11 ~ Keputusan

Percakapannya dengan Liam tempo hari sudah cukup membuat Ayra ketar-ketir. Ia tidak ingin berharap lagi tapi kenapa situasinya seakan-akan selalu memberi kesempatan?

Liam telah kembali lagi ke Jakarta untuk bekerja, begitu pun Ayra yang kembali lagi ke rutinitasnya mengajar.

"Pagi Bu," sapa Randy dosen baru di kampus Ayra yang usianya hanya terpaut 3 tahun dengannya.

"Pagi Pak," sapa Ayra kembali dan tersenyum ramah. Saat ini keduanya masih di parkiran mobil hendak menuju ruangan dosen.

"Gimana kesannya ngajar di sini Pak?" tanya Ayra di sela-sela langkah mereka.

"Not bad, soalnya ada bu Ayra," jawab Randy sambil terkekeh membuat Ayra pun ikut tertawa.

Bukan hal yang baru bagi Ayra. Apalagi Randy dikenal sebagai orang yang friendly ke semua orang.

"Bu Ayra hari ini padat jadwal ngajarnya?" tanya Randy dan Ayra hanya menggeleng.

"Hanya ada dua kelas," jawab Ayra.

"Mau makan siang bareng, Bu?" tawar Randy.

"Sorry, nanti aku langsung pulang udah ada janji," tolak Ayra sambil tersenyum canggung.

"It's okay, mungkin bisa di lain waktu," balas Randy dengan tersenyum jenaka dan hanya dibalas Ayra oleh senyuman.

***

"Mungkin sekarang kak Liam baru sadar kali dengan kehadiran kamu," komentar Ananda sabahat Ayra semenjak SMA begitu Ayra selesai menceritakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Liam.

"Aku takut Nan," jujur Ayra.

"Ay ingat loh udah belasan tahun berlalu dan kamu itu bukan Ayra gadis kecil yang dulu lagi. Sekarang kamu udah jadi gadis dewasa, apapun yang terjadi mending kamu jalanin aja deh. kamu gak akan tahu endingnya kalau kamu menghindari kenyataan terus," tutur Ananda. Ananda memang sangat mengetahui kisah Liam dan Ayra. Terkadang dia pun gemas sendiri dengan sahabatnya ini.

"Aku udah terlalu sering salah mengambil keputusan terhadap perasaan ku ke bang Liam Nan. Mungkin sekarang waktunya aku tegas pada diri sendiri. Kalau keputusan yang terbaik adalah menghindarinya," kata Ayra sambil menghembuskan napasnya tak yakin dengan ucapannya sendiri.

"Jangan mengambil keputusan yang bertentangan dengan hati kamu Ay. Mungkin aja kan saat ini bukan kesempatan palsu?" ucap Ananda sambil tersenyum.

"Bagaimana jika sebenarnya aku tidak ada kesempatan Nan? Bagaimana jika sebenarnya semua itu hanyalah omong kosong yang aku ciptakan menjadi sebuah kesempatan?" tanya Ayra membuat Ananda menggeleng-gelengkan kepalanya bingung dengan pemikiran Ayra.

Ayra dan masa lalu nya yang tak pernah usai, Ayra dan kesempatannya yang selalu hilang.

"Kamu mau jalanin hubungan dengan pria lain?" tanya Ananda tiba-tiba membuat Ayra langsung menggeleng.

"Kenapa?" tanya Ananda.

"Aku gak tahu," jawab Ayra lemas.

"Itu karena perasaan kamu padanya belum usai. Mau seperti apapun lelaki yang datang kepada mu tak akan pernah bisa kamu terima Ay, karena di hati kamu ada orang lain. Nah pertanyaannya mau sampai kapan? Pilihan kamu hanya dua benar-benar melepaskannya atau kembali memperjuangkannya. Pilihan kesatu sudah jelas akan membuat kamu terluka, tapi setidaknya kamu bisa mendapatkan masa depan yang lain. Pilihan kedua pun bisa saja bahagia atau mungkin kembali terluka. Nyatanya hidup memang selalu seperti itu bukan? kita tidak pernah bisa memilih untuk selalu bahagia," tutur Ananda.

Ayra kembali menghembuskan napasnya. Masalahnya bukan terletak pada bagaimana Ayra melepaskan Liam. Bertahun-tahun dia sudah mencoba hal itu, tapi hasilnya apa? Perasaannya tak pernah kunjung usai.

Satu notifikasi muncul di ponsel Ayra sebuah pesan whatsapp dari Liam.

Bang Liam :

Ay minggu depan mau main ke Jakarta gak?

Ada pameran seni, kamu pasti suka.

Ayra memandang Ananda dengan tatapan bingung dan itu membuat Ananda mengerutkan kening melihat ekspresi Ayra.

"Siapa?" tanya Ananda.

"Bang Liam. Dia ngajakin aku ke pameran seni di Jakarta," jawab Ayra.

"Kalau kamu datang ke sana itu artinya kamu siap berjuang lagi Ay. Kalau kamu gak datang itu artinya kamu harus benar-benar melepaskannya," ucap Ananda membuat Ayra kembali menghembuskan napasnya dengan berat.

***

"Kenapa sih senyum-senyum terus sambil lihat aku? Aku tau kok aku emang se cantik itu," kata Ayra sambil mendelik.

"Gak nyangka aja bakalan bisa jalan gini sama kamu di usia kita yang sudah tak muda lagi."

"Enak aja! Aku masih muda loh," sanggah Ayra tak terima.

"Kita seumuran Ra," ingat Dito membuat Ayra tertawa.

"Lagian kamu sih pake so so an bilang usia tak muda lagi," ucap Ayra.

"Tapi emang bener kan? Di banding tujuh tahun yang lalu, usia kita sudah jauh lebih tua," ucap Dito sambil terkekeh.

"Jangan keras kepala apa Dit, ngalah gitu sama aku," ujar Ayra sambil tertawa mengejek.

"Mana mau aku ngalah. Kan aku lagi berjuang Ay," jawab Dito ambigu.

"Berjuang untuk apa?" tanya Ayra.

"Berjuang buat dapetin kamu lah," jawab Dito santai membuat Ayra tercenung sesaat.

"Gak usah bengong! Kamu santai aja aku gak maksa kok. sama seperti tujuh tahun yang lalu," kekeh Dito.

"Enggak bengong," elak Ayra.

"Sebelum kamu perjuangin aku, mending kamu putusin dulu deh mau manggil aku Ay atau Ra jangan di borong semua," protes Ayra membuat Dito tergelak.

"Panggil sayang boleh?" canda Dito dan Ayra dengan sigap memukul lengannya.

"Mau aku fotoin gak?" tanya Dito tiba-tiba membuat Ayra mengalihkan pandangannya dari lautan lepas.

"Kasihan kamu kayanya gak pernah ke pantai," lanjut Dito melihat ekspresi bertanya-tanya Ayra.

"Ngeselin!" ujar Ayra sambil mencubit lengan Dito walaupun tidak terlalu keras tapi membuat pemiliknya sedikit meringgis.

Weekend kali ini Ayra memang memutuskan untuk pergi bersama Dito ke pantai yang berada di Garut. Pada akhirnya ia menolak ajakan Liam untuk bertemu. Entah ini akan menjadi keputusan yang benar atau tidak, Ayra hanya mencoba lebih berhati-hati terhadap perasaan dan masa lalunya.

"Ngomong aja Dit kalau kamu mau foto aku," ucap Ayra tapi tak ayal ia berdiri.

"Mau kemana Ay?" tanya Dito sambil terkikik.

"Ih kamu ya bener-bener deh!" protes Ayra yang merasa dipermainkan oleh Dito.

"Canda Ra canda, jangan marah dong," ujar Dito dan bergegas menyusul Ayra yang sudah berjalan mendekati pantai sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Dito tertawa renyah melihat sifat kekanakan Ayra. Perempuan itu masih memiliki ruang tersendiri di perasaannya. Memang benar bukan kalau laki-laki itu tidak pernah melupakan cinta pertamanya?

***

"Makasih loh Dit buat hari ini. Aku emang jarang main jadi sekalinya diajak main gini kesenengan," ucap Ayra begitu sampai di depan rumahnya bersama Dito setelah perjalanan panjang mereka.

"Aku yang harusnya berterimakasih karena mendapatkan kesempatan untuk bisa mengajak putri mahkota keluarga Muktahar keluar rumah seharian," kekeh Dito sambil melirik arloji di tangannya yang menunjukkan pukul setengah delapan malam.

"Mau mampir dulu?" tawar Ayra.

"Boleh, tapi aku cuma mau pamitan aja sih sama om dan tante sekaligus serah terima putrinya," canda Dito membuat Ayra terkekeh.

Seharian ini sepertinya Ayra tidak berhenti tertawa karena candaan Dito.

"Assalamu'alaikum," Ayra mengucapkan salam sambil masuk ke dalam rumahnya. Tapi pemandangan di ruang tamu membuat dia membeku sesaat.

"Eh kalian udah pulang, ayok masuk," ajak mama Ayra.

"Mau minum apa Dit?" tawar mama Ayra lagi.

"Enggak usah tante. Saya kesini cuman mau pamitan sama om dan tante aja. Terima kasih sudah ngijinin Ayra main sama saya," ucap Dito dengan sopan membuat Ayra ingin tertawa.

"Saya juga makasih loh karena kamu udah jagain anak saya dan diantar lagi dengan baik-baik," kekeh papa Ayra.

"Hehe iya Om. Kalau begitu saya pamit dulu semuanya, assalamu'alaikum," ucap Dito dan dibalas salam oleh semuanya.

Sepeninggal Dito Ayra baru sadar kembali dengan pria lain yang sekarang tengah duduk di depannya dan memandangnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Dari mana Ay?" tanya Liam.

"Dari pantai Bang," jawab Ayra sambil tersenyum kikuk. Pasalnya ia menolak ajakan Liam dengan alasan kalau dirinya ingin beristirahat di rumah.

"Pantai?" ulang Liam membuat Ayra mengangkat kedua alisnya bingung.

"Di Garut Iam," sambung papa Ayra mengerti kebingungan Liam karena di Bandung tidak ada laut.

Liam pun ber Oh ria mendengar ucapan papa Ayra.

"Om sama tante masuk dulu ya. Kamu lanjut bincang aja sama Ayra," ucap papa Ayra dan mengajak istrinya untuk pergi dari ruangan itu.

Sepuluh menit telah berlalu semenjak Ayra dan Liam hanya tinggal berdua di ruang tamu. Keduanya sama-sama sibuk dengan isi kepala masing-masing. Tak ada yang ingin memulai percakapan, atau lebih tepatnya mereka sama-sama bingung harus memulai dari mana.

"Abang udah lama ke sini?" tanya Ayra akhirnya membuka suara.

"Aku datang dari Jakarta tadi siang dan baru mampir kesini tadi habis maghrib," jawab Liam membuat Ayra mengangguk-anggukkan kepala.

"Acara dadakan?" tanya Liam membuat Ayra mengerutkan keningnya bingung.

"Maksud aku kamu barusan main sama temen kamu itu acaranya dadakan atau emang udah direncanain dari jauh?" ulang Liam membuat Ayra mengerti arah obrolan mereka.

Ayra bingung harus menjawab apa. Untuk bisa membuat Liam pergi menjauh mungkin ia hanya perlu menyanggah ucapan Liam dan bilang bahwa perjalanannya telah direncanakan dari jauh hari. Tapi hatinya seakan menolak mengatakan itu.

"Iya Bang tapi enggak terlalu dadakan sih, kemarin Dito ngajak aku," jawab Ayra memilih jawaban yang mengambang.

"Katanya kamu mau diem di rumah aja gak mau kemana-mana," ucap Liam membuat Ayra tersenyum canggung.

"Rencananya sih begitu, tapi begitu mendengar tawaran Dito sepertinya menarik. Ay juga udah lama gak ke pantai," kata Ayra.

"Jadi kamu lebih memilih Dito nih daripada aku?" tanya Liam.

"Hah? Maksudnya gimana Bang?" tanya Ayra bingung dengan pertanyaan ambigu Liam.

"Enggak ada maksud apa-apa kok," kekeh Liam sambil memperbaiki duduknya.

"Yaudah aku pulang dulu. Kamu juga harus istirahat kan pasti udah kecapean seharian ini," pamit Liam tapi entah kenapa Ayra merasakan ada yang janggal dari nada bicaranya.

"Abang ke Jakarta lagi kapan?" tanya Ayra begitu mereka sampai di pintu depan.

"Gak tau juga sih, tergantung mood aja. Udah kamu masuk aja Ay gak usah antar," usir Liam ketika Ayra bermaksud ikut turun dari tangga terasnya.

Ayra pun mengangguk dan akhirnya masuk kembali ke dalam rumahnya. Perasaannya kali ini kembali tidak tenang. Keputusan seperti apa sebenarnya yang harus ia ambil? Merngapa semua keputusannya selalu terasa salah?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top