DUA PULUH SATU
Ini foto adek El auntie ... mirip kan sama Papa Al. Hihihihih
Yang kanan itu El habis mandi sama Papa Ali, terus El narik tututnya. Yang kiri El sama Oma, lagi belajar main gitar.
***
Andai semua tahu apa yang ada di dalam hati Prilly. Mungkin orang selama ini menyangka hidupnya baik-baik saja dan tak pernah terluka. Tegar bagaikan karang yang tak terkikis oleh air garam. Kuat tak pernah meneteskan air mata. Namun jika melihat lebih dalam, sepeninggalan Al, hati Prilly hancur hingga berkeping-keping. Tak mungkin dia selamanya akan terbelenggu dalam kesedihan dan kenangan lamanya saat masih bersama Al. Kini waktunya dia menapaki kehidupan yang sesungguhnya. Menatap kenyataan hidup yang pahit dan keras, namun dia harus tetap menjalani dengan tabah dan ikhlas.
"Ma ... ma ... ma ... ma." El menepuk-nepuk pipi Prilly pagi ini.
Mata Prilly mulai mengejap dan perlahan terbuka. Senyum tertarik dari kedua sudut bibir si kecil El yang memperlihatkan gigi susunya mulai tumbuh dua. Prilly tersenyum manis melihat jagoan kecilnya sudah lebih dulu bangun dan duduk di sampingnya.
"Selamat pagi jagoan Mama." Prilly selalu membiasakan menyapa El saat bangun tidur, itu melatih memory El setiap pagi untuk mengingatkan keberadaan Prilly yang selalu menemaninya.
"Nen ... nen ... nen." El menepuk-nepuk dada Prilly, meminta ASI darinya.
Prilly mengeluarkan payu dara sebelah kanannya, membuat El kegirangan lalu menyusu pada ibunya.
"Selamat pagi," sapa suara riang dari arah pintu.
Prilly melihat Ali membuka pintu kamarnya dan hanya menyembulkan kepala saja. Ali yang melihat El sedang asyik menyusu pada Prilly lalu menghampiri mereka.
"Selamat pagi jagoan Papa Al. Eh, Papa Ali." Prilly tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya saat Ali menyapa El sambil mengacak rambutnya pelan.
"Pa ... pa ... pa ... pa ...." El melepas puting Prilly membuat ASI-nya tumpah hingga tangan Prilly dengan cepat menekan putingnya. Ali yang sempat melihat hal itu susah payah menelan ludahnya.
"El, ini nenennya tumpah, nanti saja main sama Papa Ali." Prilly mengarahkan wajah El ke depan putingnya.
Ali yang setengah duduk di samping El, bisa melihat jelas payu dara Prilly yang masih kencang, mungkin karena dia masih memproduksi ASI.
"Ya Allah, kuatkan iman aku. Kalau begini bisa-bisa aku khilaf." Ali membatin namun mata tak bisa lepas melihat El yang asyik menyusu Prilly.
"Li ...." Panggil Prilly pelan menyadarkan Ali dari lamunannya.
"Iya, ada apa?" sahut Ali gelagapan membuat Prilly mengerutkan dahinya heran.
"Kamu lihatin apa sih? Sampai aku panggil kaget begitu?" tanya Prilly menatap Ali penuh selidik.
"Emmmm ... anu ... lihatin El," jawab Ali gagap membuat Prilly mengerti maksud Ali.
Ali menggaruk tengkuknya dan bersikap gusar membuat Prilly semakin ingin tertawa lepas namun ia masih menahannya dengan mengulum bibir.
"Kamu pengen El? Mau nyusu juga?" goda Prilly membuat Ali menatapnya terkejut dengan wajahnya bersemburat merah karena malu.
"Ng ... ng ... nggak kok," bantah Ali cepat.
"Yakin? Kok wajahnya nggak slow gitu sih?" Prilly semakin suka menggoda Ali karena wajah Ali berubah sangat lucu saat sedang malu-malu kucing seperti itu.
"Iya." Ali menjawab singkat sambil membuang wajahnya ke arah lain.
"Aku pikir kamu pengen El. Padahal aku udah mau kasih kamu tadinya, tapi kamu nggak pengen, ya udah." Prilly menutup bajunya kembali setelah El melepas putingnya.
Ali terdiam, berfikir keras apa maksud kata Prilly tadi. Ali menghela nafas, menormalkan detak jantungnya saat melihat Prilly turun dari ranjang dengan baju tidur yang mini. Wajar saja, di usia Ali yang sudah dewasa dan sudah saatnya menyebar benih, membuat gelora bercintanya bangkit.
"Pril." Ali memanggil Prilly saat dia sedang menunduk mencari handuk di lemari, membuat rok bagian belakangnya terangkat ke atas.
"Hmmm." Prilly hanya bergumam masih sibuk mencari handuk yang dia inginkan.
"Kita harus cepat menikah. Kalau nggak aku bisa khilaf." Ali berkata cepat dengan sekali tarikan nafas, membuat Prilly tersenyum tanpa membalikan badan.
"Kenapa?" tanya Prilly saat ini sudah menemukan handuk yang dia cari dan berjalan menghampiri Ali.
"Pokoknya kita secepatnya harus menikah."
Prilly tersenyum saat tatapan mata Ali selalu fokus ke arah belahan dadanya. Prilly sebenarnya sangat menyadari jika Ali saat ini sudah mati-matian menahan hasratnya. Apa lagi Prilly sudah tahu betul bagaimana seorang pria yang sedang menahan keinginan untuk bercinta. Dari pengalamannya dulu saat Al masih hidup.
"Mbak Ebie ...." Panggil Prilly dari ambang pintu kamar.
Ebie adalah orang yang membantu Prilly untuk mengurus El, atas permintaan dan paksaan Ali dua minggu yang lalu. Hubungan yang bergulir seiring berjalannya waktu meleburkan amarah dan rasa kecewa Prilly kepada Ali. Kini saatnya Prilly bangun dari mimpi dan mulai menghadapi kenyataan.
"Iya Non, ada apa to yo?" sahut Ebie dengan logat Jawa yang sangat medok.
Ebie sedikit berlari kecil menaiki tangga untuk menghampiri Prilly yang menunggunya di dalam kamar.
"Mbak Bie, aku minta tolong mandiin El ya?"
"Oh, siap Non."
Ebie menghampiri El yang masih asyik bermain dengan Ali di atas ranjang.
"Nang ning ... ning ... nang ... ning ... nong. Cah bagus, ayo mandi dulu sama Bu Dhe Ebie." Ebie menimang El lalu mengangkatnya dari atas ranjang.
Prilly yang melihat lucunya Ebie tak kuasa menahan tawa. Semenjak kehadiran Ebie di rumahnya, hati Prilly selalu bisa menghangat tak sedingin dulu.
"Mbak Bie ... Mbak Bie. Ada-ada aja." Prilly masih saja tertawa, padahal Ebie sudah keluar membawa El bersamanya.
Ali masih saja setengah duduk dengan bertumpu siku tangan kanannya, kaki kirinya dia angkat di atas ranjang dan kaki kanannya dia biarkan menjuntai ke bawah. Ali masih asyik memainkan bebek-bebekan berwarna kuning milik El.
"Kamu nggak ngantor?" tanya Prilly menjatuhkan tubuhnya di samping Ali.
"Tanggal merah, kantorku libur." Ali berkata masih menyibukkan diri memainkan benda lucu tadi.
"Terus apa acara hari ini?" Prilly merebut mainan El dari tangan Ali, agar Ali beralih memperhatikannya.
"Prilly, tolong jangan menggodaku dengan itu." Ali memalingkan wajahnya ke ara lain untuk menghindar menatap dada Prilly yang sedari menggoda imannya.
"Menggoda bagaimana sih, Li. Aku kan biasa aja. Kamunya aja yang tergoda."
"Prilly, sayang kamu tahu nggak di balik celana aku udah sakit banget." Ali menyentuh bagian sensitifnya yang terhimpit celana jeans.
Prilly menahan tawanya saat melihat celana Ali menonjol kaku dan sepertinya burung yang di dalam sangkar sudah meronta mendesak ingin keluar.
"Tahan dulu sampai kamu menjadikan aku istrimu." Prilly berniat bangun dari rebahannya namun dengan gerakan cepat Ali justru menindihnya.
"Apa itu artinya aku boleh menikahimu?" tanya Ali yang mendapat sinyal bahwa Prilly memberinya lampu hijau.
"Itu kalau kamu mau menikah sama janda anak satu."
"Mau kamu punya anak sepuluh sekali pun aku pasti tetap mau sama kamu," sahut Ali cepat dengan mata berbinar bahagia.
"Ya sudah, kapan kamu akan melamarku resmi di depan keluargaku?" tanya Prilly sambil memainkan kerah kemeja Ali manja.
"Besok malam kita ke rumah orangtua kamu, ya?"
"Mama .... El ... suuuu ...." Tangan Ebie menutup mata El cepat.
Belum juga Prilly menjawab pernyataan Ali, suara Ebie dari ambang pintu terdengar. Membuat Ali segera turun dari atas tubuh Prilly.
"Masya Allah, aduuuhhh ... maaf, Ebie nggak tahu kalau Non sama Tuan mau gituan. Ya udah, Ebie bawa El turun lagi. Monggo dilanjutin." Ebie segera keluar dari kamar membuat Ali dan Prilly salah tingkah.
"Eh iya, kan belum muhrim ya? Aduuuhhhh gawat ini." Ebie kembali ke kamar Prilly, namun Ali sudah duduk santai di sofa sedangkan Prilly sudah masuk ke dalam kamar mandi.
"Lah, kok nggak jadi gituan, Tuan?" tanya Ebie polos sambil menurunkan El di atas sofa sebelah Ali.
"Nggak jadi, ada hama menyelusup." Ali berkata sambil mengangkat El ke atas pangkuannya.
"Maksudnya hama apa?" Ebie berjalan ke arah ranjang berniat membereskannya.
"Gara-gara Mbak Bie datang, burung kecil aku nggak jadi sarapan."
Ebie yang paham dengan perkataan Ali tadi lalu tertawa lepas sambil membereskan ranjang Prilly.
"Wes, nikah dulu aja Tuan, baru nanti kawinnya." Ebie berkata menggoda Ali.
"Kawin gampang, nikahnya yang susah," sahut Ali sembari mengajak El bermain.
"Gampang, tinggal ke KUA aja kok repot," bantah Ebie kini menyibak gorden dan membuka jendela besar yang ada di kamar untuk sirkulasi udara.
"Gampang kawinnya, tinggal buka pakaian jadi. Kalau nikah masih banyak mengurus surat-surat dan perijinan," ujar Ali tak acuh.
Prilly yang baru saja keluar dari kamar mandi menyaut, "Maunya kawin dulu apa nikah dulu?"
Prilly berjalan ke lemari memilih baju ganti.
"Nikah baru kawin," tukas Ali menghindar menatap Prilly yang tubuhnya hanya terlilit handuk saja.
"Kalau kamu sabar dan burung kecilmu masih bisa menahan, ya ... aku ikut sajalah. Jangan lama-lama menyiksa burung kecil, takutnya nanti semakin menciut kecil," kata Prilly tak acuh memakai pakaiannya di depan lemari.
Ebie yang melihat wajah Ali sudah kelimpungan semakin ingin tertawa terbahak. Apa lagi Ebie melihat ujung ekor mata Ali mencuri pandang melihat Prilly sedang berpakaian.
"Awas, bintitan! Lihat aja geratis ngapain melirik." Ebie menyindir Ali lalu mengangkat El dari pangkuan Ali.
"El, ikut Bu Dhe Ebie ya? Mama mau ngurus Papa Ali dulu." Ebie membawa El keluar dari kamar Prilly.
Ali masih diam terpaku di sofa, debaran jantungnya semakin tak karuan saat Prilly mendekatinya. Prilly duduk di sebelah Ali membuat Ali tak bisa berkutik.
"Kamu kenapa sih? Kayak nggak pernah lihat aku begini. Dulu kan biasa lihat aku pakai baju mini," cerca Prilly sambil mengusap lotion di kakinya, yang dia naikan ke atas meja, sehingga paha mulusnya terekspose jelas karena roknya tersibak.
"Bedalah, dulu sama sekarang," bantah Ali susah payah menelan ludahnya.
"Bedanya dulu aku masih gadis dan perawan, sekarang sudah janda beranak satu. Iya kan?"
"Bukan itu, tapi bedanya dulu masih muda dan masih bisa mengontrol birahi, tapi sekarang aku sudah dewasa dan memang sudah waktunya melepas birahi."
"Ya sudah, di lepas saja sekarang. Tuh, burung kecil kamu bangun lagi," goda Prilly menunjuk bagian sensitif Ali dengan dagunya yang terlihat menonjol lagi.
Dengan cepat Ali menutupnya dengan bantal sofa dan menahan malunya setengah mati. Prilly tertawa terbahak sambil berjalan ke arah meja rias, lalu menyisir rambutnya yang masih basah.
"Aku mau turun, kita cari sarapan di luar nanti," kata Ali berniat berdiri menahan bagian sensitifnya yang sakit terhimpit dan tersiksa.
"Ganti aja dulu celana kamu. Pakai yang longgaran, biar nggak sakit itu kamu," ujar Prilly mengambilkan celana milik almarhum Al dari lemarinya.
"Pakai ini, kamu sama Al kan lingkar pinggangnya mungkin sama, bedanya Al lebih tinggi daripada kamu." Prilly memberikan celana tiga perempat milik Al kepada Ali yang sudah berdiri di depan sofa.
Hati Ali berdesir, entah mengapa ada rasa rindu mendalam yang dia rasakan. Padahal itu benda milik Al, namun mengapa Ali merasa sangat merindukan itu? Ali tak memperdulikan perasaannya itu, kini yang dia pikirkan hanya, bagaimana bagian sensitifnya tidak lagi terhimpit dan tersiksa.
"Aku ganti di kamar mandi." Ali berjalan ke arah kamar mandi.
"Kalau kamu mau ganti di sini juga nggak papa. Aku sudah pernah lihat. Mungkin ukurannya aja yang beda," celetuk Prilly yang sengaja menggoda Ali.
"Kamu lama-lama ngeselin ya? Udah tahu aku tersiksa begini, masih aja di goda. Kalau aku nggak bisa lagi menahan nafsuku, baru tahu rasa kamu," omel Ali yang sudah geram justru membuat Prilly tertawa.
Ali masuk begitu saja ke dalam kamar mandi, Prilly yang sudah berhenti tertawa lalu memandang foto Al yang masih terpajang indah di dalam kamar itu.
"Al, jika memang ini jalan yang kamu berikan untukku dan El, aku akan menjalankannya. Tanpa berniat mengkhianati cinta suci kita, aku akan berusaha bahagia. Cintamu di hatiku nggak akan pernah pudar, justru akan semakin kuat. Namun, itu akan selalu tersimpan di sudut hatiku. Kamu punya tempat teristimewa di hati aku, Honey. Tunggu aku di keabadian. Biarkan aku bahagia dengan cinta yang lain di dunia fana ini. Namun aku yakin, kelak cinta kita akan bertemu lagi di keabadian." Prilly berniat menurunkan foto yang terbingkai apik berukuran besar yang selama ini tergantung di dinding kamarnya.
"Jangan, biarkan tergantung di situ." Ali mencegah tangan Prilly yang sudah siap menurunkan foto Al.
"Aku nggak mau kamu sakit hati, Li."
"Hatiku nggak akan sakit hanya karena kamu memanjang foto Al di dinding. Kamu lupa hati ini adalah milik Al. Justru entah kenapa hati aku suka melihat foto Al itu." Ali menatap foto Al sambil tersenyum sangat manis.
"Foto ini yang paling di sukai Al. Dari awal kita beli rumah ini, pertama yang dia pasang adalah foto ini. Aku juga menyukainya, dia terlihat sangat tampan, gagah dan berwibawa." Prilly tersenyum manis melihat foto seseorang yang masih dia cintai hingga detik ini.
"Aku dan Al lelaki yang beruntung." Prilly menoleh beralih menatap Ali yang masih memperhatikan foto Al dengan senyuman yang tak pudar.
"Kenapa?" tanya Prilly heran.
"Karena, aku dan dia mencintai wanita yang sama dan cinta kita sama-sama dapat memiliki. Walau salah satu diantara kita harus lebih dulu pulang ke rumah-Nya."
"Aku juga wanita yang beruntung." Kini Ali bergantian menoleh Prilly yang masih menatapnya lekat.
"Kenapa?" tanya Ali memutar tubuh Prilly untuk saling berhadapan.
"Karena aku dicintai dua lelaki yang sama besarnya mencintai aku. Walau hati mereka saat ini sama, tapi aku masih bisa merasakan perbedaan cinta mereka yang sama tulus dan besarnya." Prilly tersenyum sangat manis.
"Aku mencintaimu Prilly Kirana Larasati." Ali menarik tengkuk Prilly pelan lalu melumat bibir ranum itu.
Jika cinta sudah bergerak, ego dan logika tak mampu menolak. Amarah dan kecewa akan terlebur karena cinta yang mengakar di jantung hati hingga tiba waktunya kelak. Takdir tak akan ada yang menduga, apa yang tak mungkin bisa menjadi mungkin. Karena rencana Tuhan itu lebih indah daripada rencana kita sebagai hamba-Nya yang sewaktu-waktu akan dia ambil untuk kembali kepangkuan-Nya.
#########
Maminya Melon
Semoga masih ada yang baca dan masih sabar menunggu. Aamiin.
Makasih yang udah suka rela memberi vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top