DELAPAN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana ... seperti kata yang tak sempat diucapkan, kayu kepada api yang menjadikannya abu ... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana ... seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan, awan kepada hujan yang menjadikannya tiada ....
Kahlil Gibran
***
Pagi yang cerah mengawali hari rumah tangga Al dan Prilly. Sudah setahun lamanya mereka menikah, tidak sedikit pun perubahan kebiasaan Al yang selalu membuat Prilly merasa menjadi wanita spesial yang beruntung karena menjadi bagian terpenting dalam hidup Al. Prilly tersenyum saat mengingat pergulatannya semalam bersama Al. Saat Prilly sedang membuatkan susu hangat untuk Al di dapur, tangan kekar melingkar di perutnya dan bibir kenyal menyentuh bahunya yang polos, karena Prilly memakai baju tanpa lengan.
"Good morning istriku."
"Good morning too suamiku," balas Prilly mengangkat secangkir susu yang selesai ia buat untuk Al.
Prilly membalikan tubuhnya menghadap kepada Al. Prilly meniup susu itu, lalu mengarahkan pada bibir Al. Al menerima suapan Prilly itu, dengan kedua matanya memandang hazel Prilly lekat.
"Manis, bisa-bisa aku terkena diabetes," kata Al setelah melepas cangkir itu dari bibirnya.
Al merengkuh pinggang Prilly, menghapus jarak diantara mereka. Prilly mengerutkan dahinya.
"Kenapa? Aku bikin susunya pakai gula jagung bukan gula tebu, Honey." Prilly tidak mengerti dengan perkataan Al tadi.
"Bukan itu Sayang, kalau setiap hari kamu suguhi aku minuman manis sekaligus memandang wajah kamu yang manis ini, bisa-bisa aku terkena diabetes." Al menarik hidung Prilly mesra.
Prilly tertawa terbahak sambil menutup mulutnya. Al hanya tersenyum, inilah yang Al selalu ciptakan di dalam hari-hari mereka. Al selalu membuat Prilly tertawa lepas dan meraskan kebahagiaan yang luar biasa. Al juga selalu menciptakan air mata kebahagiaan untuk Prilly. Karena Al ingin mengukir sejarah indah di buku cerita kehidupannya bersama Prilly.
"Kamu itu selalu bisa buat aku merasa bahagia setiap hari," kata Prilly menowel pipi Al.
"Harus bisa dong Sayang. Karena aku suami kamu. Salah satu tugas aku membuatmu selalu bahagia." Al semakin memeluk erat pinggang Prilly.
Al mengambil cangkir dari tangan Prilly, yang menjadi penghalang mereka. Al taruh cangkir itu di atas meja tempat Prilly saat ini menyandarkan tubuhnya. Al memajukan bibirnya untuk menyentuh bibir Prilly. Prilly memejamkan mata saat Al melumat bibirnya. Al menurunkan ciumannya di leher Prilly.
"Honey ... jangan lakukan itu di sini." Prilly menahan bibir Al saat ingin menghisap lehernya.
Al mendongakan kepalanya menatap Prilly sayu. Al mencium singkat bibir Prilly.
"Kita harus berangkat ke kantor sebelum adik di dalam celanaku memintanya pagi ini." Prilly tertawa keras saat tidak sengaja tangannya menyentuh bagian sensitif Al yang sudah menegang.
Prilly membalikan badan Al lalu naik ke punggungnya. Al menyangga pantat Prilly agar tidak terjatuh. Lalu mereka masuk ke dalam kamar untuk bersiap pergi ke kantor.
***
Al dan Prilly sudah tiba di kantor, walau pun mereka sudah menjadi suami istri, Prilly tetap menghargai Al sebagai atasannya. Menghormatinya dan patuh atas peraturan yang ada. Prilly masih tetap di percaya sebagai kepala bagian pemasaran di sana.
"Nona Prilly, tolong bawa laporan bulan ini ke ruangan saya," ucap Al, sebelum dia berlalu masuk ke dalam ruangannya.
"Baik Mister." Prilly mengangguk dan kembali bekerja di balik mejanya, menatap map biru dan hijau yang ditumpuknya menjadi satu. Sebelum dia membawanya ke ruangan Al, dia kembali memeriksanya sekali lagi, tak ingin ada kesalahan.
Prilly membawa map-map itu ke dalam ruangan Al, sedangkan Al terlihat sibuk dengan dahi berkerut menatap serius layar laptop yang ada di hadapannya.
"Ini berkas yang Mister minta." Prilly meletakkan map-map itu di atas meja. Prilly tak langsung ke luar, dia memperhatikan Al yang sangat serius.
"Apa yang terjadi Mister?" tanya Prilly.
"Penjualan menurun drastis Sayang, barang yang kita jual pesaingnya juga sudah mulai banyak di tambah lagi model-model fashion yang harus selalu up to date, kita harus tahu apa yang sedang diminati pasaran saat ini." Al kembali menatap serius layar laptopnya. Beberapa file di bukanya kembali.
"Tenang Honey, kita cari jalan keluarnya, aku sadar sudah beberapa bulan terakhir penjualan kita menurun. Aku sedang mencari cara bagaimana meningkatkan pasaran kita lagi." Prilly memegang telapak tangan Ali yang masih bertengger indah di atas laptop.
Al menghentikan aktivitasnya. Dia menatap kekasih halalnya itu, mata Prilly memancarkan kedamaian yang dapat Al rasakan di dalam hatinya. Ketenangan hati yang Al rasakan bisa membuatnya kembali berfikir lebih hati-hati sebelum mengambil keputusan.
"Tenang Honey, aku akan selalu berdiri tepat di belakangmu untuk terus bisa membantumu saat kamu akan terjatuh, memapahmu untuk bisa kembali berjalan beriringan bersamaku." Prilly mengeratkan pegangannya pada Al.
"Terima kasih Sayang. Kamu memang lentera dalam gelap." Al mengecup tangan Prilly.
"Aku kembali dulu ke mejaku, nanti kita makan siang bersama ya."
Prilly mencium singkat kening Al, yang duduk lebih rendah darinya. Prilly keluar dari ruangan Al dengan senyuman tulus yang selalu di berikannya pada Al suaminya.
Waktu sudah menunjukan pukul 12.00, dilihatnya Al dari jendela yang berhadapan langsung dengan ruangannya masih sibuk dengan laptop dan juga kertas-kertas di atas mejanya. Seulas senyum terpancar dari bibir manis Prilly.
Prilly mengeluarkan sekotak makanan yang di bawanya dari rumah. Menu makanan sehat yang biasa di siapkannya untuk Al, sudah tersusun rapi di dalam kotak makan. Wortel, buncis, brokoli yang sudah di rebus dengan sedikit garam dan juga nasi merah untuk teman santapnya, di tambah buah melon sebagai pelengkap menu sehat hari ini, dibawanya ke dalam ruangan Al.
"Honey, makan siang dulu. Nanti lanjut lagi kerjanya." Prilly meletakkan perbekalannya itu di atas meja.
Al masih saja tak menggubris ajakan Prilly, dia masih asyik di balik meja kerjanya. Prilly menghampiri Al dan langsung duduk di pangkuannya. Prilly mengalungkan tangannya pada leher Al, dia bergelayut manja membuat Al menghela nafas dalam.
"Aku nggak akan pergi kalau kamu nggak mau ikut makan denganku." Prilly mengangkat dagu Al untuk menatapnya.
"Baiklah Sayang." Akhirnya Al menyerah dan mencium bibir Prilly singkat.
***
17.14 sudah tertera pada mesin absen, banyak pegawai yang sudah mulai absen untuk pulang. Prilly juga merapikan beberapa pekerjaannya yang masih menunpuk di atas meja dan akan di selesaikannya besok. Prilly melirik ke arah ruangan Al. Seharian ini Al sama sekali tidak keluar dari ruangannya. Prilly tahu Al orang yang gila kerja, tapi Prilly juga mengkhawatirkan kesehatan suaminya itu jika tubuhnya di paksa untuk terus bekerja.
"Honey, ayo kita pulang." Kepala Prilly menyembul dari balik pintu ruangan Al.
"Sebentar Sayang, masih ada yang harus aku kerjakan. Kalau nggak kamu pulang duluan aja gih bawa mobil. Nanti kamu kelamaan nungguin aku," ucap Al sekilas menatap Prilly.
"Aku tungguin kamu di sini." Prilly beralih duduk di sofa yang memang di sediakan.
30 menit, 60 menit. Al masih saja belum bergerak dari tempatnya. Prilly lelah menunggu dan akhirnya berjalan mendekati Al.
"Honey, ayo pulang. Aku mau mandi nih."
"Sebentar Sayang."
Prilly jengah di buatnya. Akhirnya dia beralih berdiri di depan laptop kesayangan Al.
"Kalau kamu nggak mau ikut aku pulang, aku pulang sendiri. Tapi jangan salahin aku kalau habis ini kamu tidur di teras ya." Prilly mensejajarkan wajahnya dengan wajah Al.
"Jangan, masa kamu tega nyuruh aku tidur di teras. Jangan ya Sayang," rajuk Al memasang wajah memohon.
"Ya sudah kita pulang, kamu-kan juga ngurisin aku, jangan kerjaan aja yang diurusin."
Al memicingkan matanya, menatap Prilly penuh selidik.
"Gimana kalau ngurusin kamunya sekarang aja. Hm, hm, hm." Al menaik turunkan alisnya untuk menggoda Prilly.
"Noooo! Kita pulang sekarang ya, Honey."
"Iya, aku beresin dulu ya."
Al merapikam berkas-berkasnya di bantu Prilly sebelum mereka meninggalkan gedung berlantai 10 itu.
***
Kicauan burung menjadi melodi indah di pagi hari. Cahaya sang surya menerobos masuk melalui celah-celah jendela yang ada di kamar pasangan muda yang berbahagia ini. Secercah cahaya berhasil menyilaukan mata hazel Nyonya Alvian Heza Mardika. Prilly mengerjapkan matanya, menyesuaikan matanya karena cahaya yang menyilaukan itu. Ada tangan kekar yang melingkar kuat di perutnya, membuat dia susah untuk bergerak.
"Biarkan seperti ini dulu Sayang." Al semakin menyembunyikan wajahnya di punggung Prilly. Prilly hanya diam dan membiarkan suaminya itu melakukan apa yang diinginkannya.
"Honey, kita sudah setahun menikah, tapi kenapa aku belum hamil juga ya?" Prilly mengusap perutnya yang terhalang tangan Al.
Sebagai perempuan Prilly merasa belum sempurna jika belum bisa memberikan keturunan untuk suami tercintanya itu. Ada rasa takut yang menjalar di hatinya, dia tak ingin jika hal buruk terjadi pada keluarganya.
"Tenanglah Sayang, Tuhan hanya sedang ingin membuat kita berdua lebih lama lagi dan mempersiapkan diri sebelum Tuhan menitipkan malaikat kecil di antara kita. Kita akan terus berusaha sampai Tuhan mempercayakan malaikat kecil itu pada kita. Tenang ya Sayang." Al mempererat pelukannya, walau pun dalam hati kecilnya dia ingin sekali memberikan buah cintanya untuk Prilly, untuk menemani hari-harinya kala Al pergi. Setidaknya Prilly akan punya penghibur saat Al harus pulang ke rumah.
"Kita jalan-jalan yuk! Masih pagi, udara juga bagus buat kesehatan." Al bangun dari tidurnya. Dia tak mau membuat Prilly berlarut-larut dalam kesedihannya.
Al membangunkan Prilly untuk ikut dengannya. Mereka membersihkan diri secara bergantian dan memakai celana traning dan kaos oblong sebagai seragam olahraga mereka. Tak lupa mereka mengunci pintu sebelum meraka pergi ke luar.
Sandau gurau terjadi di antara mereka, bahkan beberapa kali Prilly meninggalkan Al yang berlari pelan di belakangnya. Al menyadari kondisinya yang tak bisa berlari cepat, beberapa kali juga Al merasa lelah dan detak jantungnya berdebar lebih cepat.
"Honey, ayo cepet masa kalah sama anak kecil itu sih." Prilly menunjuk anak-anak yang berlari di sebelah mereka.
"Kita-kan mau olahraga santai Sayang, bukan mau lomba lari. Pelan-pelan saja ya." Al sedikit memegangi dadanya, memejamkan matanya untuk meredakan debaran kencang jantungnya, dia juga menghirup dalam-dalam udara segar pagi itu untuk memasukan ke dalam paru-parunya. Agar karbondioksida pada paru-parunya dapat bertukar dengan Oksigen.
"Kamu payah, kalau kamu nggak bisa ngalahin aku, nanti malam kamu nggak dapat jatah," ucap Prilly berbisik, lalu pergi meninggalkan Al.
Al yang tahu kondisinya tak ingin mengambil resiko, akhirnya dia tetap saja berlari santai. Walau pun beberapa kali Prilly terus memanggil dan melambai-lambaikan tangannya untuk segera menyusulnya. Al tetap berlari kecil untuk menghampiri Prilly. Tapi sayang, Prilly sedang diam terpaku menatap sesuatu di hadapannya. Al mengikuti arah pandang Prilly. Ada keluarga kecil, ibu dan bapaknya serta dua orang anak yang masih kecil-kecil menggemaskan.
"Sayang." Al memegang bahu Prilly.
"Kapan kita akan seperti itu Al?" Suara Prilly terdengar parau. Air matanya lolos begitu saja.
"Kita lanjut lagi yuk lari paginya." Al berusaha mengalihkan perhatian Prilly.
"Kamu kenapa sih Al. Setiap aku bilang mau punya anak kamu selalu saja mengalihkan, kamu nggak mau ya punya anak dari aku." Perasaan Prilly sedang sangat sensitif kali ini jika membicarakan soal anak.
"Sayang, dengarin aku. Aku selalu berharap ada malaikat kecil di antara kita. Tapi, memang belum waktunya dia hadir di tengah-tengah kita Sayang, kamu harus sabar. Kita akan terus berusaha sampai dia datang."
Al membawa Prilly ke dalam pelukannya, mendekapnya erat. Menjadikan diri mereka tontonan orang-orang yang ada di sekitar mereka.
"Jangan nangis lagi ya, masa nyonya cantiknya Al nangis. Malu tahu, yuk ikut aku." Al mengusap air mata Prilly, menghapus sisa-sisa kesedihan yang tertinggal di pipi chubby istrinya.
Al menggenggam tangan Prilly. Membawanya ke pada keluarga yang tadi di lihat Prilly.
"Permisi Pak, Bu. Istri saya senang lihat si kecil ini. Boleh kami ikut main bersama mereka?" tanya Al sopan.
"Silakan saja pak," ucap sang bapak yang menggeser sedikit duduknya untuk memberi ruang pada Al dan Prilly.
Prilly memperhatikan tingkah laku lucu kedua anak itu. Berlari-lari membawa bunga kecil yang di petiknya di taman itu.
"Mereka lucu ya Sayang," ucap Al dengan mata yang tak lepas memperhatikan mereka.
"Lucu sekali Honey, aku mau main sama mereka." Prilly menatap Al sesaat, minta persetujuan pada suaminya. Al mengangguk meng-iyakan.
Prilly mendekati si kembar yang sedang bermain. Karena orang baru si kembar yang lucu itu sembunyi di belakang ibunya.
"Kenapa Sayang, kok tantenya dateng malah pada ngumpet sih, ini Tante ...." Ibu itu menatap Prilly.
"Prilly, saya Prilly, Bu."
"Ah iya, ini Tante Prilly Sayang, Tante Prilly baik, Nak. Tante mau main sama kalian, sini duduk! Nggak boleh gitu ya." Sang ibu menepuk tikar kosong di depannya.
Setelah mendengar bujukan dari ibunya, si kembar mau bermain dengan Prilly. Jeni dan Jena asyik menyusun balok yang mereka bawa dari rumah dengan bantuan Prilly. Al yang melihat itu terlihat senang, pancaran kebahagiaan terlihat jelas di wajah ayu Prilly.
Kehadiran buah cinta dalam suatu keluarga sangat dinantikan. Hanya saja Tuhan tahu kapan waktu yang tepat menitipkan mereka pada calon orang tua.
Tetap bersabar, berdoa, dan berusah sampai nanti waktunya tiba. Suara tangisan kecil yang sangat di nanti akan hadir di dalam sebuah keluarga kecil yang di bina.
############
Melonnya Mami
Aiiisssshhhh
Ali mana ... Ali-nya mana sih ... kok Ali nggak muncul-muncul ... kapan Ali akan dimunculkan ... Ali oh Ali kamu di mana sayang?
Jawabannya sabar. Pasti akan muncul pada waktu yang tepat. Hihihi
Maaf kemarin aku nggak bisa balas komen kalian karena ada suatu hal. Tapi, sudah terwakili oleh biiestory itu sama saja.
Terimakasih yang masih bersabar membaca dan menunggu hasil karya mami somplak dan anak sedeng.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top