12

Kenanga Pov

Aku memijat telapak tangan mama yang terasa dingin. Ya Tuhan, cobaan apa yang sedang menghantam keluarga kami. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Papa hanya menunduk dihadapan dokter Albert. Menurut dokter Tekanan darah mama sangat tinggi. Setelah memberi obat dokter pun pulang.

Kupandangi papa dan mama bergantian. Mama yang terpejam dan papa yang menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Pundak papa terlihat bergetar. Papa menangis! Pemandangan yang tak pernah kulihat seumur hidupku. Sesulit apapun masalah tidak pernah orang tuaku selemah ini.

Wajah papa terlihat letih dan sesekali melirik jam dinding.

"Mandi dulu pa" ujarku berusaha membuka pembicaraan

"Iya sebentar lagi" jawab papa singkat.

"Pa"

"Ya"

"Apa laki laki yang mengancam papa itu memberikan batasan waktu?"

Papa memandangku tanpa kedip

"Udah, Nanga nggak usah pikirin. Biar papa
yang cari jalan keluar. Kamu temenin mama di rumah ya, papa mau keluar sebentar" jawab papa akhirnya. Kemudian melangkah keluar kamar.

Tak lama aku mendengar deru mobil keluar dari garasi. Kini tinggal aku dan mama di dalam kamar. Mama masih belum sadar. Akhirnya aku mencoba menghubungi mas Dygta. Semoga masku itu bersedia menemani malam ini. Beruntung mas Dygta langsung mengangkat panggilanku.

"Mas lagi dimana?"

"Masih di kantor kenapa?"

Aku bingung mau bicara apa. Aku yakin mas Dygta tidak tahu apa apa tentang masalah ini.

"Enggak cuma nanya aja. Nanga kangen" ucapku akhirnya. "Mas nggak pulang?" Tanya lagi.

"Kamu kangen? Ya udah, malam ini mas akan usahakan untuk pulang. Kamu mau dibawain apa?"

"Mas Dygta pulang aja aku udah seneng kok" jawabku. Kemudian sambungan telfon ditutup dari seberang sana.

Mungkin mas Dygta sibuk pikirku. Lalu kepada siapa aku harus bercerita sekarang?" Aku menghela nafas dalam dalam. Apakah aku memang harus mengorbankan diriku? Papa bilang tadi akan mencari jalan keluar. Tapi apa?

Aku tidak bisa membayangkan kalau kelak masku berada di pengadilan sebagai terdakwa. Juga wajah papa dan mama tertunduk menanggung malu. Bagaimana dengan eyang dan keluarga lainnya? Akankah mereka tetap menyayangi dan menghormati keluarga kami seperti sekarang ini? Bagaimana dengan karir mas Dygta? Kehidupan mbak Tasya beserta keponakanku? Apa yang akan dilakukan oleh mas Dipta kalau keluar dari penjara? Sanggupkah mama melihat kehancuran kami semua? Bagaimana caranya keponakanku bisa makan dan sekolah sementara kakak iparku hanya ibu rumah tangga biasa?

Kalau aku yang mengorbankan diri, hanya aku yang akan menjadi korban. Dan lagi pria itu hanya meminta dua tahun kan? Itu tidak akan lama. Dibanding duka seumur hidup dari seluruh keluargaku. Kulihat jam dinding sudah jam sebelas malam. Papa belum pulang juga. Aku harus bagaimana?

Tiba tiba terdengar ponsel papa berbunyi. Ternyata papa meninggalkan benda itu di rumah. Aku tahu kalau ponsel papa tidak menggunakan PIN. Walau begitu bukan berarti aku dengan seenaknya bisa membuka. Aku tahu banyak rahasia pekerjaan di dalamnya. Tapi saat ini ponsel itu berbunyi terus dari nomer yang tidak kukenal. Dengan tangan gemetar aku meraihnya dan mencoba melihat siapa yang menghubungi.

Ketika ponsel itu berhasil kuraih, panggilan tersebut sudah berhenti. Ada tiga panggilan tidak terjawab. Ya sudahlah pikirku kalau penting nanti juga pasti dihubungi lagi. Namun ketika aku hendak meletakkan kembali tiba tiba ada pesan masuk. Tidak ada nama tertera. Hanya nomor yang seperti penelepon tadi

Waktu anda tinggal satu jam. Saya hanya mengingatkan. Saya tidak takut membusuk di penjara. Tapi pikirkan anda, anak anak anda dan juga keluarga besar anda.

Aku panik begitu membaca pesan itu. Tanpa pikir panjang, aku segera menghubungi nomor tersebut kembali.

***

Bima Pov

Saat ini posisiku sudah di darat. Walau begitu aku masih harus waspada dengan keadaan di sekitarku. Barusan aku menghubungi pak Andreas. Namun tidak diangkat. Entah ia takut atau memang enggan. Aku tahu ia tengah bingung. Tapi aku memang tidak memberi pilihan lain padanya.

Bagiku keduanya tidak masalah. Seandainya ia menyatakan perang denganku juga akan kuterima. Apa yang kutakutkan di dunia ini? Orang tua aku tidak punya. Keluarga juga tidak ada. Apalagi anak dan istri. Kalaupun aku akan mati tidak akan ada yang mencari, dan menangisiku. Jadi apa masalahnya?

Jelas posisiku dengan pria itu berbeda. Ia dan seluruh keluarganya punya jabatan tinggi. Baik itu di pemerintahan maupun dikalangan dunia usaha. Kalau ia hancur tentu akan menjalar ke semuanya. Sungguh bodoh kalau dia tidak bersedia menukar semua dengan seorang Kenanga.

Kemudian aku mengirimkan sebuah pesan padanya. Waktunya memang tinggal satu jam. Dan aku hanya ingin mengingatkan kalau waktunya hampir habis. Begitu terkirim, aku berniat langsung mematikan ponsel ini. Namun aku sedikit kalah cepat dengannya. Ia menghubungiku

"Halo" terdengar suara perempuan bergetar diujung sana.

Aku terdiam, mencoba menganalisa apakah tadi aku salah menghubungi. Tetapi ternyata tidak! Kemudian terdengar lagi suara

"Saya Kenanga, saya bersedia menyetujui syarat kamu. Tapi tolong jangan sakiti keluarga saya" suara gadis itu terdengar pelan dengan sedikit isak disana.

"Tapi saya mohon beri saya waktu. Mama saya sedang sakit"

"Berapa lama" tanyaku dengan nada dingin

"Dua hari saja" jawabnya.

Setelah itu aku mematikan ponsel. Dan membuangnya keselokan. Itukah suara Kenanga? Terdengar manis walaupun disertai isak. Ini pertama kali kami berkomunikasi. Aku mengarahkan mobilku menuju kota. Kenanga kudapatkan, juga Airmata seorang Mike dan keluarganya!

Katakanlah aku egois, tapi sesekali mungkin nyaman untuk hidup sebagai pemenang. Setelah sekian tahun aku selalu berada pada pihak yang kalah. Akan kunikmati peranku kali ini. Bersama Kenanga tentunya. Aku punya rencana sendiri terhadapnya. Sebuah kejutan untuk masa depan kami.

***

Kediaman Andreas Wicaksono

"Pagi pa ma" Kenanga menyapa kedua orang tuanya di meja makan. Sarapan sudah terhidang, tapi tampaknya tidak seorangpun berniat makan.

"Kok nggak dimakan?" Tanya Kenanga lagi.

Ditatapnya papa dan mamanya. Wajah mereka lebih kusut lagi dari yang terlihat tadi malam "Papa sama mama kenapa? Makan dulu yuk" ajaknya

"Kamu ada buka sosmed pagi ini?" Tanya papanya

"Ada, kenapa pa?"

"Ada kabar tentang masmu?" Tanya mama

"Mas Dipta nggak ada ma. Oh iya, mungkin malam ini mas Dygta pulang. Tadi malam dia janji pulamg tapi nggak jadi karena sudah terlalu malam pulang kantornya"

Kedua orang tuanya saling memandang. Kenanga mengerti apa yang mereka takutkan. Tapi ia memilih untuk berbicara setelah sarapan. "Ya udah yuk, sarapan dulu. Nanga lapar"

Setelah berkata demikian Kenanga mengambil roti dan mengolesinya dengan keju oles. Kemudian mengunyah secara perlahan. Akhirnya diikuti oleh papa dan mamanya. Setelah selesai sarapan Kenanga bertanya

"Ponsel papa mana?"

"Di kamar, kenapa?"

Kenanga berusaha tersenyum mendengar jawaban papanya. Dari tadi malam ia sudah mempersiapkan diri. Agar pagi ini ia bisa berbicara langsung pada orang tuanya. Sekali lagi ditatapnya wajah kuyu mereka. Jelas ia tidak tega. Apalagi melihat kehancuran yang lebih parah dari ini. Akhirnya selesai sarapan ia berkata

"Waktu pergi kemarin ponsel papa ketinggalan di kamar. Tiba tiba ada yang telfon, tapi waktu Nanga angkat mati. No name pa. Nggak lama kemudian ada yang kirim pesan pakai nomor yang sama. Maaf Nanga lancang. Nanga baca isinya, dia mengingatkan waktu yang tersisa hanya tinggal satu jam. Maafin Nanga, Nanga mengiyakan permintaannya" jelas Kenang dengan airmata yang sudah berlinang

"Kenapa kamu jawab? Biarkan papa cari jalan keluar. Laki laki itu terlalu berbahaya buat kamu Nanga" jawab mama yang sudah ikut ikutan menangis

"Nanga nggak akan tega melihat keluarga kita hancur. Bagaimana nanti dengan pandangan orang tentang papa dan mas Dipta? Apakah nanti Eyang akan sanggup menerima berita ini? Bagaimana dengan keluarga kita yang lain. Papa nggak akan punya harga diri di depan mereka. Belum lagi mbak Tasya dan anak anak mas Dipta. Karier mas Dygta. Harus kita pikirin pa "

"Tapi kamu juga harus berpikir bagaimana tanggapan orang kalau kamu tidak disini selama dua tahun Nanga. Papa sama mama nggak apa apa kok. Jangan hancurkan masa depan kamu" suara mama terdengar makin lirih.

"Ma, lihat Nanga. Seluruh keluarga kita akan hancur. Nanga nggak peduli seberapa jahatnya dia. Yang pasti dia berjanji akan mengembalikan Kenanga setelah dua tahun"

"Tidak akan ada yang bisa memegang omongannya Nanga. Dia bukan seperti yang ada dalam pikiran kamu atau penjahat yang kamu tonton dalam film. Dia lebih berbahaya dari itu" akhirnya terdengar suara papa.

Kenanga terdiam. Ya ia tidak tahu sama sekali tentang pria itu. Tapi sudah pasti laki laki yang bernama Bima itu sangat berkuasa. Sampai ia bisa mengguncang karier papanya. Padahal Kenanga tahu kalau papanya dari dulu adalah pejabat bersih.

Kenanga Pov

Aku berusaha menghubungi nomor Bima melalui ponselku. Tapi sayang nomor itu tidak pernah aktif lagi. Walaupun sudah seminggu berlalu semenjak aku mengatakan bersedia. Tapi tidak ada orang yang datang untuk membawaku pada laki laki itu. Sebenarnya aku sendiri sudah menyiapkan pakaian yang akan kubawa. Karena kupikir pastilah aku akan dijemput di rumah.

Aku sedikit tenang, karena laki laki itu menepati janjinya. Tidak ada satupun berita mengenai keluarga kami yang di blow up media. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Walau wajah mama tetap terlihat suram. Namun aku yakin hanya kami bertiga yang mengetahui masalah ini.

Akhir akhir ini aku juga mendekatkan diri dengan papa dan mama. Kami selalu makan pagi dan malam bersama. Seakan akan kami mempersiapkan masa masa perpisahan kami. Mas Dygta dan Dipta belum tahu masalah ini. Kami berusaha menyembunyikan dari mereka.

Aku sudah mengurus cutiku di kampus dengan alasan untuk berobat. Juga mencari penggantiku untuk mengajar di panti asuhan. Sementara kegiatan lain kubiarkan saja. Aku lebih fokus pada kedua orang tuaku. Menunggu saat dimana aku harus meninggalkan mereka.





24 JULI 2018

Maaf untuk typo... happy reading ya....

Penghujung April 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top