapan Keydo dengan datar. Bagaimana pun ia tak mau menunjukkan pada pria itu bahwa dirinya sangat menikmati liburan ini. Dan walaupun Keydo sudah mengetahui dari pandangan kekaguman yang tak bisa Finar tahan-tahan. Mungkin ia harus lebih giat belajar untuk mengekspresikan wajahnya di depan Keydo.
"Aku mengantuk," ucap Finar malas. Lalu memalingkan wajahnya dari Keydo dan menyandarkan kepala di sandaran. Memunggungi Keydo.
Keydo mengalihkan tatapannya ketika mendengar sebuah dering suara panggilan ponsel. Sejenak melirik id pemanggilnya sebelum menjawab, "Ya. Ada apa?"
Suara Keydo yang sedang membicarakan masalah perusahaan perlahan terdengar semakin menjauh di telinga Finar. Dan semakin lama semakin menghilang di telan kegelapan.
***
Finar merasakan tubuhnya terayun-ayun dan terasa dipeluk hangat. Perlahan matanya bergerak-gerak mencoba membuka. Indera penciumannya menghirup aroma yang familiar baginya akhir akhir ini. Lalu matanya samar-samar melihat wajah tersebut. Wajah yang semakin lama tampak semakin jelas. Segera ia memaksa kesadarannya kembali ketika perasaan was-was yang begitu melekat pada dirinya mulai menyeruak. Dan mengerjap begitu menyadari kejituan pemikiran dan firasatnya.
Finar mendapati Keydo sedang menggendongnya entah kemana. Seketika ia menatap galak pada pria itu, "Apa yang kau lakukan?!"
Keydo menunduk. Memandang Finar yang sudah terbangun dalam gendongannya, "Kau sudah bangun?"
"Turunkan aku!" seru Finar setengah berteriak. Menunjukkan ketidaksukaannya pada apa yang dilakukan Keydo.
Bruukkk....
Keydo melepaskan gendongannya bahkan sebelum Finar sempat menutup mulutnya. Membuat Finar terjatuh di aras ranjang dengan kasar.
"Aawww..." Finar meringis. Merasakan sakit di pantatnya karena di banting dengan kasar oleh Keydo. Ia mendongak, menatap penuh kegarangan pada wajah Keydo yang tampak tenang dan sama sekali tidak terlihat merasa bersalah.
"Apa kau sudah gila?!" maki Finar.
"Bukankah kau memintaku untuk menurunkanmu?" jawab Keydo dengan senyum yang membuat Finar semakin dongkol. "Karena suasana hatiku sedang baik, jadi aku langsung mengabulkan permintaanmu."
Finar memejamkan matanya. Tangannya mengepal menahan kemarahan sambil menghembuskan nafas dengan kesal. Walaupun sedikit beruntung Keydo menjatuhkannya di atas kasur yang empuk.
"Apakah jika aku memintanya saat di depan pintu, kau juga akan langsung membantingku seperti tadi? Di lantai?" tanya Finar tak percaya sambil menunjuk ke arah pintu kamar yang masih terbuka.
"Mungkin," jawab Keydo langsung dengan ringan. "Tergantung bagaimana suasana hatiku, dan seharusnya kau berterima kasih karena saat kau memintanya suasana hatiku sedang baik."
Finar tertawa pahit. Menertawakan ketololan yang ia sendiri tak menyadari darimana ketololan itu berasal. Dan entah dia yang tolol atau apa.
"Terima kasih karena sudah melemparku dengan kasar," ucap Finar penuh penekanan yang dalam di setiap kata-katanya.
Keydo tersenyum. Semakin lebar mendengar ucapan dan melihat ekspresi Finar. Kemudian mengedikkan bahu sebagai tanda kepuasan, "Sama-sama, istriku."
Finar ingin sekali melempar bantal yang ada di dekatnya ke wajah Keydo. Meneriakkan makian-makian kasar pada pria itu. Namun, ia tahu perbuatan itu akan membuatnya berada dalam situasi yang lebih mempermalukannya. Maka ia memilih menahan emosinya. Membuatnya bersabar yang entah harus bertahan sampai kapan.
Sialan...
Tok... tok... tok...
Suara pintu yang diketuk memecah keheningan yang sempat tercipta. Membuat Finar dan Keydo menoleh ke arah pintu yang dari tadi terbuka. Tampak sopir taxi yang sedang memegang dua koper di sampingnya.
"Maaf, tuan. Kopernya ditaruh di mana?" tanya sopir taxi tersebut pada Keydo.
"Sebelah situ," jawab Keydo dingin sambil menunjuk ruangan kosong yang ada di sebelah lemari.
Sopir taxi itu pun mengangguk dan menarik kedua koper tersebut ke tempat yang ditunjuk Keydo. Kemudian berpamitan dan melangkah keluar kamar.
Tiba-tiba Finar teringat. Badannya terasa gerah dan berkeringat karena habis menempuh perjalanan yang cukup lama. Lalu ia beranjak dari atas kasur berniat pergi mandi dan berendam. Daripada harus berlama-lama dengan Keydo. Di mana pun ia melihat Keydo, hanya ada dua kegiatan yang dikerjakan oleh pria itu. Sibuk membuat kesal dirinya atau tenggelam dalam pekerjaan. Bahkan di liburannya untuk berbulan madu.
Sepertinya, Keydo cukup beruntung menikah dengannya. Wanita yang tidak mencintai dan dicintai oleh pria itu. Sehingga tidak ada percekcokkan rumah tangga tentang kesibukan si suami di bulan madu mereka. Membuat Finar mendengkus menyadari keberuntungan pria kejam itu.
"Yang mana koperku?" tanya Finar sambil berjalan menuju dua koper berwarna hitam dan merah yang diletakkan sopir taxi tadi.
"Merah," jawab Keydo singkat tanpa memalingkan wajah dari macbook yang dipegangnya. "Jangan membongkar semuanya. Kita hanya menginap satu malam di sini. Setelah urusan di sini selesai kita akan menginap di hotel."
Finar memandang Keydo yang duduk memunggunginya di sofa penuh wajah ketidakpercayaan. Ia bahkan belum melihat-lihat di sekitar tempat ini. Hanya ruangan ini yang sudah dinikmatinya. Kamar ini tampak mewah tentu saja. Sesuai selera Keydo. Dan hanya pemandangan pegunungan yang indah yang sempat dilihat Finar dari jendela yang terbuka. Membuat angin segar dan sepoi-sepoi memenuhi ruangan ini.
"Jika ke sini hanya untuk urusan pekerjaan. Harusnya kau tak perlu membawaku. Apa hanya untuk memperlihatkan pada semua orang kita sedang pergi berbulan madu?" gerutu Finar pelan.
"Aku bisa mendengarnya," gumam Keydo membalas gerutuan Finar. Sekaligus masih berkonsentrasi pada macbooknya.
Finar hanya diam. Mengamati nada Keydo yang hanya datar dan sambil lalu. Dan ia pun mengambil kesimpulan bahwa pria itu sepertinya tak terlalu tersinggung dengan cibirannya.
Ia pun menggulingkan koper yang berwarna merah. Membukanya dan sedikit terhibur karena yang ada di dalam koper tersebut semuanya baju-baju wanita. Dan sepertinya baru semua.
Finar mengambil dress yang paling atas berwarna peach. Panjangnya selutut dan berlengan pendek. Kainnya juga sangat lembut. Ia tahu dress ini harganya pasti mahal. Sudah lama sekali dia tidak pernah membeli baju-baju bagus seperti ini sejak kejadian itu.
'Haruskah aku sedikit berterima kasih pada Keydo?' Finar mulai mempertimbangkan.
"Tidak perlu berterima kasih. Itu sudah kewajibanku untuk memenuhi kebutuhan istriku," gumam Keydo yang kini sudah berdiri dari sofa dan melangkah mendekati Finar.
Finar menoleh.
'Ya. Memang sangat tidak diperlukan,' dengkus Finar dalam hati. Lalu memasang tampang sinisnya menggantikan ekspresi kekagumannya pada semua isi koper yang ada di hadapannya tanpa mengatakan apa pun.
Pengalaman mengajarkannya bahwa dia tak akan pernah menang jika berdebat dengan Keydo.
Kemudian ia berdiri sambil memegang dress yang diambilnya dan berniat melangkah ke kamar mandi.
Akan tetapi, belum sempat Finar melangkahkan kakinya, Keydo menarik pinggang dan membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu. Membuat Finar terkejut dengan jantung yang berdegup kencang.
"Aa... apa yang kau lakukan?" suara Finar terbata-bata. Berusaha menjauh dengan mendorong tubuh Keydo. Namun usahanya sia-sia. Dekapan Keydo begitu erat dan wajah Keydo hanya beberapa inci dari wajahnya. Mata Keydo menatap begitu intens membuat wajah Finar mulai memanas dan menimbulkan rona merah di pipinya.
Keydo tersenyum. Melihat dengan begitu jelas kegugupan Finar dan sangat menyukainya.
"Dan kewajibanmu untuk memenuhi keinginanku," bisik Keydo. Tanpa menunggu Finar sempat berkata-kata, Keydo munundukkan kepalanya. Mencium bibir Finar. Melumatnya. Bersamaan dekapannya yang semakin mengetat.
Finar sempat terperanjat dengan ciuman Keydo. Namun ia tak bisa menolak perlakuan semena-mena Keydo. Ia teringat ancaman yang dilontarkan pria itu. Dan ia tahu Keydo tidak main-main dengan ucapannya tentang berbuat kasar jika ia mencoba untuk menolak atau menentang perlakuan sahabat kakaknya itu.
Keydo menarik wajahnya setelah puas menikmati kemanisan bibir istrinya. Walaupun ternyata ia menyadari kepuasan itu masih tak tercukupi sedetik setelah ia melepaskan bibirnya dari bibir Finar. Namun keinginan itu tertahankan hanya untuk memberi kesempatan bagi Finar untuk mengambil nafas.
Matanya masih menatap penuh kebuasan pada bibir merah Finar yang semakin memerah dan menggoda karena lumatannya. Tangan kanannya yang bebas terangkat mengelus bibir itu dengan lembut. Merasakan kekenyalannya di kulit jemarinya.
"Lain kali, aku tidak akan membiarkanmu berdiam diri seperti patung saat kita bercumbu, Finar. Kau tahu, tidak seru," bisik Keydo lirih. Memasang muka cemberut yang malah tampak mengerikan bagi Finar. "Apa kau mengerti?"
Finar hanya diam. Tak tahu harus menjawab apa. Detak jantung yang berdegup kencang di dadanya cukup menyita otaknya hingga tak mampu memberikan jawaban untuk Keydo.
Dan lagi, kalimat yang dibisikkan dan sentuhan Keydo memang sangat lembut. Sangat mesra malah. Tapi setiap kata dan tatapan mata pria itu masih tersirat ancaman. Ancaman yang sekali lagi hanya bisa membuat Finar bertekuk lutut.
"Apa kau tidak tahu cara berciuman?"
Skakmat.
Pertanyaan Keydo kali ini sangat tepat sasaran. Itulah sebabnya Finar tak bisa mengimbangi ciuman Keydo yang selalu membara dan sangat ahli. Sudah tentu Keydo dan Herren sering melakukan aktifitas semacam ini saat mereka masih berhubungan.
Ia memang tidak tahu cara berciuman. Seumur hidupnya, orang yang paling dicintainya adalah Layel. Ia menyukai pria itu sejak kuliah. Dan selama beberapa bulan mereka berhasil menjalin hubungan, pria itu selalu bersikap sopan. Tak sekalipun mereka pernah berciuman bibir. Karena pria itu hanya berani mengecup pipi dan keningnya.
"Atau... kau memang tidak pernah berciuman sebelumnya?" tebak Keydo penuh kepuasan.
Pertanyaan Keydo membuat Finar gelagapan. Bagaimana mungkin pria itu bisa tahu apa yang tengah di pikirkannya.
"Aa...ku mau ke kamar mandi." Kalimat Finar terbata-bata. Berusaha melepas pelukan Keydo yang sepertinya mulai sedikit melonggar.
Akan tetapi, Keydo tak membiarkan Finar lepas. Malah semakin mengencangkan pelukannya. Membuat Finar sedikit sesak nafas.
"Apa di malam pertama kita adalah ciuman pertamamu?" mata Keydo menyipit penuh selidik. Sambil tertawa kecil penuh kegirangan mengetahui jawabannya hanya dengan melihat reaksi Finar pada pertanyaannya.
Finar benar-benar merasa malu karena Keydo mengetahui semuanya. Otomatis membuat pipi Finar semakin memanas. Ia pun hanya bisa memalingkan muka ke arah mana saja asalkan tidak melihat senyum penuh kepuasan dan kemenangan yang kejam di wajah Keydo, semakin mempermalukannya.
"Pipimu merah sekali. Sepertinya jawabannya benar." Keydo memegang pipi Finar. Membuat wanita itu mau tak mau menatap wajah Keydo yang sudah sangat dekat dan hampir membuat hidung mereka saling bersentuhan. "Membuatku bisa khilaf dan ingin menerkammu sekarang juga. Sayangnya aku masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
Hembusan nafas hangat Keydo yang menerpa wajah Finar, membuat wajah Finar yang memang sudah memanas semakin terbakar. Belum lagi kata-kata menggoda Keydo yang membuat Finar seakan meleleh. Membuatnya dipenuhi kefrustasian.
Drrttt... drrttt...
Tiba-tiba terdengar getaran suara ponsel. Finar tahu itu dari ponsel Keydo. Finar sangat yakin mengingat ia tak mempunyai ponsel. Membuat Finar bisa bernafas lega karena Keydo melonggarkan pelukannya. Menoleh ke arah ponsel yang berkelap-kelip di atas meja.
"Ada yang mengganggu acara kita," gumam Keydo seakan tidak senang. Dan tanpa diduga, pria itu kembali menoleh ke arah Finar. Mengecup bibir Finar dengan cepat lalu melepas pelukannya dan berjalan menghampiri ponsel yang mengerang minta perhatian.
Finar tertegun. Tubuhnya mematung selama beberapa detik dengan perlakuan Keydo yang membuat jantungnya berdegup dengan sangat kencang.
Bravo untuk Keydo.
Pria itu berhasil mempermainkan detak jantungnya. Dengan begitu ekstrim sekali lagi.
"Hallo..."
Suara Keydo menjawab panggilan seseorang di seberang sana menyadarkan Finar dari ketermenungannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya membuang semua pikiran-pikiran kotor.
"Di mana kau sekarang?"
Finar melirik sejenak punggung Keydo saat berjalan menuju pintu kamar mandi. Sempat ia mendengar Keydo yang berbicara dengan ponselnya.
"Baiklah. Aku akan menunggumu di sini."
Mendengar percakapan Keydo, sepertinya pria itu akan kedatangan tamu. Sambil mengabaikan rasa penasarannya tentang tamu itu, ia menutup pintu kamar mandi. Menguncinya sebelum menyandarkan punggung di pintu. Siapa yang tahu pria itu akan menerobos pintu kamar mandi dan mengerjainya.
Pikirannya masih berkelut dengan ucapan dan perlakuan Keydo padanya baru saja. Benar-benar membuatnya kacau balau penuh perasaan malu dan gelenyar aneh yang asing.
Dan entahlah...
Ia tak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini. Benar-benar sangat asing.
Sekali lagi Finar menggeleng-gelengkan kepala. Menyingkirkan semua perasaan tak nyaman itu dan berniat berendam ketika melihat bathup di sudut kamar mandi. Menggodanya untuk segera membersihkan badan yang lengket sehabis perjalanan jarak jauh mereka. Sekaligus menenangkan pikiran dan hatinya. Berharap juga bisa meredakan detak jantungnya yang masih berdetak dengan nyaring.
###
Kali ini konfliknya agak ringan.
Jangan lupa vote ama commentnya.
Ok...
Sunday, 23 October 2016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top