2 ~ Setelah Sepuluh Tahun
Happy Reading ^^
Jangan lupa tinggalkan jejak😘
Setelah acara demi acara selesai kini ballroom salah satu hotel terkemuka di Bandung itu riuh dengan murid-murid kelas XII yang berlalu lalang untuk sekedar selfie dengan teman-teman seangkatannya.
Ayra mengedarkan pandangan mencari sosok Dito diantara orang-orang. Namun yang ada kepala Ayra malah pusing melihat banyaknya orang yang hilir mudik.
"Ma tunggu disini ya. Ayra mau nyamperin temen dulu," ucap Ayra pada sang Mama yang masih duduk di tempatnya.
"Mama tunggu di mobil deh Ra. Pusing kepala mama lihat temen-temen kamu terus kesana kemari," ucap ibunya.
"Iya deh. Tapi awas loh tungguin aku," ucap Ayra memastikan bahwa ibunya tidak akan meninggalkannya.
"Iya Ra kamu kaya anak kecil yang mau ditinggal kemana aja," jawab ibunya sambil terkekeh pelan.
Setelah kepergian Ibunya Ayra beranjak untuk menghampiri teman-teman kelasnya.
"Ayra ciss." Baru saja Ayra hendak melangkah tiba-tiba beberapa temannya langsung mengajaknya berfoto bersama.
"Ra tadi aku ketemu Dito," ujar Ananda setelah mereka agak menjauh dari teman-temannya.
"Dimana?" tanya Ayra cepat.
"Katanya dia nunggu kamu di luar ballroom," jawab Ananda.
"Makasih ya Nan. Aku nyamperin Dito dulu," ucap Ayra pada sahabatnya dan berjalan keluar dari ballroom.
Ayra melihat Dito di luar ballroom namun dia tidak sendirian. Beberapa perempuan tampak sedang mengambil foto bersamanya. Ayra pun memutuskan berjalan mendekat ke arah Dito.
"Hai Ra." Sapa Dito ketika menyadari Ayra sudah berada di dekatnya.
"Hai," jawab Ayra agak kikuk.
"Tolong ambil foto kami dong," ucap Dito sambil menyerahkan kamera yang dipegangnya pada salah satu teman perempuannya.
Setelah beberapa kali mengambil foto Dito pun mengajak Ayra untuk pergi dari sana.
"Kemana?" tanya Ayra bingung.
"Kemana aja. Aku tahu kamu mau ngomong sesuatu kan? Gak mungkin ditengah-tengah keramaian gini," ucap Dito dengan senyum menghiasi wajahnya.
Ayra pun hanya mengangguk dan mengikuti langkah Dito.
"Jadi kamu kapan ke Yogya Dit?" tanya Ayra di tengah-tengah langkah mereka.
"Tiga hari lagi kayanya." jawab Dito.
Dito menghentikan langkahnya dan diikuti Ayra mereka telah berada cukup jauh dari teman-temannya.
"Jadi gimana Ra?" tanya Dito setelah keheningan menyelimuti mereka.
"Maaf Dit. Aku gak bisa nerima kamu lebih dari sekedar teman," ucap Ayra langsung. Ia tidak mau berbelat belit yang pada akhirnya malah menyulitkannya untuk mengatakan yang sebenarnya.
Dito tersenyum memandang dalam mata Ayra sebelum menjawab. "Gak papa kok Ra. Setidaknya aku tidak akan menyesal di kemudian hari karena akhirnya aku mampu mengungkapkan isi hatiku yang selama dua tahun ini sudah terpendam."
Ayra membelalakan matanya tidak percaya. Dito telah menyukainya sejak dua tahun yang lalu? Yang benar saja! Kenapa ia tidak menyadari itu sama sekali?
"Gak usah terkejut Ra. Mungkin bukan hanya aku tapi banyak pria di luaran sana yang sampai sekarang hanya memendam perasaannya padamu," ujar Dito sambil terkekeh melihat ekspresi Ayra.
"What? Kamu jangan segitunya juga dong kalau becanda Dit!" Elak Ayra merasa kalau Dito terlalu berlebihan.
"Aku gak becanda kok. Kamunya aja yang gak sadar," ucap Dito.
Ayra hanya menggeleng-gelengkan kepala masih merasa tak percaya. Selama ini memang ada beberapa pria yang menyatakan perasaan padanya dan rata-rata itu adalah kakak kelasnya. Dan Ayra selalu menolaknya dengan alasan klasik, ingin fokus belajar. Tapi itu tidak sepenuhnya bohong karena nyatanya Ayra memang selalu rajin belajar hingga dia dinobatkan sebagai duta pendidikan di sekolahnya dan juga siswa terbaik tiap tahunnya.
Tapi Ayra sadar kok dia bukan siswi populer karena kecantikannya, dan mungkin dia hanya populer dikalangan guru-gurunya saja.
"Dit aku benar-benar minta maaf karena—"
Ucapan Ayra terhenti karena Dito memberi tanda untuk dirinya diam.
"Masalah perasaan gak perlu ada yang minta maaf. Karena kita tidak bisa memaksakan kepada siapa hati ini diberikan," ucap Dito sambil tersenyum menenangkan.
Dito mengerti Ayra benar-benar merasa tidak enak dengan hal ini. Namun Dito adalah pria logis yang tahu bahwa perasaan itu tidak bisa dipaksakan. Dia hanya berharap suatu hari nanti dia masih memiliki kesempatan untuk memiliki hati Ayra.
"Aku hanya ingin ngucapin selamat untuk pria yang kelak mendapatkan hatimu," ucap Dito walaupun hatinya mengatakan hal yang lain.
Ayra hanya tersenyum menanggapi, situasi ini cukup canggung unntuk dirinya.
"Dan juga selamat sebagai Siswa terbaik dan peraih nilai ujian tertinggi Ayra Sherly Muktahar," lanjut Dito.
"Makasih Dit. Aku yakin di tempat kuliahmu nanti kau akan jadi rebutan mahasiswi disana," ucap Ayra sambil terkikik geli mencoba mencairkan suasana canggung diantara mereka.
"Dan kau akan jadi rebutan mahasiswa disana. Apalagi kalau mereka mengetahui kalau ayahmu seorang—"
"Dito!" potong Ayra cepat.
"Udah deh jangan bahas ayahku mulu." ucap Ayra yang sering merasa sebal karena Dito sering memanggilnya dengan jabatan ayahnya di Universitas.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa teman-temannya mengetahui jika Ayra adalah putri seorang Dosen yang juga merupakan wakil Rektor di Cendekia Unversity yang merupakan salah satu universitas ternama di Bandung. Semua itu terkuak ketika ayahnya pernah datang ke sekolahnya untuk menjadi pembicara di acara seminar yang diadakan sekolahnya.
"Oke deh Ra mungkin kamu hendak menyapa lagi teman-temanmu. Kamu boleh kok pergi sekarang," ucap Dito.
"Yaudah kita barengan aja kesana. Kita masih temenan kan?" tanya Ayra.
"Yaudah deh aku terima aja kamu anggap aku sekedar teman," ucap Dito.
Mereka berdua pun tertawa bersama dan melangkahkan kaki menuju teman-temannya kembali.
***
Setelah perjuangan nya belajar dengan sungguh-sungguh akhirnya hari ini Ayra melangkahkan kaki sebagai mahasiswa baru di universitas pilihannya. Kegiatan orientasi telah selesai minggu lalu dan sekarang Ayra akan memulai kegiatan belajarnya.
"Ay menurut kamu dosen kita hari ini bakalan kaya gimana ya?" tanya Leni teman SMAnya yang juga diterima di kampus ini.
Leni ini merupakan siswa unggulan di kelas lain yang seangkatan dengan Ayra.
"Aku gak tahu lah Len, kan ini pertama kalinya kita masuk kelas," jawab Ayra.
"Kamu gak tanyain papa kamu?"
Huft! Inilah hal yang tidak Ayra sukai tapi telah Ayra sadari akan jadi konsekuensi ketika memilih kampus ini.
"Aku gak suka bicarain hal-hal tentang kampus dengan papa," jawab Ayra.
Ayra tidak sepenuhnya berbohong. Ia memang pernah membicarakan tentang kampus dengan papa nya tapi itu hanya sebatas tentang study nya saja bukan membicarakan dosen lain.
"Ay seneng gak jadi anak wakil rektor?" tanya Leni lagi membuat Ayra memutar bola matanya malas.
"Leni mendingan jangan bahas itu deh, aku gak suka ya kalau anak-anak lain tahu tentang itu," ucap Ayra dan hanya dibalas cengiran Leni.
"Untung aja gue gak telat," ucap Nanad yang baru datang dan duduk di kursi samping Ayra.
Nanad ini teman barunya Ayra. Mereka bertemu saat orientasi mahasiwa baru dan dia juga berasal dari Jakarta.
"Kamu naik ojol?" tanya Ayra yang mengetahui kalau Nanad kost di sini.
"Naik angkutan umum, dan gue gak tahu kalau rutenya akan semuter-muter itu," jawabnya sambil mengeluarkan air minum dari tas nya.
"Pertama kalinya naik angkutan umum ke sini?" tanya Ayra heran.
Nanad pun mengangguk mengiyakan dan itu membuat Ayra geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin temannya itu naik angkutan umum yang tidak diketahui rutenya di hari pertama masuk kelas? Kalau terlambat bagaimana? Padahal first impression itu sangat penting bukan?
Tak lama kemudian pintu kelas terbuka dan masuklah seseorang dengan perawakan cukup tinggi yang Ayra taksir usianya mulai memasuki kepala empat.
Kelas pengantar bisnis pun dimulai dan untuk saat ini Ayra hanya berfokus pada dosennya dan mencoba meninggalkan semua pemikiran yang semenjak memasuki kampus ini terus mengganggunya.
"Kelasnya asik sih ya, kalau gue cocok deh sama pak Dian," ucap Nanad dan itu dibenarkan oleh Ayra dalam hati. Pak Dian pembawaannya santai dan penjelasannya juga mudah dimengerti.
Saat ini mereka tengah berada di kantin karena menuju kelas selanjutnya masih satu jam lagi.
"Di sini ada dosen mudanya gak sih?" tanya Leni kemudian membuat Ayra yang tengah makan langsung menoleh.
"Ngapain nanya gitu?" tanya Ayra.
"Buat cuci mata Ay," kekeh Leni.
"Kebanyakan baca novel ya lu jadi pengen dapetin dosen," ujar Nanad sambil tertawa.
"Tapi kakak tingkat kita keren-keren deh mana pada bawa mobil juga," lanjut Nanad dan diiringi tawa oleh Leni.
Ayra hanya geleng-geleng kepala mendengar obrolan kedua temannya ini. Hari pertama dan mereka sudah membahas pria. Serius?
Tiba-tiba sesuatu dalam diri Ayra seolah mengejek dirinya. Bukankah dia pun sama? Pagi ini hatinya tiba-tiba bertanya-tanya akankah dia bertemu Liam di kampus ini?
"GBL GBL GBL," ucap Leni tiba-tiba membuat Ayra kaget.
"Kenapa sih Len?" tanya Ayra heran.
"Omaygat Ay, itu Ganteng Banget Loh," ucap Leni dengan pandangan lurus ke belakang Ayra.
Karena penasaran ia pun membalikkan badan dan seketika jantungnya memompa darah dengan lebih cepat.
Itu Liam dan teman-temannya sepertinya.
"Ayra kenapa?" tanya Nanad yang sepertinya menyadari perubahan sikap Ayra setelah menengok pria itu.
"Hah? Gak kenapa napa," jawab Ayra dan meminum teh manis pesanannya. Entah kenapa dia jadi sulit menelan bakso-bakso yang dari tadi sedang dimakannya.
"Gue terkadang heran, kenapa bisa ada orang seganteng itu tapi gak pernah bisa gue milikin?" tanya Leni yang seperti bermonolog sendiri.
"Makannya ngaca!" jawab Nanad membuat Leni mendengkus.
"Kenapa orang ganteng selalu udah ada pawangnya?" tanya Leni lagi membuat Ayra menganggkat kepalanya.
"Emangnya dia udah ada yang punya?"
"Maybe yes sih, setuju gak Nad?" tanya Leni.
"Setuju sih, orang ganteng gak mungkin di diemin," jawab Nanad membuat perasaan Ayra gak karuan.
"Eh pria itu kok menuju ke arah sini?" tanya Leni dengan antusias dan segera merapikan rambutnya.
Sebelum Ayra menyadari situasinya dan bersiap pergi, sebuah suara yang familiar membekukan otak Ayra.
"Ayra," panggil Liam.
"Eh bang Liam," sapa Ayra kembali sambil tersenyum kikuk.
"Tadi aku lihat kamu sekilas kupikir salah eh ternyata benar," ucap Liam dan duduk di kursi kosong samping Ayra.
"Abang ada kelas?" tanya Ayra mencoba bersikap biasa saja padahal sudah gugup luar biasa. Dirinya tidak pernah duduk sedekat ini lagi dengan Liam semenjak kejadian sepuluh tahun yang lalu.
"Aku ada bimbingan hari ini, kamu udah selesai kelas?" tanya Liam.
"Setengah jam lagi Ayra masuk lagi bang," jawab Ayra.
"Oke kalau gitu aku balik ke sana lagi ya, semoga suka dengan kampusnya Ay," ucap Liam dan beranjak dari duduknya meninggalkan Ayra dengan perasaan yang campur aduk.
"Kamu kok gak bilang kalau kenal kakak itu?" tanya Leni menarik kembali Ayra ke dunia nyata setelah tercenung sesaat.
"Kan kalian gak nanya," jawab Ayra mencoba santai.
"Ish! Kalau ada cowok ganteng tuh kenalin Ay," protes Leni dan hanya dibalas kekehan geli Ayra.
Bagaimana mungkin Ayra bisa mengenalkan cowok yang ia sukai pada orang lain?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top