EMPAT BELAS
"Jika satu tetes saja air mata hamba mampu menjadi sungai kebahagian untuk mereka, maka hamba rela. Hamba rela menguras seluruh air mata yang hamba punya, supaya mereka selalu bisa berendam dalam lautan kebahagiaan Ya Allah."
Mata itu terpejam rapat, rasa sakit yang luar biasa mendera. Dia dapat mendengar teriakan dan berisik orang-orang di luar sana. Namun apa, dia terjebak dalam gelap. Dia ketakutan, wajah Prilly yang tersenyum sangat manis membuat dia semakin takut untuk menghapusnya dalam kegelapan itu. Dia merasakan guncangan pada tubuhnya. Namun apa daya, matanya tak mampu terbuka. Tuhan, takdir apa lagi yang akan Engkau gariskan untuk kisah cinta mereka. Sebegitu kejamkah takdir hingga membuat semua ini gelap. Apa mereka harus menyalahkan takdir yang sudah ada?Mengapa ini bisa terjadi kepada mereka?
Hingga sebuah suara yang asing mengusik pendengarannya. Tubuhnya kaku, matanya sangat berat untuk di buka. Oh, ini sungguh menyiksanya. Tuhan, jangan lakukan itu padanya. Dia berhak bahagia, dia masih berhak merasakan kebahagiaan, dia masih memiliki cinta. Jangan Engkau usaikan takdirnya Tuhan. Takdir bersahabatlah dengannya yang tak berdaya itu. Cinta datanglah kepadanya sebelum semua terlambat. Dia ingin engkau dekap cinta, berikan dia ketenangan dan kenyamananmu cinta.
"I will always love you now, tomorrow , until forever my life Prilly."
Tit ... tit ... tit ....
***
Seperti biasa, setiap kali Al berangkat untuk bekerja, Prilly akan pergi mengunjungi Ali. Dengan perut yang mulai membuncit walau pun belum terlihat jelas karena perubahan fisik Prilly yang mulai gemuk. Prilly keluar dari taksi, karena hari ini Al tak bisa mengantarnya ke rumah Ali. Al bilang, dia ada meeting pagi di kantor. Dengan wajah riang Prilly menghampiri Ali yang sedang duduk manis di kursi roda. Keadaan Ali tak ada kemajuan, kondisinya semakin menurun bahkan terlihat semakin kurus, kulit Ali sekarang menguning. Prilly benar-benar tak tega melihatnya seperti itu.
"Ali, kenapa kamu di sini. Kenapa nggak di dalam aja?" Prilly memegang pinggangnya yang mulai terasa pegal.
"Aku nunggu kamu," jawab Ali yang terdengar parau.
"Kita masuk aja ya, udah mulai siang juga, nggak baik buat kamu." Prilly membantu Ali mendorong kursi rodanya ke dalam.
Tepat di belakang Ali, Prilly hanya bisa menatap sedih mantan kekasihnya itu. Duduk diam tak berdaya, dia bukan Ali-nya yang dulu, yang selalu bisa membuatnya tertawa di mana pun mereka berada. Semua berbeda, semua telah berubah, hanya semangat yang bisa Prilly salurkan untuk Ali, hanya dengan mendampinginya, Prilly bisa menebus kesalahan dan memberikan semangat baru untuk Ali agar tetap bisa bertahan hidup.
"Apa kamu sudah makan?" Prilly duduk di sofa depan Ali.
"Udah, tadi Kay membantuku." Ali berusaha tersenyum semampunya.
Ali merasa perutnya seperti di aduk-aduk. Rasa mual yang di rasakannya saat ini tak biasa.
"Kamu kenapa Li, mau muntah lagi ya. Aku ambilin ember dulu ya." Prilly berusaha bangkit dari duduknya, namun tangannya ditahan oleh Ali.
"Nggak usah," ucap Ali susah payah. Ali masih saja terus memegangi perut dan bergantian menutup mulutnya.
"Uueeekkk." Ali memuntahkan isi perutnya, bukan isi perut melainkan cairan merah segar.
"Ali." Prilly terlihat panik. Perlahan kesadaran Ali menghilang, tubuhnya jatuh lunglai di sandaran kursi roda. Prilly berusaha membangunkan Ali, dia tak peduli bajunya sudah terciprat cairan merah itu.
Prilly mengambil smartphone di dalam tas men-dial 119 untuk meminta bantuan ambulance datang ke rumah Ali. Prilly terlihat semakin panik tapi berusaha tenang. Perlahan dia mengusap sisa-sisa cairan yang ada di bibir Ali dengan tissue yang ada di atas meja. Prilly masih berusaha membangunkan Ali, minyak angin yang selalu dibawanya dalam tas juga di upayakan untuk membuat Ali kembali sadar. Tapi sayang, hasilnya tetap nihil.
Suara ambulance terdengar meraung, Prilly segera keluar membukakan pintu serta mengarahkan petugas untuk segera membawa Ali. Mereka memindahkan Ali ke transferbed, membawanya masuk ke dalam ambulance dan di ikuti Prilly yang terus terlihat cemas.
"Ali bangun Li, ini aku nemenin kamu. Bangun Li." Prilly menggenggam tangan Ali erat, berharap dia bisa menyalurkan kekuatannya untuk Ali. Butiran bening jatuh menimpa tangan Ali. Prilly menangis.
Mereka sampai di rumah sakit, Ali segera di turunkan dari ambulan untuk di bawa ke ruang ICU, Prilly terus berlari mengiringi dengan tangan yang tak ingin dilepaskannya. Aroma obat-obatan sudah mulai menyeruak saat mereka tiba di rumah sakit.
"Ali bertahan Li, aku mohon." Suara Prilly semakin bergetar, dia tak sanggup jika harus kembali kehilangan Ali untuk yang kedua kalinya.
"Ya Allah, jangan Kau ambil Ali. Aku belum siap jika harus kehilangan dia lagi," batin Prilly.
Prilly masih terus ikut mendorong transferbed Ali sampai di depan ruang ICU.
"Maaf Bu, Ibu tunggu di sini saja biar bapaknya bisa segera kami tangani." Seorang Suster menahan Prilly yang ingin ikut masuk ke ruang ICU.
Prilly terlihat gelisah, duduk tenang pun tak bisa, hanya bisa mondar mandir di depan kamar periksa Ali. Prilly merogoh tas miliknya. Men-dial nomer Al, dia ingin mengabari Al.
Nada sambung masuk tapi tak ada jawaban. Prilly kembali mencoba menghubungi Al, tapi, hasilnya tetap sama saja.
"Gimana keadaan Ali dok?" tanya Prilly saat melihat dokter yang keluar dari ruang periksa Ali.
"Anda keluarganya?" tanya dokter itu.
"Iya Dok."
"Kalau begitu bisa ikut saya ke ruangan saya?" Prilly mengangguk cepat, dan sang dokter mengarahkan Prilly agar ikut dengannya.
Prilly dipersilahkan duduk diikuti dengan Dokter Ayu Lestari yang duduk di balik meja kerjanya.
"Pak Ali, menderita sirosis hepatisatau atau sering orang mengenalnya sirosis hati, biasa disebut juga gagal hati. Pak Ali sudah kehilangan fungsi hatinya, penyakitnya ini juga sudah memasuki stadium 4. Biasanya ketika disadari sudah begitu parah dan mengancam kematian." Dokter Ayu menjelaskan apa yang sedang diderita Ali. Walau pun Prilly sudah tahu apa penyakit yang diderita Ali, tetap saja dia masih tak percaya semua itu menimpa Ali.
Sirosis hati adalah proses akhir dari perjalanan penyakit hepatitis kronis. Penyakit ini mengubah struktur hati dari jaringan hati normal menjadi nodelus atau orang awam menyebutnya bejolan-benjolan keras yang abnormal dan mengubah pembuluh darah.
"Maaf Dok, kalau boleh tahu separah apa kondisi Ali saat ini? Kenapa dia bisa koma?" tanya Prilly khawatir dan sangat mencemaskan kondisi Ali.
Dokter Ayu membenarkan cara duduknya, lalu dia menarik nafas sejenak, bersiap untuk menjelaskan kepada Prilly.
"Begini Ibu, hati Pak Ali saat ini sudah rusak atau bisa dikatakan kronis. Hal itu menyebabkan luka pada hati dan perlahan akan mengakibatkan jaringan yang sehat, akan digantikan oleh jaringan rusak, hingga hati Pak Ali tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Jaringan yang rusak akan menghambat aliran darah yang melewati hati," jelas dokter Ayu perlahan agar Prilly dapat memahaminya.
"Apa tidak dapat di obati lagi Dok?"
"Maaf Ibu, penyakit ini tidak bisa diperbaiki dan bahkan bisa menyebar lebih luas lagi," jawab Dokter Ayu membuat Prilly semakin dilanda ketakutan.
Takut? Iya! Prilly sangat takut kehilangan Ali. Tapi, apa Prilly saat ini tidak memikirkan bagaimana perasaan Al, jika sampai tahu dia masih memiliki secuil rasa kepada Ali.
"Apa ada cara agar Ali sembuh?" tanya Prilly menatap Dokter Ayu penuh harapan.
"Ada Bu, Pak Ali bisa sembuh jika ada hati yang cocok dan kita bisa melakukan transpalasi hati."
"Bantu saya mencari pendonor yang cocok Dok. Saya akan menanggung semua biayanya nanti. Asal Ali dapat selamat." Prilly merasa memiliki sedikit harapan untuk kesembuhan Ali.
"Kami akan membantu semampu kami Bu."
Ali sudah di vonis dokter menderita fulminant hepatic failure atau kegagalan hati. Fungsi hati yang Ali miliki sudah tak lagi bisa berfungsi dengan baik dan biasanya gejala gagal hati ini berkembang perlahan-lahan selama bertahun-tahun, jika sudah memasuki masa akut, penyakit ini akan berkembang dalam hitungan hari dan membuat si penderi koma.
Prilly berjalan gontai menuju ruang ICU di mana tempat Ali di rawat. Berbagai macam kabel melekat di tubuh Ali, saat ini dia sudah tak sadarkan diri. Dengan jubah hijau Prilly berdiri di samping ranjang Ali, menatapnya sendu, lagi-lagi air matanya luluh begitu saja.
Diam terpaku dan tak bisa berkata apa-apa, hanya doa yang mampu mengiringinya kembali pada dunia nyata. Walau pun hanya sedikit, harapan itu tetap ada, berharap bahwa ada keajaiban dan mukjizat Tuhan datang untuk Ali.
Prilly berjalan gontai keluar ruangan Ali. Dia ingin mencari sedikit udara segar di luar. Bau rumah sakit membuatnya sedikit mual. Beberapa kali Prilly mengusap perutnya sayang, seakan mengajak si kecil berinteraksi. Prilly kembali mengambil smartphone di dalam tasnya. Hari ini dia belum berhasil menghubungi Al, tiga kali di coba tetap tak ada jawaban. Prilly menoleh ke kanan, saat seorang dokter sedang memakai alat kejut jantung untuk mengembalikan kesadaran sang pasien.
Mata Prilly membulat saat sosok yang dikenalnya terbaring lemas tak berdaya di dalam bangsal. Samar-samar terdengar suara mesin dari monitor dan suara dokter yang berusaha mengembalikan kesadaran orang tersebut.
"Al." Prilly meletakkan tangannya di kaca kecil yang terdapat di pintu, memperlihatkan keadaan di dalam ruang itu. Al terlihat tak berdaya dan Prilly hanya mampu melihat dari luar karena tirai yang tersibak.
Prilly memaksa ingin masuk, tapi sayang ada Suster yang kebetulan keluar dari dalam sana.
"Suster, itu suami saya. Ada apa sama dia Sus, tolong jawab saya. Al! kamu dengar aku kan, bangun Honey."
"Tenang Bu ... tenang, biarkan pasien ditangani Dokter dulu." Suster itu sedikit mendorong Prilly yang terus memaksa masuk.
Suster barhasil membuat Prilly menunggu di luar, setalah pintu di tutup Prilly kembali ke jendela, melihat kondisi Al yang masih belum sadarkan diri. Prilly tak bisa diam mondar-mandir sambil menggigit kuku ibu jarinya karena cemas, kedua tangan di kepalkan, berdoa dengan harapan Al akan baik-baik saja.
Klek!!!
Pintu kamar terbuka, ada perempuan muda dengan jubah putih kebesarannya, terdapat name tag Dr. Ira Syafira di dada kirinya.
"Dokter bagaimana kondisi suami saya?" Prilly langsung memberodong Dr. Ira dengan pertanyaan.
"Prilly." Prilly sedikit merasa bingung, sebelumnya Prilly tak pernah memperkenalkan diri kepada dokter cantik di hadapannya ini.
"Ikut dulu ke ruangan saya." Ira meminta Prilly ikut ke ruangannya. Prilly mengikuti di belakang dengan perasaan cemas, beberapa kali dia menoleh ke belakang melihat kamar Al yang semakin jauh dia tinggalkan.
Prilly masuk ke ruangan Dr. Ira, dokter spesialis jantung.
"Silakan duduk." Ira mengarahkan tangannya ke kursi agar Prilly mau segera duduk.
"Suami saya kenapa Dok?" tanya Prilly tak sabar.
"Begini Prill, Al menderita kebocoran jantung." Ira mengatakan itu secara hati-hati. Tapi Prilly tidak bisa mendengarnya secara hati-hati. Hatinya seperti di tusuk pedang timah tajam, sakit bahkan sakitnya melebihi sakitnya orang patah hati. Perutnya terasa keram, dan dia langsung mengusapnya secara perlahan.
"Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi, tolong katakan sama saya, Dok." Prilly mengguncangkan tangan Ira yang tergeletak di atas meja.
"Al sudah sejak lahir memiliki penyakit ini. Kebocoran ini sudah mengubah aliran normal darah melalui jantung. Terdapat lubang atau kebocoran di septum antara dua serambi atas jantung maka itulah yang disebut sebagai defek septum atrium atau ASD atrial septal defect. Yang kedua terdapat lubang atau kebocoran di septum antara dua bilik jantung maka disebut defek septum ventrikel atau VSD vertricular septal defect. Sedangkan yang di derita Al itu ASD darah dari sisi kiri jantung dapat masuk ke sisi kanan. Dengan demikian, darah yang kaya oksigen bercampur dengan darah yang miskin oksigen. Akibatnya, beberapa darah kaya oksigen dipompa ke paru-paru bukan ke tubuh." Ira mencoba menjelaskan apa yang terjadi pada suami Prilly.
"Dia hanya butuh dukungan dari orang yang dicintainya." Ira membalas memegang pergelangan tangan Prilly, berusaha menyalurkan energi positif padanya.
"Kenapa kamu sembunyikan ini sama aku Al." Air mata Prilly luluh, belum selesai masalah Ali, datang lagi masalah baru dari Al.
"Al cuma nggak mau buat kamu khawatir, Al cuma mau liat senyum kamu di setiap harinya, bukan melihat kesedihan kamu yang menyadari penyakitnya. Kuatlah Prill, kekuatan Al ada di kamu. Dia cuma butuh kamu ada di sampingnya."
Lutut Prilly terasa lemas, di hari yang sama laki-laki yang pernah dan yang masih singgah di hatinya mengalami hal yang serupa. Sedih? sangat, dia hanya manusia biasa yang belum tentu kuat, tapi harus tetap berusaha kuat demi mereka. Prilly keluar dari ruangan Dr. Ira, dia beralih ke ruang inap Al. Dengan baju steril yang digunakan Prilly memasuki ruang inap itu, masih dengan kabel-kabel yang menancap di tubuh Al, dan selang oksigen yang membantu pernapasan Al.
Prilly mendekat, dia tak bisa lagi membendung perasaannya. Di raih tangan kekar yang selalu memberinya perlindungan, yang selalu memberikan kenyaman, dan yang selalu menghapus air mata kesedihan. Di letakkannya tangan itu di pipi kiri Prilly.
"Kenapa kamu diam aja Al. Apa kamu lupa aku istri kamu. Bangun Honey." Prilly hanya mampu memejamkan matanya merasakan sentuhan tangan Al di pipinya. Deru suara mesin electrocardiography alat pengukur denyut jantung yang ada tepat di samping ranjang sedikit mengganggu ketenangnya.
"Bangun sayang, ada aku di sini." Prilly duduk di kursi sebelah brankar Al.
Diam tanpa suara. Mata tajam namun meneduhkan hatinya selama ini, terpejam rapat. Alat bantu pernafasan terpasang, menutupi separuh wajah tampannya. Air mata Prilly tak dapat lagi terbendung. Menyesal? Pasti ada rasa itu.
"Bangun Honey. Aku mohon, buka mata kamu. Aku takut," hati Prilly dikuasai rasa ketakutan yang luar biasa.
"Maafkan aku Honey, ini semua salah aku. Apa kamu tidak ingin mendengarkan pengakuanku?" Prilly menangis sesenggukan hingga dadanya merasa sesak. Prilly menggenggam erat tangan suaminya yang bebas dari infus.
"Bicaralah Honey, aku lebih suka kamu bawelin, kamu marahin sekali pun kamu mau bentak aku, aku rela. Aku nggak suka lihat kamu tidur dan menutup mata seperti ini." Prilly melingkarkan tangannya ke atas perut Al. Dia membaringkan kepalanya di kasur sebelah tubuh Al.
Prilly memperhatikan wajah pucat suaminya yang tak berdaya itu. Air matanya selalu mengalir. Kenangan indah dengan Al menari-nari di atas kepalanya.
"Jangan tinggalin aku sendiri. Mana aku bisa hidup tanpa jantung aku, Honey. Aku rela berbagi detak jantung dengan kamu. Jika satu detik detak jantungku berdegub dua kali, aku akan membaginya denganmu. Kita rasakan sakit ini bersama, Honey." Di dalam perut Prilly juga merasakan kesedihannya. Dia memegangi perut dan merasa janin dalam perutnya juga tak bisa tenang.
"Apalah arti hidup ini jika tanpa cinta dan kasih sayang dari kamu. Rasakanlah, anak kita juga merasakan kesedihan yang sama dengan kita. Buka mata kamu Al. Aku sangat mencintai kamu." Prilly berdiri lalu menunduk memberi kecupan hangat di kening suaminya lama.
Prilly ingin berbagi kekuatan agar Al dapat merasakan kehadirannya dan calon anak yang kini masih di dalam perutnya. Prilly mengarahkan tangan Al di perut yang sudah mulai terlihat membuncit itu.
"Anak kita menunggu papanya sembuh. Kita akan rawat dia bersama, sampai nanti dia tumbuh menjadi anak yang baik dan pintar seperti papanya." Prilly berusaha menguatkan hatinya sendiri.
"Sabar ya Nak, Papa sedang bobo. Pasti nanti Papa akan bangun. Kita jagain Papa bersama ya?" Prilly berusaha berinteraksi dengan anaknya yang masih di dalam kandungan.
"Honey, cepatlah buka mata kamu. Dengarkan aku. Aku di sini menunggumu," bisik Prilly lembut tepat di telinga Al, berharap Al dapat mendengarkannya.
Prilly kembali duduk, memeluk perut Al lagi dan dia menidurkan kepalanya di sebelah tubuh Al. Pipinya sengaja dia letakkan di atas telapak tangan Al. Perasaan takut akan ditinggalkan dan takut Al tak lagi membuka mata menjalar di hatinya.
Tak ada kebohongan yang baik, walau pun tujuannya untuk menutupi kesedihan. Kejujuran lebih di atas segalanya, karena apa pun yang terjadi Tuhan sudah lebih dulu menyiapkan hati yang mantap. Karena air mata penyesalan jauh lebih menyakitkan dari apa yang dirasakan.
##############
Melonnya Mami
Bagaimana rasanya menunggu hingga berhari-hari?
Hihihi
Terimakasih vote dan comennya ya?
Terimakasih yang sudah setia menunggu dan membaca.
Love you all.
Muuuuaaahhhh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top