SEMBILAN BELAS

Rona lembayung senja keindahan semburat jinggaMu menoreh rindu pada bulan di lenganMu di mana kan kurebahkan jiwa lelahku, di pelukMu kutemukan kenyamanan dan kedamaianku.

***

Prilly mendekap El dalam pelukannya malam ini. Setiap malam hanya dekapan hangat, menyalurkan kasih sayang yang penuh untuk anak lelaki semata wayangnya itu. Prilly memandang lekat El, wajahnya yang tampan warisan dari papanya membuat bibir Prilly tersungging. Prilly membelai hangat wajah El lalu mencium keningnya.

"Aku yakin kamu melihat El dan aku dari sana Honey. Kamu tahu, El itu pintar dan cerdas seperti kamu. Dia selalu bisa menghibur hari-hariku dan dia juga selalu bisa membuatku tersenyum." Air meniti lembut membasahi pipi Prilly.

Tak bisa dia menahan kesedihan saat mengingat kekasih hatinya yang sudah kembali pulang kepangkuan Ilahi. Prilly menghela nafas dalam untuk mengurangi sesak di dadanya. Tak bisa dipungkiri olehnya, jika saat ini dia memikirkan kata-kata Ali beberapa hari yang lalu saat dia dan El pulang dari makam Al.

"Al, kenapa kamu lakukan ini kepadaku? Aku takut menghianati janji kita, jika sampai aku membiarkan Ali masuk kembali ke dalam hidupku. Apa aku bisa mencintai hati yang sama namun beda jiwa? Aku nggak sanggup bila itu sampai terjadi. Sama halnya aku menghianatimu." Prilly kembali menangis saat mengingat betapa kejamnya takdir yang Tuhan suratkan untuk kehidupannya.

Prilly dengan sangat hati-hati bangun agar tak mengusik tidur El yang sudah lelap. Dia mengapit tubuh mungil El dengan guling, Prilly menyelimuti tubuh El sebatas leher.

"Mama tinggal kerja dulu ya sayang. Biar besok di kantor Mama tidak terlalu sibuk dan bisa jagain kamu." Prilly mencium kening El pelan, lalu berjalan ke ruang kerja Al dulu.

Semenjak Al meninggal, Prilly lah yang menggantikan posisinya. Tanpa sedikit pun menghilangkan perhatian untuk menjaga El, Prilly mampu menjalankan perannya dengan baik. Menjadi tulang punggung keluarga sekaligus wanita karir membuat Prilly kadang merasa lelah.

Prilly duduk di kursi dimana dulu Al selalu menempatinya. Prilly membuka laptop yang menampilkan gambar Al sedang tersenyum bahagia tanpa beban.

"Aku sangat merindukanmu Al. Apakah kamu juga merindukan aku di sana?" Prilly menyentuh laptop di depannya tepat di bibir Al yang sedang menampakan keceriaannya.

Tak pernah air matanya kering dan seakan air mata itu tak habis saat Prilly mengingat Al. Prilly memejamkan matanya dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Dia memeluk tubuhnya sendiri, membayangkan hangatnya dekapan kala saat Al memeluknya.

"Aku merindukan belaianmu Honey. Tunggulah aku kan ada di sana. Kita akan merajut kasih dan cinta di keabadian dan di taman surga Tuhan." Prilly meloloskan air matanya saat mengingat senyum yang selalu mendamaikan hatinya, siapa lagi jika bukan kekasih halalnya, Alvian Heza Mardika.

"Cintamu sudah mendarah daging dalam diriku Al. Memang kita sudah di dunia yang berbeda, namun cintamu selalu abadi di hidupku."

Perlahan Prilly membuka matanya, bayang-bayang Ali muncul di genangan air mata yang menggantung di pelupuknya.

"Kenapa kamu hadir kembali saat aku merasa kecewa sama kamu, Li? Andai saja waktu itu keadaan tak mendesak aku, tak akan aku biarkan hati Al tertanam dalam tubuhmu."

Flash back

Seusai pemakaman Al, rumah yang tadinya ramai oleh pelayat kini sudah mulai sepi. Tinggal keluarga Al dan Prilly yang masih menemaninya. Prilly melamun lemah di depan jendela kamarnya. Air matanya tak pernah berhenti untuk keluar membasahi pipinya.

"Prilly, apa aku boleh masuk," ijin Ira yang menyembulkan kepalanya di pintu.

Tanpa menoleh dan tatapan masih tetap tertuju ke depan, Prilly mengangguk. Ira masuk dan berdiri di sebelah Prilly.

"Operasi Ali sukses dan hati Al sudah tertanam di tubuh Ali sekarang." Ira berkata sangat hati-hati.

Saat Prilly dan pihak keluarga berniat untuk membawa jenazah Al pulang, kabar mengejutkan datang dari Dokter Ayu yang berada di Singapore. Dokter Ayu memberi kabar jika keadaan Ali kritis dan detak jantungnya semakin melemah. Hal itu membuat hati Prilly kalut dan merasa iba.

"Syukurlah." Hanya kata itu yang terucap di bibir tipis Prilly.

"Terimakasih karena kamu sudah berbaik hati memberikan harapan hidup untuk orang lain ...."

"Walau aku juga harus mengorbankan harapan hidupku?" sahut Prilly cepat menatap Ira tajam dengan linangan air mata yang tak pernah berhenti mengaliri pipinya.

Ira menatap ke dalam manik mata Prilly, di sana tersirat luka dan kesedihan yang teramat dalam.

"Apa kamu pikir aku ikhlas memberikan hati Al untuk orang lain? Dari hatinya aku merasakan kekuatan cintanya yang luar biasa padaku. Apa aku sanggup membalas cinta orang yang sudah merenggut cinta yang Al miliki dari hatinya? Apa aku bisa menerima cinta dari hati yang sama namun beda jiwa?" Prilly menunjuk dadanya tepat di jatung hatinya yang merasa nyeri kala mengingat betapa besar cinta Al kepadanya.

"Aku tahu cinta kalian terlalu besar dan aku paham bagaimana perasaanmu saat ini." Ira berkata menunduk tak kuasa menatap luka di dalam mata Prilly.

"Kamu dan yang lainnya nggak akan pernah paham dan mengerti apa yang ada di dalam hati aku. Hanya aku dan Tuhan yang tahu."

Prilly meninggalkan Ira yang masih diam menunduk merasa bersalah. Prilly berbaring di ranjang menenggelamkan tubuhnya di bawah bed cover. Dia biarkan tangisannya runtuh di balik bed cover, membuat hati Ira yang mendengar merasa sakit dan tersayat.

Flash back off

Kicauan burung bersahutan di dahan pohon, daun hijau meneteskan air embun menyejukkan jiwa. Oksigen yang begitu segar masuk ke dalam paru-paru. Prilly memejamkan matanya, berdiri di balkon berteman secangkir coklat panas. Aroma coklat membuat perasaannya sedikit tenang.

"Pap ... pa ... Pap ... pa." Suara El yang baru saja bangun membawa Prilly kembali ke dunia nyata.

Prilly membuka matanya lalu masuk ke dalam kamar, melihat buah hatinya sudah berdiri dengan bertumpu nakas menggapai foto Al yang memang sengaja Prilly letakkan di sana.

"Selamat pagi anak Papa Al dan Mama Prilly. El pagi-pagi sudah menyapa Papa ya? Sini ...." Prilly merangkak ke atas ranjang.

Langkahnya yang masih tertatih, El menghampiri Prilly membawa figura foto Al. El duduk di pangkuan Prilly lalu menepuk-nepuk dada Prilly.

"Nen ... nen ... nen ...." Pinta El membuat Prilly tersenyum.

El masih mengkonsumsi ASI dari dia lahir hingga nanti usia dia dua tahun baru Prilly berencana menghentikan El minum ASI. Prilly juga menyambung El meminum susu formula, agar memudahkannya saat Prilly harus meninggalkan El untuk menemui klien bisnis dan menghadiri berbagai meeting dan acara penting.

"Selamat pagi," sapa seseorang dari balik pintu.

Prilly yang sedang menyusui El bersandar di kepala ranjang langsung menoleh.

"Pagi Bang. Pagi-pagi sudah sampai di sini saja Abang. Ada apa?" tanya Prilly memperhatikan Dandy yang berjalan menghampirinya.

"Nanti ada pertemuan dengan perusahaan baru yang akan bekerja sama dengan kita. Kamu atau Abang yang datang?" tanya Dandy mengelus kepala El yang masih asyik menyusu.

"Biar Prilly saja Bang, nanti El biar bersama Vini atau Hanny. Mereka sudah biasa menjaga El," kata Prilly menunduk melihat El tersenyum dalam menyusunya.

Sejak meninggalnya Al kini Prilly lah yang meneruskan kelangsungan perusahaan. Dandy membantu Prilly mengembangkan usahanya. Sejak Prilly meminta Dandy untuk membantunya, Dandy langsung mengundurkan diri dari perusahaannya yang dulu.

"Bagaimana hubunganmu dengan Dokter Ira, Bang?" tanya Prilly sambil menimang El.

"Rencananya Abang ingin melamarnya. Tapi, Abang masih menunggu Mama dan Papa pulang dulu."

"Segeralah menikahinya, Abang sudah berumur dan Dokter Ira orang yang baik," bujuk Prilly yang memang dia tahu dan paham betul bagaimana jalinan asmara Dandy dan Ira.

"Iya, nantilah Abang bicarakan dulu sama Mama dan Papa."

"Aku akan bersiap-siap. Abang tolong jagain El sebentar." Prilly menurunkan El agar bermain dengan Dandy.

Beginilah kehidupan Prilly tanpa tiang penyanggah hidupnya. Rapuh di dalam, namun dia diharuskan kuat di luar demi buah hatinya Erlangga Heza Mardika. Bagaimana rasanya hidup hampa tanpa pujaan hati ada di sampingnya? Bergelut rasa kecewa dan sedih kala mengingat takdir-Nya yang begitu kejam bagi Prilly. Sejujurnya jika yang tertanam di tubuh Ali bukanlah hati Al, mungkin saja Prilly tak akan seperti ini. Jika melihat Ali di hadapannya, hatinya terluka dan sakit ketika menyadari cintanya berada di dalam tubuh seseorang yang dulu pernah dia cinta.

Prilly berjalan menggendong El dan diikuti Dandy di belakangnya. Seluruh orang yang berpapasan dengannya mengangguk hormat kala melihat big bos yang kini mewarisi sifat suaminya. Prilly menjadi dingin dan sulit berbagi senyum untuk orang lain.

"Vini," panggil Prilly saat sampai di depan pintu kerjanya.

"Iya Miss." Vini mendongakkan kepalanya melihat Prilly berdiri di depan meja kerjanya.

"Siapkan file untuk meeting hari ini dan tolong panggilkan Hanny untuk menjaga El sementara," titah Prilly lalu segera Vini berlalu menjalankan perintah Prilly.

Prilly masuk ke dalam ruang yang dulu adalah milik Al. Tak ada perubahan di dalam ruang itu, masih sama seperti yang dulu. Hanya Prilly menambahkan tempat yang berpagar, area untuk El bermain kala Prilly bekerja.

"Pril, ini barang-barang El. Abang ke ruang kerja Abang sendiri ya?" Dandy meletakkan tas perlengkapan El di atas sofa.

"Iya Bang, terimakasih ya?" Prilly menurunkan El di tempat biasa dia bermain.

"El, anak Mama yang pintar. Jangan nakal dan jangan rewel ya sayang. Mama kerja dulu, cari uang buat beli susu El." Prilly terkekeh sendiri saat menyadari alasannya yang sederhana menjelaskan kepada El.

Prilly bisa saja tak hanya membelikan susu untuk El, namun dengan hasil keuntungannya dia bisa membeli pabrik susu itu. Prilly mencium pipi El sebelum dia duduk di kursi kebesarannya.

"Honey, hari ini aku akan bekerja sama dengan perusahaan yang akan menjadi salah satu jalan untuk pemasaran produk kita agar lebih meluas. Doakan semua berjalan lancar ya?" Prilly mengelus foto Al yang bertengger di atas meja kerjanya.

Prilly segera menyiapkan seluruh berkas untuk dibawanya meeting.

"Selamat pagi Miss," sapa Hanny yang baru saja masuk.

"Oh, Hanny. Saya minta tolong jagain El selama saya meeting."

"Baik Miss."

Hanny segera masuk di pagar pembatas lalu menemani El bermain. Hanny sangat telaten dan sabar menjaga El. Selama ini Hanny-lah orang yang dipercaya Prilly untuk menjaga El saat dia di kantor, jika Hanny sibuk baru Prilly meminta tolong Vani.

"El, Mama keluar sebentar ya, Kamu jangan nakal ya sama Auntie Hanny." Prilly berpesan lembut kepada El.

Prilly menciumi seluruh permukaan wajah El. Sebenarnya dia sangat berat hati jika harus berjauhan dengan El, namun ini harus dia lakukan untuk sementara waktu.

"Hanny, itu perlengkapannya El." Prilly menunjuk tas yang tadi di bawakan Dandy.

"Baik Miss."

"Tolong jaga baik-baik El ya Hanny. Saya tidak akan lama. Jika El suntuk dan bosan bermain di sini kamu bawa saja ke taman kantor ini. Jangan jauh-jauh, cukup di area kantor ini saja." Walau Prilly sudah mempercayai Hanny, namun masih saja dia was-was dan khawatir jika suatu hal terjadi pada El.

Prilly berlalu meninggalkan Hanny yang asyik menemani El menyusun sebuah balok berwarna. Sesampainya di ruang meeting mata Prilly memicing saat melihat lelaki berparas tampan sudah duduk bersama dengan beberapa orang.

"Silahkan Miss." Vini menarikan kursi kebesaran untuk Prilly.

"Terimakasih Vini," ucap Prilly duduk dan meletakan berbagai map warna di meja depannya.

Selama meeting, pikiran Prilly tak fokus dan hatinya tak tenang. Sesekali pandangannya bertabrakan dengan lelaki tadi. Itu membuat hati Prilly nyeri dan bergemuruh amarah. Namun dia harus dapat menahannya. Dia harus menjaga image sebagai seorang CEO di perusahaan. Meeting pun selesai dan seluruh orang yang berada di ruangan itu sudah keluar, kecuali Vini, Prilly dan lelaki tadi.

"Miss Prilly, apa kita bisa berbincang sebentar?" Prilly menghiraukan ajakan itu, seolah dia tak menganggap orang itu ada.

Vini yang memahami situasi itu tak nyaman baginya, lalu keluar meninggalkan Prilly bersama dengan lelaki tadi.

"Prilly, pandanglah aku. Aku mohon," pinta lelaki tadi serius dengan wajah yang memelas.

Prilly tetap kukuh tak merespon walau sebenarnya dia mendengarnya. Dia masih tetap sibuk membereskan berkas-berkas yang tadi berserakan.

"Mamanya Erlangga Heza Mardika, tolong dengarkan aku." Hati Prilly tersenyum dan menghangat kala orang itu berkata lembut. Namun wajahnya tetap datar tanpa ekspresi.

"Prilly Kirana Larasati." Lelaki itu ingin mendekati Prilly.

"Stop Ali, jangan mendekat." Prilly mencegah Ali agar tidak semakin mendekatinya, namun justru Ali semakin mendekati.

"Berbahagialah denganku Prilly. Al menitipkan hati dan cintanya kepadaku. Kamu adalah wanita satu-satunya yang dicintai Al dengan hati yang kini bersemayam dalam tubuhku. Aku tetap mencintaimu seperti dulu, saat hatiku belum tergantikan oleh hati Al. Kamu dapat merasakan dua cinta sekaligus dari satu jiwa. Aku masih tulus mencintai kamu dengan caraku sendiri. Aku mohon pandanglah aku sebagai Ali mu yang dulu, bukan Ali yang merenggut cintamu pada suamimu."

Prilly berlinang air mata, menunduk tak kuasa memandang Ali yang sudah berdiri di depannya. Ali yang tak tega melihat Prilly menangis sesenggukan lalu menarik ke dalam pelukannya. Rasa nyaman yang dia rasakan tak jauh berbeda dengan pelukan ternyamannya yang diberikan Al dulu.

"Aku mencintaimu dan menyayangi Erlangga Heza Mardika. Aku akan membahagiakanmu dan El dengan caraku dan memberikan kasih sayang yang Al tinggalkan melalui hatinya. Al tetap hidup di dalam diriku, Pril." Prilly melepas tangisannya dan membalas pelukan Ali.

Dia tak mengucap sepatah kata pun. Hanya isakan kepedihan yang terdengar. Ali dengan lembut mengelus punggung Prilly, mengurangi rasa sesak di dadanya. Memberikan ketenangan dan kenyamanan untuk wanita yang dia cintai.

Kala hati yang berbicara, sebesar apa pun ego pasti dapat dikalahkan. Hati tak akan pernah bisa berbohong, karena dia suci dan bersih. Akankah takdir akan menggiring Prilly kembali pada kebahagiaan?

############

Maminya melon

Terima kasih yang sudah setia menunggu dan membaca TAKDIR ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top