20. Loyalty and Trust
Taken by you 2
###
Part 20
Loyalty and Trust
###
Segera ia berlari memasuki kamarnya menuju kamarnya untuk mengambil jubah tidurnya dan berjalan dengan langkah besar-besar. Sambil mengenakan jubahnya, ia keluar kamar untuk menemui kakaknya, senyum manis merekah di bibirnya menemani langkahnya. Ia senang akan bertemu kakak yang sangat dirindukannya itu.
"Kak Frian!" panggil Finar begitu melihat sosok Alan yang baru saja menginjakkan kakinya di lantai dua.
"Finar?" Alan menoleh. Langkah terburu-buru Alan seketika terhenti. Wajahnya yang merah dan kepalan di kedua tangannya seketika melunak. Berubah dengan senyum lembut ketika melangkah mendekati adik kesayangannya itu. Langsung memeluknya sejenak sebelum mengecup sayang dahi Finar dengan lembut dan penuh sayang. "Kau belum tidur?"
Finar menggeleng. Bagaimana mungkin ia bisa mengantuk di awal malam seperti ini. Setelah seharian ia tidak punya kegiatan dan hanya menghabiskan waktunya di atas tempat tidur. "Apa yang kakak lakukan malam-malam begini?" tanyanya. Sedikit kecewa dengan perubahan sikap kakaknya yang dilihatnya tadi dan sekarang.
"Kakak ada urusan sebentar dengan Keydo. Di mana dia?"
"Masih di ruang kerjanya." Finar menunjuk dengan dagunya pintu ruang kerja Keydo yang tertutup rapat yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. "Memangnya ada apa?" tanyanya lagi penasaran.
"Aku akan menemuimu setelah aku selesai dengan Keydo. Kau tunggu sebentar." Alan mengelus-elus rambut Finar sebelum berjalan menuju ruang kerja Keydo. Membukanya tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Tingkah lakunya di rumah ini menunjukkan bahwa ia terbiasa melakukan hal itu seakan ini adalah rumahnya sendiri. Bahkan Ale maupun Ana selalu mengetuk pintu ruang kerja Keydo sebelum mendapat ijin untuk masuk dan membuka pintu itu.
Setelah sejenak memperhatikan kakaknya yang menghilang di balik pintu itu, Finar membalikkan badannya dan melangkah menuruni anak tangga ke lantai satu. Mengabaikan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya tadi. Menunggu kakaknya setelah berbicara dengan suaminya.
***
"Sepertinya aku benar-benar harus menghapus namamu dari daftar tamu yang diijinkan melewati pintu gerbangku." Keydo mengangkat kepalanya sambil berkata dengan suara datarnya. Tanpa emosi setelah tahu siapa yang mengganggu konsentrasinya dari berkas-berkas yang dipelajarinya di atas meja kerja. "Ingatkan aku untuk melakukan itu setelah kau pulang nanti."
Alan berjalan mendekati Keydo. Berdiri di seberang meja dengan rahang yang mengeras memendam amarah, "Apa kau sudah tahu?"
Keydo mendengus, "Kau menerobos masuk hanya untuk menanyakan hal yang tidak jelas. Memangnya kay mengharapkan jawaban seperti apa dariku?"
Alan menggeram, "Apa kau sudah tahu kalau Herren kembali?" ia mengulangi pertanyaannya dengan lebih jelas dan dengan suaranya yang sengit.
Keydo tertegun sejenak. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada. Ekspresinya tampak penuh ketenangan yang terkendali. "Aku menemuinya beberapa hari yang lalu. Apa kau sudah bertemu dengannya?" tanyanya sekalipun ia sudah tahu jawabannya. Alan datang kemari pasti karena sudah menemui Herren. Dan ia tahu sahabatnya itu pasti sudah melampiaskan kemarahannya yang sudah di pendamnya selama setahun terakhir pada wanita itu. Karena membuat adik kesayangannya berada dalam pelarian karena perbuatan mantan tunangannya itu.
"Kau sudah tahu jawabannya." jawab Alan sinis. "Apa yang kalian bicarakan?"
Keydo mengangkat bahunya. Tak repot-repot mempersilahkan Alan untuk duduk dengan wajah merah padam pria itu, "Tidak ada yang penting." jawabnya tenang.
"Ia juga bilang kalau kalian sempat bertemu waktu kau fan Finar di Italia."
"Pertemuan kami juga tidak ada yang penting." jawab Keydo lagi, lalu matanya memicing ketika rasa penasaran dan ketidak puasan memenuhi wajah sahabatnya, "Sebenarnya apa yang ingin kau ketahui, Alan?"
"Tidak ada yang ingin kuketahui dari pembicaraan kalian berdua. Aku hanya merasa aneh dengan pertemuan kalian di Italia. Apa kau benar-benar tak punya maksud tertentu dengan menikahi adikku?"
"Maksudnya?" alis Keydo terangkat salah satu. Meminta penjelasan yang lebih dari Alan.
Alan terdiam sejenak, berusaha melupakan berbagai macam pikiran yang bermunculan di kepalanya. "Mungkin saja kau menikahi adikku hanya ingin memancing Herren untuk kembali padamu."
Keydo tertawa geli dengan prasangka yang dikatakan oleh Alan, "Apa kau tidak memercayaiku, Alan?"
Alan terdiam. Ia tahu Keydo tak mungkin punya niat seburuk itu kepada adiknya. Hanya saja... apa yang dilakukan Finarlah yang membuatnya tak begitu yakin dengan kepercayaan Keydo padanya.
"Setelah bertahun-tahun kau masih mempertanyakan kesetiaanku?"
"Aku percaya padamu, hanya saja... perbuatan Finar padamu..."
"Finar sudah membayar perbuatannya." Keydo memotong kalimat Alan. Sejujurnya ia tak ingin mengingat kejadian setahun yang lalu. "Percayalah, itu hanya kebetulan sialan yang tidak pernah kuduga sama sekali."
Alan kembali terdiam. Mencoba mencerna pernyataan Keydo sebelum memutuskan menerima kebetulan itu. Ia tahu Keydo tidak akan membohonginya . "Kau tahu? walaupun Layel dan Finar saling mencintai , aku tahu kau jauh lebih baik daripada Layel untuk jadi suami Finar. Karena aku tahu kau tidak akan main-main dengan pernikahan kalian. Aku tahu kau akan melindungi dia dan aku mempercayaimu untuk itu. Aku hanya ingin mengingatkanmu kenapa aku mengijinkanmu menikahi Finar."
"Ya, aku masih mengingatnya. Kau tidak perlu repot-repot menyempatkan waktumu malam-malam begini mengganggu waktuku hanya untuk itu."
"Dan..." Alan terdiam. Menekan suaranya dan menatap manik mata Keydo lebih tajam, "... karena aku sangat yakin kalau Herren tidak akan pernah kembali lagi ke kehidupanmu."
"Well, sepertinya dugaanmu yang satu itu meleset." komentar Keydo datar.
"Lalu? Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Keydo mengangkat bahunya acuh, "Kau ingin aku melakukan apa? Aku tahu kau tidak mungkin membiarkanku bernostalgia dengannya, bukan?"
"Apa kau masih mencintainya?" Alan menyipitkan kedua matanya, penuh kecurigaan dan rasa penasarannya. Tapi Keydo hanya diam, membuatnya menghela nafas berat mengisyaratkan ketidak sabarannya akan jawaban dari Keydo.
Sejenak Keydo terdiam dengan pertanyaan Alan. Tapi tekad tak terbantahkan yang terpampang jelas di manik mata Alan membuatnya mau tak mau membuka mulutnya untuk menjawab, "Tidak ada bedanya bagiku dia kembali ke kehidupanku atau tidak, Alan. Dan tidak ada bedanya bagiku aku masih mencintainya atau tidak."
Alan membungkam ketika mencerna jawaban yang diberikan oleh Keydo. Masih tak cukup puas dan menatap Keydo meminta penjelasan yang lebih.
"Aku sudah menikah dan aku bukan pria brengsek yang menceraikan istriku hanya untuk wanita lain yang mungkin saja masih kucintai. Bahkan aku tidak yakin dengan semua itu. Kau tahu aku tidak memandang perasaan sentimentil itu setinggi apapun yang kumiliki saat ini. Terutama melebih pernikahan yang tidak pernah kuanggap main-main ini. Apa kau puas sekarang?"
"Aku mempercayakan adikku padamu seperti aku mempercayakan nyawaku. Dan kau tahu pengkhianatanku padamu setahun yang lalu hanya karena aku sangat menyayangi Finar. Tidak ada yang salah dengan yang kulakukan. Jika kau butuh seseorang untuk disalahkan atas kejadian itu, maka kau sudah menemukan orangnya."
"Dan kau juga tahu aku menikahi Finar karena kepercayaan yang kumiliki padamu."
"Aku masih memegang janjiku. Kuharap kau juga melakukan hal yang sama?"
Keydo mengangkat kedua tangannya, masalah mereka selesai, "Kalau begitu tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran Herren di kehidupan kita lagi, bukan?"
Alan terdiam. Mengisyaratkan persetujuan atas ucapan Keydo. Cukup lama keduanya hanya saling memandang, sampai akhirnya Alan menghela nafasnya lega dan mengambil tempat duduk di depan meja Keydo.
Keydo tertawa geli, "Apa kau sungguh mengkhawatirkan adikmu akan menjadi janda dengan kehadiran Herren?"
"Aku sangat menyayangi Finar. Bagiku tidak ada yang pantas bersanding di sisi Finar sekalipun itu kau. Tapi, hanya kaulah orang yang paling kupercaya untuk menjaganya." gumam Alan pelan. Mendesah ringan sambil bersandar di punggung kursi.
Keydo tidak membalas kalimat Alan dan memilih diam. Menatap sahabatnya dan sedikit berbangga diri karena memang dia lebih baik daripada Layel untuk menjaga Finar. Lagipula, sedikit demi sedikit, ia juga menikmati pernikahannya dengan Finar. Harinya lebih menyenangkan dan penuh dengan hiburan sejak wanita itu menjadi istrinya. Seperti... melengkapinya.
"Apa kau masih belum mengijinkannya jalan-jalan?"
Keydo menggeleng, "Tidak, sampai otaknya berhenti memikirkan cara untuk melarikan diri." jawab Keydo sambil mengalihkan pandangannya ke arah berkas yang ada di hadapannya. Masih ada dua berkas yang belum di bacanya. "Dan melawanku." tambahnya lagi. Menegakkan punggungnya dan membuka berkas paling atas.
Alan hanya mendengus, "Kekuasaanmu lebih dari cukup untuk menggagalkan niatnya kalaupun dia berhasil melarikan diri. Tapi untuk berhenti melawanmu, kurasa dia tidak akan berhenti melawanmu mengingta harga dirinya yang tinggi. Dia tidak suka diperintah."
Keydo hanya tersenyum tipis. Ya, Finar memang memiliki harga diri yang tinggi. Selalu berteriak dengan nada yang menantang. Melawan kapanpun ada kesempatan, padahal ia bisa melihat dengan jelas dari mata wanita itu yang menyimpan ketakutannya.
"Kecuali kau bisa mengambil hatinya." kata Alan penuh arti.
***
"Ada urusan apa kakak dengan Keydo?" tanya Finar ketika melihat kakaknya muncul dari arah tangga dan melangkah mendekatinya mengambil tempat duduk di samping Finar.
Alan hanya mengangkat bahunya kecil, mengisyaratkan bukan urusan yang penting. "Bagaimana kabarmu?"
"Seperti yang kakak lihat , Finar baik-baik saja. Walaupun Keydo tidak membiarkan Finar keluar."
"Setidaknya ini jauh lebih baik daripada di penjara." Alan berusaha menghibur adiknya. Ia bahkan tak bisa membayangkan jika adiknya mendekam di penjara karena percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Finar. Sekalipun ia tahu Keydo mungkin akan berpikir dua kali untuk menjebloskan adiknya ke penjara. Tapi ia juga tak mau bertaruh akan suasana hati Keydo terhadap nasib adiknya. Sama seperti ia mempercayai Keydo, ia juga tahu betul pria macam apa sahabatnya itu.
Finar mengangguk, lalu menggerutu pelan, "Ya, tapi seharusnya Keydo juga memperlakukan Finar sedikit lebih baik sebagai istrinya. Kalau memang dia tidak menganggap main-main dengan pernikahan kami."
"Apa sekarang kau sudah mengakui dirimu sebagai istrinya Keydo?" tanya Alan menggoda. Keningnya berkerut penasaran dengan senyum tipis yang tertarik di sudut bibirnya.
Finar membelalakkan matanya, sedikit terkejut dengan pertanyaan kakaknya. Apaka dirinya baru saja mengharapkan diperlakukan dengan baik sebagai istrinya oleh Keydo? segera saja ia menggeleng untuk membantah argumen yang muncul di kepala kakaknya, "Bukan itu maksud ucapan Finar. Hanya saja..." ia terdiam sejenak, suaranya melirih ketika melanjutkan "...diakui atau tidak, kami memang sudah menikah."
Alan tertegun. Mengamati adik kesayangannya itu dengan cermat. Nada sauara dan wajah muram yang tersirat di wajah adiknya itu tampak begitu jelas di sana. Ada rasa bersalah yang muncul atas kesedihan itu. Tapi, melihat gadis ini baik-baik saja, sudah lebih dari cukup baginya. "Kau tahu kami melakukan yang terbaik yang bisa kami lakukan untukmu, bukan?"
Pertanyaan kakaknya kali menyergap dada Finar dengan perasaan bersalah. Ia tahu kakaknya sudah melakukan yang terbaik yang bisa diberikannya padanya. Tidak seharusnya ia melemparkan beban perasaan bersalah atas kesalahannya sendiri pada orang lain. Dengan senyum tipis yang berusaha terlihat setulus mungkin, ia menggenggam tangan kakaknya dan berkata, "Finar tahu itu."
Alan membalas senyum itu, kemudian melepas genggaman jemari Finar dan menarik tubuh adiknya itu ke dalam pelukannya, "Kakak menyayangimu."
"Finar juga sangat menyayangi kakak."
Selama beberapa saat keduanya slaing berpelukan untuk saling melepaskan kerinduan masing-masing.
"Apa kau ingin jalan-jalan keluar?" tanya Alan ketika mereka sudah saling melepas pelukan masing-masing. Kembali mengobrol.
Finar mengangguk antusias, "Finar ingin pergi ke rumah. Bertemu papa dan mama. Apa kakak mau menjamin Finar?"
"Apa?!" Alan tertawa geli mendengar pilihan kata yang diambil adiknya itu, "Menjaminmu? apa kau kira kau di penjara?"
'Ini memang penjara.' Finar mendengus tersinggung pada kakaknya yang menertawakannya. "Sepertinya Keydo masih mempercayai kakak. Mungkin dia akan membiarkan Finar keluar kalau kakak menjamin Finar."
Alan mengangguk-angguk membenarkan kalimat Finar, "Mungkin saja. Tapi... kau mungkin juga bisa mendapatkan kehidupan normalmu seperti... kerja atau sekedar jalan-jalan untuk berbelanja." ia menghentikan kalimatnya. Sejenak mengamati wajah Finar yang mulai berbinar gembira, "Kalau kau bisa membuat Keydo percaya padamu."
Seketika senyum itu lenyap dari wajah Finar. Menghembuskan nafas beratnya dan berubah muram lagi, "Apa tidak ada saran yang lebih buruk dari itu?" cibirnya.
"Dengarkan kakak." Alan merubah posisi duduknya. Menghadap lurus ke arah Finar sebelum melanjutkan, "Apa yang membuat kakak menerima Keydo sebagai suamimu? Walaupun kakak tahu kau dan layel saling... maksud kakak, pernah saling mencintai."
"Memangnya apa lagi. Ancaman Keydo, bukan?" dengus Finar.
"Apa kau kira kakak sepengecut itu sampai takut dengan suamimu?"
"Lalu?" tanya Finar mengerutkan keningnya penasaran.
Alan menangkup kedua pipi Finar. Mendongakkan kepala Finar sehingga mata mereka saling berpandangan . "Karena kakak lebih percaya pada Keydo daripada Layel. Maafkan kakak. Mungkin kakak egois, tapi kau tahu kakak sangat menyayangimu, bukan?"
"Apa sebegitu besarnya kepercayaan kakak pada Keydo?" tanya Finar mencebik.
Alan mengangguk mantap tanpa ragu-ragu, "Selain darah dan istri kakak, hanya Darius dan Keydo orang yang paling kakak percaya. Kau tahu itu, kan?"
"Jika Finar mengatakan kalau Keydo berniat membunuh Finar, apa kakak akan percaya?" tanya Finar sarkatis. Tidak dapat menyembunyikan nada sinis dalam suaranya.
Alan hanya tertawa geli. Apa sampai sebegitu bencinyakah adiknya ini sampai menanyakan hal seperti itu padanya? tentu saja Keydo tidak akan membunuh adiknya.
Finar mendengus. Tersinggung dengna reaksi yang ditunjukkan Alan. Kakaknya itu lebih mempercayai dan membela Keydo daripada dirinya. Sialan... kepercayaan mereka terlalu kuat dan ia tak punya bukti kegilaan Keydo untuk ditunjukkan pada kakaknya.
"Kakak lebih membelanya." gerutu Finar tak terima bahwa ucapan Keydo benar adanya.
Alan mengangkat tangannya, mengusap puncak kepala Finar dengan sayang. "Tenangnlah, dia tidak mungkin melakukan itu." ucapnya menenangkan adiknya.
Benarkan...
Kakaknya itu terlalu buta. Padahal jelas-jelas dirinya sendiri yang mengalami percobaan pembunuhan itu. Untung saja dirinya tidak mati sia-sia, walaupun harus sedikit menurunkan harga dirinya untuk memohon pada pria itu atas nyawanya.
"Apa kau percaya pada kakak?" tanya Alan. Nada dalam suaranya berubah serius.
Finar tertegun sejenak sebelum menganggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia mempercayai kakaknya. Lagipula, ia tak punya alasan untuk tidak mempercayai kakaknya. Dan kakaknya juga tidak akan membunuhnya sebesar apapun kesalahan yang dibuatnya. Hanya saja...
"Kalau begitu, buat Keydo percaya padamu."
Finar mendesah ringan. Memutar kedua bola matanya. Tidak ini lagi. "Bagaimana mungkin Keydo bisa mempercayai Finar, sedangkan Finar sendiri tidak bisa mempercayai pria itu." gerutunya pelan.
'Terutama setelah percobaan pembunuhan itu.' tambah Finar dalam hati.
"Kenapa kau tidak bisa mempercayai Keydo?" tanya Alan. Alisnya terangkat salah satu menunggu jawaban ketika yang ditanya justru malah membisu.
"Dia sudah menipu Finar." jawab Finar setelah beberapa saat terdiam. Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada kakaknya. Hanya akan membuatnya semakin bodoh ketika Keydo dengan santainya mengatakan akan membeberkan semuanya pada kakaknya. Pasti ada kartu tersembunyi yang dipegang pria itu di belakangnya.
"Tapi dia tidak punya niat jahat terhadapmu."
"Tidak pernahkah... kakak memikirkan. Bahwa Keydo dan kak Darius selama ini... atau suatu saat akan membohongi kakak?" Finar menghentikan kalimatnya. Mengamati dengan seksama wajah kakaknya sebelum melanjutkan, "Mungkin... menusuk kakak dari belakang?"
Alan menggeleng. Sekali lagi dengan mantap dan tanpa keraguan sedikitpun, "Keydo memang sedikit kejam..."
'Sedikit?' Finar mengerang protes dalam hati. Tidak bisa menahan matanya yang kini melotot tak percaya dengan kalimat kakaknya. Masih tak habis pikir kepercayaan macam apa yang dimiliki kakaknya dan kedua sahabat gilanya itu.
"... tapi dia bukan orag licik yang akan menusuk siapapun dari belakang." tambah Alan melanjutkan. Tidak mempedulikan tatapan protes Finar, "Setalah apa yang kau lakukan padanya setahun yang lalu, sekarang kakak bisa menjamin itu."
Kali ini mulut Finar benar-benar terkatup rapat. Perasaan bersalah dan ketakutannya akan dirinya yang hampir menjadi seorang pembunuh kembali menyergapnya.
"Sudahlah." Alan membuyarkan lamunan Finar. Tatapan sedih itu, ia tak mau melihatnya di mata Finar lagi. "Hanya itu yang bisa kakak sarankan padamu. Pilihan ada di tanganmu. Jika kau percaya pada kakak, maka Keydo dan Darius juga orang yang bisa kau percayai."
Finar masih tercenung. Keningnya berkerut semakin dalam menunjukkan bahwa otaknya masih berpikir dengan keras untuk mencerna kalimat kakaknya.
***
Sunday, 14 May 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top