DUA PULUH

Sanggupkah hati berkata tidak saat raga menginginkannya lebih dari apa yang di dapatkan.

***

Prilly masih saja sesenggukan di dalam pelukan Ali, di sandarkan kepalanya di dada bidang Ali. Di rasakannya detak jatung yang berdetak abnormal, dan dia sadar di dalam sana ada hati yang sangat di kenalnya, bahkan sangat di rindukannya. Tak kuasa menahan tangis saat dia menyadari bahwa hati itu berada di dalam raga orang lain. Sanggupkah dia hidup berhadapan dengan bayang-bayang masa lalu.

"Tumpahkan semua air matamu, setelah itu tersenyumlah dengan kebahagiaan bersamaku." Ali semakin mempererat pelukannya pada Prilly.

Seketika Prilly langsung melepaskannya secara paksa setelah mendengarkan kata yang di ucapkan Ali.

"Jangan berusaha mendekatiku saat aku mulai lengah. Lepaskan aku!" titah nya. Tapi Ali tak melepaskan tangannya yang masih berada di pinggang Prilly. Tapi, Prilly terus berontak dan berhasil melepaskan diri.

"Berhentilah menyiksa diri mu sendiri, Prilly. Aku nggak pernah memaksamu untuk bersamaku. Tapi biarkan hatimu yang memilih, dengarkan hatimu, ikuti keinginannya jika kamu memang ingin tenang. Berdamailah dengan hatimu. Aku pernah bilang ingin menjadi sahabatmu agar tak ada lagi kata mantan dalam hubungan baru kita. Tapi aku tak memungkiri jika aku juga ingin memiliki mu lebih dari sekedar sahabat. Apa aku salah? Aku dan dia memang memiliki hati yang berbeda tapi kami sama-sama mencintai satu wanita, dan ingin membahagiakannya."

Prilly tetap bergeming, rasanya teramat menyakitkan tapi juga menyengkan hatinya. Hatinya bimbang, tak jelas herus memiliki rasa yang mana.

"Jauhi aku, hubungan kita saat ini hanya rekan bisnis, jangan memulai apa yang seharusnya tidak pernah di mulai," ucap Prilly tepat di hadapan Ali dengan sisa-sisa air mata yang masih membasahi pipinya.

'Tok tok tok

"Maaf Miss." Hanny membuka pintu ruang meeting sedikit.

"El terus menangis, saya nggak tahu El kenapa." Hanny menjelaskan kondisi El saat ini.

"El, apa dia sakit? Saya kesana sekarang, terima kasih Hanny." Prilly meninggalkan Ali tanpa berucap apa pun lagi, baginya El lebih penting dari apa pun.

Hanny mengikuti Prilly keruangannya termasuk Ali yang juga mengikutinya tanpa Prilly sadari. Hanny juga terlihat panik saat tiba-tiba saja El menangis terus.

"Sayang, kamu kenapa, Nak?" Prilly mengambil El dari gendongan Vini. El tak berhenti menangis dan itu justru membuat Prilly semakin khawatir.

El masih saja terus menangis, bahkan wajahnya berubah merah karena tak hentinya air mata mengalir. Prilly beberapa kali menimang dan menepuk-nepuknya agar diam, tapi itu tak juga berhasil.

"Boleh aku menggendongnya sebentar?" Ali merasa iba melihat Prilly.

"Nggak usah, aku bisa mengatasi anakku sendiri." Prilly menolak dengan masih mencoba menenangkan El.

"Sudahlah, coba biar aku gendong." Ali meraih El dari dalam gendongan Prilly.

Ali mencoba mengajaknya bercanda, melambungkannya ke atas, dan mengajaknya berputar. Perlakuan Ali itu justru berhasil membuat El berhenti menangis, bahkan mau tertawa bersamanya. Ali menurunkan El di dalam pagar bermainnya dan dia ikut bermain bersama di dalamnya. El yang baru bisa berjalan melangkah tertatih menghampiri Ali. Ali merentangkan tangannya untuk bisa menggapai El dan menjaganya. Ali asyik bermain dengan El dan kembali membuat El tertawa, tanpa mereka sadari ada sepasang mata hazel yang memperhatikan dengan senyum yang merekah di kedua sudut bibirnya.

"Pa pa pa pa." El berjalan menghampiri Ali dengan memanggilnya Papa. Dan itu justru berhasil membuat Prilly membulatkan matanya tak percaya. Dia mengambil El dalam dekapan Ali.

"Sini!" pinta Prilly.

"Sayang, itu bukan Papa, Papa El udah ada di surga." Prilly mencoba memberi penjelasan pada El. Tapi sayang, yang di beri penjelasan sepertinya tak mengeri itu dan tetap mengulai ucapannya.

"Pa pa pa pa." El menggapai-gapai tangannya ingin meraih Ali, tapi Prilly masih terus menahannya.

"Lebih baik kamu pulang sekarang, ini masih jam kerja, lagi pula urusanmu di sini sudah selesai. Kamu tahu kan di mana pintu keluarnya, Mister Ali." Ali tak menghiraukan perkataan Prilly, dia masih terus memandangi El yang menggapi-gapai tangannya. Ali terus mendekat ke arah Prilly. Dia mengambil alih El dari gendongan Prilly.

Ali menimangnya, mengapus sisa air mata yang ada di pipi El, dengan sedikit sentuhan tangannya, El kembali terdiam, dengan tenang El memeluk leher Ali, menyandarkan kepalanya di pundak Ali. Prilly hanya bisa memperhatikan tingkah laku yang dilakukan Ali di depannya. Dia tak tahu harus berbuat apa, anaknya berhenti menangis saat berada di dalam dekapan Ali.

Ali menimangnya, mengapus sisa air mata yang ada di pipi El, dengan sedikit sentuhan tangannya, El kembali terdiam, dengan tenang El memeluk leher Ali, menyandarkan kepalanya di pundak Ali. Prilly hanya bisa memperhatikan tingkah laku yang di lakukan Ali di depannya. Dia tak tahu harus berbuat apa, anaknya berhenti menangis saat berada di dalam dekapan Ali.

"Ya Allah, apa El sangat merindukan papanya?" Prilly membatin lalu membiarkan Ali bersama El.

***

"Terimakasih sudah mau bermain bersama El seharian ini, Li," ucap Prilly setelah Ali membukakan pintu mobil untuknya.

"Sama-sama. Jangan sungkan untuk menemui aku jika El membutuhkanku. Jangan egois, karena El juga membutuhkan sosok ayah untuk menemaninya tumbuh menjadi lelaki yang bertanggung jawab kelak." Ali berkata setelah Prilly turun dari mobilnya.

Seharian tadi entah mengapa sejak El melihat Ali, dia sulit sekali di lepaskan dari sosok yang baru saja dia kenal hari ini. Apa mungkin ikatan batin yang terjalin secara alami dari hati seorang ayah dan anak terjadi pada Ali dan El? Bisa saja, karena ikatan batin tak pernah keliru.

"Maaf, sudah merepotkanmu seharian ini." Prilly tak menanggapi perkataan Ali tadi.

El tertidur di dalam gendongan Prilly lalu tanpa menghiraukan Ali, Prilly masuk ke dalam rumah yang penuh dengan kenangan indahnya dulu bersama sang suami tercinta.

"Aku akan selalu berusaha untuk menjagamu dan El. Nggak peduli berapa kali kamu menolak kehadiranku, aku akan selalu berusaha ada untuk kalian." Setelah Ali berucap seiring menghilangnya Prilly di balik pintu, dia segera masuk ke dalam mobil dan meninggalkan pelataran rumah itu.

Prilly menurunkan El di atas ranjangnya dan menghimpit tubuh El dengan guling kanan dan kiri. El tertidur pulas karena kelelahan seharian tadi bermain bersama Ali.

"El, apa kamu rindu sama Papa, Nak? Yang seharian tadi menemani El itu Om Ali, bukan papa El." Prilly mengelus kepala El lembut lalu mencium keningnya pelan agar tak mengusik tidurnya.

Prilly berjalan ke kamar mandi membersihkan diri, seusai selesai mandi dan berpakaian lengkap, Prilly merangkak di atas ranjang menyusul berbaring di sebelah El.

Ting!

Dentingan tanda pesan BBM masuk. Prilly mengambil smartphone-nya di dalam tas yang dia bawa kerja tadi. Dia melihat ternyata pesan dari Ali.

Selamat malam malaikat cinta yang selalu memberi kedamaian hati. Jangan lupa dekap El saat kamu tidur. Jaga dia dan salam cium peluk sayang dariku untuk jagoan kecilku.

Bibir Prilly tersungging senyum manis saat membaca isi pesan Ali itu. Setiap malam Ali selalu mengirimkannya pesan sebelum Prilly tidur. Namun, Prilly tak pernah membalasnya.

"Kamu dari dulu tetap sama, Li. Tidak mudah menyerah walau sudah aku tolak berulang kali. Apa aku harus menyerah dan menerima kamu masuk kembali ke dalam hidupku? Apa aku sanggup mencintai kamu lagi, sedangkan dasar hatiku masih mencintai Al. Ya Allah, begitu rumitkah takdir-Mu untukku?" Prilly menghela nafasnya dalam lalu memeluk El, memberinya kenyamanan.

***

Kicauan burung sudah mulai mengusik pendengaran, tangan mungil sudah mulai menggapai-gapai wajah perempuan cantik yang masih terlelap dalam tidurnya.

"Ma ma ma ma." El terus memukul-mukul kecil pipi Prilly.

"Hhhmmm ...."

Semalaman Prilly tak bisa tidur, alhasil hari ini dia malas sekali untuk membuka matanya. El sudah sempat mandi dan sarapan bersama assistent yang memang ada untuk sekedar membantunya di rumah. Prilly masih saja mengguman, dan sempat sedikit mengjahili El dengan memegang tangannya.

"Hayo, Mama cium nanti, kalau masih pukul-pukul pipi Mama." El hanya tertawa renyah, matanya menyipit saat bibirnya mengukir sebuah senyuman yang indah dan menenangkan hati.

"Papa ma papa." El menarik-narik Prilly agar mau ikut dengannya.

Prilly yang belum sepenuhnya sadar, bangun dari tidurnya, mengikuti El yang terus menariknya entah kemana.

"Sayang mau kemana sih. Sini mama gendong aja ya." Prilly membawa El di dalam gendongannya. Prilly turun ke lantai bawah dengan masih mengenakan pakaian tidur dan rambut di gulung ke atas.

El terus-terusan mencondongkan tubuhnya kedepan agar Prilly mempercepat langkahnya.

"Sabar sayang, ada apa sih kok buru-buru banget." Prilly mempererat dekapannya agar El tidak terjatuh.

Prilly berhenti di ujung anak tangga yang paling bawah, saat melihat sosok yang semalam sempat datang ke dalam mimpinya. El yang mesih berada dalam gendongan Prilly terus memintanya untuk lebih mendekat pada orang itu.

"Papa papa." El terus menggapai-gapai tangannya di udara.

"Ali. Ada apa kamu ke sini lagi?" tanya Prilly dengan wajah dingin.

"Aku ingin bertemu El, sejak kemarin aku sudah jatuh cinta sama El. Dia anak yang lucu dan menggemaskan. Sini sayang sama Papa." Ali merentangkan tangannya agar El berjalan kearahnya.

"Papa." El ikut merentangkan tangannya tapi di tahan oleh Prilly.

"No! El dia bukan papamu, dia Om Ali, bukan papanya El, dan kamu ...." Prilly menunjuk Ali.

"Jangan sekali-kali mengaku kalau kamu adalah ayahnya El, ayah El cuma Al. Nggak ada lagi!"

"Papa, papa ...." Nada suara Prilly yang tadi sedikit keras membuat El takut dan justru semakin menangis kencang.

"Jangan kamu marahi dia Prill. El hanya anak kecil yang rindu ayahnya, aku juga hanya mengikuti kemauannya. Sini sayang." Ali mengambil El dari dekapan Prilly yang masih terus menangis.

Prilly tak melawan, dia bingung dengan posisinya kali ini. Dia ingin anaknya bahagia, tapi di satu sisi dia tak ingin menghapus bayang-bayang Al di dalam ingatan El dengan kehadiran Ali.

Prilly hanya bisa memandang betapa bahagianya El saat sedang bersama Ali. Dia tak akan setega itu jika harus memisahkan El dari kebahagiannya.

"Honey, aku bingung. Apa yang harus aku lakukan. Aku nggak mau El lupa sama kamu, Honey." batin Prilly.

Wajahnya berubah sendu, rasa sedih menjalar di hatinya, dia ingin bisa merasakan kecerian ini bersama Al, tapi kenapa justru Ali yang menemani mereka. Rasa bersalah pada Al juga sudah mulai meracuni hati Prilly.

"Apa sesulit itu memahami arti hadirnya. Apa ini jalan Mu ya Allah, menuntunku pada suatu kebahagiaan yang sempat hilang, apa ini juga cara Mu untuk membuat ku bisa memaafkannya. Mungkin takdirnya belum usai, sedangkan takdir suamiku sudah selesai. Tunjukan jalan Mu jika memang Kau merubah jalan hidupku ya Allah."

Prilly masih terus memperhatikan El yang asyik bermain dengan Ali. Mereka terlihat sangat akrab bahkan seperti tak ada celah di antara mereka. Prilly meninggalkan mereka untuk mandi, kerena tadi dia belum sempat mandi dan sudah di bawa El untuk turun.

30 menit Prilly kembal ke bawah. El sudah tak lagi bermain bersama Ali, tapi dia sedang tertidur di dalam dekapan Ali. Kepalanya bersandar di dada Ali, tidurnya sangat nyenyak dan terlihat nyaman.

Ingatan Prilly kembali ke masa-masa dia bersama Ali dulu, tubuh itu yang dulu juga mendekapnya saat dia mulai lelah dan ingin berhenti melangkah, tangan itu yang dulu memapahnya untuk tetap berdiri, mata itu juga yang selalu memberikan ketenangan. Tapi, hati itu bukan lagi yang dulu mencintainya dengan caranya yang indah, hati itu milik kekasih halalnya yang saat ini sudah lebih dulu pulang ke rumah yang abadi.

"Prilly." Ali menyadarkan lamunannya.

"Kemarilah." Prilly mendekat dan duduk di sofa, di susul Ali yang duduk di sampinya dengan El yang masih di dalam gendongannya.

"Kamu kenapa?" tanya Ali.

"Kenapa kamu lakuin ini semua, Li?" tanya Prilly.

"Ngelakuin apa?" Ali memperlihatkan wajah Prilly yang bingung.

"Kenapa kamu datang di saat aku ingin memulai lagi hidupku tanpa kamu dan tanpa Al juga?"

"Aku taruh El di kamar dulu ya." Ali melangkah meninggalkan Prilly, dia tahu di mana kamar El, jadi dia langsung ke sana. Tak lama dia kembali duduk di sebelah Prilly.

"Kamu mau tahu kenapa aku ngelakuin ini?" Prilly mengangguk.

"Lihat aku." Ali mengarahkan wajah Prilly agar menghadap ke arahnya.

"Cinta, karena aku cinta sama kamu, karena kamu masih menjadi nafasku, karena kamu masih menjadi semangatku. Dari dulu sampai sekarang rasa itu nggak akan pernah berubah, Prill."

"Tapi Li ...."

"Aku tahu sudah ada Al bersemi di hatimu, aku nggak pernah menyalahkan itu. Semua salahku karena dulu aku ninggalin kamu. Aku ninggalin kamu juga ada alasannya, sekarang aku mohon jangan memintaku untuk pergi. Al mempercayakan kalian padaku, dan itu amanah. Biarkan aku menjalankan amanah yang di berikan Al. Biarkan aku menyayangi kalian seperti keluargaku. Berbahagialah denganku, Prill."

Prilly berhambur ke dalam pelukan Ali, menumpahkan segala kesedihannya pada Ali. Prilly juga tak memungkiri bahwa dirinya juga merindukan Ali.

"Maafkan aku Al." batinnya perih.

Sekuat apa pun hati menolak, jika memang takdirnya bertemu, mereka pasti akan bersatu.

##########

Melonnya Mami

Makasih vote dan komennya.
Maaf kalau belum bisa bales komen satu per satu. Masih ada kesibukan di real life. Makasih ya dukungannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top