6
Kenanga pov
Aku janjian dengan Michael sore ini. Di sebuah cafe yang terletak di teras lantai tiga sebuah gedung perkantoran. Dari luar terlihat cafe ini sangat nyaman. Dengan dekor yang tidak berlebihan. Aku memasuki cafe sambil mencari sosok orang yang ada janji denganku.
Tak lama sosok Michael melambaikan tangan dari teras cafe. Aku segera menghampiri meja tempat pria itu menunggu. Dengan dasi yang dimasukan ke saku kemejanya dan lengan kemeja biru tua yang sudah digulung sampai siku. Terlihat santai tapi membuatnya lebih tampan.
"Hai Mike" sapaku sambil mengulurkan tangan
"Hai Nanga, silahkan duduk" Mike membalas uluran tanganku sambil mempersilahkan aku duduk.
"Kamu mau pesan apa?" Tanyanya setelah aku menduduki kursiku
"Hmmm... samain ajalah dengan punya kamu, kamu udah lama?" Tanyaku sambil melirik Espressonya
"Belum, kan kantorku di atas. Tinggal turun dari lantai dua tujuh" jelasnya santai sambil menatap sekilas kearah atas gedung.
"Mau ngemil?" Lanjut mike sambil menyodorkan daftar menu padaku.
Aku membuka buka daftar menu sampai akhirnya menjatuhkan pilihan pada kentang goreng dan calamary.
"Kamu penggemar gorengan ternyata. Tapi kok bisa tetap langsing ya" tanya Mike penuh selidik.
"Dari sananya kayaknya. Padahal aku gak terlalu suka olahraga" jawabku sambil melirik tubuh yang terlihat berotot di depanku. Tubuh yang memberi tanda bahwa pemiliknya rajin melakukan olah raga
"Gak susah kan nyari tempat ini" sambung Mike.
"Awalnya bingung. Pas lihat gedungnya baru ngeh. Ternyata ditempat mas Digta kerja"
Aku tertawa pelan, tadi sempat lupa kalau kantor Mike disini. Dan pria ini sekantor dengan mas Digta. Aku menggembungkan kedua pipiku sambil membuang nafas. Mike yang di depanku tertawa kecil sambil berkata
"Kamu lucu kalau begitu"
"Kalau aku lucu pasti kamu sudah tertawa lebar. Nah itu cuma tarik bibir lebih lebar sedikit kamu bilang aku lucu?"
Kami sama sama tertawa. Obrolan santai mengalir sore ini. Banyak hal yang kami obrolkan. Mulai dari yang ringan sampai yang serius seperti membahas tentang berita politik yang sedang hangat di berita online hari ini.
Mike orang yang enak diajak ngobrol. Walau beberapa kali obrolan kami harus terganggu oleh sapaan anak buahnya yang juga ingin menghabiskan waktu di cafe ini.
Dia juga orang yang sopan. Kata kata yang dia pilih menggambarkan itu. Kecerdasannya terlihat jelas. Sehingga apapun yang dia bicarakan tampak benar dia kuasai. Rasanya aku menemukan seorang pria yang diotaknya tidak melulu berisi pekerjaan. Juga tidak ada kesan sombong dalam kalimat kalimat yang dia lontarkan. Padahal aku tahu siapa dia sebenarnya.
"Kamu kenapa pilih kedokteran?" Tanya Mike sambil tersenyum.
"Gak tahu juga sih, cuma dulu coba coba trus lulus. Emang kenapa?" Balasku
"Gak apa apa. Kamu cocok kok jadi dokter. Kelihatan dari gesture kamu. Lagi pula kamu ramah. Dokter kan harus bisa buat pasiennya nyaman. Cuma agak aneh aja, denger jawaban kamu tadi. Karena biasanya seseorang itu sudah mempersiapkan diri untuk menjadi dokter jauh sebelum pendidikannya dimulai. Dan aku belum pernah tahu kalau ada orang yang jawabannya adalah coba coba" tutur Mike panjang
Aku tertawa "dulu sebenarnya aku kepengen jadi pramugari. Tapi gak boleh sama orangtua. Dan aku gak berani nentang takut durhaka. Akhirnya aku putuskan untuk ikut tes di universitas negeri. Dan lulus! " jelasku.
"Apa kamu disarankan untuk ambil jurusan itu?" Tanya mike sambil menenggak air putihnya.
"Gak juga, aku pilih sendiri. Kan harus pilih dua jurusan tuh. Satunya aku ambil arsitektur. Tapi yang lulus kedokteran". Jelasku
Bima tampak mengangguk angguk tanda mengerti.
"Trus kamu?" Tanyaku
"Dari dulu memang pengen sekolah dan kuliah di luar negeri. Terus kerja disana. Semua kesampaian tapi untuk kerjanya cuma lima tahun. Akhirnya harus kembali kesini karena tuntutan tanggung jawab sebagai anggota keluarga"
"Kamu nyesel Mike?" Tanyaku
"Enggaklah, lagi pula kan enggak semua keinginan kita harus terpenuhi. Oh iya hobby kamu apa Nanga?" Tanya Mike sambil jarinya mempermainkan bibir gelas kopi yang sudah kosong.
"Aku suka buat kue. Tapi aku gak suka masak yang untuk sayur sayur gitu"
"Kok bisa, kan sama sama di dapur"
"Iya sih, tapi males aja berhubungan dengan cabe dan bumbu dapur sejenisnya. Lebih suka berkutat dengan gula, telur dan mentega" jawabku
"Kapan kapan kalau kamu buat kue aku boleh coba ya" pintanya
"Iya. Nanti kalau aku buat, aku kasih ke kamu" janjiku
Kami masih terlibat obrolan seru sampai akhirnya tiba tiba aku melirik jam tanganku. Tidak terasa sudah jam sembilan kurang lima belas. Sudah hampir tiga jam kami ditempat ini. Mike juga tampaknya baru tersadar. Dan akhirnya kami sepakat untuk pulang. Mike berjanji akan berkunjung ke rumahku sabtu sore besok. Sekalian gereja bareng katanya.
Mike mengantarku sampai basement. Karena aku juga membawa mobil sendiri. Dan kebetulan arah tempat tingggal kami berlawanan. Mobil Mike masih mengiringi mobilku hingga keluar dari tempat pembayaran parkir. Setelah itu aku membunyikan klakson sebagai tanda pamit padanya.
***
Bima pov
Aku terbangun ketika hari sudah gelap. Perlahan aku mengambil jam tangan yang terletak di nakas. Aku terkejut ketika jam tanganku menunjukkan hampir jam sembilan malam.
Aku memandang ke arah pintu kamar mandi yang terbuka tiba tiba. Seorang perempuan cantik dan berkulit putih
Tampak baru selesai mandi dengan menggunakan bathdrobe
"Udah bangun Bim?" Sapa perempuan itu sambil terus menggosok rambutnya dengan handuk. Kemudian duduk di depan meja rias sambil menyilangkan kakinya. Aku bisa melihat jari jari tangan dan kakinya yang berkuteks merah menyala. Sangat seksi! Kontras dengan kulit putihnya.
Aku tersenyum memandang perempuan yang menemaniku dari tadi sore. Namira namanya. Seorang customer service di sebuah bank swasta terkenal. Yang juga memiliki pekerjaan sampingan.
Aku mengenalnya di sebuah club tempat biasa menghabiskan waktu dengan sahabatku. Kami saling bertukar pandang selanjutnya berkenalan. Singkat cerita kemudian aku menjadi pelanggannya. Aku laki laki normal yang membutuhkan kehangatan perempuan.
Namira bukan tipe orang yang terlalu ambisius dalam mengejar uang. Tampaknya dia lebih mencari kesenangan. Karena setahuku ia bukanlah perempuan yang sembarangan dalam menerima job. Terlebih setelah aku tahu bahwa ayahnya juga pegawai berpangkat esselon tiga di sebuah departemen.
Tapi itulah hidup. Namira jelas tidak bisa memenuhi kebutuhannya kalau hanya mengandalkan penghasilannya di bank. Aku tahu pasti karena beberapa kali aku bertemu dengannya di sebuah mal besar, dengan tangan penuh tas belanjaan. Dan apa yang dikenakan oleh tubuhnya sudah pasti bukan barang murah.
Namira menghampiriku dan duduk di tepi ranjang. Aku mengelus lengannya yang halus dan mulus dengan punggung jari jariku. Terasa dingin mungkin karena ia baru mandi. Tak lama aku mengecup lengan halus itu. Namira tampak memejamkan matanya.
"Aku sudah transfer buat kamu" kataku membuka pembicaraan.
"Thanks a lot" jawab namira sambil tersenyum. "Aku boleh pulang sekarang atau nemenin kamu dulu?" Lanjutnya sambil mengecup keningku
"Temenin aku dulu. Pekerjaanku gak banyak malam ini. Aku butuh kamu" jelasku sambil meraih pinggangnya dan menariknya untuk berbaring di sampingku.
Namira tersenyum sambil berkata "terserah kamu. Tapi jangan terlalu malam ya. Papa dirumah" rengeknya.
Aku mengangguk. Sambil kembali mengecup bibir merah jambunya. Memintanya kembali untuk memuaskan hasratku. Namira mulai meresponku dan kami pun kembali tenggelam dalam aktivitas yang begitu menggairahkan.
Pukul setengah sebelas malam kami keluar dari hotel. Aku memang tidak pernah membawa perempuan ke rumah. Beruntung hotel tempat kami menghabiskan waktu memiliki garasi di setiap kamarnya. Sehingga Namira tidak perlu takut dipergoki orang lain.
Aku mengantar Namira terlebih dahulu ke kediaman orang tuanya. Aku tidak mungkin membiarkan seorang perempuan pulang sendirian hampir tengah malam begini.
Sebelum kembali menuju klub. Aku mampir di sebuah warung tenda langgananku. Disini nasi gorengnya sangat terkenal. Aku tidak mungkin mengajak Namira kemari. Karena dia tidak pernah makan malam.
Aku memesan nasi goreng cabai hijau favoritku. Dan segelas air jeruk nipis tanpa gula seperti biasa. Setelah menghabiskan pesanan, aku langsung ke klub.
Memasuki ruangan ponselku kembali berbunyi. Ada nama Kevin disana. Aku menekan tombol hijau dan langsung mendengar suara kevin
"Bim, lo dimana?" Suara kevin terdengar putus asa.
"Biasa di klub, kenapa" tanyaku.
"Gue mau ketemu elo malam ini. Bisa?" Tanya kevin
"Ya udah kesini aja. Apa perlu gue telfon Nathan" jawabku sambil bertanya kembali.
"Boleh, kalau dia gak sibuk" jawab kevin sambil menutup sambungan.
Setelah menutup telfon aku mengingat pembicaraanku dengan Nathan beberapa hari lalu tentang Kevin. Kuharap sahabatku itu baik baik saja. Walau dari suaranya aku tahu bahwa dia berada dalam kondisi yang buruk. Segera aku menghubungi Nathan dan memintanya untuk datang kemari. Beruntung Nathan bersedia. Walau sudah tengah malam begini.
Tak sadar begitu aku menutup pembicaraan dengan Nathan, aku memandang foto seseorang yang menjadi wall paperku sekarang. Kenanga! Apa kabarnya malam ini? Aku merindukannya sudah hampir dua minggu kami tidak bertemu. Terakhir saat ada acara di panti. Dan aku hanya bisa menatapnya dari jauh. Karena ia sibuk mempersiapkan pertunjukan anak anak. Namun sampai saat ini aku belum tahu bagaimana cara agar bisa mengenalnya lebih jauh. Aku tidak tahu siapa dia, tinggal dimana, siapa orang tuanya.
Sering aku bertanya pada diriku. Pantaskah aku memiliknya kelak. Adakah jalan terbuka untukku?. Entahlah! Aku pusing memikirkannya. Jelas aku bukan orang dari kalangannya. Perasaanku mengatakan bahwa kami terasa sangat jauh
Aku kembali memandangi layar ponselku. Menghubungkannya dengan kabel printer. Tak lama kemudian fotonya sudah tercetak diatas kertas glossy. Aku memasukkan fotonya ke dalam laci lalu menguncinya. Besok aku akan mencari bingkai terbaik untuk menyimpan gambarnya. Kemudian meletakkannya disamping tempat tidurku. Aku tidak ingin siapapun tahu termasuk sahabat sahabatku. Biarlah hanya aku yang tahu. Segala ketidak mungkinan didalam hidupku.
Perempuan baik tidak ditakdirkan menjadi milik pria seperti aku. Tuhan pasti sudah menyediakan seseorang yang kehidupannya jauh lebih baik dari aku. Dan pria itu sangatlah beruntung. Sementara aku hanyalah seekor punguk yang merindukan rembulan. Sebuah pribahasa yang kuingat semenjak duduk di bangku SD dulu.
Happy reading
Maaf untuk typo
20.04.19
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top