SEPULUH
Cinta itu seperti boomerang, semakin kita kuat melemparnya maka secepat itu pula kembali ke kita.
***
Prilly masih tak bisa bergerak dari tempatnya. Mata dan tubuhnya terkunci pada satu sosok yang dulu pernah ada dan bahkan singgah cukup lama di dalam hidupnya. Bertahun-tahun berusaha menepis bayangan itu, tapi sekarang, bayangan itu nyata di hadapannya. Bukan maksud hati untuk bermain api. Tapi, rasa itu masih tertinggal di dalam sana, walau pun hanya sebagian kecil saja yang ada. Ingin melangkah menjauh bahkan berlari, namun rasanya seperti berjalan di tempat dan akan tetap tertinggal di sana.
Tatapan matanya yang tajam dan menenangkan membuatnya kembali ke masa-masa indah dulu. Masa-masa di mana hati sedang berada pada tingkat tertinggi rasa bahagia, tapi, dalam waktu sekejap semua itu rubuh dan hancur. Tak ada pilihan selain melepaskan dan meninggalkan semua itu dengan membawa luka terdalam.
Seorang Pria duduk di kursi roda sebagai alat bantunya berjalan. Fisiknya yang lemah dan sudah mulai kurus membuatnya terlihat tak bedaya, tapi dia bukan pria yang lemah dan berharap belas kasih. Ali Chandra Kanaka, masa lalu Prilly yang sempat membuatnya terpuruk beberapa tahun lalu. Bukan hal yang mudah melupakan sesuatu yang sudah bersama selama 3 tahun.
"Tinggalin gue sendiri di sini ya," pinta Ali pada seseorang yang mengantarnya.
Prilly yang melihat kondisi Ali saat ini tak ingin merasa kasihan, jika sampai itu terjadi, hatinya akan goyah dan terombang ambing tak tahu arah. Dia melangkah mundur dan ingin meninggalkan Ali di lorong rumah sakit itu.
"Jangan pergi!" pinta Ali saat dia melihat Prilly ingin membalikan badan. Prilly menoleh dan menatap Ali dengan sorot mata yang menyimpan rindu dan luka.
"Aku mohon, tinggalah sebentar di sini. Aku tak akan melukaimu lagi." Ali berharap Prilly mau mengikuti kamauannya.
Ali mendorong kursi rodanya sendiri, untuk menepikan diri disamping kursi putih yang tersedia di koridor rumah sakit itu. Prilly masih diam mematung tanpa suara, dengan setia Ali masih menunggu agar Prilly mau duduk di kursi putih disebelahnya. Dalam hati Prilly, sejujurnya dia ingin tahu apa alasan Ali meninggalkannya begitu saja tanpa pesan yang tertinggal untuknya. Prilly, akhirnya mendekat dan duduk di kursi putih itu. Sepuluh menit tanpa suara, keheningan menjadi saksi berkecamuknya perasaan kedua anak manusia ini.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Prilly menghancurkan keheningan diantara mereka.
"Seperti yang kamu lihat sekarang." Prilly melihat kondisi Ali yang jauh dari Ali-nya dulu.
"Kamu nggak mau tanya aku dari mana aja selama ini," ucap Ali yang tak lepas memandangi Prilly.
Ingin rasanya tangan yang dulu kekar, itu merengkuh dan memeluk Prilly erat. Menyalurkan rasa rindu yang membuatnya tersiksa selama ini. Rasa itu tak pernah hilang, bahkan masih bersarang indah di tempatnya.
"Aku nggak mau membuka luka lama yang sudah menyiksaku selama ini," ucap Prilly dengan memandang lurus ke depan.
"Maaf, sudah menyiksamu selama ini. Maaf, sudah membuatmu terluka. Maaf, sudah membiarkanmu pergi dariku. Seandainya ada kata lain yang lebih baik dari kata 'maaf' aku akan memakai itu." Mata Ali yang mulai sayu membuatnya sedikit tak fokus. Prilly lagi-lagi hanya diam, tak menjawab iya mau pun tidak.
"Aku dengar kamu sudah menemukan seseorang yang berhasil menggantikan posisiku di hatimu. Selamat ya, aku saja belum berhasil menemukan seseorang yang dapat menggantikanmu. Tak ada yang bisa mengira seperti apa takdir yang Tuhan berikan buat kita. Pasti dia bisa memberikan apa yag kamu mau. Tidak seperti aku yang hanya bisa pergi meniggalkanmu dengan luka." Ali menatapnya lekat.
Ingin rasanya Prilly memukul bahkan mencaci maki leki-laki yang ada dihadapannya saat ini. Rasanya sesak saat dia kembali hadir di hadapannya. Mengapa dia hadir kembali disaat kebahagiaan menyelimuti hidupnya? Mengapa semakin kita membuang jauh masa lalu, namun justru dia dengan cepat kembali? Takdir apa yang sudah Tuhan suratkan untuk cerita hidup mereka?
Menangis, mungkin itu cara yang tepat untuk mengungkapkan apa yang Prilly rasakan saat ini. Hanya saja, Prilly tak melakukan itu, dia tak ingin Ali menyadari perasaannya yang sangat kecewa dan tersiksa. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan lelaki yang sudah membuatnya terpuruk selama ini.
"Lihat aku Prill, lihat keadaan aku sekarang. Ini alasanku kenapa aku meninggalkanmu dulu. Aku nggak akan pernah bisa menjagamu lagi. Aku nggak akan bisa membahagiakanmu lagi dengan kondisiku yang seperti ini." Prilly tak memungkiri keadaan Ali yang sekarang jauh lebih buruk.
Prilly sekilas melihat keadaan Ali yang memprihatinkan. Ali terlihat pucat, kulitnya berwarna kekuningan dan lingkaran hitam di area kelopak matanya, perutnya yang membesar tertutup dengan sebuah selimut kecil.
"Sirosis hati atau gagal hati. Aku sudah lama berteman baik dengan penyakit yang sudah bersarang di tubuhku ini. Bahkan dia berencana akan pergi membawaku pulang bersamanya. Aku bersyukur karena Tuhan mengabulkan permohonanku untuk bertemu denganmu, sebelum aku benar-benar pulang." Ali menoleh ke depan dengan kedua tangannya bertumpu pada kursi roda.
"Gagal hati?" tanya Prilly dengan wajah tercengang.
"Iya, gagal hati, hati aku udah rusak, bahkan bertahun-tahun rusaknya. Aku hanya tinggal menunggu waktuku tiba." Ali berusaha menjelaskan semampunya, dia tak ingin gadis yang masih dicintainya terluka lagi.
"Apa nggak ada pengobatan yang bisa di tempuh, Li?"
"Ada, kamu," jawab Ali.
"Aku?" Prilly menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, aku terlalu takut kehilangan kamu. Pacar atau pun kekasih pada akhirnya akan menjadi mantan jika mereka berpisah. Sedangkan aku nggak mau lagi berpisah sama kamu, aku mau jadi teman atau pun sahabat kamu, karena sahabat nggak akan pernah menjadi mantan. Mungkin aku egois, tapi aku cuma mau kamu ada di sisiku, di sisa hidupku, sampai nanti waktuku habis. Aku nggak akan memaksa kamu. Hanya itu permintaanku." Ali menatap Prilly memohon.
"Tapi Li ...."
"Aku tahu Prill, aku nggak akan memaksamu bertahan di sini. Kamu sudah punya kehidupan sendiri dan aku menghargai itu. Pulanglah, maaf sudah menyita sedikit waktumu. Kalau pun nanti kamu berubah pikiran, kamu tahu di mana harus mencariku. Aku senang sudah bisa bertemu denganmu lagi, kamu terlihat semakin cantik." Ali tersenyum ramah, seakan membuat matanya hilang.
"Aku pamit, jaga dirimu baik-baik." Ali menepuk tangan Prilly pelan sebelum menggiring kursi rodanya menyusuri lorong rumah sakit. Ada seseorang yang memnghampiri Ali dan membantunya pergi.
Prilly hanya bisa menatap kepergian Ali nanar. Dadanya terasa sesak menyadari apa yang terjadi pada laki-laki itu. Rasa bersalah mencuat ke permukaan hatinya, Prilly yang dulu sempat memilih untuk tak lagi bertahan menunggunya pulang, ada secuil rasa penyesalan, tapi semua itu sudah berakhir, dia memilih Alvian sebagai teman hidupnya.
"Sayang, ngapain kamu di sini?" Al datang untuk menjemput Prilly di rumah sakit. Al belum tahu apa yang terjadi padanya.
"Kita pulang ya, Honey." Prilly mengapit lengan Al dan sedikit menunduk, dia tak ingin Al tahu, jika dia baru saja menangis.
"Ya udah ayo, kita pulang." Al memuntun Prilly ke parkiran. Membukakan pintu sebelah kiri dan Al berputar untuk masuk ke sebelah kanan mobil.
Senja kini berubah menjadi gelap, rintikan air hujan mulai turun dan membasahi jalan. Orang-orang berlarian mencari perlindungan dari hujan yang membasahi tubuh mereka. Kilatan petir saling menyambar, memberikan sekilas cahaya terang yang menakutkan. Tak ada yang bisa menghindari kuasa Tuhan yang maha dahsyat.
***
Hujan deras mengguyur bumi malam ini. Al dan Prilly bersantai di bawah selimut tebal. Prilly menidurkan kepalanya di dada Al, sedangkan Al fokus pada berita bisnis yang sedang di tayangkan di televisi. Prilly memainkan dada bidang Al dengan jari jemarinya. Bayang-bayang Ali dan kata-kata Ali membuatnya terusik.
"Bagaimana hasilnya tadi Sayang?" tanya Al menunduk mencium pucuk kepala Prilly.
Prilly langsung tersadar dari pikirannya tentang Ali. Prilly mendongak, tersenyum tipis kepada Al.
Bukannya menjawab Prilly malah bangun dari posisi ternyamannya. Meraih tas kecil di atas nakas yang biasa di bawanya pergi kemana-mana. Prilly mencari amplop putih yang bertuliskan nama rumah sakit yang tadi pagi didatanginya. Al hanya memperhatikan gerak gerik yang dilakukan istri tercintanya itu. Setelah amplop itu ketemu, dia kembali ke dalam pelukan Al. Dia menyerahkan amplop putih itu pada Al.
"Ini apa Sayang, kamu nggak sakit parahkan?" tanya Al khawatir.
"Nggak Honey, kamu buka aja dulu."
Al membenahi posisi duduknya, bersandar pada sandaran tempat tidur, dibukanya amplop putih dan di keluarkan juga isinya. Secarik kertas dengan bahasa tulisan medis yang memperlihatkan hasil pemeriksaan.
"Sayang, kamu hamil?" Al beberapa kali memperhatikan kertas itu dan Prilly secara bergantian.
"Iya Honey, usia kandungan aku baru 5 minggu. Kata Dokter Yanthi, dia sehat di dalam sini Honey," cerita Prilly sambil mengelus perutnya yang masih rata.
"Aahhh Sayang, aku bahagia sekali. Terima kasih Ya Allah akhirnya Kau percayakan kami berdua menjadi orangtua. Terima kasih Sayang." Al memeluk erat Prilly, beberapa kali juga dikecupnya pucuk kepala Prilly. Rasa bahagia memenuhi rongga dadanya, akhirnya apa yang mereka nanti tiba juga.
"Aku juga bahagia Honey, akhirnya malaikat kecil kita datang juga." Prilly membalas dekapan tangan Al erat.
Tak ada hal yang paling indah selain menjadi orangtua seutuhnya. Mendapatkan kepercayaan yang nyata dari Tuhan dengan di hadirkannya malaikat kecil dalam sebuah keluarga.
***
Sejak Al mengetahui bahwa istri tercintanya hamil, dia jadi lebih posesif dan memperhatikan Prilly lebih ekstra lagi. Dia hanya tak ingin sesuatu terjadi pada anak dan istrinya. Perhatiannya 80% tercurahkan untuk keluarganya sedangkan 20% dihabiskannya untuk bekerja.
"Honey, kemarin aku ketemu sahabat lama aku, Ali," ucap Prilly hati-hati, dia ingin melihat reaksi Al saat dia menyebut laki-laki lain di hadapannya.
"Oh ya, ketemu di mana?" tanya Al, sambil menyuapkan buncis rebus.
"Kemarin di rumah sakit, dia sakit gagal hati. Aku kasihan sama dia. Kita berteman cukup baik, bahkan sangat dekat, dia bilang hidupnya nggak akan lama lagi dan dia minta aku buat nemenin dia, di sisa hidupnya. Apa aku boleh menemaninya?" Prilly masih sangat berhati-hati dengan ucapannya.
Al meletakkan sendoknya di atas piring, diam tak bereaksi apa pun. Prilly takut jika Al akan memarahinya. Bisa-bisanya Prilly meminta Al menyetujui keinginannya menemani laki-laki lain. Prilly tertunduk takut, biasanya Al langsung berkata 'tidak' jika dia memang tak menyetujui keinginan istrinya.
"Lakukan saja, asal kamu menjaga baik-baik dirimu dan anak kita." Al tersenyum, dia tak ingin melukai hati istrinya.
Prilly tercengang mendengar jawaban Al. Padahal dia sudah bersiap-siap jika Al akan marah besar padanya.
"Kamu nggak marah, Honey?" tanya Prilly bingung.
"Aku akan marah kalau kamu ngelakuin itu tanpa sepengetahuan aku. Salam buat sahabat kamu semoga takdir Allah menyembuhkannya, ingat jaga kondisi kamu ya. Aku berangkat kerja dulu." Al meminum air putih dan mengusap bibirnya dengan tissue.
"Kabari aku kalau kamu mau bertemu dengan sahabatmu. Jaga diri kamu ya Sayang." Al menciun kening Prilly singkat, Prilly juga mencium tangan Al dan mengantarnya sampai di depan pintu rumah.
Prilly masih memperhatikan kepergian Al sampai mobil yang di kendarainya pergi meninggalkan pelataran rumah mereka.
Semalaman Prilly tak bisa tidur, pikirannya menerawang jauh memikirkan Ali, belum lagi kondisi Ali yang kelihatannya sudah semakin memburuk. Prilly kembali ke kamarnya, setelah mendapat persetujuan dari Al, dia memutuskan untuk pergi menemui Ali. Ali butuh dia, Ali sudah tak punya siapa-siapa lagi. Keluarganya pun sudah tak ada.
Taksi menjadi alternatif Prilly untuk pergi menemui Ali. Dia tahu di mana harus menemui Ali. Tempat yang dulu pernah menjadi saksi bersatunya cinta mereka. Ali selalu bilang 'tempat ini akan menjadi tempatku menghabiskan sisa hidupku'.
Prilly sampai di sebuah rumah yang sederhana dan nyaman. Letaknya di pinggiran kota, masih banyak pepohonan yang kiranya bisa membuat oksigen di sekitar tersaring.
Rumah sederhana dengan cat putih dan satu pohon mangga besar di depannya membuat rumah ini terasa asri. Prilly keluar dari taksi, memperhatikan rumah yang sudah lama tak dikunjunginya. Dia mengetuk pintu pagar yang menjadi penghalang, ada perempuan seusianya keluar dari dalam rumah. Prilly kenal perempuan itu, dia sempat di kenalkan dengannya oleh Ali dulu.
"Prilly." Sapa perempuan itu. Dia membukakan gerbang untuk Prilly.
"Hai Kay, apa kabar?" Itu Kayla sepupu jauh Ali.
"Aku baik, kamu datang mau ketemu Ali ya? Ayo masuk Ali ada di belakang." Kayla menuntun Prilly agar mengikutinya masuk ke dalam.
Kayla membawa Prilly terus semakin masuk ke dalam. Ada halaman kecil di belakang rumahnya. Kayla suka sekali menanam berbagai tumbuhan di belakang rumahnya, dia ingin rumahnya terlihat asri. Ada laki-laki terduduk di sebuah kursi roda, dari belakang Prilly sudah bisa menebak siapa dia.
"Dia selalu diam di sana, berharap kau akan datang menemuinya, dan sepertinya kesabarannya membuahkan hasil yang baik. Aku tinggal ke dalam ya." Kayla memegang pudak Prilly sebelum dia meninggakan Prilly dan Ali.
Prilly tak langsung mendekat, dia masih diam mematung di tempatnya. Air matanya perlahan luluh, dia tak sanggup melihat laki-laki yang pernah ada di hidupnya itu mengalami hal ini. Jika saja dia mau bersabar mungkin ini nggak akan terjadi, kalau pun memang harus terjadi Prilly bisa menyerahkan seluruh waktunya untuk merawat Ali.
"Aku tahu kamu pasti datang dan menemuiku," ucap Ali dengan hati-hati memutar kursi rodanya untuk bisa berhadapan dengan Prilly.
"Kemarilah." Prilly mengikuti perintah Ali, dia mendekat kepada Ali.
Ali masih bisa meraih wajah Prilly. Dia menghapus air mata Prilly.
"Jangan menangis, aku cuma mau lihat senyum kamu aja, tersenyumlah sahabatku."
"Kamu udah makan sama minum obat?" Prilly masih berusaha menyembunyikan kesedihannya itu.
"Belum, aku belum lapar."
"Kita masuk ya, kamu harus makan jangan sampai telat makan sama minum obat." Prilly berputar membantu Ali mendorong kursi rodanya ke dalam tanpa menunggu persetujuan darinya. Ali mengulum senyum melihat perhatian Prilly.
Di meja makan sudah ada Kayla yang sedang menyantap sarapannya. sudah ada bubur nasi di dalam mangkuk putih di atas meja.
"Sarapan Prill, sorry ya gue sarapan duluan nggak nunggu kalian. Gue tahu kalian mau makan berdua kan. Gue ke depan dulu ya." Kayla merapikan bekas makanannya dan meletakkannya di westafel.
"Obat Ali udah gue siapin di sana." Kayla menunjuk kotak yang berisi obat-obat Ali.
"Aturan minumnya juga udah ada di sana. Gue percayain Ali hari ini sama lo, oke." Kayla pergi meninggalkan Ali dan Prilly berdua.
"Makasih ya Kay," ucap Prilly.
Prilly mengambil mangkuk bubur itu dan mulai menyuapi Ali. Satu sendok, dua sendok berhasil masuk ke dalam mulut Ali.
"Makanlah yang banyak minum obat yang teratur biar kamu cepat sembuh." Suapan ke lima masuk ke dalam mulut Ali.
"Aku cuma perlu kamu Prill, kamu obat aku bukan yang lain. Kalau pun Dia mau membawaku pulang, aku siap, karena aku sudah bertemu denganmu."
"Berhenti Li, kamu nggak akan bisa mendahului takdir Tuhan. Jalani apa yang terjadi di depan matamu, bukan memikirkan apa yang belum terjadi. Kalau pun itu terjadi, itu memang sudah takdir-Nya."
Ali hanya menanggapi ucapan Prilly dengan senyuman.
"Hatinya tak pernah berubah, tetap Prilly yang kukenal dulu. Dia memang bidadari tanpa selendang yang pernah kumiliki, tapi sayang sekarang dia sudah kembali ke angkasa dengan selendang yang lain, bukan lagi selendang butut yang kusembunyikan di tempat yang tersembunyi. Tapi aku bersyukur karena dia masih mau menemuiku, menemui seseorang yang sudah berhasil di curi hatinya." Batin Ali
Cinta tak harus memiliki, tapi cinta bisa membuat hati yang pergi kembali bersatu sebagai teman sejati.
###########
Melonnya Mami
Terimakasih vote dan komennya.
Semua butuh proses dan tak semudah itu sebuah kehidupan untuk sampai di puncak kebahagiaan. Intinya kita harus sabar. Hihihihih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top