TIGA BELAS

Kekuatan untuk mencintai adalah anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada manusia, sebab kekuatan itu tidak akan pernah mampu direnggut dari manusia yang mencinta.

***

Satu minggu tak bertemu suami menjadi hal yang sangat berat bagi Prilly. Biasanya Al tak selama ini meninggalkannya. Paling lama Al pergi hanya 3 hari dan itu pun tak pernah molor. Tapi kali ini Al izin pergi 5 hari, namun sudah 7 hari hingga hari ini Al tidak kunjung pulang. Nomernya sulit di hubungi, dan tak seperti biasanya dia yang selalu bawel dan tak pernah bisa satu jam tak menghubungi istri tercintanya itu.

Sore ini Prilly sengaja mengajak Ali jalan-jalan berkeliling halaman rumahnya. Terdapat tanaman bunga dan berbagai jenis rumput liar tumbuh di sana. Pekarangan yang hijau dan alami membuat Ali yang menghirup udara di sekitarnya masih merasa sejuk. Ali memperhatikan Prilly yang sedang asyik memetik bunga. Senyum tersungging di bibir Ali.

"Andaikan saat ini akulah yang menjadi suamimu dan anak yang sedang kamu kandung adalah benih dariku. Betapa bahagianya aku Prilly." Ali membatin tanpa melepas pandangannya dari Prilly.

Prilly yang merasa di perhatikan lalu menghampiri Ali. Dia berjongkok di depan kursi roda Ali. Tangannya dia taruh di lutut Ali.

"Kapan Al pulang?" tanya Ali sambil menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantik Prilly.

"Belum ada kabar. Tidak biasanya dia seperti ini, Li. Aku sudah menghubunginya. Tapi sejak tadi pagi nomernya tidak bisa aku hubungi," jelas Prilly dengan suara mulai bergetar.

Ali yang melihat air yang sudah menggantung di pelupuk mata Prilly, lalu perlahan mengangkat dagu Prilly agar menatapnya. Air mata meleleh begitu saja dari mata indahnya.

"Jangan memberikanku air mata kesedihan. Berikan aku airmata kebahagiaanmu. Sebelum aku benar-benar pergi dari hadapanmu." Ali menghapus air mata Prilly.

"Jangan bicara seperti itu. Kamu semakin membuat aku bersedih. Jangan pesimis, kamu harus optimis. Pasti takdir Tuhan akan menyembuhkanmu dan menjauhkanmu dari sakit ini. Aku tak sanggup jika harus kehilangan kamu lagi Ali," ucapan Prilly menghangatkan hati Ali.

Entah sadar atau tidak dengan ucapannya itu, namun memang itu yang Prilly rasakan. Ali tersenyum dan menggenggam erat tangan Prilly.

"Makasih kamu sudah sabar menemaniku." Ali mengecup tangan Prilly.

Prilly mengeratkan genggamannya berniat untuk memberikan dan menyalurkan kekuatan untuk Ali. Tatapan mata keduanya bertabrakan dan terkunci. Dari sorot mata keduanya memancarkan secuil rasa cinta yang masih tersisa di hati mereka. Mereka merasa gravitasi di bumi ini seakan berhenti. Bayang-bayang kenangan lama mereka di masa lalu saat merajut kasih dan cinta menari-nari di atas kepala. Seakan mereka ingin kembali di masa itu.

Tanpa mereka sadari ternyata Al sejak tadi memperhatikan mereka. Al berdiri dengan jarak 3 meter di belakang Prilly. Di dalam saku celananya, Al menggenggam tangannya sangat kuat. Rahangnya mengeras. Ternyata wanita yang kini sudah menjadi istrinya dan sebentar lagi menjadi ibu dari anak, keturunannya tega berdusta padanya. Wanita yang selama ini di junjung tinggi oleh Al bak seorang putri kerajaan dan Al rela menjadi hambanya, tega menghianati cintanya. Masihkah pantas wanita itu mendapat cinta tulus dari pria yang kini masih bersetatus suaminya yang sah.

Mata Al memanas saat Ali mencium kening Prilly lama. Dadanya seketika terasa berdesir, nyeri, seperti tersayat-sayat samurai yang tajam hingga menimbulkan rasa yang sangat pedih di dalam hatinya.

"Aku bukan malaikat, aku cuma manusia biasa yang punya ego dan harga diri. Aku punya rasa sakit yang nggak mampu melihat kamu dimilki sama orang lain, Prilly istriku." Al membatin geram dengan rahang yang mengeras.

Karena sudah tak tahan lagi melihat adegan itu, Al menghampiri mereka. Mereka tak sadar jika Al sudah mulai mendekati mereka. Ali melepas ciumannya. Ini sudah kedua kalinya Al memergoki Ali mencium kening istrinya, yang tak lain adalah mantan pacar istrinya. Seseorang yang pernah menduduki dan memenuhi hati istrinya di masa lalu.

"Ehemmmm!" deheman Al mengagetkan mereka.

Tubuh Prilly langsung menegang, lalu dia berdiri membalikan badannya. Melihat suaminya sudah berdiri di depannya tanpa menunggu lama Prilly berhamburan ke pelukan Al. Prilly memecahkan air mata kerinduannya di pelukan ternyamannya itu. Tatapan Al tak berpaling dari Ali.

"Kenapa kamu lama sekali. Aku sudah sangat merindukanmu Honey." Prilly mengeratkan pelukannya namun Al tak juga membalasnya.

Mata tajam Al masih saja melihat ke arah Ali. Ali yang merasa di tatap Al aneh lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Kenapa kamu terlihat lebih kurus Honey? Apa kamu kurang makan? Apa kamu sakit? Apa kamu kurang istirahat?" Prilly memperhatikan suaminya dari ujung kaki hingga ke ujung kepalanya.

Al masih saja diam tak kuasa melihat wajah cantik istrinya. Dia tidak ingin merobohkan benteng pertahanannya, jika sampai melihat wajah istrinya. Al perlahan menyingkirkan tangan Prilly yang berada di kedua bahunya.

"Apa kita bisa pulang? Aku capek." Al berkata datar dan acuh.

Prilly yang mendengar hal itu merasa sedih. Hidup bersama Al selama ini, baru kali ini Prilly di perlakukan seperti itu. Al tak memperdulikan tatapan Prilly, dia melenggang masuk ke dalam mobil. Memilih menunggu Prilly di dalam mobil.

"Ali, aku antar kamu masuk yuk? Sekalian aku mau ambil tas aku. Maaf mungkin Al sedang capek, jadi dia seperti itu." Prilly berusaha menutupi sikap tak ramah Al kepada Ali.

"Iya Pril, aku paham." Ali hanya berusaha memahami keadaan Prilly saat ini, bahwa dia adalah seorang istri. Jadi, pasti Prilly lebih mementingkan suaminya lebih dulu dari pada dirinya.

Tak berapa lama Prilly masuk ke dalam mobil. Al masih saja diam dan bersikap dingin. Prilly yang merasa takut, hanya menunduk. Hening dan sunyi, itulah yang terjadi di dalam mobil itu. Prilly meremas-remas ujung bajunya, karena menahan tangisannya. Al tetap diam dan fokus pada jalanan. Hingga sampai di pelantaran rumah, Al menghentikan mobil.

Al langsung turun dan membukakan Prilly pintu. Setelah Prilly keluar, tanpa menunggu seperti biasanya Al masuk ke dalam rumah begitu saja meninggalkan Prilly. Prilly masih mematung di tempat, dia memegangi dadanya yang terasa nyeri. Melihat perubahan sikap suaminya, membuat Prilly merasa sedih.

"Apa salahku hingga kamu acuhkanku seperti ini Al? Apa kamu sudah punya yang lain?" Pertanyaan bodoh yang terlontar lirih di bibir Prilly.

Mana mungkin Al memiliki yang lain, sedangkan Prilly sendiri selama ini paham dan benar-benar tahu bagaimana suaminya. Apakah Al pernah berdekatan dengan wanita selain dirinya? Berduaan saja dengan wanita lain? Itu tidak pernah Al lakukan. Selama ini Al benar-benar menjaga hatinya untuk Prilly dan menjaga hati istrinya itu agar tidak merasa cemburu.

Sesampainya Prilly di kamar dia melihat Al sedang mengecek beberapa pekerjaan yang dia bawa dari kantor tadi.

"Mandilah dulu," perintah Al dingin tanpa melihat Prilly yang baru saja masuk.

Al menutup map biru yang ada di tangannya. Prilly masih saja diam mematung di tempat menatap gerak gerik suaminya itu. Al yang melirik Prilly tak melakukan perintahnya hanya menghela nafasnya dalam.

"Aku bilang mandilah dulu. Setelah itu baru aku yang mandi." Al mengulangi perintahnya kepada Prilly.

Prilly menaruh tas selempangannya lalu masuk begitu saja ke dalam kamar mandi, menahan sesak di dadanya mendapat perlakukan dingin dari suaminya. Al yang benar-benar merasa lelah masih ingin melayani istrinya dengan baik. Al menyiapkan handuk untuk Prilly di samping pintu kamar mandi. Ini kebiasaan Prilly yang selalu lupa membawa handuk ke dalam kamar mandi. Menyiapkan piyama untuk Prilly, Al menyusunnya di atas ranjang. Al menuju ke dapur, membuatkan Prilly susu khusus untuk ibu hamil. Saat Al masuk ke dalam kamar, Prilly sudah lengkap memakai piyama yang Al siapkan tadi.

"Ini di minum dulu." Al menaruh susunya di atas nakas.

Tanpa menunggu jawaban dari Prilly Al mengambil piyamanya dan handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi. Prilly masih saja diam menahan semuanya. Dia menurut saja dengan perintah Al, dari pada semakin membuat Al kesal. Setelah meminum susu Prilly berbaring di atas ranjang menunggu Al selesai mandi.

Tak berapa lama Al keluar dari kamar mandi sudah lengkap dengan piyama. Al melirik Prilly yang sudah memejamkan matanya. Namun Prilly sebenarnya belum tidur. Al mengambil sesuatu dari tas kerjanya, saat dia ingin melangkah keluar dari kamar, Prilly menahannya.

"Honey."

Al menoleh menatap Prilly.

"Mau ke mana?" tanya Prilly yang kini duduk di tepi ranjang.

"Ke ruang kerja. Kenapa?"

"Apa kerjanya tidak bisa di tunda sampai besok?"

"Tidak. Ada yang harus aku selesaikan."

"Tapi aku juga butuh suamiku," sahut Prilly dengan suara meninggi.

Al menghela nafas dalam agar emosi yang sudah di tahan sejak tadi tidak menceruak.

"Biasakan tanpa aku mulai sekarang. Jangan manja karena sebentar lagi kamu akan jadi ibu dari anakku." Al berkata datar dan dingin. Ini bukan sikap Al kepada Prilly. Kenapa Al berubah? Itu yang selalu Prilly pikirkan.

"Kamu tahu aku nggak bisa lama-lama jauh dari kamu, apa lagi sampai kamu tinggalin. Kamu tinggalin aku satu minggu kemarin, hidup aku sudah terasa tidak memiliki tiang untuk menyanggaku. Aku nggak bisa Al." Prilly sudah tak tahan lagi, akhirnya dia membiarkan air matanya keluar begitu saja.

"Mulai sekarang belajarlah untuk sabar dan ikhlas. Kita tidak akan pernah tahu takdir Tuhan seperti apa."

Prilly terdiam tak lagi bisa menjawab, Al meninggalkannya sendiri. Prilly berbaring di tempat tidur, mengeratkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Air mata dia biarkan keluar, dia ingin mengeluarkan sesak di dalam dadanya.

Apa Al mulai jenuh padanya? Apa Al mulai merasa diacuhkannya, hingga dia berfikir jika Prilly lebih memilih bersama Ali? Atau memang ada pekerjaan penting yang harus Al selesaikan? Pertanyaan-pertanyaan yang tak akan mendapat jawaban jika itu hanya ada dalam pikiran Prilly tanpa dia lontarkan langsung kepada suaminya.

"Tuhan apa yang harus aku lakukan? Apa aku tidak adil pada suamiku sendiri? Aku manusia biasa yang tidak dapat bersifat adil seperti Nabi. Tuhan bantu aku agar tidak terjerumus pada lembah dosa karena menelantarkan suamiku dan lebih memperhatikan masa laluku." Prilly meratapi perubahan sikap Al.

"Aku juga tidak bisa membohongi perasaanku jika terjadi sesuatu pada Ali. Aku terlalu takut kehilangan dia untuk kedua kalinya. Tapi aku juga takut kehilangan suamiku." Prilly semakin terisak memeluk dirinya sendiri di kamar yang luas itu.

Apa begini takdir cintanya? Ada Prilly Ali, dan Al. Ini bukan yang Prilly mau. Andai Prilly bisa lebih adil kepada Al dan Ali, semua pasti tak seperti ini. Namun Prilly hanya manusia biasa, yang tidak pernah mungkin memiliki salah satu sifat Nabi itu.

"Tuhan tutunlah aku agar tak terjerumus dosa yang terlalu dalam. Aku yakin cinta suamiku lebih tulus yang mengulir lembut di dalam hatiku. Aku hanya mencintai suamiku. Suamiku hanya mencintaiku." Prilly berusaha meyakinkan hatinya sendiri, hingga mata lelahnya karena menangis tertutup rapat membuka alam mimpi.

Sepertiga malam Al masuk ke dalam kamar, melihat istrinya yang sudah meringkuk seperti bayi di atas ranjang dengan balutan selimut tebal bewarna putih. Al merasa berat jika harus berlaku seperti itu kepada istrinya. Sejujurnya Al juga tersiksa dengan sikapnya sendiri. Mengacuhkan Prilly, mendiamkannya dan bersikap dingin padanya. Itu bukan sifat Al yang sesungguhnya kepada istrinya.

"Maafkan aku Sayang. aku terlalu takut kehilangan kamu. Aku manusia biasa. Aku bukan malaikat. Aku masih bisa merasakan sakit dan masih bisa merasakan cemburu." Al mengelus rambut Prilly lembut lalu mencium kening yang tadi sempat Ali menciumnya. Al tidak rela jika jejak bibir lelaki lain mendarat di tubuh istrinya. Al menghapus jejak itu dengan bibirnya sendiri. Bibir yang halal untuk Prilly.

"Apa aku salah jika cemburu pada masa lalumu? Apa aku salah cemburu pada istriku sendiri? Aku punya hati yang bisa merasakan sakit. Kecuali hatiku terbuat dari baja atau besi. Mungkin aku tak akan merasakan hal itu." Al mengelus rambut Prilly.

"Sejahat inikah takdir untukku? Merelakan berbagi waktu istri dengan masa lalunya? Berbagi perhatian dengan cintanya yang lain?" Al kembali terluka saat mengingat hal itu.

Takdir, tidak dapatkah engkau berdamai dengan kisah cinta mereka. Apa yang sedang Engkau susun untuk takdir mereka? Skenario apa yang Engkau buat untuk mereka? Semua itu sudah di gariskan dalam takdir Tuhan.

Al berbaring tidur di sebelah istrinya. Al memunggungi istrinya, dengan perasaan nyeri di dadanya. Al berusaha sabar menerima takdirnya. Prilly yang memang sedari tadi belum tidur, mendengar semua keluh kesah hati suaminya. Air mata kembali meleleh. Dia membalikan badannya, lalu memeluk Al dari belakang. Wajahnya di biarkan menyelusup pada punggung bidang Al. Al yang merasakan guncangan dari tubuh istrinya, berusaha sekuat tenaga tidak membalikan badan. Ego yang menguasai Al saat ini.

"Aku mencintaimu istriku, sebelum kita berdekatan, sejak pertama kulihat kamu. Aku tahu ini adalah takdir. Kita akan selalu bersama dan tidak akan ada yang memisahkan kita. Kecuali takdir Tuhan," ucap Al tanpa membalikan badan namun memegangi tangan Prilly erat yang melingkar indah di perutnya. Tangisan Prilly semakin terisak pilu dan lirih. Tubuhnya terguncang.

Orang yang berjiwa besar memiliki dua hati, satu hati menangis dan yang satu lagi bersabar.

#############

Maminya Melon

Terimakasih untuk vote dan komennya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top