11. Loyal?


Taken by you 2

###

Part 11

Loyal?

###

Matanya mengerjap. Melawan kantuk yang sangat pekat untuk memaksanya membuka mata dengan sangat malas ketika rasa lembab itu membuatnya merasa terganggu.

Finar terbangun. Merasakan lengan Keydo yang melingkar di pinggangnya di balik selimut tebal. Dengan gerakan selembut mungkin, ia menarik lengan pria itu. Menyingkap selimut tebal itu untuk melihat apa yang mengganggu kenyamanan tidurnya. Dan ia mengumpat lirih ketika mendapati kelembaban di pangkal pahanya adalah tamu bulanannya. Segera ia mengedarkan pandangannya mencari di antara pakaian yang berhamburan di sekitar ranjang. Pakaiannya yang bercampur pakaian Keydo ketika pria itu melucutinya. Karena tak melihat dress yang dikenakannya tadi, Finar pun memilih menggapai kemeja hitam pria itu yang ada di ujung kakinya. Setelah mengenakannya, segera ia beranjak turun dari atas ranjang dan melangkah ke kamar mandi.

Lima menit kemudian, Finar keluar dari kamar mandi. Melangkah memutari ranjang dengan langkah berat dan penuh keraguan. Menatap sosok yang masih terlelap dalam tidurnya. Sejenak hanya berdiam diri di samping ranjang. Tampak berpikir. Sebelum akhirnya mengusir keraguannya dan mengangkat tangan mengguncang pelan lengan Keydo. Membangunkan pria itu.

Keydo mengerang karena tidur lelapnya diganggu. Sekalipun matanya langsung tersadar dengan sentuhan Finar dan menggumam dengan malas, "Ada apa?"

Finar bungkam. Masih berpikir ulang untuk mengatakannya pada Keydo.

"Tidurlah. Kau tahu jam berapa ini," pinta Keydo dengan kesal karena tidurnya diganggu oleh alasan tidak jelas seperti ini.

"Aku... aku membutuhkan sesuatu," lirih Finar. Mengabaikan rasa malunya.

Keydo mendecakkan lidah. Menatap mencemooh ke arah Finar. "Selama setahun hidup miskin, apa kau lupa caranya memesan layanan kamar?"

Jika saja ia tidak membutuhkan pria itu, ia tidak akan menahan diri untuk melemparkan apa pun yang bisa digapainya ke wajah pria itu.

"Kau masih fasih berbahasa inggris, bukan? Dan kurasa kau juga tidak mungkin tiba-tiba buta huruf selama setahun karena kurang gizi?" Keydo mengedikkan dagunya ke arah kertas petunjuk bertuliskan nomor layanan hotel yang tergeletak di samping telepon di atas nakas.

"Aku tidak bisa," desis Finar. Matanya melotot tersinggung.

"Tidak bisa apa?!"

Finar kembali bungkam.

Keydo mendecakkan lidahnya sekali lagi. Dengan malas ia bangkit terduduk dari tidurnya dan bersandar di kepala ranjang. "Apa yang kau butuhkan?"

"Aku... aku mendapatkan... haidku," lirih Finar akhirnya sambil membuang mukanya karena malu.

Keydo tertegun. Matanya menangkap ujung kemeja miliknya yang di pakai Finar. Hampir tak menutupi seluruh kulit mulus dan menggoda istrinya sepanjang paha.

'Haid?' gumamnya dalam hati. Lalu pandangannya naik ke atas, mengamati wajah Finar sejenak. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa atas pernyataan istrinya itu, karena jujur ia tak tahu menahu tentang urusan wanita yang satu itu.

Finar melirik ke arah Keydo yang masih terdiam. Perlahan dia menoleh ke arah pria itu untuk melihatnya, "Aku... membutuhkan pembalut."

Keydo mengerjap. Mengedikkan bahunya kaku sebelum mengangkat gagang telefon di samping. "Baiklah."

"Aku tidak akan membangunkanmu jika aku bisa memesannya lewat layanan kamar, Keydo." Menyambar gagang telepon dari tangan Keydo dan mengembalikannya ke tempat semula.

Keydo mengernyit. Mendongak menatap wajah Finar tak mengerti, "Apa maksudmu?"

"Aku tidak terbiasa menyuruh orang asing untuk membelikannya. Jadi, bisakah kau turun ke bawah dan mencarikannya di apotek atau minimarket 24 jam di sekitar hotel?"

Mata Keydo seketika melotot. "Kau tidak mungkin menyuruhku turun ke bawah, berkeliling mencari apotek atau minimarket hanya untuk membelikanmu barang seperti itu, bukan? Tengah malam begini?"

"Kau tahu aku lebih tidak mungkin lagi untuk turun ke bawah dan membelinya."

"Kenapa harus aku?" Suara Keydo naik satu nada, "Kita bisa menggunakan layanan kamar."

"Ini tengah malam, Keydo. Aku tidak mau merepotkan pegawai hotel."

"Lalu? Kau lebih memilih merepotkan aku daripada pegawai hotel?"

"Aku tidak mau orang asing membelikannya."

"Memangnya apa bedanya buatmu aku atau pegawai hotel yang kau bilang orang asing itu untuk membelikannya?" Keydo tak bersusah payah menahan nada mencemooh dan menekan suaranya di kata orang asing. Tak habis pikir dengan pemikiran yang dipilih oleh Finar tentang orang asing.

"Tentu saja berbeda buatku. Mereka orang asing. Dan kau, setidaknya kau adalah sahabat kakakku. Juga suamiku," jawab Finar menekan suaranya di setiap kata-katanya. "Kau bilang kau benar-benar serius tentang pernikahan ini, kan? Sebagai suami, sudah kewajibanmu memenuhi kebutuhanku. Apa kau ingin mengingkari kata-katamu sendiri?"

Keydo akan membuka mulutnya untuk menjawab, tapi ia kehabisan kata-katanya untuk menjawab pertanyaan istrinya itu. Membuatnya memejamkan mata, menghembuskan nafasnya dalam-dalam guna menenangkan dirinya sendiri. Dan setelah membuka matanya kembali, dengan gerakan gusar ia menyingkap selimut dan turun dari atas ranjang. Menatap tajam ke arah Finar sambil mendesis, "Kau harus membayar mahal untuk ini, Finar."

***

"Berapa hari biasanya kau menyelesaikan haidmu itu?" tanya Keydo. Meletakkan cangkir coklat hangat setelah menandaskan isinya. Menatap penuh selidik ke arah Finar yang ada di seberangnya, masih sibuk menghabiskan sisa makan malam mereka.

Finar berhenti mengunyah potongan steak yang sudah hampir hancur di mulutnya untuk ditelan. Membalas tatapan pria itu, "Kenapa?"

Keydo mengedikkan bahu. Menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan berkata, "Kau tahu liburan ini untuk bersenang-senang, bukan? Jika aku tidak bisa menyentuhmu, bagaimana aku bisa bersenang-senang?"

Finar terdiam. Tiba-tiba saja pipinya memanas karena pernyataan vulgar Keydo. Sekaligus tak percaya pria mengatakannya dengan begitu terus terang.

'Tidak bisa menyentuhku pria itu bilang?' tanya Finar tak percaya dalam hati.

Lalu? Apa yang dilakukan pria itu selama dua malam terakhir ini padanya setelah ia mendapatkan haidnya. Pria itu tak berhenti menciuminya hampir di seluruh tubuh. Menyentuhnya di mana pun pria itu menginginkannya. Lalu setelah puas, selalu berakhir dengan menggeram marah seakan menahan sesuatu dan pergi ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya tanpa alasan yang jelas. Sekalipun waktu itu hampir tengah malam.

Dan setelah keluar dari kamar mandi, tiba-tiba dirinya berubah menjadi makhluk tak kasat mata bagi Keydo. Pria itu sama sekali tak mau memandangnya. Mengambil tempat tidur di sisi yang paling ujung dan tidur sambil memunggunginya dengan rambut basah.

"Aku butuh jawabanmu. Bukan tatapan konyolmu itu." Suara Keydo membuat Finar mengerjap dan tersadar dari lamunannya. Ia benar-benar kesal dua malam terakhir ini tak bisa menyentuh Finar karena datang bulan sialan itu. Untuk itu, ia harus tahu berapa malam lagi ia akan mengguyur tubuhmu dengan air dingin demi meredakan gairahnya ketika berhadapan dengan tubuh molek Finar. Benar-benar butuh pengendalian diri yang cukup tinggi untuk berada di sekitar wanita itu. Bahkan sekarang ia tak bisa berhenti menelusuri tubuh Finar dari atas ke bawah tanpa membayangkan ketika wanita itu telanjang dan berada di bawah tubuhnya.

Keydo menggelengkan kepalanya kecil. Membuang pikiran-pikiran kotor itu dari kepalanya sambil mengumpat dalam hati. 'Sejak kapan aku berubah menjadi mata keranjang seperti ini?'

"Biasanya lima hari," jawab Finar lirih. Kembali menundukkan pandangannya untuk menyelesaikan makan malam yang tersisa sesuap lagi.

"Kalau begitu, kita pulang seminggu lagi," putus Keydo tiba-tiba. Menyilangkan kedua lengan di depan dada dengan sikap tenang sekalipun matanya memandang Finar dengan tatapan tajam dan penuh niat tersembunyi, "Kau harus mengganti hari yang terbuang sia-sia karena haid sialanmu itu."

Finar terpaku. Hilang sudah seleranya untuk menghabiskan satu potong steak yang tersisa. Mendongakkan kepalanya kembali dan berkata, "Apa bagimu aku hanya pelampiasan nafsumu saja?"

"Ya. Tentu saja," jawab Keydo tanpa ragu-ragu.

Kedua tangan Finar mengepal menahan amarahnya. Giginya mengertak menahan diri untuk tidak menghambur ke arah pria itu dan menyerbunya dengan segala macam pukulan yang ia bisa hadiahkan.

Akal sehatnya mengatakan bahwa ia tidak akan menang. Ia tidak akan bisa melemparkan satu pukulan pun pada pria itu mengingat semua pengalaman-pengalaman sebelumnya. Malah akan membuat pria itu semakin gencar menindasnya.

Baiklah...

Ia hanya bisa menunggu. Bersabar menunggu kesempatannya untuk melemparkan pukulannya.

***

Repost, Thursday, 01 August 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top