Bab 18 ~ Rindu
"Ay ada apa?" tanya mama nya menyadari putri satu-satunya dari tadi hanya duduk di ayunan yang tak jauh dari dirinya yang tengah menyiram tanaman di belakang rumah.
"Gak apa-apa kok Ma, Ayra hanya ingin lihatin Mama aja," jawab Ayra sambil terkekeh.
"Tumben banget. Gak ada kerjaan Ay?" tanya mama nya lagi.
"Ada sih beberapa tugas mahasiswa yang harus Ay periksa. Tapi lagi malas nanti malam aja Ay kerjain," jawab Ayra.
Angin sore berhembus menerpa wajahnya. Sebulan sudah ia menjalin hubungan dengan Liam dan sampai detik ini ia tak pernah mengatakan hal itu pada orang tuanya. Bukannya mengapa, hanya saja Ayra merasa belum benar-benar yakin dan takut akan mengecewakan orang tuanya.
"Kalau ada masalah atau ada yang pengen kamu ungkapin, katakan aja Ay. Mama akan dengerin," kata mama nya dan duduk di samping Ayra.
"Mama bisa baca pikiran aku?" alih-alih mengatakan hal yang mengusik pikirannya, Ayra malah mengajukan pertanyaan random ke mamanya.
"Kamu ada-ada aja! Kamu itu putri mama Ay. Dan seorang ibu itu lebih peka dari siapapun mengenai perasaan putrinya," jawab mama nya.
"Sebenarnya Ay sedang pacaran dengan seseorang. Ia baik tapi Ay masih ragu dan sering takut kecewa Ma," tutur Ayra pada akhirnya.
"Apa yang membuat kamu ragu?" tanya mama nya.
"Dulu Ayra begitu mendambakan pria itu. Tapi setiap Ayra berusaha untuk mendapatkannya, saat itu pula Ayra seringkali kehilangannya. Dan untuk saat ini Ay takut hal itu terjadi lagi," jawab Ayra.
Mama nya tersenyum lembut dan menggenggam tangan Ayra dengan hangat. Mencoba menenangkan dan mengerti akan kegelisahan putrinya.
"Ay hidup itu gak ada yang tahu akan seperti apa. Tugas kita hanya melakukan yang terbaik bukan menjadi yang terbaik. Mama ngerti kamu takut, tapi jangan sampai ketakutan itu malah merenggut kebahagiaan kamu. Tidak usah risau dengan akhir yang tidak pasti, kekecewaan yang mungkin akan kamu terima adalah konsekuensi dari jalan hidup kamu, bukan dari pilihan kamu. Toh jika kamu tidak memilih jalan ini pun tidak menutup kemungkinan kamu akan mendapatkan kekecewaan juga," tutur mama nya.
"Kamu bilang pria itu baik bukan? Yakin saja jika dia memang pria yang baik maka dia akan selalu mengusahakan yang terbaik buat kamu. Entah nantinya akan berakhir menjadi jodoh kamu atau tidak itu urusan yang di atas. Tugas kita hanya menjalani takdir yang telah di gariskan," lanjut mama nya.
"Mama kenal pria itu?" tanya mama nya dan dijawab anggukan oleh Ayra.
"Ayra tengah menjalin hubungan sama bang Liam," jawab Ayra.
"Syukurlah. Mama lebih tenang saat mengetahui kalau pria itu adalah Liam," ucap mamanya sambil tersenyum.
"Percaya sama mama, dia gak akan mengecewakan kamu. Kamu tahu Ay? Liam sudah sering datang kesini tanpa sepengetahuan kamu hanya untuk mengetahui kabar kamu. Dan itu ia lakukan selama bertahun-tahun," lanjut mama nya membuat Ayra terkejut dengan info baru ini.
"Itu kapan Ma?" tanya Ayra.
"Sejak kamu SMA sampai kamu masuk kuliah," jawab mama nya membuat ayra memelototkan matanya tak percaya.
"Mama serius?" tanya Ayra.
"Memangnya untuk tujuan apa mama bohong?" tanya ibunya sambil terkekeh.
"Kenapa Mama gak pernah bilang ke Ayra?" tanya Ayra.
"Liam bilang katanya jangan sampai kamu tahu. Mama gak tahu apa yang terjadi di antara kalian dahulu. Hanya saja mama selalu berharap yang terbaik saja untuk kalian berdua. Mama percaya Liam bisa menjaga dan membahagiakan kamu," kata mama nya.
Ayra sungguh tak habis pikir. Sebenarnya seperti apa perasaan yang Liam rasakan padanya? Jika perasaannya telah ada semenjak dahulu, lalu kenapa pria itu baru mendekatinya saat ini?
Jika memang pria itu sudah begitu berjuang untuk dirinya, lantas apakah pantas jika Ayra masih sering meragukannya?
***
"Tadi Ay ngobrol sama mama tentang Abang," kata Ayra di tengah-tengah kegiatan video call rutin mereka yang hampir setiap malam selama sebulan ini dilakukannya.
"Tante Anna pasti setuju kan sama aku?" tanya Liam sambil menaik turunkan alisnya berlagak jumawa.
"Bukan itu pembahasan kita malam ini ya," ucap Ayra.
"Baik bu dosen, kita masuk ke pembahasan apa malam ini?" tanya Liam sambil terkekeh melihat ekspresi Ayra yang sepertinya sudah ingin memukulnya jika dekat.
"Kata mama dari dulu Abang sering nemuin mama buat nanyain kabar aku, bener?" tanya Ayra langsung.
"Iya," jawab Liam singkat.
"for what?" tanya Ayra.
"Kan nanyain kabar Ay. Tentu saja untuk mengetahui kabar," kekeh Liam membuat Ayra mendengkus.
"Bukan itu maksud aku. Kan aneh aja kalau Abang sering nemuin mama hanya untuk nanyain kabar aku tanpa ada maksud lain," kata Ayra.
"Justru itu Ay aku juga gak tahu maksud aku dulu itu apa. Mungkin semacam kebiasaan?" tanya Liam mencoba mengelak membuat Ayra memutar bola matanya malas.
"Abang udah suka sama aku sejak lama ya?" tanya Ayra tanpa tedeng aling-aling.
"Sejak kecil," goda Liam dan Ayra merenggut karena itu.
"Abang ih serius!" ucap Ayra memperingati.
"Aku gak pernah seserius ini loh, kalau aku gak suka kamu pas kecil gak mungkin dong kita jadian dahulu," ujar Liam dengan senyum lebar.
"Maksud aku apakah semenjak aku SMA Abang udah tertarik lagi pada aku?" tanya Ayra memperjelas pertanyaannya.
"Aku gak tahu apakah itu perasaan suka atau bagaimana. Yang pasti dulu aku selalu ingin tahu kabar kamu tapi gak berani untuk menanyakan langsung," jawab Liam.
Ayra terdiam. Bukan hanya dirinya ternyata yang bergelut dengan kebingungan atas perasaan terhadap pria ini. Tapi Liam pun mengalami hal yang sama.
"Lalu semenjak Abang lulus kuliah apakah masih suka nanyain aku ke mama?" tanya Ayra penasaran.
"Iya tapi aku hanya menanyakannya via whatsapp jarang sekali aku berkunjung secara langsung." Jawaban Liam benar-benar membuat Ayra tak habis pikir dengan apa yang telah mereka lalui selama ini.
Sungguh ia begitu keliru dengan semua pemikirannya tentang takdir kisah mereka.
"Ay pikir Abang udah gak mau temenan sama Ayra lagi semenjak kejadian masa kecil dulu," ucap Ayra mengungkapkan isi hatinya yang selama ini terpendam.
"Kenapa aku gak mau temenan sama kamu? kamu itu menggemaskan loh Ay," jawab Liam dengan kekehan khasnya.
"Emangnya aku kucing!" ucap Ayra.
"Kalau aku terlihat seperti menjaga jarak itu karena aku canggung Ay. Aku takut kamu gak nyaman kalau deket-deket sama aku setelah apa yang terjadi dulu," kata Liam.
"Lucu ya Bang, kita dulu saling menebak perasaan masing-masing dan tebakan kita gak ada yang bener," ujar Ayra dan tertawa renyah menertawakan semua pemikiran dan masa lalunya.
"Emang sih yang paling bener tuh kalau ada perasaan ungkapin aja. Masalah hasil akhir ya kita serahkan saja pada takdir. Entah berakhir dengan baik atau tidak itu memang takdir yang harus kita jalani." Ucapan Liam membuat Ayra mengangguk-anggukkan kepala setuju.
Terlalu khawatir akan masa depan yang belum terjadi itu sungguh tidak baik.
"Kalau ada perasaan yang belum diungkapin itu nanti bisa-bisa malah nyesel bener gak Bang?" tanya Ayra.
"Pertanyaan ini bobot nilainya berapa nih?" goda Liam.
Ayra sungguh kehabisan kata-kata. Ingin sekali ia memukul Liam secara nyata karena pria ini begitu senang melemparkan candaan yang berisi godaan akan pekerjaannya.
"Biasa aja Ay ekspresinya kaya yang mau ngemakan aku gitu," kata Liam dan tertawa puas.
"Habisnya Abang seneng banget gitu ngusilin aku!" protes Ayra.
"Terus aku harus ngusilin siapa dong kalau gak usil ke kamu?" tanya Liam.
"Ohh jangan-jangan Abang di sana suka saling usil ya sama temen perempuan yang Abang banggakan itu?" tanya Ayra dengan mata menyipit.
"Enggak Ay enggak. Aku sekarang udah jarang ketemy Aisy," kata Liam.
"Ohh namanya Aisy. Enak ya manggilnya Ai Ai gitu, uhhh," kata Ayra sambil mendelik tak suka.
Liam mengusap wajahnya kasar. Pembahasan tentang Aisy selalu berujung tidak baik untuk mereka.
"Ay udah ya jangan bahas dia lagi. Aku gak enak sama dia. Beneran kita itu gak ada apa-apa," ucap Liam mencoba menutup pembahasan tentang Aisy.
"Ohh gak enaknya sama dia? Bukan gak enak karena jaga perasaan aku? Kenapa sih Abang gak pilih dia aja yang lebih dewasa, lebih pinter, lebih sukses, lebih cantik dari aku?" tanya Ayra dengan napas memburu.
"Karena ada satu kelebihan kamu yang gak ada di wanita lain," jawab Liam dengan tenang.
"Apa?" sentak Ayra.
"Kelebihan kamu adalah bisa membuat dunia aku hanya terpusat pada kamu."
Semburat merah di wajah Ayra membuat Ayra sedikit salah tingkah. Liam selalu berhasil mengendalikannya. Sekesal apapun ia pada pria itu tapi pria itu selalu punya cara untuk meredakan kekesalannya.
Menjalani hubungan jarak jauh itu tidak mudah. Tapi bersama pria ini Ayra merasa semuanya akan baik-baik saja meski jarak mereka tidak dekat. Hanya satu yang tidak baik-baik saja. Rasa rindunya untuk melihat secara langsung sosok pria ini.
"Abang belajar darimana gombalan kaya gitu?" tanya Ayra.
"Dari drama Korea," jawab Liam asal.
"Abang nonton drama Korea?" tanya Ayra antusias mengingat dirinya salah satu pecinta drama.
"Becanda Ay. Itu bukan gombalan tapi ungkapan hati aku," jawab Liam.
"Abang mau tahu gak ungkapan hati aku sekarang?" tanya Ayra.
"Ingin dong! Ayo Ay apa yang ada dalam hati dan pikiran kamu sekarang untuk aku?" tanya Liam dengan antusias.
Jarang-jarang sekali bagi Liam mendengarkan Ayra membicarakan isi hatinya. Perempuan ini begitu pandai menyembunyikan perasaannya.
"Ayra kangen Abang," kata Ayra.
Singkat, padat, dan jelas. Liam sungguh takjub mendengar Ayra mengatakan kata itu. Sudah sebulan semenjak mereka menjalin asmara dan tak pernah sekalipun Liam mendengar kata-kata rindu dari Ayra.
"Ay aku ingin pulang sekarang." Ayra tertawa mendengar ucapan Liam.
"Tuh kan responnya pasti gini. Abang mau tahu kenapa Ay tidak pernah mengatakan hal-hal seperti itu pada Abang?" Liam mengangguk sebagai jawaban keingin tahuannya.
"Karena Ay takut Abang jadi mikirin Ayra terus dan gak fokus deh kerjanya," jawab Ayra dan tertawa dengan keras.
"Ay cukup! Aku gak kuat lagi. Melihat semua hal yang kamu lakukan membuat aku ingin segera pulang dan melamar kamu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top