Bab 16 ~ Keyakinan

Selamat malam Kamis dan selamat membaca^^

Komunikasinya dengan Liam hari demi hari semakin buruk. Mereka yang sama-sama sibuk dengan pekerjaan maupun dengan isi kepala masing-masing.

Terkadang Ayra berpikir apa sebenarnya yang ada di benak pria itu? Apakah dia serius dengan ucapannya tempo hari yang ingin menjalin hubungan dengannya? Tapi perjuangan apa yang telah pria itu lakukan untuk meyakinkan dirinya? Terlihat sangat nihil bukan?

Tapi terkadang Ayra pun tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Hal apa sebenarnya yang membuat ia menggantungkan hubungan dengan pria itu? Mengapa perihal perasaan dirinya begitu tidak bisa tegas?

Trauma masa lalu mungkin sedikit demi sedikit telah hilang, tapi tetap saja banyak hal-hal yang Ayra sendiri pun tidak mengerti mengapa ia masih meragu.

Egois sebenarnya jika dirinya ingin diperjuangkan tapi tidak ikut berjuang. Ayra tahu itu, tapi tetap saja naluri wanitanya ingin melihat sejauh apa pria itu serius dengan ucapannya.

Beberapa hari yang lalu ia telah main ke rumah Liam. Mengobrol banyak hal dengan ibu dari pria yang sebenarnya masih ia sukai membawa beberapa hal baru yang membuka pikirannya tentang pria itu.

Satu hal yang mengejutkan Ayra bahwa ibunya hanya pernah bertemu Airin sekali itu pun saat kelulusan SMA. Airin dan Liam satu SMA dan itu info yang menarik bagi Ayra. Hubungan mereka ternyata telah berjalan lebih lama dari yang ia bayangkan.

Mengingat masa SMA tiba-tiba pikirannya teralihkan pada Dito. Mungkin pria itu adalah bentuk Ayra dalam sosok yang lain. Walaupun tidak selama perasaannya terhadap Liam, tapi Ayra yakin tulusnya pria itu pada dirinya hampir sama dengan tulusnya dirinya pada Liam.

Walaupun perasaan tidak bisa ditebak, tapi perasaan bisa di rasakan bukan?

"Ngelamunin aku hayo!" Ayra cukup terlonjak kaget begitu Dito tiba-tiba duduk di sampingnya.

"Dih geer banget," kekeh Ayra.

"Udah lama Ay?" tanya Dito.

"Belum sih aku juga baru datang," bohong Ayra. Pasalnya ia telah cukup lama berada di taman ini.

Dito mengajaknya bertemu dan Ayra menetapkan taman kota sebagai tujuannya di malam minggu.

Taman yang begitu luas ini cukup ramai dikunjungi oleh muda-mudi yang hanya sekedar nongkrong dengan grupnya atau dengan pasangannya.

"Seneng banget taman kenapa sih Ay?" tanya Dito sambil terkekeh.

"Seru aja gitu Dit lihat orang berlalu-lalang. Gak sepi dunia," jawab Ayra asal.

"Kalau dunia mu sepi aku siap meramaikan kok Ra," kata Dito dengan kekehan khasnya yang mau tak mau membuat Ayra ikut terkekeh.

"Kalau sama kamu dunia aku bakalan terlalu berisik Dit," ujar Ayra dan tertawa renyah.

"Ay yang berlebihan kan gak baik ya, tapi kalau sayang aku ke kamu yang berlebihan mah baik, kan?" kekeh Dito setelah beberapa saat.

"Idih apaan nih malah bawa-bawa rasa sayang," kata Ayra sambil tersenyum canggung.

"Jadi gini loh Ra, kita kan udah sama-sama dewasa ya bukan remaja yang baru lulus SMA lagi. Jadi bagaimana kalau aku mengajukan diri buat jadi pendamping hidup kamu?" tanya Dito serius.

Ayra menelan ludahnya sendiri, perkataan Dito sukses membuatnya terhenyak dan kebingungan. Pikirannya bimbang, jujur saja setelah sering bertemu dengan Dito mulai perlahan hatinya merasa nyaman dengan pria itu. Meskipun posisi Liam di dalam hatinya mungkin belum tergantikan.

Ayra merasa menjadi gadis jahat sekarang, bagaimana mungkin ia bisa menyimpan dua pria di hatinya?

"Aku siap kok dengan segala jawaban kamu, jadi gak usah gak enak sama aku Ra kalau misalkan kamu mau nolak," kata Dito sambil tertawa mencairkan suasana.

Ayra hanya tersenyum kaku mendengar ucapan Dito. Satu orang di sana belum ia beri jawaban karena ketakutannya akan masa lalu yang terulang. Dan satu orang dihadapannya sekarang pun menunggu jawabannya. Ayra bingung mana yang harus ia ikuti, perasaannya atau kah pemikirannya?

"Dit aku gak tahu harus ngomong apa sama kamu—" jeda Ayra.

"Jujur aku nyaman sama kamu. kita se frekuensi dalam berbagai hal dan kamu selalu bisa membuat aku tertawa. Aku mungkin perempuan beruntung yang bisa kamu sukai dalam waktu yang lama. Tapi Dit, aku tidak ingin hubungan kita yang sudah lama ini tetap berjalan seperti ini. Aku tidak bisa menerima kamu lebih dari sekedar teman, maaf," lanjut Ayra dan menarik napas panjang.

"Makasih banyak karena kamu masih bersabar dengan aku, dan jika selama ini aku seolah-olah memberi harapan kepada mu aku sangat-sangat menyesal melakukan hal itu yang tanpa aku sadari malah akan memberi luka yang lebih besar pada kamu," ucap Ayra lagi.

Dito terdiam untuk beberapa saat memandang Ayra sejenak dan kemudian mengedarkan pandangannya pada sekeliling.

"Ayra makasih udah mengungkapkan yang sebenarnya. Kali ini aku tahu kalau aku sudah tidak ada kesempatan sedikit pun untuk bisa bersama kamu. Saat ini aku benar-benar akan melepaskan kamu dan tidak akan berharap lagi," ucap Dito sambil tersenyum.

"Kamu gak akan tiba-tiba ngilang kan Dit gara-gara aku tolak?" kekeh Ayra.

"Enak aja, aku udah siap-siap sih karena feeling aku pasti bakalan di tolak," ucap Dito sambil tertawa keras.

"Lalu kenapa kamu berani ngungkapin perasaan ke aku kalau tahu bakalan di tolak?" tanya Ayra dengan aneh.

"Gini Ra, hidup itu penuh teka-teki dan misteri. Kita gak akan pernah tahu apa yang terjadi ke depannya jika tidak pernah mencoba. Meskipun kemungkinan keputusan kita akan berakhir dengan buruk tapi setidaknya itu lebih baik daripada kita tetap diam di tempat dalam kebingungan dan ketakutan yang sebenarnya mungkin tidak semenakutkan itu," jawab Dito panjang lebar.

"Jadi Ra aku tahu sekarang di pikiran kamu banyak sekali hal yang memerlukan keputusan. Gak usah takut dengan hasil, apapun itu lebih baik kamu melangkah," nasihat Dito membuat Ayra tertegun.

Pria itu benar, ia tidak bisa diam terus menerus seperti ini. Kebimbangannya tidak akan pernah berakhir sebelum dirinya mengambil keputusan. Berakhir dengan baik atau tidak itu bukan tanggung jawabnya karena setiap keputusan selalu memiliki akhir yang tidak bisa di prediksi.

***

Kata orang setiap manusia yang hadir dalam kehidupan kita akan selalu memberi kan pelajaran. Entah orang itu baik atau tidak ia selalu membawa pelajaran untuk kita yang mau mengambil hikmah dalam setiap kejadian.

Ayra harus banyak-banyak berterimakasih pada Dito. Pria itu telah mengajarkan banyak hal untuk dirinya. Terutama untuk perasaannya yang selalu saja gamang.

"Ay apa kabar?" tanya Liam begitu Ayra mengangkat panggilan video dari pria itu.

"Baik Bang. Abang sendiri gimana?" tanya Ayra dan mengamati wajah pria itu yang sepertinya menjadi agak kurusan.

"Aku juga baik. Maaf ya Ay kemarin-kemarin hectic banget pekerjaan aku jadi gak sempat buat ngabarin kamu," ucap Liam dengan menyesal.

"Enggak apa-apa kok Bang, Ayra ngerti," jawab Ayra. Menjadi dewasa berarti kita harus banyak memberikan pengertian bukan?

"Abang kurang tidur ya? Kantung matanya sampai kelihatan banget gitu," ucap Ayra.

"Iya nih Ay terlalu merindukan kamu," kata Liam sambil terkekeh.

"Baru juga sebulan," cibir Ayra walaupun dalam hatinya ia pun merasakan hal yang sama.

Ia merindukan pria itu dalam bentuk yang nyata bukan sekedar dalam layar ponsel.

"Oh iya Ay aku disini ketemu sama alumni kampus kita juga loh," cerita Liam.

"Oh ya? Seangkatan sama Abang?" tanya Ayra.

"Enggak dia beda satu angkatan dengan aku. Dia kerjanya langsung di kantor yang di sini," info Liam.

"Tapi aku cukup kagum sih sama dia. Bisa hidup sendiri di negeri orang dan yang lebih kerennya dia bisa menyelesaikan S2 nya sambil kerja di sini," lanjut Liam.

"Ay juga jadi pengen deh kuliah lagi di luar negeri," kata Ayra kemudian.

"Kalau ke luar negeri tinggalnya sama aku ya Ay," ucap Liam dengan senyum yang membuat Ayra salah tingkah.

"Kok sama Abang?" tanya Ayra bingung.

"Ya kita nikah dulu dong terus nanti aku ikut sama kamu ke luar negeri," jawab Liam sambil terkekeh membuat Ayra mendengkus pelan.

"Abang bahasnya nikah mulu. Emang Abang udah se siap apa buat nikah?" tanya Ayra.

"Aku udah siap secara lahir, batin, mental, financial, dan juga spritual," jawab Liam mantap.

"Apalagi kalau calonnya sama kamu, aku siap banget," lanjut Liam dengan kekehannya dan Ayra pun terkekeh mendengarnya.

"Emang Abang sanggup ngadepin sifat Ayra?" tanya Ayra lagi.

"Kan aku udah bilang aku udah siap secara mental juga Ay. Jadi pas ngadepin kamu aku gak bakalan kena mental," kekeh Liam.

"Emangnya aku apaaan bikin orang kena mental," kata Ayra sambil mendelik.

"Oh ya nama teman aku yang disini tuh hampir sama loh kaya nama kamu," ucap Liam.

"Dia perempuan?" tanya Ayra dan diangguki oleh Liam.

"Kok Abang gak bilang kalau dia perempuan?" tanya Ayra lagi dengan nada tidak suka yang kentara.

"Kan kamu gak nanya Ay," jawab Liam dengan polos membuat Ayra geram dalam hati.

Entahlah dirinya begitu tidak suka mendengar Liam mengatakan hal-hal tadi jika ternyata temannya itu perempuan. Bukankah sudah jelas bahwa Liam tadi begitu memuji perempuan itu? Mengapa pria ini seolah-olah tidak menjaga perasaannya?

"Kenapa Abang gak ngungkapin perasaan aja ke perempuan itu?" tanya Ayra.

"Loh perasaan apa Ay?" tanya Liam bingung.

"Ya ungkapin aja kalau abang suka sama dia, kagum sama dia," jawab Ayra ketus.

"Aku gak bilang kalau aku suka loh Ay," ucap Liam yang semakin kebingungan. Ini ia yang bodoh tidak bisa membaca pikiran Ayra atau memang Ayra yang tengah cemburu?

Liam terkekeh dengan pemikirannya sendiri bahwa Ayra tengah cemburu.

"Kenapa malah ketawa?" tanya Ayra.

"Kamu cemburu ya, Ay?" Liam balik bertanya membuat Ayra membeku.

"Enak aja aku cemburu! Udah ah aku tutup ya, good night," kata Ayra dan langsung menutup panggilan videonya.

Ia menarik napas menetralkan jantungnya yang bertalu lebih cepat. Ada apa dengannya? Kenapa ia seringkali kehilangan kontrol dirinya saat berhadapan dengan seseorang yang ia sukai? Memang benar bukan kalau seseorang bisa lupa diri saat berurusan dengan yang namanya perasaan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top