5
Bima pov
Ponselku yang terletak diatas meja bar berbunyi, kulihat ada nama Nathan disitu. Aku segera mengangkat panggilan tersebut
"Hallo Than"
"Gue di parkiran, keluar dong" suara Nathan terdengar seperti perintah Nathan. Aku tahu ia sedikit paranoid terhadap tempat ini.
Sesuai dengan janji kami tadi siang. Malam ini ada yang mau disampaikan Nathan katanya. Entah apa itu. Aku memang sengaja belum turun keruanganku. Karena malas juga harus bolak balik. Ketika sampai diluar aku menemukan Nathan sudah bersandar disamping mobilnya.
"Hai bro, apa kabar?" sapaku sambil saling menautkan kelima jemari kami. Setahuku Nathan bukanlah orang yang mau bersibuk sibuk menemuiku kalau hanya untuk hal sepele.
"Gue mau bicara sesuatu sama elo, penting!" Tegasnya
"Ya udah ke ruang gue aja" ajakku
Kami berjalan melintasi bar menuju ruang kerjaku. Beberapa mata mengarah ke Nathan. Tapi dia cuek saja. Tidak salah juga karena bentuk tubuh Nathan sangat bagus. Namun mereka tidak berani menyapa atau mengomentari apapun, karena mungkin mereka mengira Nathan adalah pasanganku. Ketika sampai di ruangan sahabatku itu langsung merebahkan tubuhnya di sofa.
"Ada apa?" Tanyaku sambil melipat tangan didada dan berdiri membelakangi meja kerja.
"Lo ada dihubungi Kevin?" Nathan balik bertanya. Nathan memang orangnya straight to the point. Sesuai dengan profesinya sebagai pengacara. Tidak suka basa basi. Yang ditanyakannya adalah Kevin sahabat kami.
"Enggak, emang kenapa?" Tanyaku
"Gue harap lo gak kaget. Tadi pagi ada penggerebekan di apartemen dia. Beda lantai sih. Apa lo gak ada info?"
"Targetnya dia? Bukan kan?" Tanyaku
"Kayaknya sih bukan, tapi lo tahukan kadang kalau lagi stress dia suka gak labil. Gak mikirin resiko"
"Tadi malam gue dapet bocoran soal penggrebekan itu. Tapi karena gue tahu targetnya bukan Kevin ya udah gak gue lanjut" jelasku
"Gue kan dah bilang sama elo Bim, gak usah nyerahin bisnis begituan sama dia. Lo kasih yang lain aja"
"Dia yang minta waktu itu Than. Gue udah mau lepasin bisnis itu. Tapi dia bilang biar dia aja yang ambil alih. Gue mana tega. Waktu itu lo tahu juga kan dia lagi butuh duit banyak buat mertuanya" ujarku membela diri
"Dia ceroboh dan gak mikir panjang. Apalagi kalau lagi ada masalah besar kayak gini" suara Nathan terdengar meninggi
"Memang dia ada masalah apa? Gue sama sekali nggak tahu" Tanyaku
"Keluarga Nanditha gak kasih dia ketemu sama istri dan anaknya. Memang sih Kevin kayak habis manis sepah dibuang sama orang tuanya Nandhita. Giliran dulu pailit minta tolong ke Kevin. Sekarang udah bangkit lagi eh malah cari gara gara mereka" geram Nathan
Aku terdiam, ada sedikit rasa bersalah dalam diriku. Sebenarnya dari dulu aku juga kurang suka pada orang tua istri Kevin. Aku merasa kalau mereka terlalu memperalat sahabatku itu. Tapi aku juga tidak mau terlalu mencampuri urusan pribadi kevin. Aku takut kalau akhirnya harus menyinggung perasaannya. Terlebih aku tahu kalau Kevin begitu mencintai Nandhita
"Bim"
"Ya"
"Atau untuk sementara elo suruh stop dulu aja lah si Kevin" pinta Nathan padaku
"Gue rasa belum waktunya juga, selama ini gue lindungin dia kok. Nanti kalau gue rasa dia udah gak aman, pasti gue tarik dia dari situ"
"Atau kita ketemuan dulu lah sama dia. Sekalian ngobrol biar enak"
"Lo atur aja lah. Gue terserah. Yang penting jangan sampai dia ngerasa kalau kita mencampuri urusan pribadi dia"
"Ok sip" Nathan mengangguk setuju
"Oh iya, ngapain tadi ke kampung melayu?" Selidik Nathan
Aku tercekat, tidak siap dengan pertanyaan Nathan yang tiba tiba.
"Kan gue dah bilang lihat rumah" jawabku sambil melangkah ke belakang meja kerjaku. Untung aku masih mengingat apa yang kukatakan tadi siang padanya.
"Emang rumah lo belum cukup, sampai harus ditambah" tandasnya
Aku hanya tersenyum, malas menjawab. Diantara kami aku memang yang paling sering membeli rumah. Bukan apa, aku trauma pada masa lalu. Dimana aku harus sering berpindah rumah karena ibu tidak mampu membayar kontrakan kami. Atau kami diusir karena ada yang berani membayar lebih mahal. Hanya saja kalau sekarang aku membeli rumah untuk tempat persembunyianku.
Nathan berjalan ke arah pantry. Membuka kulkas dan mengambil satu pack buah potong disana.
"Elo masih kayak perempuan ngidam, suka nyimpen buah dimana mana"
"Kalau lo doyan makan aja, gak usah komen" timpalku sambil menyalakan PC.
Aku, Nathan dan Kevin adalah tiga sahabat. Kami sudah saling mengenal sejak kecil. Rumah kami berdekatan. Nathanlah yang paling beruntung diantara kami. Dia berasal dari keluarga yang lengkap. Ayahnya memiliki sebuah bengkel.
Sementara aku dan Kevin harus terus terseok seok. Aku hidup kekurangan bersama ibu yang hanya buruh cuci dan menjalani pekerjaan serabutan lainnya. Sementara Kevin juga harus menjalani hidup yang tidak jauh berbeda denganku, karena ayahnya sering keluar masuk penjara sementara ibunya harus bekerja sebagai perempuan malam untuk memenuhi kebutuhan Kevin dan adiknya. Sejak kecil kalau ibu Kevin bekerja malam hari, tak jarang Kevin menginap di rumahku.
Dulu kalau aku dan Kevin tidak punya apapun untuk dimakan. Nathan lah yang menjadi malaikat penolong kami. Dia selalu punya makanan berlebih di rumahnya dan siap untuk membaginya pada kami.
Pun ketika aku harus masuk penjara. Mereka berdualah yang sering mengunjungiku. Bagiku mereka berdua adalah saudaraku. Selain mereka tidak ada siapapun yang kumiliki.
Kalau aku dan Kevin adalah bajingan. Nathan tidak seperti itu. Dia adalah seorang pengacara sukses. Walau masih muda, kliennya banyak. Ia cukup punya nama sebagai pengacara. Ada juga beberapa klien perempuannya yang pernah dekat dengannya. Tapi aku tidak pernah mendengar kelanjutannya.
Aku dan Nathan sampai saat ini belum menikah. Tapi Kevin tidak pernah berkomentar apapun. Kami saling menghargai privasi masing masing.
Aku melanjutkan pekerjaanku sementara Nathan kulihat sudah asyik memainkan ponselnya di sofa sambil mengunyah. Aku hanya bisa menggeleng melihat kelakuannya. Kalau hanya soal Kevin aku yakin kami bisa berbicara melalui ponsel. Tapi dia memutuskan untuk kemari. Entah apa yang sedang dia hindari. Aku menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut. Ada banyak hal di dunia ini yang bukan urusanku.
***
Aku melangkah menuju ke pintu panti asuhan Putra Kasih. Akhirnya aku berhasil mengumpulkan keberanian. Aku menekan bel dengan perasaan tidak menentu. Tidak lama kemudian seorang perempuan setengah baya mengenakan kerudung berwarna putih membukakan pintu.
"Selamat pagi suster" sapaku ramah
"Selamat pagi juga, saya suster Eugine, ada yang bisa saya bantu?" Balasnya dengan logat jawa yang kental.
"Tidak ada apa apa suster, nama saya Bima. Saya sering lewat sini. Sudah lama ingin mampir tapi hari ini baru sempat." Jelasku sambil memperkenalkan diri
"Oh, kalau begitu silahkan masuk" suster Eugine tersenyum mempersilahkanku memasuki ruangan.
Aku duduk di ruang tamu yang sederhana. Di dinding tampak foto dan nama para anak yang tinggal atau pernah tinggal disini. Ada pula beberapa piala serta piagam penghargaan. Tempat ini terasa sejuk dan damai. Setelah mempersilahkanku duduk, suster Eugine meminta izin untuk masuk kedalam sebentar.
Suster itu kembali sambil membawa secangkir teh dan sepiring kue kecil. Lalu kudengar suaranya bertanya
"Bima sudah sarapan?"
"Sudah suster" jawabku. Kulirik jam ditangan kananku menunjukkan angka setengah sembilan pagi.
"Apa saya mengganggu?" Tanyaku lagi.
"Ah tidak. Kebetulan pagi ini saya yang bertugas menerima tamu. Silahkan diminum dulu Bima"
"Terima kasih suster" jawabku sambil meminum teh yang masih hangat. Aku sebenarnya bukan tipe orang yang suka berbicara. Saat ini pun aku bingung apa yang harus aku sampaikan lagi. Namun keinginan untuk mengetahui nama gadisku memberikan semangat untukku.
"Sebenarnya apa yang membawa kamu kemari?" Tanya perempuan setengah baya yang duduk di depanku
"Tidak ada suster, hanya mau lihat lihat. Apa boleh?"
"Boleh, kenapa tidak? Kalau cuma lihat lihat mari saya antar" ujar suster Eugine dengan ramah
Suster itu membawaku mengelilingi panti. Banyak ruangan di dalam. Sampai akhirnya kami tiba di ruang makan yang merangkap menjadi ruang belajar. Aku mengamati beberapa hasil kerajinan tangan yang aku yakin hasil karya dari anak anak disini.
"Oh iya, ini hasil karya anak anak disini. Kebetulan sekarang ada relawan yang mau mengajari anak anak tentang handycraft" suster itu menjelaskan
"Hasilnya bagus bagus suster" pujiku
"Terima kasih. Setiap akhir tahun menjelang natal, biasanya kami jual. Untuk tambahan biaya anak anak" balasnya
"Oh iya, suster bilang tadi ada relawan. Apa mereka setiap hari mengajar?" Tanyaku lagi.
"Tidak, hanya dua kali seminggu. Ada dua orang mahasiswi. Tapi sudah seminggu ini tidak datang. Yang satu karena ada keluarganya yang menikah. Dan yang lain karena sibuk ikut test untuk beasiswa ke luar negeri"
Jawaban suster itu membuatku serasa berhenti bernafas. Mudah mudahan bukan dia yang akan ke luar negeri. Aku mencoba bersikap wajar. Suster Eugine kemudian membawaku kehadapan sebuah foto, dimana terlihat anak anak panti sedang tertawa bersama seorang gadis. Gadis yang beberapa hari ini mengganggu tidur nyenyakku.
"Yang ini namanya Kenanga. Dia juga mengajarkan bahasa inggris disini" Penjelasan suster itu mengakhiri pencarianku.
Aku menggumamkan kembali nama itu di dalam hati. Sesulit inikah mencari namanya? Tapi aku bersyukur pencarianku mendapatkan hasil. Setelah pura pura bertanya tentang hal lain, aku akhirnya pamit. Sebelum pulang aku menyerahkan sebuah kotak besar berisi buku tulis dan perlengkapan menggambar. Yang telah aku persiapkan beberapa hari yang lalu.
Suster eugine juga mengundangku untuk menghadiri acara pentas seni anak anak bulan depan. Aku mengiyakan tapi tidak bisa berjanji.
Keluar dari gedung itu aku merasa sangat lega. Rasanya tidak sia sia aku belum tidur dari kemarin. Aku yakin sesampai di rumah aku akan tidur nyenyak sampai nanti sore. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah yang di Kemang. Sambil terus menyebut namanya dalam hati. KENANGA!!
10 Juli 2018
Revisi 16.04.19
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top