DUA PULUH EMPAT

Prilly sedang menikmati suasana sore di pinggiran kolam, memandangi ikan-ikan yang sedang berenang kesana kemari dan akan berkumpul jika Prilly melemparkan makanannya. Seulas senyum tersungging di sudut bibirnya.

"Wow, anak Mama senang liat ikan ya." Prilly mengusap perutnya yang sudah besar karena usia kandungannya telah memasuki bulan ke-9. Ada pergerakan dari dalam sana saat Prilly asyik memberi makan ikan.

"Nanti kalau kamu sudah lahir, kita kasih makan ikan sama-sama ya Sayang." Prilly kembali mengusap perutnya berkali-kali.

Prediksi dokter Prilly akan melahirkan dalam waktu dekat ini, jika tak ada alang melintang dan prediksi tak meleset Prilly akan melahirkan dalam Minggu ini.

"Assalamualaikum, Maaa ...."

"Walaikumsalam." Prilly menjawab salam putra pertamanya.

"Ma, ngapain di sini. Udah sore masuk yuk." El mengulurkan tangannya untuk membantu Prilly. Walaupun El masih kecil, tapi dia sangat bisa menjaga Prilly.

Prilly mengangguk dan menyambut tangan El. El sekuat tenaga menahan tubuhnya sendiri agar tidak terhuyung jatuh ke depan.

"Maaf ya Ma, El pulang terlambat, tadi ada tambahan pelajaran di sekolah," ucap El menyesal.

"Iya sayang, nggak apa-apa. Aaiissshhh .... " Prilly memegangi perutnya yang sakit.

Prilly terus merintih menahan sakit. Sepertinya Prilly akan melahirkan. El yang tidak mengerti hanya memandangnya bingung.

"Mama kenapa, Ma?" tanya El panik ikut memegangi perut Prilly.

Prilly merintih menahan sakit sambil menggigit bibir bawahnya. Perlahan tubuhnya terasa lemas dan

"Bu Dhe, Bu Dhe, Mama sakit nih," teriak El mencoba memanggil Ebie yang entah di mana keberadaannya.

"Bu Dhe!!!" teriak El sekali lagi, setelah itu terdengar derap langkah kaki dari arah depan.

"Den, Mama kenapa itu?" tanya Ebie panik sambil menghampiri El yang masih menahan tubuh Prilly.

"Mau lahiran ya? Bu Dhe panggil ambulan dulu ya." Ebie kembali pergi meninggalkan Prilly dan El ke dapur, men-dial ambulan ke rumah. Setalah itu Ebie menghubungi Ali.

Ebie kembali menghampiri Prilly dan El. Ebie yang notabennya tidak paham dengan melahirkan, karena dia juga tak ada pengalaman sedikit pun soal itu hanya bisa membantu seadanya saja.

"Non, tahan ya. Ebie udah telepon ambulance sama tuan Ali sekalian tadi." Ebie membantu Prilly berjalan mendekati sofa, sambil menunggu ambulance datang, setidaknya Prilly bisa lebih tenang jika duduk.

"Iya Bi, makasih ya. Tolong ambilin tas yang udah saya siapin di kamar. Hu ha hu ha ...," pinta Prilly sambil mengatur nafasnya yang menahan sakit.

Ebie langsung berlari ke kamar Prilly dan mengambil tas yang di minta. El masih dengan setia menemani mamanya. Wajahnya yang cemas membuat hati Prilly tak tega melihatnya. Prilly mengelus rambut El lembut agar anak lelakinya itu tetap tenang.

"Dede sabar ya, jangan buat Mama kesakitan gini." El mengusap perut Prilly agar adiknya itu mengerti.

Prilly tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya dan sesekali merintih sakit yang tertahan agar tak membuat El semakin mengkhawatirkan dirinya.

Setelah menunggu kurang lebih 10 menit, akhirnya ambulance pun tiba. Prilly segera di bawa ke rumah sakit, Ebie dan El juga ikut menemaninya. Setibanya di lobby Prilly langsung di bawa ke ruang persalinan.

"Bi, Ali ke mana? Kenapa dia belum sampai sini?" tanya Prilly saat menuju ke ruang persalinan.

Prilly ingin persalinannya kali ini di temani sang suami. Dulu saat dia melahirkan El,  tanpa ada Al di sisinya, tapi sekarang dia ingin Ali ada bersamanya.

"Lagi di jalan Non, tadi Ebie telepon udah keluar bandara. Non yang sabar ya." Ebie mencoba memberikan kekuatan kepada majikannya itu.

El juga ikut berlari di samping transferbed yang membawa Prilly ke ruang persalinan. Semua terasa tegang saat suster menutup ruangan itu dan meminta Ebie juga El menunggunya di luar.

"Bu Dhe, Mama nggak papa kan?" tanya El dengan wajah tegang dan tersirat kecemasan.

Ebie membelai wajah tampan El lalu mengajaknya duduk di kursi ruang tunggu. Selama ini El memang tak pernah melihat Prilly hingga merasa kesakitan seperti tadi. Hal itu yang menyebabkan El melihatnya tak tega.

"Mamanya El nggak papa, kan bentar lagi adik kecil lahir, El tenang aja ya, doain Mama dan adik biar selamat proses melahirkannya." Ebie membawa El ke dalam pelukannya.

Deru langkah tergesa menguasai gendang telinga El dan Ebie. Suara napas yang tersengal terdengar jelas di depan Ebie dan El.

"Di mana Mama?" tanya Ali susah payah sambil mengatur napasnya.

"Papa, Mama di dalam," seru El mengacung ke pintu yang ada di sebelah kanannya.

Ali mengacak rambut El sebentar lalu mengetuk pintu ruang tersebut. Ali mengelap keringatnya dengan sapu tangan. Tak lama kemudian seorang suster membukakan pintu.

"Maaf Sus, saya suami dari ibu Prilly. Apa saya bisa masuk menemaninya?" tanya Ali dengan perasaan campur aduk.

"Oh iya, boleh Pak, silakan masuk. Istri Anda sudah menunggu sejak tadi." Suster tadi membukakan pintu agar Ali masuk.

Ali berjalan mendekati brankar yang di tempati Prilly. Di sana terlihat jelas bagaimana Prilly berjuang dan berusaha menahan kesakitannya.

"Mama," pekik Ali lalu mendekati Prilly dan menggapai tangannya untuk di genggam.

"Pa, ssshhhuuuufffhhh sakit," adu Prilly tertahan.

Peluh sudan membasahi tubuh Prilly, baju yang Prilly pakai pun sudah basah kuyup karena terlalu banyak keringat yang dia keluarkan.

"Ikat rambut kamu di mana?" tanya Ali yang merasa tak tega melihat rambut Prilly basah karena keringat.

"Nggak tahu, aku nggak ngurus jepit rambut!" ujar Prilly sedikit menyentak karena dirinya juga sedang sangat kesakitan saat ini sehingga tak memikirkan hal sekecil itu.

Ali berusaha memahami dan sabar karena keadaan Prilly saat ini pasti emosinya sedang tidak stabil. Ali berinisiatif mencari sesuatu yang dapat mengikat rambut istrinya. Hingga dia melihat sebuah kain lalu mengambilnya.

"Duduk sebentar yuk!" Ali berusaha membangunkan Prilly.

"Kamu tuh ya ... nggak tahu apa kalau aku sedang kesakitan begini. Mau ngapain sih?" ujar Prilly sedikit meninggikan suaranya.

Ali tak merasa tersinggung dengan kata-kata Prilly itu. Dia harus dapat selalu sabar dan memahami situasi kali ini. Tanpa Prilly duduk, Ali mengikat rambut panjang istrinya dengan kain tadi, sehingga kini wajah Prilly tak terhalang oleh rambutnya.

"Sus, kapan lahirannya?" tanya Ali kepada seorang Suster yang sedang menyiapkan alat untuk membantu persalinan nanti.

"Masih lama proses persalinannya Pak, soalnya tadi di cek terakhir baru pembukaan 5. Masih menunggu pembukaan 5 lagi untuk proses melahirkan," jelas Suster tadi.

"Hah?! Lama banget sih Sus, aku maunya secepatnya. Kasih pemacu deh," protes Prilly yang menahan sakit dan sesekali rasa sakit itu hilang.

"Tunggu saya panggilkan dokter Robi dulu ya?" Suster itu keluar dari ruang persalinan.

Ali menatap heran kepada Prilly, sedangkan yang di tatap justru tersenyum sangat manis berbeda dengan saat Ali masuk ke ruang tadi.

"Pa, aku laper?" ujar Prilly membuat Ali membulatkan matanya sempurna.

Bisa-bisanya dalam situasi seperti ini Prilly merasakan lapar.

"Kamu jangan aneh-aneh dong, Ma," sangkal Ali sambil melepas dasinya dan membuka dua kacing kemejanya.

"Serius Pa, Mama laper," rengekkan manja Prilly membuat Ali semakin tak kuasa menolaknya.

"Iya, aku carikan makan dulu. Mau makan apa?" seru Ali bersiap ke luar ruangan.

"Minta tolong sama Mbak Ebie aja, suruh beliin pecel telur sama es teh." Ali menelan ludahnya susah payah mendengar permintaan Prilly tadi.

"Ya Allah Mama, carinya di mana? Ini sudah malam," bantah Ali sambil mengusap wajahnya.

"Tapi aku pengen makan itu, Papa," rajuk Prilly manja.

"Ya, tunggu sebentar." Akhirnya Ali pun keluar dari ruang tersebut dan meminta tolong Ebie untuk mencarikannya.

"Udah?" tanya Prilly meringis kesakitan sambil mengelus pinggangnya yang terasa seperti ingin lepas.

"Udah, tunggu sebentar. Ebie sama El baru mencarikan." Ali berkata menghampiri Prilly lalu membantunya mengusap pinggangnya.

"Aduh ... duh ... duh ... duh, sssshhhh aw ...," rintihan Prilly membuat Ali merasa tak tega dan semakin cemas.

"Sakit ya Ma?" tanya Ali bodoh yang sebenarnya bingung ingin berbuat apa.

"Sudah tahu sakit masih aja tanya," jawab Prilly judes membuat Ali menggaruk pelipisnya bingung.

"Tolong bantu aku mengelap keringat terus mintain air hangat sama Suster," titah Prilly yang kini terdengar lebih sopan dan tenang.

Ali menuruti saja kemauan Prilly daripada nanti salah, akan membuat Prilly semakin marah. Suster menyiapkan air hangat di kamar mandi lalu membantu Prilly untuk membersihkan diri sebelum proses persalinan. Selesai dia bersih dan rapi Prilly kembali berbaring di atas brankar.

"Harus ya Sus, sebelum melahirkan membersihkan diri?" tanya Ali sambil membantu Prilly berbaring.

"Harus dong Pak Ali, dengan mandi dan membersihkan badan, ibu Prilly akan mengurangi kemungkinan adanya kuman yang masuk selama persalinan. Hal ini mengurangi terjadinya infeksi sesudah melahirkan. Begitu Pak Ali," jelas Suster tadi sambil ia membersihkan sisa air yang Prilly pakai.

"Nggak cuma itu Pa, aku merasa lebih nyaman selama menjalani proses persalinan kalau tubuh bersih," timpal Prilly mengikat rambutnya sendiri.

Rasa sakit yang kadang datang dan pergi membuat Prilly sesekali masih dapat melakukan aktifitas. Prilly turun dari brankar dan berjalan-jalan di ruang persalinan berniat mengurangi rasa sakitnya.

"Mama tiduran aja," seru Ali berniat membantu Prilly agar merebahkan tubuhnya kembali.

"Jangan di manja kalau sedang sakit. Ini juga biar aku nggak merasa tegang nanti saat lahiran, Pa," bantah Prilly menolak Ali yang sudah siap membantunya berbaring.

Ali hanya menarik napas pelan dan menuruti kemauan Prilly. Ali melirik Suster yang baru saja selesai membersihkan kamar mandi bekas Prilly membersihkan diri tadi.

"Sus, kenapa tadi bulunya di bagian itu dicukur?" tanya Ali malu-malu sambil melirik Prilly yang ternyata juga memperhatikannya. Suster itu tersenyum sambil saling bertatapan dengan Prilly.

"Nggak semua di cukur kok Pak Ali. Masih aman punya Anda juga masih terjaga," ujar Suster itu menahan tawanya.

Prilly yang mendengar jawaban Suster itu lalu melepas tawanya membuat Ali harus menahan malu setengah mati. Ali menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil menunduk.

"Papa, ini ada-ada aja tanyanya. Ya harus di cukurlah Pa, tidak menutup kemungkinan pas aku mengejan nanti bisa aja mengeluarkan tinja. Sekedar jaga-jaga biar mempermudah pembersihan," jelas Prilly yang memang sudah pernah mengalami melahirkan sebelumnya dan itu ia jadikan pengalaman.

"Dan ... karena hal tersebut akan mempermudah penjahitan jika nanti ibu Prilly ternyata diepisiotomi," timpal Suster menambahi penjelasan Prilly.

"Diepisiotomi apaan Sus?" tanya Ali penasaran.

"Sobek itunya, Pak Ali," jawab Suster itu lembut.

"Oh, begitu? Terus ini kapan lahirannya?" Ali menarik kursi lalu duduk memperhatikan Prilly yang masih asyik berjalan-jalan sambil sesekali memegangi perutnya dan meringis kesakitan hingga menggigit bibir bawahnya.

"Sabar dong Pak Ali, selama menunggu persalinan tiba, ibu Prilly diperbolehkan untuk berjalan-jalan di sekitar kamar bersalin. Ibu Prilly juga boleh minum dan makan makanan ringan tapi saya sarankan untuk tidak mengkonsumsi makanan yang berbau menyengat seperti petai atau jengkol," ujar Suster membuat Prilly menoleh cepat memandang Suster.

"Hidih, saya nggak doyan pete sama jengkol, Sus. Tadi saya pesen pecel telur sama es teh tapi belum juga datang," seru Prilly melirik Ali.

"Masya Allah, maaf Ma, Papa lupa." Ali menepuk dahinya pelan lalu beranjak dari duduknya dan ke luar ruangan.

Ali melihat Ebie sudah menunggunya duduk di depan ruangan bersama El.

"Mbak Bie, udah dapat pecelnya?" tanya Ali menghampiri Ebie.

"Dari tadi Tuan." Ebie memberikan kantong plastik kepada Ali.

"Pa, Mama gimana?" tanya El terlihat belum bisa tenang dan tak bisa duduk santai.

"Mama di dalam baik-baik saja. Jangan khawatir, berdoa saja biar proses kelahirannya lancar ya?" Ali mengusap kepala El lembut agar perasaan El dapat tenang.

"Iya deh Pa," sahut El tersenyum manis kepada Ali.

"Papa masuk dulu ya? Kalau kamu capek dan kelamaan nunggu Mama, ajak Bu Dhe Ebie pulang duluan nggak papa. Biar Papa yang nungguin Mama," ujar Ali penuh perhatian.

"Nggak papa Pa, El mau nungguin Mama sama adik kecil lahiran," seru El membuat perasaan Ali menghangat karena El sangat antusias menunggu kelahiran adiknya.

"Kamu udah makan belum?" tanya Ali menatap El lembut.

"Belum Pa," jawab El jujur.

"Kamu makan dulu sama Bu Dhe Ebie. Nanti kalau kamu sampai sakit nggak bisa jagain adik," tukas Ali sambil mencubit pipi El pelan.

"Iya deh Pa," sahut El lalu mengajak Ebie untuk mencari makan.

Ali tersenyum bangga melihat El yang selalu patuh dengan kata-katanya dan tidak pernah membantah atas perintahnya. El juga anak yang pengertian dan tak pernah merasa iri apa lagi cemburu jika Ali dan Prilly belakangan lebih memperhatikan persiapan proses kelahiran untuk menyambut anggota keluarga baru di tengah kebahagian mereka. El justru membantu dan suka cita menyambut kelahiran adiknya.

"Ini, makan dulu." Ali membuka bungkusan nasi pecel pesanan Prilly.

Prilly mendekati Ali dan mencengkram bahu Ali sedikit keras karena tiba-tiba rasa sakit itu hadir lagi. Ali menahan rasa sakit di bahunya bekas cengkeraman Prilly tadi. Ali membantu Prilly duduk di atas brankar.

"Jadi makan nggak?" tanya Ali setelah Prilly merebahkan tubuhnya.

"Sssshhhh aduh sakit banget, Pa. Nggak jadi deh, minum aja," seru Prilly membuat Ali lagi-lagi harus sabar menghadapi istrinya itu. Ali segera memberikan air putih kepada Prilly.

"Sus, sepertinya udah terasa nih," ujar Prilly sehabis minum.

"Baik, tunggu sebentar ya Bu. Saya panggilkan Dokter Robi dulu." Suster tadi bergegas keluar memanggil Dokter Robi.

"Aw ... ssshhh Papa sakit banget," pekik Prilly mencengkeram lengan Ali kuat.

"Iya, sabar ya Ma. Pasti kamu kuat kok, aku di sini nemenin kamu." Ali mencium kening Prilly lama sambil menyalurkan kekuatan untuk istri tercintanya.

Dokter Robi dan para tim medis pun masuk dan mengecek bagian sensitif Prilly. Dia tersenyum penuh arti kepada Ali dan Prilly.

"Sudah siap? Sudah waktunya," seru Dokter Robi lalu bersiap diri.

Semua orang menempatkan pada posisinya masing-masing. Ali tak sejengkal pun jauh dari Prilly. Rasa tak tega bercampur bahagia berkecamuk di hati Ali. Keringat dingin keluar dari tubuh Ali, dia harus tetap berusaha tenang agar tak menimbulkan kepanikan dalam ruang tersebut.

"Ibu Prilly dengarkan aba-aba dari saya. Saat mengejan usahakan jangan mengangkat pantat ya, agar sobeknya nggak lebar," tukas Dokter Robi.

"Iya Dok, nggak janji, kan itu reflek," bantah Prilly sambil merintih sakit justru membuat Dokter Robi tersenyum geli.

"Ya kasihan Pak Ali nanti kalau sobeknya lebar pangkling sama lubangnya," seru Dokter Robi mencairkan suasana yang tegang dengan sedikit candaan. Ali yang mendengar hal itu sedikit malu namun juga menahan tawa.

Proses persalinan pun berjalan lancar hingga kini seorang bayi perempuan berhasil Prilly lahirkan ke dunia ini. Rasa lega dan bahagia menyelimuti semua hati tim medis begitu pun keluarga yang sudah menantikan kelahiran itu.

Dengan kasih dan cinta yang tulus, kebahagiaan akan tercapai dengan sendirinya tanpa kita menuntut dan mencari.

########

Melon dan Maminya.

Yeaaaaaaa ... bentar lagi Ending. Sabar ya yang menunggu nama dedek kecilnya. Hihihihih
Part ini campuran Mami sama Ebie. Part selanjutnya baru nanti Ebie. Sebagai penutup tunggu Hasil semedi Ebie ya?

Terima makasih udah mau vote dan komen, sabar menunggu. Hihihih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top