21. A New Deal
Taken by you 2
###
Part 21
A New Deal
###
Typo tolong di kasih tahu, ya. Lagi-lagi authornya malas baca ulang. Sibuk baca buku baru. He he he....
###
Finar baru saja selesai menyisir rambutnya saat Keydo membuka pintu kamar dan melangkahkan kakinya mendekati meja rias tempat ia duduk.
"Rupanya istriku belum tidur." Keydo menggumam, matanya menatap Finar lekat-lekat melewati bayangan di cermin.
Finar menangkap arti tatapan Keydo itu. Tatapan penuh gairah yang muncul dan menggebu-gebu. Finar tahu apa yang diinginkan Keydo darinya, segera ia berdiri dari duduknya dan membalikkan badannya untuk menghindar, "Aku akan tidur."
"Tidak sekarang." Keydo menangkap tubuh Finar, menarik pinggangnya dan menempelkannya ketubuhnya. Mempereratnya tapi tak terlalu kuat ketika istrinya itu berusaha meronta. Ia tahu sebatas apa kekuatan yang dimiliki Finar.
"Hentikan, Keydo." ronta Finar semakin kuat. Berusaha mendorong dada Keydo. Tapi tidak berhasil, tubuh pria itu tidak bergerak seincipun dari tubuhnya yang menempel padanya. Dan ia malah terpekik kaget ketika Keydo tiba-tiba menunduk dan menyelipkan tangannya di tengkuk dan di balik lututnya. Mengangkat tubuhnya sebelum membawanya menuju ranjang.
Keydo menjatuhkan tubuhnya bersamaan pria itu mendarat di sampingnya dengan sebagian tubuh yang menindihnya. "Kau akan tidur nyenyak setelah kita selesai dengan ini." bisiknya lembut di samping telinga Finar. Sengaja menghembuskan nafasnya di telinga wanita itu untuk menggodanya.
Finar menahan nafasnya, matanya terpejam akan godaan yang menghanyutkan itu. Tapi tidak, ia sudah berkali-kali terseret arus yang dipimpin Keydo. Dan kali ini, ia tidak akan membiarkan dirinya terseret terlalu jauh dan berakhir tak bisa menolak pria itu lagi.
Ia menggeleng-gelengkan kepalanya keras. Mengusir segala macam rayuan dan bujukan suaminya menjauh.
"Kau hanya perlu membiarkan dirimu mengikuti aliran airnya, Finar." Keydo terkekeh melihat usaha keras yang terpampang jelas di raut wajah Finar. "Jangan menolaknya."
Seketika mata Finar membuka.
'Apakah ia terlihat konyol?'
'Darimana pria itu tahu ia berusaha menolak
Matanya melotot menatap wajah Keydo yang tersenyum mengejek di atasnya. Tersinggung tapi ia mengabaikannya. Begitu juga dengan pipinya yang terasa memanas dan pastinya memerah karena malu.
"Aku ingin bicara dulu, Keydo." kata Finar. Wajahnya berubah kaku dan serius.
"Bicaralah." Keydo tak keberatan.
"Dan bisakah kau menyingkirkan tubuhmu terlebih dahulu sebelum aku memulainya?" Finar gerah dengan berat tubuh Keydo yang di tumpukan pria itu di sebagian tubuhnya. Tidak berat, tapi terasa menghimpitnya. Membuatnya konsentrasi terpecah untuk memulai kalimatnya. Apalagi hembusan nafas pria itu yang menyerbu wajahnya.
Keydo tersenyum. Senyum yang lebih sinis dan membentuk seringai tajam, "Pilihannya hanya dua, Finar. Kau bicara dan aku mendengarkan, atau kita melanjutkan untuk bersenang-senang."
"Kau benar-benar, Keydo." berang Finar. Memukul dada pria untuk meluapkan kekesalannya. "Apa di otakmu hanya dipenuhi pikiran kotor?"
Senyum di bibir Keydo semakin melebar, "Istriku benar-benar sangat mengenali suaminya rupanya."
Dan Finar benar-benar kehilangan kata-katanya. Hanya bisa menarik nafas beratnya dengan dongkol. Berusaha melenyapkan kejengkelannya. Pria itu memang selalu pandai mengusik suasana hatinya dan membuatnya tak berdaya.
"Kau ingin bicara atau..." Keydo sengaja menggantung kalimatnya. Matanya berkedip nakal mengisyaratkan gairahnya yang meminta dipuaskan.
"Aku ingin kehidupanku kembali normal." kata Finar segera sebelum ia kehabisan kesempatannya.
"Apa kau ingin melihat keluargamu?"
"Ya." Finar mengangguk sekali.
"Baiklah." Keydo menyetujui. "Aku akan mengantarmu ke rumahmu untuk makan malam. Mungkin besok jika kau berhasil memuaskanku malam ini." wajahnya mendekat untuk mencium bibir Finar, tapi istrinya menoleh ke samping untuk menghindar dan mendorong dadanya. Dan ia membiarkannya karena tahu ternyata Finar belum selesai.
"Aku belum selesai." geram Finar.
"Apalagi yang kau inginkan, Finar?" tanya Keydo memaksa. "Selagi suasana hatiku membaik dan mau mengabulkan keinginanmu."
"Aku ingin kehidupanku benar-benar kembali normal, Keydo. Dalam arti normal yang sebenarnya, bukan di kurung di dalam kandang seperti saat ini."
Keydo tertegun, mencerna dengan perlahan maksud dari kalimat Finar. "Dalam artian yang sebenarnya?" katanya mengulang.
Finar mengangguk, "Aku benar-benar akan gila jika kau mengurungku seperti ini terus. Aku ingin kehidupanku yang dulu kembali."
Keydo mendengus, "Kehidupanmu yang dulu tidak akan kembali, Finar." ia mengingatkan, "Kau sudah menjadi istriku sekarang. Dan aku sama sekali tak ada niat untuk mengubah status itu."
"Aku akan menerima fakta itu. Hanya saja, aku ingin bebas, Keydo. Aku ingin memiliki kehidupanku seperti manusia pada umumnya. Pergi belanja dan berjalan-jalan dengan temanku. Bekerja dan beraktifitas seperti biasanya. Bersenang-senang dan bersosialisasi kembali."
"Aku sudah memberimu hati dan sekarang kau meminta jantung. Dan apa pula yang membuatmu berpikir aku akan mengabulkan keinginanmu yang setinggi gunung itu?"
"Aku sudah bersikap sebagai istri yang baik untukmu. Setidaknya biarkan aku sedikit saja bernafas."
"Itu janjimu atas nyawamu sendiri."
Bibir Finar terkatup rapat. Ya, ia berjanji akan bersikap sebagai istri yang baik atas permohonannya agar pria itu tidak membunuhnya.
"Berikan penawaran yang lebih menarik, Finar."
Kening Finar berkerut, memutar otaknya. Kembali teringat akan kata-kata kakaknya beberapa saat yang lalu.
"Kalau begitu, buat Keydo percaya padamu."
"Keydo memang sedikit kejam..."
"... tapi dia bukan orag licik yang akan menusuk siapapun dari belakang."
"Setelah apa yang kau lakukan padanya setahun yang lalu, sekarang kakak bisa menjamin itu."
"Hanya itu yang bisa kakak sarankan padamu. Pilihan ada di tanganmu. Jika kau percaya pada kakak, maka Keydo dan Darius juga orang yang bisa kau percayai."
"Aku akan menganggapmu sebagai suamiku." hanya itu yang bisa diberikannya pada Keydo.
Keydo tertawa, "Kau sudah bersikap sebagai istriku, Finar. Sudah tentu aku adalah suamimu."
"Itu berbeda, Keydo." kata Finar tak terima. "Aku bersikap baik sebagai istrimu karena aku terpaksa. Dan sekarang aku menganggapmu sebagai suamiku, karena... aku menginginkannya." tambahnya meragu.
"Sepertinya kau juga terpaksa menginginkannya."
Finar membungkam. "Mungkin saja. Karena aku juga menginginkan kebebasanku. Aku akan menganggapnya satu paket."
Keydo kembali tertegun. Mengamati manik mata dan ekspresi wajah Finar yang ada di bawahnya. "Apa kau mulai berniat menerima dan menjalani rumah tangga kita dengan hatimu?"
Finar mengangguk. Ya, hanya itu pilihan yang dimilikinya. Daripada ia menghabiskan sisa umurnya di balik tembok istana pria itu. Setidaknya, kalaupun ia tidak bisa lepas dari pernikahannya dengan Keydo, ia masih bisa melihat dan merasakan dunia di luar sana. Toh pernikahan mereka sudah terjadi dan ia tahu Keydo tak akan pernah menceraikannya.
"Dan apa yang membuatmu begitu yakin aku akan mempercayai kata-katamu? Dan kau tidak akan mengkhianatiku dan melarikan diri lagi?"
"Keluargaku dan kakakku mempercayaimu. Bahkan setelah aku memberitaku kakakku kalau kau berniat membunuhku." desis Finar. Masih begitu gusar dengan kenyataan itu.
Keydo kembali tertawa, tak percaya ternyata Finar benar-benar membuktikan ancamannya, "Kau benar-benar putus asa rupanya."
"Apa kau benar-benar menganggap pernikahan kita bukan main-main?" tanya Finar mengalihkan pembicaraan mereka. Ia tahu Keydo menertawainya.
Keydo mengangguk. Masih dengan sisa tawa yang di tahannya.
"Kalau begitu biarkan aku mendapatkan keinginanku. Aku juga tidak akan menganggap pernikahan kita main-main. Kau tidak akan rugi apapun."
"Apakah aku bisa mempercayaimu?"
"Jika tidak, kau bisa melakukan apapun padaku."
Keydo mendengus, "Aku sudah bisa melakukan apapun sesukaku padamu sekarang."
"Ayolah, Keydo." nada dalam suara Finar mulai terdengar putus asa dan memohon. "Aku dan kau sama-sama tahu aku tidak punya kekuatan apapun atasmu. Biarkan aku sedikit saja bernafas jika kau tidak mau punya istri yang gila dan butuh perawatan dokter jiwa."
"Aku akan mempertimbangkannya jika kau bisa memuaskanku malam ini. Bagaimana?" Keydo menarik satu alisnya ke atas meminta pendapat Finar. Sekalipun ia tahu ia tak membutuhkan pendapat wanita itu untuk menidurinya.
Finar memutar bola matanya tak percaya. Pikiran pria itu memang tak jauh-jauh dari kata mesum. Dan ia pun hanya membiarkan Keydo memagut bibirnya. Membiarkan pria itu melumat dan mencari kenikmatannya sendiri.
***
"Aku ingin ponsel, Keydo." kata Finar merajuk. Menyelipkan tangannya di lengan suaminya yang sibuk dengan layar ponselnya. Dan satu tangannya menunjuk toko yang ada di dekat mereka. Setelah malam itu, Keydo memang mengabulkan keinginannya. Berjalan-jalan keluar dan berbelanja. Tapi dengan pria itu yang menemaninya. Walaupun ia tidak keberatan karena ia tidak punya teman yang bisa diajaknya untuk keluar.
"Memangnya siapa yang ingin kau hubungi?" gumam Keydo tak acuh. Jemarinya sibuk menggeser layar ponsel dan membaca email yang dikirim Ale beberapa menit yang lalu.
"Mama, Papa, dan kakak-kakakku. Juga temanku."
"Kau bisa memakai ponselku. Dan temanmu? memangnya kau punya teman?"
Finar hanya tersenyum muram ketika Keydo mengatakan teman. Sekalipun ia mudah akrab dengan siapapun dan punya banyak teman, tapi ia sama sekali tak punya teman yang cukup dekat dengannya. Hanya Layel satu-satunya orang yang dekat dengannya.
Hahhh... Layel. Ia mendesah sekali, bahkan pria itu sekarang sudah menjadi tunangan wanita lain.
Keydo melirik sekilas wajah istrinya istrinya yang berubah muram, "Kau akan mendapatkannya jika kau bisa menjaga sikapmu selama seminggu ke depan. Begitu kesepakatannya." ia mengingatkan Finar akan syarat-syarat yang ia ajukan sebelum menyetujui keinginan istrinya.
"Aku berjanji akan menjaga sikapku seminggu ke depan." Finar berusaha meyakinkan. Wajahnya melongok menatap ponsel yang sedari tadi menjadi perhatian utama Keydo. "Aku ingin yang seperti ini."
"Dulu Alan yang menjadi bank berjalanmu. Apakah sekarang aku?"
"Kau suamiku, bukan? Sudah seharusnya kau memenuhi kebutuhan istrimu."
Keydo mendengus, melirik sekali lagi ke arah Finar sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. "Aku suamimu, ya?"
"Harga ponsel itu hanya recehan bagimu, Keydo. Kenapa kau begitu pelit?"
"Karena kau menganggapku suami hanya di saat kau membutuhkanku." jawab Keydo sinis, "Apa kau lupa perlawanan-perlawanan dan kekacauan yang..."
"Hentikan, Keydo!" wajah Finar memerah, marah bercampur malu. Lalu dengan gerakan kasar, ia menarik tangannya yang bertengger di lengan Keydo dan menghentikan langkahnya. Ada beberapa pejalan kaki yang sempat menengok karena suaranya yang sedikit mengeras, tapi ia mengabaikannya, "Aku melawanmu salah. Dan sekarang aku menuruti keinginanmu juga salah. Sebenarnya apa yang kau inginkan?"
Keydo ikut menghentikan langkahnya. Menghadapkan tubuhnya ke arah Finar membuat keduanya kini saling berhadap-hadapan di antara pengunjung mall yang berlalu lalang. Matanya mengamati Finar dengan tatapan angkuh dan tak acuhnya. Sebelum kemudian matanya menatap melewati belakang tubuh Finar. Menangkap dua sosok yang berjalan di antara pengunjung mall yang lain. Sudut bibirnya menyeringai penuh maksud yang tersembunyi ketika kembali melihat wajah istrinya dan berkata, "Aku akan membelikanmu ponsel jika kau bisa melewati ujian pertamamu, Finar."
Finar mengerutkan keningnya tak mengerti dengan ucapan Keydo. Dan ia mendapatkan jawabannya ketika pria itu memegang bahunya dan membalikkan badannya. Membuat tubuhnya tiba-tiba kaku dan nafasnya tercekat di tenggorokan.
'Layel?'
***
Ujian pertama yang dimaksud Keydo benar-benar membuat dadanya menyiksanya. Mereka berempat, dirinya, Keydo, Layel, dan tunangannya yang namanya dilupakan oleh Finar, duduk mengelilingi meja di salah satu restaurant mall. Dan jangan ditanya seberapa canggung, rasa sesak dan panas yang berkobar di dadanya.
Sudah jelas ini sangat canggung, sangat sesak dan membara di dalam dadanya. Mungkin ia memang sakit hati dengan keromantisan yang ditunjukkan tunangan Layel pada mantan kekasihnya itu. Tapi ia berusaha mengabaikan perih itu dan berusaha menerima kenyataan pahit tentang cerita mereka yang berakhir tragis dengan pasangan tokoh utama yang memiliki pendamping hidupnya masing-masing.
Sesekali ia melirik Keydo yang terlihat santai dengan suasana canggungnya dan Layel. Tampak kepuasan tersirat di antara ekspresi wajahnya yang datar dan dingin seperti biasanya. Ternyata pria itu benar-benar mengujinya ketika dengan sengaja bertanya, "Kapan dan seberapa jauh persiapan pernikahan kalian akan dilaksanakan, Marisa? kudengar dalam waktu dekat kalian akan menikah."
Marisa menoleh, menegakkan badannya sebelum mengangkat bahunya sekali dan menjawab, "Dua minggu lagi, Keydo. Dan persiapannya sudah 80%. Hanya tinggal undangan yang belum disebar dan beberapa kue yang masih belum kami coba dan setujui. Terima kasih kau menyediakan gedung untuk pernikahan kami."
Keydo mengedikkan bahunya tak masalah, sambil lengannya terangkat dan bersandar di punggung kursi yang duduki Finar, "Sebagai ucapan selamat untuk pernikahan sepupuku."
Finar masih membeku dan tak mengeluarkan sepatah katapun sejak mereka berempat duduk di kursi masing-masing. Tanpa sengaja, matanya bertabrakan dengan tatapan Layel. Dan pria akan membuka mulutnya tapi membatalkannya. Membuat Finar memilih membuang wajahnya kesamping.
"Aku juga ingin pergi berbulan madu ke Itali. Tapi Layel menolaknya. Dia bilang sudah terlalu sering ke sana." gerutu Marisa. Sikunya menyenggol lengan Layel dan memasang wajah cemberutnya.
Layel hanya tersenyum tipis membalas tatapan tunangannya itu. Lalu sekali lagi menatap sisi wajah Finar yang menghindarinya. Sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan Keydo dengan Marisa. Ia tahu sepupunya itu sengaja membicarakan topik yang sangat sensitif untuknya dan Finar hanya ingin mengusik dirinya.
"Ya, Layel memang sering ke sana. Ia menguasai bahasa negara itu, makanya om Dani sering mengirimnya ke sana." Keydo membenarkan. Jemarinya bergerak memainkan helaian rambut Finar yang terjatuh di punggung wanita itu. "Aku juga sering ke sana, tapi kami sangat menikmati bulan madu kami."
Marisa mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penjelasan Keydo.
"Bukan tempatnya yang terpenting, tapi dengan siapa kita ke sanalah yang paling penting, benar, kan sayang?" Keydo menambahkan. Menundukkan wajahnya bertanya pada Finar.
Finar segera menoleh, tahu betul panggilan sayang diucapkan Keydo untuk siapa. Dengan kaku, ia menganggukkan kepalanya menjawab. Dan suaminya itu, malah mengecup pipinya singkat karena puas dengan jawaban yang diberikannya.
Marisa mendesah, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil tangan kanannya mengipasi wajahnya seakan kepanasan, "Aku benar-benar gerah." sindirnya akan keromantisan pasangan di hadapannya.
Keydo hanya mengangkat bahunya, matanya sejenak melirik wajah Layel yang tampak mengeras dengan tak peduli. Menunjukkan bahwa sekarang Finar adalah istrinya. Dan hanya dirinya yang berhak atas wanita itu. Semakin puas ketika menangkap raut penuh kemuakan yang jelas ditujukan padanya oleh Layel atas drama romantis yang dipamerkannya baru saja.
Finar mendekatkan bibirnya di telinga Keydo dan berbisik lirih, "Keydo, aku mau ke kamar mandi sebentar."
Keydo menoleh, mengamati wajah Finar sebelum menyetujui wanita itu.
Finar mengedipkan matanya sekali. Mengisyaratkan kesungguhannya. Selain ia memang benar-benar butuh ke kamar mandi, ia juga butuh menenangkan emosi yang bergejolak di dadanya tentang Layel. Dan bernafas lega setelah selama beberapa detik terdiam, akhirnya Keydo mengangguk menyetujuinya. Segera ia mengambil tasnya dan beranjak dari kursinya pergi.
***
Ia hanya butuh setengah menit untuk mencuci tangannya yang sebenarnya tidak kotor. Menatap bayangan wajahnya di cermin yang terlihat sekusut kertas yang diremas-remas sebelum dibuang ke tempat sampah. Menghembuskan nafasnya yang berat dan dalam guna mengusir segala macam kecamuk yang memenuhi kepalanya. Menenangkan emosi di dadanya.
Tapi usahanya berakhir sia-sia ketika ia melangkah keluar dari toilet dan tubuhnya terhuyung ke belakang menabrak dada bidang yang menghadangnya di depan toilet. Ia pun mendongak untuk mencari tahu siapa yang berdiri di ambang pintu menghalangi dan membuatnya hampir terjatuh.
"La..." Finar menelan ludahnya tergagap, terlalu terperangah dengan sosok yang kini berdiri di hadapannnya dengan sangat dekat, "Layel?"
"Kita butuh bicara, Finar. Aku harus mengatakan yang sebenarnya dan menjelaskan semuanya padamu."
***
Sifat manja Finar sudah mulai muncul lagi seperti karakter Finar yang di lapaknya Alan. Kalau ada yang kangen si Finar yang suka melawan, janga terlalu kecewa ya. Jalannya memang seperti ini, kalau bertengkar terus, ceritanya cuma bisa terjebak di sini melulu.
Semoga part ini cukup memuaskan.
Oh ya, masih ada yang ngarepin extra partnya Darius ga?
Kalau ada, mungkin hari Senin atau Selasa baru bisa diposting. Sudah 70% draftnya.
Vote dan commentsnya, please...
Sunday, 21 May 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top