BAB 7 SEBUAH TANTANGAN ABI

Hidup tidak selalu mulus, pastinya ada sebuah rintangan kecil ataupun besar.

Jangan takut untuk menghadapi tantangan itu, sakit sudah biasa demi mendapatkan kebahagiaan. ~ Adzkiya

Seorang gadis dengan celana bahan putih, kaos putih yang dipadukan dengan blazer Fanta tidak lupa pashmina coksu yang membalut kepalanya. Senyumannya terukir sangat indah saat menuruni anak tangga satu persatu, menurutnya fashion number one. Ummi Daliya yang sedang sibuk di dapur langsung mendapatkan pelukan hangat dari putri sulung, ya, dia adalah Adzkiya.

Ummi Daliya mematikan kompor, lalu menata nasi goreng kedalam piring yang sudah di sediakan. Adzkiya yang melihat Ummi sibuk dengan kegiatan pagi harinya, langkah kakinya langsung menuju wastafel untuk mencuci piring kotor. Kesibukannya di dunia kerja tidak membuatnya melupakan kodratnya sebagai anak dan nantinya akan menjadi seorang ibu rumah tangga, tapi sekarang sudah bukan jamannya wanita dirumah saja hanya mengandalkan gaji dari suami.

Adzkiya menginginkan hidup terbebas tanpa tekanan, tapi dirinya tetap akan mengurus suaminya nanti. Tidak mungkin, kan, setiap uang yang diberikan suaminya habis harus meminta lagi. Adzkiya ingin menjadi wanita karir dan juga ibu rumah tangga, ia sangat berharap mendapatkan lelaki yang menerima apa adanya dan tidak melarangnya melakukan apapun.

"Ummi,"panggilnya.

"Iya, ada yang ingin kamu sampaikan, nak!"

"Abi engga bakalan menyuruh Kiya untuk menerima perjodohan ini kan," pintanya dengan menatap Ummi Daliya yang sedang sibuk menuangkan minuman ke sebuah gelas.

"Ummi akan coba bicarakan pada Abimu, jika memang keputusannya tidak bisa diubahnya. Tetap kami selaku orang tuamu, ingin melihat putri kesayangannya bahagia dengan orang yang pantas menjadi pendampingmu," ucap Ummi memberikan pengertian pada Adzkiya.

Mereka berdua tidak menyadari jika sudah ada tiga orang yang berdiri tidak diambang pembatas antara dapur dan ruang makan, Alya terkikik melihat Adzkiya yang meminta pertolongan pada Ummi layaknya anak kecil. Sedangkan Adiva hanya memainkan ponsel untuk mencari hot news hari ini.

"Ekhem, sudah bicaranya!"

Adzkiya yang melihat kedatangan Abi dan kedua adiknya langsung berjalan menuju meja makan, tatapannya enggan melihat bola mata lelaki paruh baya di hadapannya itu. Ingin sekali dia mengutarakan langsung keputusannya, tapi apalah daya wajah Abi pagi ini terlihat lebih sangar dari sebelumnya. Ya allah ampuni Adzkiya yang sudah tidak sopan dengan ucapannya.

"Ngapain kalian berdua masih berdiri, duduk!" perintah Abi pada kedua putrinya yang masih saja berdiri, Adiva dan Alya langsung duduk di posisi masing-masing.

Ummi menuangkan makanan di piring Abi lalu duduk disebelahnya, hanya suara dentingan sendok dan piring yang memenuhi ruang makan. Adzkiya yang sudah lebih dulu menghabiskan dua tumpuk roti dan tidak lupa susu coklat kesukaannya, pagi ini dirinya sangat tidak berselera untuk memakan nasi. Ummi menatap wajah Adzkiya yang ingin membuka suara.

"Abi," ucapnya dengan lirih.

"Abi sudah tau apa yang ingin kamu sampaikan, perjodohan kamu dengan putra dari Om Edgar akan segera dilaksanakan. Tanpa menunggu persetujuan kamu, perjodohan ini akan tetap sesuai dengan keinginan Abi!"

Adzkiya yang geram dengan ucapan Abi Harrist langsung memukul meja makan membuat semua orang menatapnya, "Abi, tidak boleh seenaknya mengambil keputusan seperti itu. Kiya ingin bebas, Bi! sekali saja kalian memikirkan keinginan putrimu ini, ingin memilih calon suami sesuai dengan keinginan dan harapan Kiya sendiri tanpa campur tangan Ummi dan Abi." Airmata yang sejak semalam ditahan oleh Adzkiya akhirnya luruh juga, hatinya sangat sakit ketika Abi tetap dengan keputusannya.

Ummi langsung menghampiri Adzkiya dan menenangkannya, "Sabar sayang, sudah ya tahan emosi kamu. Engga baik kalau meninggikan ucapanmu kepada Abi, sekarang minta maaf pada Abi, ya," pinta Ummi dengan mengusap pipi Adzkiya.

Adzkiya enggan melangkahkan kakinya kearah Abi, dirinya lansung berjalan meninggalkan ruang makan. Namun baru saja lima langkah kakinya terhenti dengan ucapan Abi, "Baiklah, jika kamu tidak ingin dijodohkan. Bagaimana kalau Abi memiliki tantangan, sebentar lagi hari raya idul fitri. Jika dalam waktu dua bulan belum juga kamu mengenalkan lelaki pilihanmu itu pada Abi dan Ummi, maka pertunanganmu akan segera dilaksanakan saat itu juga."

"Ya Allah, bagaimana cara hamba untuk memenuhi tantangan Abi dalam waktu dekat. Tolonglah berikan petunjukmu, bismillahirrahmanirrahim."

Adzkiya menghela napas lalu membalikkan badannya, "Oke, Adzkiya terima tantangan Abi, sebelum malam takbiran atau lebih tepatnya puasa sepuluh hari calon suami pilihan putrimu ini akan datang dihadapan Abi."

Ummi dan kedua adik Adzkiya menatap dengan tidak percaya pada ucapannya, sementara Abi bertepuk tangan. "Wow, ternyata putri Abi tidak kalah keras kepalanya juga. Oke, Abi terima ucapanmu. Karena setau Abi, kamu jarang sekali berkomunikasi dengan lelaki manapun," ejeknya.

"Abi, sudah!" perintah Ummi Daliya.

"Ummi, Kiya berangkat dulu, assalammu'alaikum," pamitnya pada Ummi tanpa menatap kearah Abi, langkah kakinya meninggalkan ruangan makan. Abi yang sedari tadi menahan tawa langsung tertawa begitu saja membuat Ummi dan kedua anaknya menatap aneh kearahnya.

"Oh ayolah, Abi tidak bersungguh-sungguh marah pada kakak kalian. Kita lihat saja apakah ucapannya bisa terwujud secepatnya, Abi sangat tau karakter Adzkiya yang mudah sekali marah dan juga tingkat egoisnya lebih tinggi dari kalian." Ummi mencubit pinggul Abi dengan keras membuat si empunya kesakitan.

"Tetap aja Ummi yang jadi kena sasaran tidak ditanya olehnya, awas saja jika Adzkiya salah langkah itu semua karena Abi yang memberikan tantangan. Ummi tidak mau sampai harus perang dingin seperti ini, Adiva dan Alya! Cepat habiskan sarapan kalian, setelah itu kalian bisa pergi kerja dan sekolah nanti terlambat!" perintah Ummi Daliya yang langsung diangguki oleh kedua putrinya.

****

Sementara ditempat lain seorang laki-laki tengah mencari sarapan pagi di depan komplek yang tidak jauh dari rumahnya, ia sedang menunggu adik bungsunya yang tengah membeli bubur ayam. Hari ini mendapatkan jadwal libur setelah seminggu full bekerja, tangannya meraih ponsel yang ada disaku jaket hoodie kesayangannya.

Rasanya ia ingin sekali mengirim Direct Message pada sahabat dari Alya, tapi ia urungkan lebih baik sekedar mengaguminya dari jauh saja. Jika memang Allah mempertemukannya dengan perempuan itu pasti akan terjadi, seorang lelaki delapan belas tahun menghampirinya sambil membawa kantong plastik hitam berisi bubur ayam.

"A, ayo kita pulang," ajaknya.

"Gantian yang bawa motornya dek," ucap lelaki itu.

Lelaki delapan belas tahun itu hanya memutar bola matanya malas lalu memberikan kantong bawaannya, sedangkan kakaknya langsung duduk berpindah di jok belakang motor. "Kalau tau gitu, lebih baik dede aja yang beli buburnya engga usah ngajak aa!" ucapnya dengan ketus.

"Oh, jadi engga ikhlas nih. Oke, uang jajan bulanan kamu aa potong yah!" ledeknya dengan menepak pundak adik bungsunya.

"Ih, jangan dong A. Udah tau sekarang Aa sekarang jarang banget ngasih uang, sebelum Aa nikah apa salahnya ngebahagiakan Akhmar dulu," ujar Akhmar.

"Kamu tau kan, kalau Aa lagi mengumpulkan biaya untuk menikah. Tapi tenang saja uang jajan kamu dan Ibu tidak akan Aa lupakan, karena kalian tanggung jawab Aa semenjak Ayah sakit-sakitan. Ayo sekarang kita pulang, Ibu pasti sudah menunggu bubur ini untuk sarapan Ayah," ajak Adnan pada adiknya itu.

Akhmar langsung menstater motornya lalu mengendarai motor kedalam komplek rumahnya, Adnan hanya diam sambil melihat lalu lalang orang-orang yang akan berangkat bekerja. Tatapannya tidak sengaja melihat seorang perempuan yang sedang menaiki ojek online, wajahnya sangat tidak asing. Ingin sekali ia langsung menyuruh adiknya itu mengikuti kemana arah ojek itu berangkat, namun ia urungkan karena tidak mungkin merepotkan Akhmar.

Sesampainya dirumah, Akhmar memarkirkan motor kesayangannya di garasi. Model rumahnya sangatlah minimalis dengan type 36 yang sangat sederhana dibandingkan dengan model rumah disekitar kompleknya, ornament disetiap penjuru rumah membuat siapa saja akan terpukau. Adnan bekerja keras untuk menghidupi Ibu, Ayah dan Akhmar. Semenjak lulus dibangku sekolah, Adnan langsung mencari pekerjaan untuk membantu ketiga perekonomian keluarga.

Akhmar sangat menyayangi Adnan, jika saja Adnan tidak mendapatkan kerja langsung saat lulus sekolah. Maka rumah tempat tinggalnya saat ini akan disita oleh pihak bank, walaupun ketiga kakaknya sudah menjadi orang sukses. Tapi Adnan tidak ingin merepotkan mereka semua, ia lebih baik menggadaikan bpkb motor milik pribadinya untuk melunasi hutang dari pada harus melihat kakak sulungnya berdebat dengan istrinya.

Adnan tidak menyadari bahwa motor yang dikendarai oleh adiknya itu sejak tadi sudah berhenti, dengan jahilnya Akhmar langsung menklakson motor tersebut. "Astagfirullah, Mar, untung saja Aa tidak punya riwayat jantung!" ketusnya.

"Ye, abis siapa suruh, Aa malah diam diatas motor sambil melamun lagi. Ayo masuk, Ibu pasti sudah menunggu kita dari tadi," ucapnya langsung diikuti langkah kaki keduanya memasuki rumah.

Ibu yang baru saja keluar dari kamar dengan mendorong kursi roda Ayah menghampiri kedua putranya, Akhmar langsung berjalan ke dapur untuk menuangkan sarapan pagi sementara Adnan mengambil alih kursi roda Ayahnya. Mereka bertiga berjalan menuju taman belakang, setiap libur kerja Adnan selalu menghabiskan waktu bersama keluarganya terutama membahagiakan Ibu dan Ayah.

"Nan, kamu mandi dan ganti baju dulu sana! Biar Ibu yang menyuapi Ayahmu makan dan nanti Akhmar yang akan membantu, kamu sudah cape bekerja seminggu ini. Sebaiknya habiskan waktu liburmu dengan beristirahat yang cukup," ucap Ibu dengan mengusap pipi putrnya dengan sayang.

"Biarkan Adnan mengabdi pada kalian berdua, sebelum hari bahagia itu tiba. Oh iya, Bu, stok obat Ayah apakah masih ada?" tanya Adnan dengan senyuman.

"Sebenarnya obat Ayahmu sudah habis dua hari yang lalu, Ibu baru akan menjadwalkan ulang control Ayah nanti hari kamis," jawabnya.

"Astagfirullah, kenapa baru bilang sama Adnan, Bu! Kalau obat Ayah habis Adnan bisa pinjam uang ke Bang Fathan biar nanti pas gajian diganti," ucapnya dengan putus asa.

Ayah mencoba menggerakkan tangan walaupun tidak bisa sama sekali, Adnan langsung berlutut didepan Ayah Arthur dengan tatapan sendu. "Jika saja manusia bisa berandai-andai, mungkin semua ini tidak akan terjadi pada keluarga kita, Bu. Ayah harus merasakan kesakitan dihari tuanya, bahkan Ibu harus menjalani hidup dengan mengurus cucu demi mendapatkan uang yang jumlahnya tidaklah besar."

Ayah Arthur hanya bisa menangis melihat putra pengais bungsunya meratapi hidupnya, Ibu membelai rambut Adnan dengan penuh sayang. Disudut ruangan Akhmar yang melihat perbincangan Ibu, Ayah dan kakaknya ikut terenyuh. Pipinya tidak terasa basah oleh tetesan airmata, cengeng itulah satu kata yang bisa digambarkan oleh Akhmar. Dibalik sikap jahil dan periang, Akhmar merupakan lelaki yang melankolis. 

****

Azzura berlari memasuki lobi kantor, hari ini rasanya sangat sial sekali. Seandainya jika semalam ia tidak tidur larut malam karena menonton drakor, tidak akan bangun kesiangan seperti saat ini. Jika saja tidak dibangunkan oleh telpon kekasihnya ia akan bablas masih di alam mimpi, peluh membasahi wajahnya.

Staff dikantor langsung melihat aneh kearah Azzura yang masih memakai sandal jepit ditambah pashmina yang masih acak-acakan, Adzkiya yang sedang duduk di meja kerjanya sangat kaget ketika pintu ruangan didorong paksa. Tatapannya langsung tertuju pada Azzura yang masih menghirup pasokan udara, dengan langkah gontai Azzura langsung duduk dikursi kebanggaannya.

Adzkiya langsung memberikan botol mineral pada rekan kerjanya itu, ingin sekali ia mentertawai wajah Azzura namun diurungkan. Tidak baik melihat orang kesusahan namun dirinya malah mentertawakannya, Adzkiya meraih tas kerjanya dan memberikan dua bungkus coklat batang lalu ditaruhnya disebelah keyboard milik Azzura. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top