Part 3
Take Heart 1
###
Part 3
###
"Dia ingin kau tahu bahwa dia tidak mau kehilangan dirimu. Sampai akhirnya dia sadar bahwa kau yang melepaskannya dengan pertunangan itu."
Zaffya masih terpaku. Ada rasa sakit yang menyerbunya ketika bayangan rasa sakit yang ia berikan pada Richard kembali muncul. Bahkan itu bertahun-tahun yang lalu tapi rasanya seperti luka yang baru ia dapatkan sedetik yang lalu.
"Dia meminta kesempatan pada mamamu sebelumnya untuk membatalkan rencana pertunangan itu. Tapi sayangnya, laki-laki malang itu tidak tahu tentang mamamu yang sama sekali tidak memberinya kesempatan."
"Apa maksud Kakak?" Jemari Zaffya menggenggam dengan kaku. Selama ini, yang ia ketahui adalah bahwa hubungannya dengan Richard berakhir karena murni keputusan mereka berdua. Tanpa ikut campur tangan orang lain. Terutama mamanya.
"Mamamu memastikannya menyaksikan pertunanganmu dengan Dewa, mungkin?" Darius mengangkat bahu. "Hubungan kalian terlalu muda. Dan rumit."
Mama .... Kepalan jemari Zaffya semakin erat. Bibirnya menipis tak bersuara bahkan untuk meluapkan amarah yang tiba-tiba muncul.
"Entahlah, cinta monyet. Itu yang kupikir, jadi aku sendiri tidak terlalu memusingkannya kalaupun aku tahu perbuatan mamamu lebih cepat," Darius mendesah lirih. Tangan kanannya terangkat dan jari telunjuknya mengusap-usap sisi kening yang tidak gatal.
"Apa yang sebenarnya kakak inginkan dari cerita ini?" desis Zaffya bertanya. Semua informasi ini memang usang. Tak akan ada yang berubah dalam hidupnya sekalipun ia baru tahu semuanya sekarang. Perasaan bersalah pun sudah berakar sejak dulu. Kecuali hatinya yang dirayapi penyesalan. Mungkin itu yang menambah desakan di dadanya semakin terhimpit.
Setelah melepaskan Richard, ternyata pria itu masih mengharapkan dirinya lagi. Untuk kedua kalinya. Karena ia yang menolak untuk kembali pada pria itu saat ia meminta hubungan mereka berakhir.
Pada akhirnya, fakta apa pun yang terlewatkan olehnya, Zaffya tetap tak bisa menampik kenyataan bahwa dirinya lagi yang melepaskan Richard. Tak bisa menepis bahwa dirinya lah yang telah menghujamkan rasa sakit tersebut pada Richard.
"Jangan menyalahkan Richard ataupun dirimu untuk ketidak beruntungan kisah kalian. Tapi, jika memang tidak ada yang berubah di antara kalian. Tidak ada salahnya kau yang memulai menarik dirinya keluar."
"Ada fakta besar yang terjalin sebelum hubungan kalian dimulai. Jauh sebelum kau terlahir."
Jauh sebelum ia terlahir? Zaffya mengerutkan keningnya. Meskipun selama beberapa puluh detik ia berusaha mencerna kalimat Darius, ia tetap tak mengerti apa maksud dari semua yang didengarnya.
"Aku juga baru mengetahuinya tak lama ini. Waktu mamamu mulai mengusik hubunganku dengan Rea dan tanpa sengaja mendapatkan informasi menarik tentang mamamu dan Dennis Anthony."
"Dennis Anthony?" Seakan belum cukup informasi yang membuat kepalanya berputar, nama ayah dari Richard disebutkan.
"Alasan utama mamamu tak bisa menerima Richard adalah karena kekasihmu itu anak dari Dennis Anthony, kekasih mamamu. Ehm, mantan. Bahkan mereka hampir menikah jika tidak ada orang ketiga yang memohon pada mamamu untuk membatalkan pernikahan karena mengaku tengah mengandung anak dari calon suaminya."
Informasi kali ini cukup bagi Zaffya untuk membeku di tempat. Segala macam bentuk emosi tak cukup lagi untuk masuk ke dalam dadanya menambah kerumitannya. Semua mengantri dengan barisan yang semrawut hanya untuk masuk ke dalam hatinya yang penuh sesak. Tak cukup waktu untuk menjabarkan satu persatu emosi yang bergejolak karena berita yang cukup mengejutkan tersebut.
"Aku tahu ini cukup mengejutkan bagimu." Darius mulai beranjak dari duduknya. "Tapi ... kurasa kau memang harus tahu tentang apa yang akan kau hadapi jika kau tetap pada pilihanmu."
***
Jas putih kebanggaannya ia sampirkan di punggung kursi sebelum mendaratkan pantatnya di atas kursi kerja. Sebuah desahan kecil lolos dari bibirnya ketika menarik stetoskopnya turun dari leher. Pasien hari ini cukup banyak yang menarik perhatian khususnya. Ya, ia sudah bisa menduga. Tempat kerja baru yang lebih besar dari rumah sakit tempatnya bekerja sebelumnya. Salah satu alasan dari beberapa alasan ia kembali.
Jemari kanannya menarik laci teratas dan meraih ponsel yang sejak pagi tadi tak dijamahnya. Keningnya berkerut melihat beberapa notifikasi panggilan tak terjawab dan pesan yang belum ia baca.
4 panggilan tak terjawab 'Sister'
2 panggilan tak terjawab 'Luna'
1 panggilan tak terjawab 'Mama'
Waww ... Banyak sekali wanita yang menghubunginya hari ini, batinnya. Jemarinya pun bergerak menggeser layar ponsel untuk membaca pesan yang mungkin dikirim mereka.
From : Sister
Kak Rich, jahat.
Senyum simpul tertarik di kedua sudut bibirnya. Adiknya itu pasti sedang kesal tingkat tinggi karena belum menghubunginya selama seminggu ini. Apa boleh buat, ia terlalu sibuk dengan segala macam bentuk kerepotan pindah tempat tinggal maupun kerja, dan tak punya waktu barang semenit untuk menghubungi saudari tersayangnya.
From : Luna
Bisakah kau menjemputku di bandara? Mungkin aku sampai jam sembilan malam waktu di tempat.
Sejenak ia melirik jam tangannya. Pukul lima sore lewat tiga puluh lima. Sepertinya ia masih punya cukup banyak waktu untuk kembali ke apartemen dan langsung melajukan SUVnya ke bandara. Jemarinya pun bergerak menuliskan balasan.
To : Luna
Ok...
Aku akan ada di sana begitu kau keluar.
Lalu, keningnya berkerut ketika bergeser membaca satu pesan terakhir yang belum dibaca.
From : Mama
Hubungi mama. Segera!!!
Tanda seru yang ditulis tiga kali menunjukkan bahwa ia memang harus segera menghubungi mamanya. Segera pula ia menekan gambar ponsel di ujung layar. Mamanya langsung menjawab di deringan kedua.
"Hai, Ma," sapanya berusaha terdengar seceria mungkin.
"Richard!" Ada nada gemas yang terselip dalam suara mamanya.
"Maaf, Ma. Richard benar-benar sibuk."
"Sibuk dengan keributan yang kau buat?" sengit mamanya. Membuat Richard tertawa geli membayangkan wajah sinis wanita itu.
"Ya, memang ada beberapa keributan kecil. Tapi kali ini pasiennya tidak ada yang berteriak histeris dan menendang kepalaku lagi." Richard menjawab santai. Ya, sekalipun kali ini pasiennya hampir menjambak rambutnya karena sang suami belum juga datang di saat bayinya sudah mendesak keluar. Juga ada pasiennya yang genit dan berharap anaknya akan tampan seperti dirinya. Kalau yang seperti, ini bukan pengalaman pertamanya sebagai dokter spesialis kandungan, bukan?
"Mama serius, Richard!" Nada lembut itu kini terdengar serius. "Mama benar-benar mengkhawatirkanmu."
Sekali lagi senyum lebar melengkung di wajah Richard dengan kekhawatiran mamanya yang selalu berlebihan jika mereka saling berjauhan seperti ini, "Richard baik-baik saja, Ma. Apakah sekarang Mama bisa tenang?"
"Setelah kekacauan yang kau buat? Bagaimana Mama bisa tenang?"
Senyum di wajah Richard perlahan memudar. Ia tak tahu ke mana arti kata kekacauan yang dimaksud mamanya membawa pembicaraan, tapi ia tahu arti kekacauan yang mereka pikirkan ternyata tak sama. "Kekacauan apa maksud Mama?" Richard pun menanyakan ketidakmengertiannya.
"Baru seminggu yang lalu kau pergi dan menenangkan Mama dengan segala alasanmu. Tanpa kabar bagaimana keadaanmu setelah sampai di sana. Lalu Mama mendengar berita yang cukup mengejutkan. Dan setelah Mama mengonfirmasinya padamu sendiri, kau malah tak tahu apa-apa?"
Richard hanya terdiam membiarkan mamanya itu meluapkan kekesalan. Sambil berusaha mencerna dengan baik setiap kata yang masuk ke dalam telinganya. "Memangnya berita apa yang Mama dengar?"
Desahan frustasi terdengar dari seberang, "Apa kau benar-benar tidak tahu tentang keributan apa pun di televisi, Richard? Apa kau tidak punya televisi? Atau setidaknya majalah atau koran yang kau baca?"
"Mama harus mengerti. Aku lebih memilih menelfon Mama atau Dania daripada menyisihkan waktu untuk televisi dan koranku. Pasienku lebih nyaring teriakannya, Ma."
Sekali lagi desahan keras lolos dari bibir mamanya. "Kau benar-benar harus menyalakan televisimu, Richard. Setidaknya sekali untuk hari ini."
"Ayolah, Ma. Berita apa yang begitu penting hingga Mama sampai memaksa seperti ini? Aku baru saja istirahat dan ingin segera pulang. Lalu harus ke bandara untuk menjemput Luna."
"Baiklah, kalau begitu baca pesan Mama. Hanya butuh waktu lima detik untuk membaca judul beritanya saja. Dan Mama harap kau tidak ada sangkut pautnya dengan berita itu."
"Baiklah!" Richard mengangguk sekalipun ia tahu mamanya tak tahu. Terkadang mamanya memang begitu memaksa.
"Mama harus segera pergi. Dan kirimkan balasannya secepatnya. Mama menyayangimu, Richard." Salam penutup itu mengakhiri sambungan telepon. Tak lama setelah ia menurunkan ponse, benda itu kembali bergetar. Menandakan ada pesan baru yang Richard yakini dari mamanya.
'Benarkah penyebab putusnya Luisana Farick dan Dewa Sagara adalah karena adanya pihak ketiga?'
Mamanya benar, hanya butuh lima detik baginya untuk membaca judul berita yang dikirimkan mamanya tersebut. Ia tak perlu membaca isi berita tersebut untuk mengetahui lebih lanjut, judulnya saja sudah cukup membuatnya berhenti bernapas ketika mencerna sekali lagi tulisan itu di kepala.
Richard tak tahu, apakah ia benar-benar berharap semua ini benar atau tidak. Yang ia tahu, keberuntungan akhirnya menghampirinya juga setelah bertahun-tahun ia berpura-pura semuanya baik-baik saja.
Percakapan terakhirnya dengan sang mama muncul di kepala. Mengingatkannya kembali akan alasannya kembali.
"Apa kau benar-benar harus pergi?" Raya memandang putranya dengan tak rela.
"Aku hanya kembali, Ma. Lagipula ini hanya di dua belas jam perjalanan."
"Kau pergi ke negara lain, Richard. Bagaimana mungkin Mama tidak khawatir?"
"Di sana ada Papa juga Dania. Aku juga sudah dewasa. Bukan remaja yang perlu dimanja lagi."
"Kau benar." Raya terdiam sejenak. Mengamati wajah tampan replika dari mantan suaminya dulu. "Kau sudah dewasa. Kau bahkan sudah menjadi seorang dokter. Teman Mama yang mempunyai anak seumuranmu bahkan sudah ada yang mengendong anaknya. Seharusnya Mama tidak perlu lagi mengkhawatirkanmu, bukan?"
Richard mengangguk. Tersenyum tipis dan menggenggam jemari mamanya dengan sayang.
Lama keduanya terdiam duduk di kursi santai. Menikmati suara gemericik air mancur yang menghiasi kolam ikan mereka di teras belakang.
"Aku mendengarnya telah melanjutkan hidupnya." Suara Richard memecah keheningan di antara mereka. Matanya mengamati ikan-ikan di dalam kolam yang berenang penuh ketenangan. Bertahun-tahun ia melanjutkan hidupnya, tapi kenapa ganjalan itu masih terasa mengganggu.
Raya menoleh. Menatap sisi wajah putranya. Ia tahu siapa seseorang yang dimaksud anaknya itu.
"Dia sudah menemukan seseorang," imbuhnya lagi. Sangat bersyukur mamanya menjadi pendengar yang baik, dan itu yang ia butuhkan sekarang. "Dalam hitungan minggu mereka akan menikah."
"Ric h..." Raya kehabisan kata-kata, tapi tangannya terangkat ke atas pundak Richard. Memberitahu bahwa semua baik-baik saja dan ini akan berakhir.
Richard menoleh, lalu menggelengkan kepala dengan mata menatap manik mata Raya. "Semua belum berakhir."
Raya kehilangan suaranya saat bola mata anaknya terlihat mengkilat oleh air mata.
"Aku tidak tahan seperti ini terus, Ma. Aku tidak bisa diam saja seakan semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Aku tidak bisa." Tangan Richard terangkat. Menghapus setetes air mata yang jatuh di wajah. "Aku akan membuatnya melihat wajahku. Membuatnya teringat bahwa bagiku semua ini belum selesai. Setidaknya biarkan aku menjadi jahat sekali saja untuk keegoisanku."
Lalu kini, di sinilah akhirnya Richard berada. Mencoba berkeliling di sekitar dunia wanita itu.
'Mama bisa memegang janjiku untuk melakukan semuanya dengan cara yang baik. Semua pemberitaan itu tidak ada sangkut pautnya denganku. Salam Sayang, Richard.'
Sekali lagi ia membaca pesan yang telah diketiknya sebelum menekan tombol kirim untuk mamanya. Cukup lama kepalanya menyerap semua pemberitaan yang seharusnya tak ia lewatkan itu, tapi ia bahkan tak punya hak untuk berteriak dengan berita yang cukup menyenangkan itu.
Bertahun-tahun pertunangan itu berlalu tanpa kerikil dan tiba-tiba sana putusnya pertunangan itu diumumkan wanita itu. Ia tidak tahu apa penyebab berakhirnya hubungan itu, tapi melihat raut wajah wanita itu ketika mengumumkannya. Tidak ada keraguan di sana. Seakan baru terlepas dari kebimbangan. Karena ia tak bisa berprasangka bahwa pertunangan mereka berjalan dengan tak semestinya.
Tidak ada yang banyak berubah dari wajah wanita itu. Masih sama cantiknya seperti terakhir kali ia melihat. Dalam versi yang lebih dewasa tentu saja. Bentuk tubuh seksi dengan lekukan yang membuat kaum adam bertekuk lutut itu yang menunjukkannya.
Namun, bukan hal itu yang membuatnya kembali. Sekalipun ia tak akan menyangkal untuk menerima wanita itu jika wanita itu yang menawarkan dirinya terlebih dulu. Bukan begitu cara main yang akan ia ambil.
Lagi pula, ia tak bisa menjamin bahwa wanita itu masih sama seperti dirinya.
Dulu ia tak pernah meragukan bahwa wanita itu mencintainya. Sedikit pun. Akan tetapi, dengan keputusan yang telah diambil wanita itu untuk melepaskannya. Setelah bertahun-tahun telah berlalu, ia tak punya lagi kepercayaan diri atas hati wanita itu.
Kesempatan tak akan pernah ada jika kita tak berusaha mendapatkannya, bukan?
Ia telah kembali. Ingin memastikan wanita itu melihat dirinya. Menatap matanya bahwa diantara mereka tidak ada yang sudah selesai.
Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan dari pintu ruangannya membuyarkan lamunan Richard. Mendongak dan menatap pintu ruangannya. Menyuruh siapa pun yang ada di luar untuk masuk.
Sejenak ia tak bersuara mendapati sosok yang berdiri di depan pintu yang masih terbuka. Ia tahu ia harus berhadapan dengan pria itu. Dengan senyum tipisnya ia menyapa pria itu.
"Hai, Vyn."
***
Thursday, 28 February 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top