02

"Ah ..."

Solar menghilang.

Semua kaku. Semua diam. Saat Retakka menghempaskan kami dengan kekuatannya, kami semua terhempas ke belakang dengan kuat.

Aku terjatuh ke lantai. Tidak sanggup berdiri. Selain karena sudah kelelahan, rasa takut pun menguasai.

Aku takut.

Sesuatu menarik tanganku. Menyeretku hingga menemui wajah Retakka yang tersenyum ganas. Bersama dengan Taufan dan Duri yang kini tak lagi sadarkan diri.

Di tengah-tengah kesadaranku yang makin lenyap. Aku menatap Retakka, berkata dengan lemah. "L-lepaskan aku."

"Jangan harap!"

Lalu lagi-lagi ia melakukannya. Seluruh tubuhku rasanya terserap. Rasa sakit yang lagi-lagi kembali. Bersama teriakan Taufan dan Duri yang mengudara.

Aku berteriak. Mencoba bergerak. Namun apa daya. Kami tidak sanggup melawan.

Perlahan. Kesadaranku ditarik paksa untuk berpindah ke tubuh Retakka. Begitu juga yang lain.

Lalu hal terakhir yang bisa aku lihat.

Gempa di sana, menangis.

"Maaf, Gempa."

"Maaf, Boboiboy."

Kesadaranku mulai lenyap.

"Maaf ... Master."

.

.

.

Aku membuka mata. Kulihat dimensi yang telah berbeda. Sunyi, sepi, dingin dan gelap. Sungguh dimensi yang sangat berbeda dari Boboiboy.

Aku tidak bisa menemukan yang lain. Teramat gelap tempat ini.

Aku berusaha untuk duduk. Menatap sekitar.

Tiba-tiba ada begitu banyak tali-tali yang menjalar. Meraih tubuhku dan menjeratnya. Mengikat hampir semua bagian tubuh hingga aku tidak bisa bergerak.

Perlahan-lahan seperti ada yang ditarik. Begitu aku kembali membuka mata. Aku bisa melihat visualku yang terjerat itu. Dalam kondisi rapuh dan hancur.

Aku melayang. Kusadari kini aku telah kembali menjadi sebatas kuasa tanpa visual. Hanya melayang-layang di dimensi ini. Tidak bisa berbicara, tidak bisa bergerak, tidak bisa melawan.

Bahkan rasanya pikiran dan perasaanku mulai lenyap.

Bagaimana dengan yang lain?

Apakah mereka merasakan hal yang sama?

Tidak, aku hanya sebatas kuasa. Aku tidak punya izin untuk melawan pemilik. Kuasa hanya kuasa. Aku tidak bisa memilih kemana aku akan pergi.

Lagi-lagi ku tutup mata. Menolak untuk melihat dunia. Menolak untuk berpetualang bersama seorang penjahat galaksi.

Aku sudah terlalu takut.

.

.

.

"Kau tak pantas memakai kuasa ini."

Tiba-tiba aku terseret lagi. Tertarik secara paksa. Dan tiba-tiba, berada dalam dimensi yang putih itu lagi.

Perlahan-lahan, aku kembali memiliki tubuh dan visual lagi. Aku menengadah, menemukan elemental lain yang juga baru kembali.

Mereka tersenyum.

"Kami berhasil menjemput kalian, apa kalian baik-baik saja?"

Taufan dan Duri menangis. Tidak menyangka bahwa mereka akan kembali lagi secepat ini.

Dan aku hanya--

"Halilintar."

"Ya?"

Gempa menengok ke arah lain. "Giliranmu."

Setelah Gempa mengatakan hal tersebut. Aku tiba-tiba tertarik keluar. Bersama dengan Solar.

Secara intuisi. Aku bergerak untuk menyatu dengan Solar.

Sekelebat cahaya muncul dengan terang. Aku dan Solar telah menyatu. Menjadi sesosok entiti baru.

"Boboiboy Supra!"

Aku bengong begitu melihat hal ini. Solar menyenggol tanganku. "Boboiboy itu spesial," ujarnya.

Kemudian ia tersenyum. "Aku menyukainya."

Kami berdua yang telah tergabung sebagai Supra. Akhirnya menembak dengan kekuatan penuh hingga Retakka terpental ke luar angkasa.

Kami turun. Kembali ke wujud Boboiboy. Boboiboy terhuyung. Saat Boboiboy jatuh ke air yang dingin, kami juga ikut kehilangan kesadaran kami.

.

.

.

"Hahaha! Tak dapat tangkap! Tak dapat tangkap!"

Suara riuh terdengar di lorong-lorong. Blaze, Duri dan Taufan bermain kejar-kejaran di dalam markas.

Mereka menganggu Solar lagi. Hal itu membuat Solar marah dan mengejar mereka bertiga.

Aku duduk agak jauh. Tidak mau ikut diganggu. Tiba-tiba muncul Ice di sebelahku dengan berbaring di atas gelembung airnya.

"Kalau mau tidur, di kamar," ujarku. Ice hanya memasang wajah bantal. Tidak terlalu mendengarkan.

Sudah lama sejak kejadian itu berlalu. Kami bersenang-senang sebagai elemental milik Boboiboy. Tidak banyak yang berubah. Berkat Retakka yang telah menghilang total. Kami semua merasa takkan diganggu lagi.

"Kau lagi memikirkan sesuatu, ya?" tanya Ice padaku. Aku memberikan ekspresi bingung.

"Apa maksudmu? Nggak tuh."

"Aku tahu kau tsundere, tapi kau nggak harus tsundere terhadap segala hal, kan?"

Aku menghentak meja dengan wajah marah. "Apa sih?"

"Kalem bro." Ice menunjukkan kedua telapak tangannya ke arahku.

Kami berdua diam lagi. Kini melihat ke arah Taufan, Blaze dan Duri yang entah sedang merencanakan apa lagi. Suasana mendadak sunyi. Kemudian lagi-lagi Ice berbicara.

"Semua elemental sudah bersenang-senang."

"Lalu?"

Ice mengembuskan napas. "Cuma kau yang tampaknya disini masih belum move on dari pemilik yang sebelumnya."

Aku mengerutkan dahi. Bagaimana bisa ia berspekulasi seperti itu?

Padahal aku biasa saja.

"Kau itu adalah elemental yang sering dipakai oleh Boboiboy."

"Lantas?"

"Apa kau selalu berpikir bahwa Satriantar lebih baik daripada Boboiboy?"

Deg!

"A-aku tidak pernah mengatakan itu." Aku mengelak. Tapi entah kenapa, aku sedikit takut.

"Kau akan tahu berharganya Boboiboy nanti." Ice menutup matanya untuk tidur. "Orang-orang bilang kalau segala sesuatu itu baru terasa spesial saat dia sudah tak ada lagi."

"Mungkin suatu hari, akan ada momen dimana kau harus memilih antara Satriantar atau Boboiboy." Ice berkata demikian. Aku menunduk.

"Satriantar sudah mati."

Ice mengangkat bahu. "Mungkin saja nanti, dia hidup lagi."

Aku melirik sedikit ke Ice. Lalu terkekeh singkat. "Ya, mungkin."

.

.

.

"Tolong ..."

Sesuatu yang kuat menarikku. Gopal dan Kaizo memberikan ekspresi panik.

Semua berawal dari kedatangan kami ke planet Gurlatan demi mendapatkan kuasa tahap 3. Menemui putri Kira'na. Perempuan itu mengkhianati kami.

Dengan pedang itu.

"Akh!"

"Boboiboy!"

Boboiboy jatuh ke lantai. Tak sadarkan diri. Sementara diriku tertarik masuk ke dalam sebuah pedang.

Bisa kulihat sosok terakhir Boboiboy yang terkapar tidak berdaya di atas lantai dingin.

Tolong aku, Boboiboy.

.

.

.

Gelap.

Dingin.

Seperti tidak ada kehidupan.

Aku melayang-layang tanpa keinginan untuk bergerak. Pikiranku kacau. Tatapan mataku kosong. Hanya mengikuti udara yang kian bergerak mengubah posisiku.

Ku tatap tubuhku yang melayang. Visual Boboiboy masih ada padaku. Pakaian berwarna dominan hitam dan merah yang telah menjadi simbolku.

Aku kuasa.

Aku tidak punya perasaan.

"... Aku tidak mengerti ..."

Tapi kenapa rasanya dadaku sesak?

Kenapa rasanya aku takut kehilangan?

Aku seperti memiliki luka. Tapi tidak ada darah. Seolah luka itu telah menyakiti seluruh tubuhku. Bahkan isi pikiranku.

Aku rasanya sakit.

Taufan ... Gempa ...

Tolong aku, hentikan ini.

Aku bergerak. Tanganku bergerak menutup telinga. Kurasakan dahi yang berkenyit.

"Aku tidak butuh tahap 3."

"Aku tidak butuh apa-apa."

Untuk pertama kalinya. Air mata itu keluar.

"Boboiboy, aku merindukanmu."

.

.

.

Waktu terus berlalu. Berputar. Tidak pasti telah berapa lama diriku terperangkap dalam tempat ini.

Yang bisa kulakukan hanya menutup mata dan menolak mengetahui apapun. Kutolak rasa sakit yang akan terus menyerang.

Kubiarkan diriku kembali ke asalnya. Kembali ke diriku sebenarnya. Kembali pada asal muasal ketika tidak memiliki perasaan apapun.

Aku hanyalah sebuah kuasa.

Kami tidak dibuat untuk mengeluh. Kami tidak dibuat untuk memilih. Kami hanya mengikut pada takdir yang telah mengikat kami.

Kami hanyalah kuasa yang bahkan tidak mengerti kenapa diciptakan dan ada di dunia ini.

Aku diam.

Dalam gelap dan sunyi. Aku membuka kelopak mataku perlahan. Melihat tubuhku masih dalam wujud pemilik terakhirku. Tidak memudar atau menghilang seperti waktu aku berada di dalam Retakka.

Satu musuh menghilang, muncul musuh lainnya.

Seakan dunia memang tidak diciptakan untuk damai.

Pahlawan ataupun penjahat. Apalah artinya hal tersebut bagi sebuah kuasa.

Bagi mereka, kami bukanlah siapa-siapa.

"Ya, Boboiboy pasti merasa begitu."

Anganku gelap. Pikiranku membawa dalam duka.

"Dia punya banyak elemental selain aku."

Entah kenapa, perasaan ini makin pekat adanya. Kucoba untuk tidak memikirkan apapun. Meski lagi-lagi berakhir segala macam hal kembali terpikirkan.

Tentang bagaimana hari-hariku sebagai Boboiboy. Memiliki teman-teman yang baik. Serta elemental lain yang kami belum pernah bertemu sebelumnya.

Bahu-membahu membantu Boboiboy.

"Aku tidak ..."

Aku tidak mau lagi mengingatnya.

Rasa sakit ini, menyakitkan.

Perlahan-lahan visualku memudar. Bersamaan dengan kesadaranku yang mulai luntur.

Dengan kesadaranku sendiri, aku mencoba untuk kembali menjadi sebatas kuasa.

"Halilintar ..."

Aku mendongak. Melihat sekeliling. Hanya hitam yang kutemukan. Suara yang familiar itu.

"Halilintar ..."

Aku berbalik tepat ketika sosok seseorang berdiri di belakangku. Mataku membelalak saat kutahu siapa itu.

"S-Satriantar?"

Pemilik lamaku, muncul di hadapanku. Dengan topeng yang selalu ia pakai dulu. Tanpa kutahu ekspresi apa yang tersimpan di baliknya.

Satriantar mendekat. Menarik tangan dan kepalaku. Ia memelukku.

Aku sangat terkejut sampai tidak bisa bergerak. Setahuku, Satriantar bukanlah orang yang melakukan hal ini.

"Voltra."

Aku terkesiap. Tubuhku bergeming. Ia diam menatap wajahku dari atas hingga bawah. Tatkala kemudian menopang kedua pipiku dengan telapak tangannya.

"Aku sudah mati," ujar Satriantar. Suaranya bergema. Mataku melotot takut.

"Kamu sendiri yang melihat dengan jelas di depan matamu."

Kenangan itu kembali menggeliat. Memaksa keluar. Membuatku teringat memori luka ketika Retakka menggunakanku untuk membunuh tuanku sendiri.

"Aku tidak menyalahkanmu. Kamu cuma sebatas kuasa. Tapi ingat, kuasa juga boleh memiliki haknya sendiri."

Satriantar menyentil kepalaku dengan jari-jari lentiknya. Aku terdiam seribu bahasa. "Tempatmu bukan disini, Voltra."

"Kembalilah ke Boboiboy, tugasmu masih belum selesai."

Setelah mengatakan hal seperti itu. Satriantar mendorong bahuku. Aku terjatuh. Tapi sama sekali tidak terhempas ke tanah.

Diam-diam kubuka mata. Kusadari aku telah berada di dunia nyata. Dalam wujud Satriantar. Dan di depanku, ada Boboiboy.

Aku ... menusuknya.

"Boboiboy!!"

Teman-temannya berteriak khawatir. Boboiboy muntah mengeluarkan darah saat perutnya tertembus pedang merah yang kupegang.

Aku memasang raut takut. Bahkan seluruh tubuhku gemetar. Kuhilangkan pedang itu sehingga Boboiboy bahkan jatuh ke tanah.

Kutangkap tubuh ringkihnya. Masih dengan perasaan yang sama. Boboiboy menengadah kepadaku. Mengangkat satu tangannya untuk memegang kepalaku.

"Ayo ... p-pulang, Halilintar."

Kupikir, aku ditinggalkan.

Kupikir, Boboiboy hanya menganggapku sebatas kuasa tanpa perasaan.

Tanpa kutahu bahwa Boboiboy mati-matian berusaha untuk menjemputku pulang.

Perlahan, visual Satriantar mulai memudar. Merah listrik yang tadi pun padam. Mulai membentuk sosokku seperti Boboiboy.

Aku mengaitkan tanganku pada tangan Boboiboy yang dipenuhi darah. Kusatukan dahiku dengannya. Diam-diam, aku tersenyum.

"Aku merindukanmu, Boboiboy."

.

.

.

***tbc***

A/n:

Sorry banget kelamaan. Niatnya cepat tapi beberapa hal seperti ide yang menyumbat membuatku susah menyelesaikan ini.

Seperti yang dijelaskan bahwa Halilintar ini 'tsundere'. Sebenarnya dia tahu kalau dia lebih sayang sama pemiliknya yang sekarang, Boboiboy.

Cuman yah jiwa-jiwa ksatrianya itu mikir buat gak berkhianat dari Satriantar. Apalagi yang bunuh Satriantar itu otomatis dia.

Karena kelamaan nunggu isu 24. Aku melanjutkannya dengan intuisiku sendiri. Untuk chapter besok atau yang terakhir. Aku usahakan memiliki ending yang menyentuh.

But who knows. Aku sekarang benar-benar bingung perkara perasaan Halilintar ini. Terlebih aku bukanlah dia.

Tapi tentu saja nikmati cerita ini selagi bisa. Yeah, maksudnya selagi authornya masih disini.

Thanks for 200 views di chapter 1. Kalian amazing //prok prok

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top