03
"Apa pentingnya sebuah kuasa? "
Entahlah, aku pernah mendengar pertanyaan seperti itu sewaktu masih berada di tubuh pemilik yang lama. Suara yang halus dan lembut. Bertanya dengan nada polos dan lugu.
Angin berhembus pelan. Menunggu si pelaku menjawab. Namun kian detik berjalan, tiada suara kunjung terdengar.
Bocah kecil itu tidak menunggu, terpaut diam sambil memainkan jari-jemarinya yang mungil. Rambut merah sebahunya berkibar tatkala angin memainkan hembusannya. Si kecil tidak peduli, manik emasnya menatap sosok yang duduk sebelahnya dalam bisu.
Daun-daun berterbangan terbawa angin. Rasa dingin dan geli terasa menggelitik.
"Kau akan mengerti ketika kau dewasa, Kira'na."
Jawaban sederhana yang tidak menjawab apapun. Sosok gadis kecil berumur lima tahun itu hanya mengangguk, sok paham. Meski sebenarnya ia bahkan tidak tahu apa yang tengah ia tanyakan.
Matanya perlahan menutup.
"Guna sebuah kuasa akan berbeda tergantung pemikiran orang-orang. Bagiku, kuasa hanyalah kuasa. Tidak ada alasan bagiku memikirkan apa yang dipikirkan oleh entitas bernama kuasa. "
"Namun terkadang, mereka seperti hidup, " lanjutnya.
"Benarkah?" sahut bocah itu.
Anggukan tipis terlihat. "Saat kuasa ini turun kepadamu, kuharap kau bisa merasakannya. "
Itu kata-kata yang tidak bisa kumengerti, setelah itu, semua memori itu menghilang bagai debu yang berterbangan.
Tubuhku melayang dalam ruang hampa yang redup cahayanya. Sesekali terhuyung pelan ke sisi lain yang tidak ada ujungnya.
Perlahan-lahan terlihat cahaya yang mengabur dari diriku sendiri. Sepertinya aku akan segera menghilang. Tidak tahu akan jadi bagaimana selanjutnya atau akan bertemu siapa.
Terakhir yang kuingat, aku bertemu Boboiboy. Aku menusuknya menggunakan tubuh pemilik terdahulu atas suruhan Kira'na. Meski aku ingin menolak paham alasan Kira'na seperti itu. Justru semua alasannya tertuju padaku.
Sesaat memasuki pedang yang menyerap ku. Aku mendapatkan banyak informasi dan hal-hal yang diketahui Kira'na. Bahkan mengenai sosok ayahnya yang tiada karena perang besar hari itu.
Dirinya yang menangis sesenggukan di bawah rinai hujan, di depan jasad tak bernyawa ayahnya. Menyalahkan diri sendiri yang tidak mampu menyelamatkan dan ikut membantu ketika perang terjadi.
Hari itu, Kira'na kehilangan seseorang yang penting baginya.
Kira'na mengutuk dirinya sendiri sejak hari itu.
'Ah, kapan ini akan berakhir? '
Suara-suara terus terngiang dan berbicara di dalam kepala. Suara-suara para terdahulu semuanya kini bercampur aduk dalam rinai yang sama. Bahkan rasa sakit yang menyatu.
Aku mau pulang.
Sesungguhnya, aku hanya ingin pulang. Ke tempat yang membuatku tenang.
Dia si pemilik berhati bersih dan murni. Tidak ada satupun hal jahat terlintas kecuali kejahilan semata. Bocah bumi pertama yang kutemui setelah melintas galaksi beratus-ratus tahun lamanya.
Aku ingin kembali padanya.
Tidak peduli apa yang terjadi. Meski di sana selalu ribut karena ada elemental lain. Meski ada Taufan yang mengoceh atau Gempa dengan senyum mautnya. Aku tidak peduli.
"Bawa aku pulang. "
"HALII!!"
Aku tercekat. Kupendarkan pandangan. Mencari asal suara yang familiar. Namun nihil, tak kutemukan siapapun.
"HALILINTAR!!"
Setelah suara itu kembali terdengar, aku merasakan sentakan kuat pada tubuhku. Samar-samar, kulihat visual Boboiboy kembali melekat padaku. Meski seolah akan menghilang. Dan itu pun sudah tembus pandang seluruhnya.
Aku mengais-ngais keberadaan orang yang memanggilku. Aku melayang kesana kemari, tidak mau visual ini kembali menghilang.
Setitik harapan muncul di benakku. Harapan yang membuatku berharap Boboiboy datang menjemputku.
"Kumohon."
Sekeliling mulai menggelap. Visual pun semakin memudar. Harapan semakin menghilang. Tenagaku yang menggebu-gebu kini sudah melemas.
Air mataku turun, melayang-layang di udara.
"Selamatkan aku, Boboiboy. "
.
.
.
"Astaga, kau datang terlalu pagi, Yaya." Ying menggerutu dengan kesal. Tapi tertawa akhirnya melihat Yaya yang justru hanya tersenyum saja.
"Biar duluan." Yaya berkata tanpa merasa bersalah. Justru memberikan ekspresi kalem seperti biasa.
"Mau menemui yang lain dulu?"
"Kamu berani?" tanyanya.
Suasana mendadak hening. Ying memalingkan wajah, Yaya tersenyum dengan banyak arti. Sorot matanya teduh, ia melihat ke lantai dengan ekspresi murung.
"Mereka teman kita, " ujarnya. "Masa kita canggung. "
"Mana tahu begitu. "
Salah satunya memulai langkah hingga akhirnya mereka berdua berjalan beriringan.
"Dia sudah bangun? "
"Terakhir kulihat, belum. "
"Sudah berapa lama ya? "
"Entahlah, aku pun sudah tak bisa mengingat hari. "
Langkah mereka pada akhirnya membuat mereka sampai di depan pintu yang familiar. Sebuah pintu dimana teman mereka berada.
Dering ringtone terdengar. Yaya melirik ke arah handphone, mengambil, lalu mengecek isi pesannya. "Sudah bangun. "
Terdengar samar-samar suara teman mereka dari dalam kamar. Ying menarik ujung baju Yaya. Yaya melirik, melihat ekspresi Ying yang tertutupi rambut.
"Maaf, aku tidak bisa. "
"Kenapa? "
Tidak perlu jawaban pasti. Yaya sudah tahu jelas alasan Ying bersikap demikian. Bukan karena rasa bersalah. Melainkan rasa penyesalan. Dan benak penuh tanda-tanya.
Hari itu, mereka hanyalah murid SMP. Umur mereka masih muda. Tapi mereka telah dianugerahi kekuatan yang membuat mereka memiliki kewajiban untuk menyelamatkan orang-orang.
Namun, kenapa takdir memilih mereka?
Apa mereka dipanggil hanya untuk merasakan hari ini?
Di hari Boboiboy kehilangan Halilintar. Itu adalah momen mereka bertarung sejadi-jadinya. Bahkan bagaimana ketika teman mereka sendiri berkhianat.
Berkali-kali mereka dikhianati teman mereka sendiri. Namun hati masih menginginkan mereka untuk kembali. Dan tak mengerti seberapa besar luka akibat hal tersebut.
Elemental lain terancam keberadaannya. Begitu juga dengan Boboiboy yang drop kondisinya. Semua berakhir dengan seri. Namun masih terlihat jelas bagaimana peperangan dingin akan terus terjadi.
Mereka tahu jelas akan perbedaan sifat Boboiboy semenjak hari itu. Ia gagal menyelamatkan elementalnya sendiri. Bahkan harus menghadapi orang-orang yang terus memanfaatkan kejadian tersebut untuk mengalahkan Boboiboy yang melemah.
Mereka tidak bisa lagi melanjutkannya.
Semua berakhir.
Semua sudah usai.
Pulang adalah satu-satunya pilihan teraman bagi mereka.
Yaya melihat ponsel. Chat dari Gopal yang menyuruh mereka segera ke rumah sakit untuk menjenguk Boboiboy yang sudah siuman.
Menanggapi hal tersebut. Sudah pasti suara yang berada di dalam kamar tersebut adalah milik teman tempatnya ini.
"Kamu sanggup lihat wajahnya? "
"Nggak."
"Jadi, kita nggak jadi masuk? "
Senyap, Ying tidak menjawabnya.
Kemudian terdengar suara isak tangis. Ying menangis dengan bajunya yang bergetar. Kedua tangan menutupi wajahnya. Yaya menunduk, membuat ekspresi sendu.
"Maaf Yaya, aku memang ingin menemui Boboiboy lagi, tapi ... " Ia mengusap air matanya. "Aku tidak sanggup melihat ekspresinya. "
Yaya diam saja tidak menjawab. Ia memaklumi tangis Ying. Ia sejujurnya juga tidak sanggup melihat wajah Boboiboy yang sekarang. Apalagi fakta bahwa Halilintar sudah tak ada lagi bersama mereka. Ditambah Boboiboy baru sadar setelah beberapa tahun.
Kejadian malang yang menimpa mereka. Membuat mereka terpuruk.
Lalu detik-detik ketika mereka ingin merebut Halilintar kembali justru terjebak ke malapetaka. Perebutan gagal. Justru Halilintar yang menghilang. Simbol petir itu menghilang permanen dari jam tangan Boboiboy.
Tidak di musuh, maupun Boboiboy. Halilintar hilang sepenuhnya.
Komandan Kokoci mengatakan mungkin hal tersebut terjadi karena paksaan tarikan antara Boboiboy dari tubuh palsu Satriantar yang membuat elemen Halilintar terpecah dan hancur berkeping-keping.
Dan jejak itu sama sekali tidak bisa ditemukan hingga kini.
Boboiboy belum mengetahui hal itu. Apa yang harus mereka katakan padanya?
.
.
.
"Aku tahu. "
Suara dengan nada rendah dan serak itu membuat seisi ruangan terkejut. Gopal, Yaya dan Ying tidak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka.
Gopal memberitahukan soal kejadian hari itu karena Boboiboy meminta. Beserta perihal Halilintar yang tak lagi bersamanya.
Mungkin kejadian itu terlalu cepat berlalu. Hingga mereka tidak bisa memprediksi apa yang terjadi. Namun Boboiboy tidak memberikan ekspresi apapun. Diam dalam wajah sakitnya.
"Maaf, kalian pasti kerepotan selama ini. "
"Tidak, kami sungguh bersyukur kau tidak kenapa-napa. " Gopal memeluk sahabat karibnya sembari menangis. Fang tidak ada diantara mereka.
Dan Boboiboy yang mereka kenal, sudah tidak ada sekarang.
Yang ada hanya Boboiboy yang gagal menyelamatkan elemental dan sahabatnya.
Berlalu waktu cukup lama. Hari menunjukkan bahwa sudah lama mereka berbincang. Jam menunjukkan pukul 5 sore. Gopal, Yaya dan Ying pamit dan berjanji menemui Boboiboy esok hari.
Pintu tertutup, suasana ruangan langsung sepi dan senyap.
Boboiboy mengalihkan pandangannya. Menghadap ke arah jendela dimana jendela itu masih terbuka dan gorden nya beterbangan.
Cahaya jingga memenuhi ruangan. Boboiboy menghela napas, kini ia sendiri akhirnya.
Air matanya turun. Pandangannya tanpa cahaya. Ia hanya bisa menatap bulir-bulir air mata yang terus berjatuhan di tangannya.
Ingatannya berlabuh ke momen ketika ia ditusuk oleh tubuh berbentuk Satriantar. Saat itu, bisa ia lihat visual Halilintar yang tersenyum ke arahnya. Dan meminta untuk membawanya pulang.
Halilintar saat itu memohon padanya untuk membawanya pulang.
Namun, semua berakhir dengan cepat. Dimana Fang juga disana untuk mengalahkannya. Hingga ia tergeletak tak sadarkan diri dan hancur melihat Halilintar.
Elemental petir itu, menangis.
Bagaimana mungkin Boboiboy tega. Ia sudah sebisa mungkin meraihnya. Meraih elementalnya itu. Namun apa daya, ia justru kehilangannya.
Guncangan itu membuat mental Boboiboy jatuh.
Dan Halilintar, hilang selamanya.
"Maaf, Halilintar... "
"Aku gagal, menyelamatkanmu ... "
Penyesalan yang terus berlabuh pada Boboiboy.
Dan kisah seorang pahlawan bernama Boboiboy, berakhir disini.
.
.
.
Tidak peduli seberapa banyak dirimu merasa sakit.
Tidak peduli seberapa banyak pula dirimu menangis.
Aku hanya disini.
Aku selalu disini.
Tiada penyesalan bagiku memiliki tuan sehebat dirimu dan sebaik dirimu.
Aku bersyukur diantara milyaran manusia, aku bisa bertemu denganmu.
Aku beruntung pernah berpetualang bersamamu.
Seandainya kita bertemu lagi dan aku ditakdirkan untuk bersama denganmu, sungguh, aku akan menerimanya dengan senang hati.
Karena itu, Boboiboy. Jangan bersedih.
Sesungguhnya, aku selalu disini.
Aku mencintaimu sebanyak yang aku bisa.
Aku Halilintar--
.
.
.
***end***
A/n:
Demi apapun, akhirnya aku menyelesaikan ini.
Maaf terlampau lama.
Sekian fic Halilintar saya persembahkan.
Terima kasih dan sampai jumpa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top