Bab 8 ~ Perjodohan

Selamat hari Rabu, semoga hari mu tidak kelabu.

Happy Reading ^^





"Ada rencana buat ngelanjutin pendidikan lagi?" tanya pria di depan Ayra.

"Ada tapi bukan dalam waktu dekat. Saat ini saya masih menikmati peran saya sebagai dosen," jawab Ayra dengan tersenyum manis.

Pria di depan Ayra mengangguk-anggukan kepalanya mendengar penuturan Ayra. Wanita yang sudah bukan rahasia umum lagi menjadi incaran para pria sukses diluaran sana.

"Kamu setuju gak sih Ay dengan perjodohan?" tanya Andi pria di depan Ayra itu.

"Aku netral sih. Tergantung dari latar belakang orang yang jalaninnya juga," jawab Ayra.

Andi ini putra ketiga dari salah satu politikus berpengaruh di Indonesia dan dirinya sendiri pun adalah anggota DPRD provinsi jawa barat. Kalau Ayra itung-itung sudah tidak terhitung lagi berapa orang yang papa nya kenalkan. Mulai dari dosen, pengusaha, politikus, pegawai negeri, bahkan sampai anak pemilik pondok pesantren besar. Tapi semuanya selalu berujung hal yang sama, hanya Ayra ajak berteman.

"Kalau kamu yang dijodohin gimana?" tanya Andi.

"Kalau emang saya cocok dengan orangnya ya saya terima aja," jawab Ayra lugas.

"U know Ay, kamu itu udah terkenal banget di kalangan para orang tua yang ingin menjodohkan anaknya," ujar Andi sambil terkekeh.

"Seriously? Why?" tanya Ayra heran.

"Kamu itu tipe menantu ideal Ay. Udah berpendidikan, gak pernah ada affair dengan siapa pun, dan yang paling penting kamu dari keluarga baik-baik yang dihormati banyak orang," jawab Andi membuat Ayra sedikit terkekeh.

"Kamu berlebihan. Banyak perempuan lain yang lebih sempurna dari saya. Mereka yang menyebut saya ideal hanya tidak tahu saja letak kekurangan saya," kata Ayra.

"Yeah, semua orang punya kekurangannya masing-masing. Tapi untuk beberapa orang seperti kamu, kekurangannya itu tertutupi dengan kelebihan," ucap Andi dan kemudian meminum kopi di depannya.

"Dan kayanya sudah bukan rahasia lagi ya kalau perjodohan dengan saya selalu berujung gagal?" tebak Ayra sambil tertawa pelan.

"Mereka bilang kamu terlalu sempurna. Tapi, kamu mau Ay untuk melanjutkan perjodohan dengan saya?" tanya Andi membuat Ayra berhenti tertawa.

"Saya tidak mau memberi kamu harapan. Dan sepertinya untuk beberapa faktor kita gak bisa lanjutin perjodohan ini," jawab Ayra to the point.

Ayra sepertinya sudah menghapal kata-kata itu sekarang. Ia selalu mengakhiri kencan buta bikinan papanya di pertemuan pertama.

"Are you feeling dead?" gurau Andi.

"No! Saya hanya berprinsip untuk melakukan hal-hal yang memang ingin saya lakukan. Dan menjalin hubungan dengan pria bukan hal yang ingin saya lakukan saat ini," jawab Ayra sambil terkekeh.

"Kamu wanita berprinsip dan saya semakin kagum dengan hal itu. Mungkin ini pertama kalinya saya ditolak tapi bukannya benci saya malah makin tertarik dengan kamu," kata Andi dengan wajah maskulinnya yang Ayra yakin sudah banyak perempuan lain yang mengantri untuk mendapatkan nya.

"Jangan tertarik pada saya. Kasihan para perempuan yang saat ini tengah antri menunggu untuk kamu lirik," ujar Ayra dengan nada becanda dan dibalas tawa renyah oleh Andi.

***

Setelah berpamitan pada Andi, Ayra pun melangkah kan kakinya keluar dari cafe menuju ke parkiran mobil. Ia yang tak fokus dengan sekitar karena membalas beberapa pesan dari mahasiswa nya tak sengaja menabrak punggung seseorang yang tengah menelpon di dekat mobilnya.

"Eh maaf-maaf saya tak sengaja," ucap Ayra.

"Ayra?" tanya pria itu begitu membalikkan badan.

Ayra diam membeku sesaat. Potongan-potongan memori masa lalu nya kembali dan itu membuatnya membelalak tak percaya memandang laki-laki yang sekarang tengah tersenyum ceria menatap ke arahnya.

"Dito!" panggil Ayra histeris melihat teman SMA nya yang juga pernah ia tolak perasaanya 7 tahun yang lalu.

"Wow it's amazing Ra! Bisa bertemu kamu lagi setelah sekian purnama," ucap Dito sambil mengulurkan tangannya ke Ayra dan dengan sigap Ayra langsung menerima uluran tangan Dito.

"Kamu sejak kapan udah di Bandung lagi Dit?" tanya Ayra penasaran. Semenjak saat itu mereka memang tidak pernah berhubungan lagi.

"Sudah sekitar 3 tahun yang lalu," jawab Dito sambil tersenyum menunjukkan deretan giginya yang rapi.

"Semenjak lulus kuliah?" tebak Ayra dan diangguki oleh Dito.

"Ay kayanya kita perlu ngobrol, mau masuk ke dalam?" tanya Dito.

"Sorry to say Dit, tapi aku baru aja keluar dari sana," jawab Ayra sambil tersenyum tidak enak.

"No problem! Kita bisa cari tempat lain," ucap Dito dan disetujui oleh Ayra.

Tempat lain yang disetujui Ayra adalah sebuah taman terbuka yang tak jauh dari tempat cafe tadi. Suasana malam dan angin sepoi-sepoi membuat Ayra sedikit menikmati itu. Sudah lama dirinya tidak keluar seperti ini.

"Jadi kegiatan kamu apa Dit?" tanya Ayra.

"Nerusin bisnis Papa, kalau kamu sendiri Ay?" jawab Dito.

"Aku ngajar di kampus tempat dulu aku kuliah," jawab Ayra.

"Hebat bu dosen! Kamu emang golongan akademis banget ya," ujar Dito sambil terkekeh dan membuat Ayra tertawa pelan.

"Udah lama Ay?" tanya Dito.

"Udah mau dua tahun sih," jawab Ayra.

"Kamu udah nikah?" tanya Dito kemudian membuat Ayra mengerutkan alisnya.

"Pertanyaannya bisa diganti?" tanya Ayra membuat Dito terkekeh.

"Aku baru aja mengakhir perjodohan loh Dit beberapa menit yang lalu," lanjut Ayra membuat tawa dito semakin keras.

"So, setelah tujuh tahun berlalu perasaan kamu ke aku belum berubah Ay? Atau mungkin sekarang udah ada sedikit rasa berdebar-debar?" goda Dito membuat Ayra memukulnya pelan.

"Dito yang aku kenal sekarang udah bisa banget nge jokes ya, beda dengan Dito versi dulu yang begitu serius," alih-alih menjawab pertanyaan Dito, Ayra malah membahas perbedaan sikap Dito.

"Mungkin karena sekarang aku udah bertambah usia dan lebih santai dalam menjalani hidup. Lingkungan juga banyak berpengaruh sih," ujar Dito.

"Lingkungan mu bapak-bapak semua ya?" tebak Ayra.

"Kok tahu?" tanya Dito pura-pura kaget dan itu malah membuat Ayra tertawa.

"Nah kan kelihatan! Jokes nya kamu tuh kaya jokes bapak-bapak tahu," ucap Ayra.

"Yang penting bisa membuat kamu tertawa kan Ay. Prinsip hidup aku kan bisa membuat kamu bahagia," kekeh Dito.

"Buaya banget sih," ucap Ayra dan tertawa renyah sambil memukul-mukul lengan Dito.

"Jadi dosen itu pilihan kamu Ra? Atau Papa kamu?" tanya Dito.

"Pilihan aku lah Dit. Sedikit banyak aku belajar dari beliau dan menjadi dosen itu menyenangkan. Bisa memanfaatkan ilmu kita dengan mengajarkannya kepada orang lain itu ada kebahagiaan tersendiri," jawab Ayra.

"Jawaban yang bijaksana," puji Dito.

"Udah malem Dit, aku pulang dulu ya," pamit Ayra dan melihat jam di tangannya yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

Saat ini tengah bulan ramadhan dan Ayra merasa orang tua nya pasti tengah menunggu nya saat ini.

"Mau aku antar?" tawar Dito.

"Gak usah Dit, jalanan masih rame," tolak Ayra.

"Oke deh, aku minta nomor kamu aja. Kapan-kapan kita bisa bertemu lagi, kan?" tanya Dito.

"Tentu saja. Ini simpan aja nomor kamu nanti aku hubungi," kata Ayra dan menyerahkan ponselnya.

***

"Dari mana aja kamu Ay?" tanya Papa nya yang sudah menunggunya di ruang tamu begitu Ayra datang.

"Tadi Ayra gak sengaja ketemu teman lama Pah dan ngobrol bentar," jawab Ayra sambil mencium tangan papa dan mama nya.

"Kenapa kamu gagalin perjodohan ini lagi?" tanya papa nya membuat Ayra meneguk ludahnya sendiri dengan susah payah.

"Ayra enggak cocok Pah sama Andi—."

"Gak cocok, gak cocok, gak cocok! Selalu itu yang kamu jadiin alasan Ay! Kamu mau mencari lelaki yang seperti apa lagi sih Ay? Kamu udah punya calon sendiri? Kalau udah bawa kesini kenalin ke Papa," ucap papanya dengan nada cukup tinggi dan itu membuat Ayra sedikit takut.

Ayra sendiri tidak yakin pria seperti apa yang ia cari. Mati rasa? Tentu saja tidak! Ia hanya merasa tidak nyaman dengan pria-pria yang selama ini mendekatinya. Mungkinkah ia masih terjebak dengan nostalgia masa lalu?

Apakah hatinya masih tertawan di pria yang saat ini pun Ayra tak tahu bagaimana kabarnya.

"Pa udah jangan marahin Ayra. Mungkin memang Ayra belum berjodoh aja dengan laki-laki yang selama ini Papa kenalin," ucap mama nya menenangkan.

"Tapi mau sampai kapan ma dia seperti itu terus. Sepandai-pandainya kamu, semandiri-mandirinya kamu, kamu tetap membutuhkan laki-laki untuk mendampingi kamu. Dan Papa hanya ingin lelaki terbaik untuk kamu."

"Kamu pikir Papa hanya asal mengenalkan pria ke kamu? Tentu saja tidak! Papa berusaha untuk mengenalkan pria-pria terbaik yang Papa kenal. Tapi apa? Selalu berakhir dengan kamu yang mengakhirinya," lanjut papa nya.

"Ayra butuh waktu Pa. Ayra juga gak tahu apa yang sebenarnya Ayra inginkan. Ayra gak tahu apa yang sebenarnya Ayra tunggu. Ayra hanya merasa bahwa Ayra tidak akan bahagia dengan pria-pria itu. Jika Ay menerima pria pilihan Papa hanya karena itu pilihan terbaik yang Papa pilihkan, maka apa bedanya Ay dengan robot yang tak memiliki perasaan dan hanya mengikuti alur yang dibuatkan pemiliknya?" kata Ayra dengan air mata yang mulai membanjiri pipinya.

"Ay sudah, mama ngerti apa yang kamu rasakan. Kamu gak perlu memaksakan diri untuk itu," ucap Mamanya dan berpindah tempat duduk untuk memeluk sang putri semata wayang.

"Maafin Ay ya ma. Maaf Ayra udah bikin mama dan Papa kecewa terus," ucap Ayra dan balas memeluk Mamanya.

"Kamu gak salah sayang. Ini salah kami yang terlalu menginginkan yang terbaik untuk kamu. Tapi kami lupa kalau kamu pun punya prinsip hidup kamu sendiri yang gak bisa kami ubah sesukanya," ucap Mama nya sambil mengelus rambut putrinya dengan lembut.

"Kamu masuk kamar Ay udah malam. Gak baik mandi malam-malam," perintah Papa nya membuat Ayra menguraikan pelukannya dengan sang Mama.

Ayra tersenyum dan mengangguk. Ia senang karena kemarahan papa nya sudah mereda. Dengan segera ia pun melangkahkan kaki untuk pergi.

Namun sebelum jauh dari ruang tamu, sayup-sayup ia mendengar perkataan papa ke mamanya.

"Idul fitri kali ini kita di sini aja. Ibu katanya mau lebaran di sini."

Idul fitri di sini? Apa itu artinya dia akan bertemu dengan Liam tahun ini?

Perasaannya campur aduk. Antara siap dan tidak dengan kenyataan apa yang nanti akan ia temui.







Sampai jumpa hari Sabtu guys🤩

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top