ENAM BELAS

Tuhan tahu apa yang kita butuhkan, Tuhan tahu jalan apa yang ingin kita tempuh, bahkan Tuhan pun tahu seperti apa hidup kita kedepannya. Takdir Tuhan selalu indah pada akhirnya.

***

Cahaya matahari mungkin mampu menghangatkan bumi ini, tapi saat ini matahariku mulai meredup, aku mulai kedingian, aku butuh kehangatan, aku butuh sesuatu yang mampu membuatku mengahangat di tengah dinginnya udara di sekitarku. Aku butuh penerangan di saat kegelapan datang, cahaya itu mampu menerangi sekaligus menghangatkanku dalam gelap. Di saat kutemukan itu, aku ingin tetap menjaganya agar tetap bertahan di tengah kesunyian yang datang mendampingiku. Jangan biarkan cahayaku mati, aku akan berjuang semampuku untuk membuatnya tetap hidup.

Prilly masih saja diam termangu menatap wajah pucat suaminya, tangan tak lepas sedikit pun dari genggaman, berharap keajaiban Tuhan segera datang dan membuat Al kembali tersadar. Sudah 8 hari Al belum juga sadar, dan Prilly juga masih dengan setia menemani Al bersama anak mereka.

"Sayang bangunlah, apa kamu nggak capek tidur terus. Bangun Sayang, nanti kalau mau tidur lagi di rumah aja." Prilly meletakkan tangan Al di pipi kanannya.

Tak ada jawaban, lagi-lagi hanya suara mesin pendeteksi jantung yang dengan setia bersuara di dalam ruangan itu. Prilly merebahkan kepalanya di sisi ranjang dengan tetap menggengam erat tangan Al. Perlahan mata Prilly mulai terpejam, ingatannya berputar pada masa-masa di mana dia dan Al mulai merasakan kembali apa itu cinta. Rasa yang berhasil menyatukan cinta mereka sampai sejauh ini, cinta yang semakin hari semakin berkembang dengan indah, tak peduli hama kehidupan mengganggu perkembangannya.

"Bangun Sayang, aku rindu kamu." Butiran bening luluh tanpa ampun, air mata itu jatuh tepat di telapak tangan Al. Jari jemari Al tiba-tiba saja bergerak sedikit demi sedikit. Prilly menegakkan duduknya saat dia merasakan sesuatu di tangannya.

"Al, kamu sadar." Prilly menatap Al lekat, bola mata Al mulai bergerak ke kanan dan ke kiri. Perlahan kelopak matanya mulai terbuka, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Cahaya kamar membuat mata Al silau, perlahan tapi pasti Al membuka matanya. Senyuman kecil tersungging di sudut bibir Prilly.

"Aku panggil dokter dulu ya Al." Prilly siap beranjak dari duduknya dengan susah payah, tapi Al menahannya.

Al menurunkan selang oksigen yang mesih melekat di wajahnya. Walaupun wajahnya terlihat pucat, tetap saja aura ketampanan Al tidak bisa menghilang.

"A ... ku hau ... ss." Al masih terbata-bata.

"Sebentar, aku ambilin." Prilly mengambil gelas berisi air mineral dan sedotan yang memang sudah di sediakan. Prilly mengarahkan sedotan itu ke bibir Al yang mulai mengering.

"Ini minum dulu, hati-hati minumnya." Prilly dengan sabar membantu Al.

"Terima kasih." Al tersenyum ke Prilly dan membuat hati Prilly menghangat.

Prilly menatap sendu laki-laki di hadapannya ini. Rasa bersalah seketika menjalar di dalam hatinya, dia merasa menjadi istri yang tak berguna, mengabaikan suami dalam keadaan sakit, bahkan dia sendiri sampai tak tahu bagaiman keadaan suaminya sendiri. Catatan-catatan kecil tulisan tangan Al masih menari-nari di dalam ingatannya. Air matanya lagi-lagi luluh begitu saja saat mengingat itu semua.

"Kenapa?" Al yang juga memperhatikan Prilly mangangkat tangannya dan menghapus air matanya.

"Aku minta maaf Al, aku salah sudah mengabaikan mu, bahkan aku nggak tahu keadaan mu selama ini. Aku istri nggak berguna Al." Prilly tak bisa lagi membendung air matanya.

Al mengerti ke arah mana topik pembicaraan Prilly.

"Kemarilah." Al menepuk dadanya pelan, meminta Prilly bersandar padanya. Prilly mengikutinya.

Prilly dapat mendengar dengan jelas detak jantung Al, seketika Prilly merasa takut saat mendengar itu. Al yang menyadari mempererat dekapannya.

"Kamu tetap akan menjadi istriku sampai suara detak jantung ini menghilang. Kamu akan tetap menjadi ibu dari anakku sampai suara anak kita menggema di dalam ingatan. Kamu akan tetap menjadi kekasihku sampai Tuhan nanti yang menginginkan kita untuk berpisah." Prilly mendekap erat suaminya.

Adakah kata paling indah selain ucapan terima kasih karena takdir yang mempertemukan. Tak ada kata kebetulan dalam hidup ini, semua memang sudah menjadi takdir jalan Ilahi, hanya saja setiap jalan yang di tempuh akan berbeda, setiap ujian yang di lalui tak selalu sama, bahkan kadar kebahagian setiap manusia tak selalu imbang. Semua itu tergantung bagaimana setiap manusia mampu menyikapi apa yang takdir Tuhan berikan dalam hidupnya, tak ada yang lebih indah dari kebahagiaan yang tercipta atas dasar cinta dan keyakinan.

"Jangan menangis, aku ingin melihatmu tersenyum. Aku rindu senyummu yang menjadi sumber kekuatanku."

Prilly menengadahkan kepalanya, menatap Al lekat dan memberika senyum terindahnya pada Al, sahabat hidupnya.

"Aku akan terus menemanimu sampai kamu sembuh, Honey."

"Jangan, kamu harus tetap istirahat, Sayang. Anak kita juga butuh istirahat, jangan sampai ibunya sakit." Al mengusap perut Prilly yang sudah mulai membuncit.

"Aku panggilkan dokter dulu ya, biar dokter tahu bagaimana perkembanganmu." Prilly mengusap wajah Al sebentar.

"Jangan lama-lama ya nanti aku kangen." Prilly hanya bisa tersenyum dan keluar dari kamar inap Al.

Prilly mencari Dokter Ira, dokter yang merawat Al selama ini. Prilly juga sudah mengetahui semuanya tentang Al dari Dokter Ira. Saat Prilly mencari Dokter Ira di meja informasi, dia berpapasan dengan Dokter Ayu yang merawat Ali berjalan tergesa-gesa melewatinya. Prilly hampir lupa dengan Ali yang berada tepat di kamar inap Al.

"Dokter, maaf ada apa?" Prilly menghentikan langkah Dokter Ayu sesaat.

"Tuan Ali kritis," jawab Dokter Ayu.

"Ali," guman Prilly.

"Maaf, saya harus segera ke sana." Dokter Ayu berpamitan pada Prilly, sedangkan Prilly masih diam mematung di tempatnya.

"Prill, kenapa kamu di sini?" Dokter Ira memegang pundak Prilly, tubuh Prilly terasa menegang.

"Dokter, Al sudah siuman, bisa tolong dokter memeriksanya sebentar." Prilly mengalihkan pertanyaan Dokter Ira.

"Al sudah sadar. Ayo kita kesana, kita lihat perkembangan Al." Dokter Ira berjalan mendahului Prilly sampai depan bangsalnya.

Dari jarak 5 meter Prilly bisa melihat bagaimana Dokter Ayu berusaha membuat kondisi Ali kembali normal. Beberapa kali alat kejut jantung di letakkan di atas dada Ali. Wajah dokter dan beberapa perawat terlihat serius.

"Sekali lagi ya, satu, dua, tiga." Dokter Ayu kembali meletakkan alat kejut jantung di atas dada Ali, berharap detak jantung Ali kembali normal. Tapi sayang, kondisi Ali tetap saja melemah.

"Bertahanlah Li, aku mohon." Batin Prilly.

"Suster, cepat tolong hubungi keluarganya Tuan Ali, beliau harus segera di pindahkan ke rumah sakit Singapur. Ini darurat dan harus segera di lakukan tindakan medis secepat mungkin." Dokter Ayu memberikan titah pada salah satu suster yang ada di dalam. Sampai akhirnya Dokter Ayu keluar dan di hadang oleh Prilly.

"Ada apa dengan Ali, Dok?" tanya Prilly yang terlihat gusar.

"Tuan Ali harus segera mendapat tindakan medis secepatnya. Rumah sakit kami alat-alatnya tak memadai." Dokter Ayu menjelaskannya singkat.

"Mau di pindahkan kemana Dok?"

"Singapur Nyonya, saya permisi harus mepersiapkan berkas pemindahan Tuan Ali ke sana." Dokter ayu kembali mendahului Prilly.

Prilly menatap sendu laki-laki yang terbaring lemas di dalam sana. Dia masuk ke dalam ruang inap Ali setelah mendapat izin dari suster jaga.

"Ali bertahan lah, aku udah nemeninkamu di sini. Bertahan lah Li." Ali tak merespon ucapan Prilly.

Perasaannya kalut, dia tak ingin kehilangan Ali untuk yang kedua kalinya. Kesalahannya pada Ali juga belum ditebusnya. Hanya berdoa yang bisa di lakukannya untuk membantu Ali. Harapannya hanya satu, Ali kembali sadar, Prilly benar-benar belum siap jika hal buruk benar-benar terjadi pada Ali.

***

Dokter Ira sudah selesai memeriksa kondisi Al secara keseluruhan. Semua sudah kembali normal walaupun keadaannya belum benar-benar membaik, tapi, setidaknya sudah ada kemajuan yang cukup membahagiakan.

"Di mana Prilly, bukannya tadi dia nyariin lo ya." Al mencoba bertanya keberadaan Prilly pada Ira.

"Iya, tadi bareng sama gue, tapi sampai depan dia berhenti di depan kamar sebelah." Dokter Ira merapikan stetoskopnya dan di letakkannya di saku jas putih kebesarannya itu.

"Emang siapa pasien di sebelah Ra?" tanya Al penasaran.

"Ali Candra Kanaka." Mata Al membulat sempurna, selama ini dia tak tahu jika Ali, masa lalu Prilly di rawat juga di rumah sakit yang sama. Prilly tak pernah sedikit pun menyinggung tetang Ali di hadapannya, bahkan Prilly sama sekali tak pernah lagi meminta izin untuk sekedar menemui Ali. Al sempat lupa jika masih ada Ali dalam bayang-bayang hidup Prilly.

"Lo kenapa Al? Jangan bilang Ali itu masa lalu Prilly yang pernah lo ceritain sama gue dulu." Al hanya mengangguk menanggapi ucapan Ira.

"Gimana kondisinya?" Al justru memikirkan kondisi Ali bukan kondisinya sendiri.

"Kritis, tadi Dokter Ayu sempat bilang sama gue. Kayanya Ali bakalan di pindahkan ke Singapur, alat-alat medis di rumah sakit ini belum memadai."

"Bawa gue buat lihat dia Ra," pinta Al.

"Lo baru aja sadar Al, lo belum boleh turun dari tempat tidur ini." Dokter Ira melarang.

"Sebentar aja, gue cuma mau tahu keadaan dia, tolong anter gue lihat dia Ra."

Akhirnya Dokter Ira menuruti, dia mengambil kursi roda yang ada di ruangan Al. Dokter Ira membawanya mendekat ke sisi ranjang dan membantu Al untuk duduk di sana. Dokter Ira mendorong kursi roda itu sampai ke depan pintu. Al menoleh ke sisi kanannya di mana Ali beristirahat, Ira terus mendorong sampai ke depan pintu kamar yang memang sedikit terbuka. Al memberi isyarat agar menghentikan dorongannya. Al dapat melihat dengan jelas ada Prilly di sana, rasa cemburu memenuhi rongga dadanya, di saat seperti ini istrinya masih bisa menemui laki-laki lain.

"Bangun Li, aku belum siap, atau mungkin nggak akan pernah siap kehilangan kamu lagi Li, aku mohon bangun."

Al dapat mendengar dengan jelas apa yang di katakan Prilly, bahkan dia juga melihat perlakuan Prilly yang menyayat-nyayat hatinya. Al hanya dapat menatapnya diam tanpa ingin mendekat lagi ke dalam. Pemandangan ini cukup membuatnya mengerti sepenting apa Ali bagi hidup Prilly. Bahkan dalam keadaan seperti ini dia lebih memilih menemani mantan kekasihnya di bandingkan suaminya sendiri.

Ira yang sudah kenal betul seperti apa Al, dia akan menahan emosinya jika sudah menyangkut masalah wanita yang di cintainya. Al lebih senang menyimpan rasa sakit itu sendiri di banding harus membaginya dengan orang lain. Tapi Ira, dia sangat mengerti bagaimana perasaan sahabatnya ini.

Al meminta Dokter Ira membawanya kembali ke ruangannya.

Hati memang terasa sakit saat melihat kekasih menangisi laki-laki lain, tapi hati semakin terasa perih saat melihat kekasih tak lagi bisa kembali tersenyum.

Kebahagian Al adalah membuat Prilly bahagia. Al ingin Prilly bisa bahagia karenanya bukan karena orang lain.

"Gue ngerti perasaan lo Al." Dokter Ira menepuk pundak Al.

"Lo nggak ngerti perasaan gue Ra. Lo boleh balik tugas lagi. Makasih lo udah anterin gue barusan."

"Sama-sama, ya udah gue tugas lagi ya." Dokter Ira meninggalkan Al di ruangannya sendirian. Ruangan itu kembali sepi dan sunyi.

***

Prilly masih duduk terdiam di sisi Ali. Sampai Kayla datang menghampirinya.

"Gimana keadaan Ali, Prill?" tanya Kayla.

"Kritis Kay, lo udah temui dokter Ayu?"

"Udah, baru aja gue dari sana. Ali mau di pindahkan ke Singapur Prill. Apa di sana kita bisa dapat hati yang cocok buat Ali ya? Gue nggak tega lihat Ali lama-lama kaya gini."

"Kita harus yakin Ali sembuh Kay, kita doakan yang terbaik buat Ali." Kayla mengangguk menanggapinya.

"Gue keluar dulu ya. Tolong jagain Ali." Pamit Prilly.

"Iya."

Prilly keluar dari kamar Ali, dia ingin menghampiri Al yang ada tepat di sebelah kamar Ali. Prilly merapikan pakaiannya, mengusap wajahnya agar tak ada sisa-sisa kesedihan di sana. Dia tak ingin Al tahu bahwa dia baru saja menangis.

"Honey." Suara Prilly di buat seceria mungkin agar tak terjadi kecurigaan.

"Kamu tidur lagi ya." Prilly melihat Al memejamkan matanya.

"Honey, kamu nggak apa-apa kan?"

Al sedikit meredam emosinya saat mendengar suara ceria wanita yang dicintainya itu.

"Aku nggak tidur Sayang." Al membuka matanya, memberikan senyuman yang di paksakan.

"Kamu dari mana? tadi Dokter Ira udah datang ke sini tapi kamunya nggak muncul." Al tahu sebenarnya kemana Prilly, hanya saja dia ingin tahu kejujuran Prilly.

"Aku abis dari kantin, aku lapar, anakmu tak bisa menunggu sebentar." Prilly berucap sambil mengelus perutnya.

"Kamu berbohong Sayang, kenapa kamu harus lagi-lagi membohongiku seperti ini. Aku lebih menerima kejujuranmu, Prill." Batin Al, dia hanya mampu menatap sendu sahabat hidupnya itu.

"Maafkan aku sudah membohongimu, Honey, aku hanya nggak mau membuatmu sedih. Aku sudah cukup banyak membuat kesalahan padamu." Batin Prilly.

Hati yang terbagi akan sulit membedakan mana yang cinta dan mana yang bukan. Saat kebohongan mulai menutupi hati yang lain, maka akan ada kebohongan lain yang akan mulai hadir sebagai pembenaran. Utamakan kejujuran jika ingin suatu hubungan berjalan baik. Kebohongan seperti bom waktu yang siap meledak. Akan ada masanya kebohongan itu terbongkar.

############

Melonnya Mami

Maaf ya lama updatenya.
Hihihihih
Tapi masih sabar menunggukan?
Makasih vote dan komennya ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top