Chapter 9

Hari sudah mulai gelap. Halilintar berjalan dalam diam menuju ke tempat dimana adiknya berada. Halilintar terlihat kesal, hari ini adalah hari yang aneh menurutnya.

Bagaimana tidak? Halilintar bertemu dengan buronan kerajaan namun tidak bisa menangkapnya. Taufan hanya diam tanpa menyerang kemudian pergi begitu saja. Apalagi semanggi berdaun 4 yang jatuh di atas kepalanya itu. Dan lagi setelah mereka memutuskan untuk pergi dan mencari iblis liar lain yang aromanya ditangkap oleh Sai.

Mereka hanya menemukan bangkainya.

Semua iblis liar itu sudah mati dan tubuhnya tercabik-cabik. Tubuh mereka tidak berbentuk.

Halilintar kesal. Sangat kesal. Ia merasa semua hal ini ada hubungannya dengan iblis bermanik safir itu.

Matanya yang bahkan seindah permata itu. Bisa membuat orang yang melihatnya terpana sesaat. Dan Halilintar mengakui jika mata iblis itu memang indah.

Matahari sudah tidak terlihat lagi dan masing-masing rumah sudah menyalakan lampu. Langkah Halilintar terhenti disebuah rumah mewah milik salah satu sepupunya.

Salah satu penjaga menghampiri Halilintar.

"Aku ingin menemui adikku, Gempa."

Penjaga tersebut tanpa basa-basi langsung membuka gerbang dan mempersilahkan Halilintar masuk. Memang, para penjaga dan pelayan telah diberitahu soal sepupu-sepupu Solar. Hanya dengan ciri-ciri, mereka paham betul jika dihadapannya ini adalah Halilintar.

Halilintar kini sampai didepan pintu rumahnya. Baru saja hendak mengetuk, seorang pelayan membuka pintunya dan tersenyum padanya. "Halilintar ya? Mari saya antarkan."

Halilintar mengangguk sekilas. Lalu mengikuti pelayan tersebut dari belakang.

Para pelayan wanita yang umurnya masih muda mulai memperhatikan Halilintar sambil berbisik-bisik. Mereka bertingkah layaknya seorang fangirl. Namun, Halilintar tidak memperdulikan tatapan-tatapan ke arahnya.

Yang ia inginkan hanyalah adiknya, Gempa.

Halilintar diantar hingga mereka sampai disebuah ruangan luas. Di ruangan tersebut, ada adiknya dan sepupu-sepupunya tengah bermain kartu. Apalagi wajah mereka yang sudah sangat putih dengan bedak tebal. Halilintar ingin tertawa melihatnya.

Gempa menyadari kedatangan kakaknya. "Ah, kak Hali!" Gempa berdiri dari duduknya dan langsung menghampiri kakaknya. Halilintar tersenyum tipis. "Kamu baik-baik saja disini, Gempa?"

Gempa mengangguk antusias. "Kak Hali tenang saja, Gempa disini baik-baik saja bersama yang lain."

Solar melihat cengkrama kakak adik itu. Solar sangat mengerti jika Halilintar hanya ingin menemui adiknya. Walaupun mereka sepupu, tidak ada satupun dari mereka yang bertegur sapa sebelumnya.

Hubungan keluarga mereka itu sangat renggang.

"Kalian ke ruang tamu saja, biar pelayanku yang mengantar kalian." Setelah memberi kode pada sang pelayan. Pelayan tersebut mengangguk dan mengajak Halilintar serta Gempa untuk mengikutinya.

Halilintar dan Gempa ikut saja tanpa bertanya macam-macam pada Solar. Terlihat Blaze dengan wajah kecewanya dan melempar kartu. Kemudian tiba-tiba Ice menempelkan telapak tangannya yang penuh dengan bedak itu ke wajah Blaze sehingga ia terbatuk-batuk.

Gempa tertawa sekilas. Lalu fokus mengikuti sang pelayan untuk keluar dari ruangan tersebut.

Sang pelayan mempersilahkan mereka duduk di sofa ruang tamu. Setelah duduk, pelayan itu pun pergi meninggalkan mereka. Pelayan lain datang dan menaruh 2 cangkir teh diatas meja. Kemudian berlalu pergi.

Kini hanya ada mereka berdua. Gempa menatap canggung kakaknya. "Jadi, ada apa kak Hali kesini?"

Halilitar yang mendengar itupun tertawa kecil. "Memangnya gak boleh kakaknya sendiri nemuin adiknya?"

"Ah! B-bukan begitu!" Gempa gagap. Walau sudah lama tinggal berdua bersama kakaknya. Sebenarnya mereka berdua sendiri sudah lama tidak mengobrol berdua seperti ini karena Halilintar selalu sibuk dan pergi.

"Kau sangat senang ya tinggal bersama mereka," ujar Halilintar dengan wajah teduh. Gempa terdiam melihat kakaknya. "Aku senang kau kembali seperti dulu, seperti Gempa yang kukenal."

Gempa tersenyum pahit. Ia menertawakan dirinya sendiri. Ia sendiri tidak sadar jika telah berubah. Pertemuannya dengan Taufan benar-benar menjadi sebuah pembeda. Hanya dengan melihat iblis kecil itu, Gempa merasa senang.

Karena Gempa merasa hidupnya sama seperti Taufan.

Mereka berdua sama-sama kehilangan. Namun Taufan tetap tersenyum. Membuat Gempa sebagai seorang manusia merasa malu. Padahal ia hanya kehilangan orang tua namun kenapa ia selalu merasa sedih?

Sedangkan Taufan kehilangan ibunya, keluarganya dibantai, dia bisu, dan juga dibenci oleh umat manusia dan iblis. Namun kenapa iblis kecil sepertinya masih bisa tertawa seperti itu?

Bahkan rela mengorbankan dirinya untuk menyegel kaumnya sendiri demi umat manusia yang notabenenya malah mencoba memburunya.

"Bagaimana jika ada iblis berhati baik?" Gempa mengucapkan itu tanpa sadar. Membuat Halilintar sedikit terkejut. "Jangan bercanda, itu mustahil."

Gempa mendesah lelah. Ia tahu. Takkan ada seseorang pun yang mempercayai Taufan adalah iblis yang baik. Kecuali dirinya, Blaze, Ice, Thorn dan Solar. Sepupu-sepupunya yang awalnya tidak ia sukai. Kini mengetahui rahasianya dan menjaga rahasia itu.

Halilintar sendiri merasa aneh pada adiknya. Ia sama sekali tidak ingin adiknya ada hubungan dengan iblis.

"Aku tadi telah menemukan iblis itu." Gempa tersentak. Menatap manik ruby kakaknya dalam diam. Halilintar melanjutkan, "Namun ia kabur."

Dalam hati Gempa ia lega. "Oh, sayang sekali ya kak."

Hening lagi. Mereka tidak tahu mau saling mengobrol tentang apa. Halilintar merasa kesal dengan diri sendiri.

"Kak, itu apa?" Gempa beralih pada sesuatu berwarna hijau yang terselip pada bagian kantung celana kakaknya. Halilintar langsung meraih benda tersebut dan menunjukkannya pada Gempa.

Semanggi berdaun 4.

"Woah, semanggi berdaun 4? Kak Hali hebat bisa nemuin." Gempa heboh. Matanya berbinar menatap daun ditangan Halilintar. Halilintar menyodorkan daun tersebut pada Gempa. Gempa menunjukkan raut wajah bingung.

"Kalau mau, untukmu saja."

Gempa menggeleng. "Kan kak Hali yang nemu."

Gempa memiliki ide cemerlang. Ia merogoh sakunya dan menemukan sebuah botol kaca kecil sebesar jari jempol dan tali benang yang sudah menyambung dengan botolnya.

"Sebenarnya ini buat Gempa nangkap kunang-kunang, tapi akan Gempa kasih buat kak Hali." Gempa meraih daun semanggi itu dan memasukkannya dalam botol kaca. Lalu menutupnya rapat dan menaruhnya kembali diatas telapak tangan kakaknya.

Halilintar menatap adiknya bingung. Sang adik tersenyum. "Kakak simpan aja, anggap aja jimat." Gempa tertawa kecil.

"Ada-ada saja."

"Itu tandanya keberuntungan loh. Mana tahu kak Hali jadi beruntung nantinya. Apalagi kak Hali yang nemuin." Gempa benar-benar menyuruh kakaknya untuk menyimpan kalung tersebut. Halilintar menerima dengan pasrah. "Terserahmu sajalah."

Halilintar menyimpan botol kaca yang telah bertranformasi menjadi kalung itu dikantung celananya.

"Kak Hali harus selalu kembali." Senyum tulus ia tunjukkan pada Halilintar. "Gempa selalu nungguin kak Hali."

Halilintar sedikit terperangah melihat adiknya berkata seperti itu. Baru kali ini, seumur hidup Halilintar. Adiknya itu menyemangatinya ketika ia akan pergi kerja sebagai prajurit.

Padahal dulu Gempa selalu menolak habis-habisan kakaknya jika menjadi prajurit.

Halilintar tanpa sadar tersenyum tipis, namun tulus. Ia sedikit merasa bangga bahwa adiknya juga memikirkannya.

Keluarga satu-satunya yang paling ia sayangi.

"Iya, aku akan selalu pulang, Gempa."

.

.

.

Malam gelap itu terlalu susah untuk melihat. Apalagi hanya cahaya rembulan yang menerangi jalan. Hutan terlihat gelap dan mengerikan.

Langkah iblis kecil itu tertatih-tatih. Ia terbatuk-batuk tanpa suara dan kemudian ambruk ke tanah.

Rerumputan yang halus membuat jatuhnya tidak terlalu sakit. Dadanya naik turun tidak teratur karena rasa sesak didadanya.

Taufan kehabisan energi. Dengan kekuatan sisanya, ia mencoba menahan sesuatu yang bergejolak. Cahaya bulan menerangi tubuh iblis itu. Tubuhnya dipenuhi keringat.

Mata safirnya terlihat meredup. Tetapi ia paksakan tetap sadar. Tubuhnya terlalu lelah untuk dibawa pergi lebih jauh lagi. Taufan telah memaksakan dirinya terlalu jauh.

Samar-samar suara dikepalanya membuatnya mual. Suara yang sama berulang kali muncul dikepalanya.

"Kau terlalu memaksakan diri."

Suara itu membuat Taufan kesal. Ia selalu sakit kepala karena suara yang terus muncul dikepalanya. Meminta untuk dilepaskan.

"Kenapa tidak menyerah saja? Lagipula para manusia itu memburumu kan?"

Jika Taufan bisa bertemu dengannya. Rasanya ia ingin melempar kepala orang itu dengan batu. Kepala Taufan sudah pusing dan ia selalu seenaknya bertelepati dan membuat Taufan makin pusing.

"Ayolah Taufan. Biarkan aku keluar."

Permintaan yang lagi-lagi selalu ia ucapkan. Dan sudah berkali-kali pula Taufan menolaknya.

"Aku bisa membuat keuntungan untukmu jika membiarkan aku keluar."

Taufan yang daritadi berdiam tanpa membalas telepati terdengar sedikit tertarik. Jarang-jarang iblis bangsawan songong itu mau membuat tawaran padanya.

"Apa itu?"

Sial, rasanya Taufan bisa melihat iblis sialan itu menyeringai mendengar pertanyannya.

"Aku bisa membuat tempat yang aman untukmu. Tempat dimana hanya kau dan bocah manusia kesayanganmu berada. Dan iblis lain takkan menganggumu maupun bocah manusia itu, bagaimana?"

Tawaran yang sanggup membuat Taufan tertegun sejenak. Rasanya tubuhnya itu sudah tidak sanggup lagi menahan rasa sakit saat ia bertelepati jarak jauh seperti ini.

Dan kenapa Taufan bisa bertelepati dengan iblis itu? Salahkan iblis itu yang memulainya duluan dan membuat Taufan ingin mengamuk karenanya.

Tapi Taufan sudah punya tugas. Ia harus menyelamatkan dunia manusia. Ia sudah diberikan tanggung jawab itu dan tidak bisa lari.

"Kau juga tidak mau mengotori bocah manusia itu kan?"

Terdengar tawanya yang menggelegar. Terdengar sangat bangga.

"Aku bisa membuatmu berbicara sehingga kau tidak perlu mengotori bocah manusia itu untuk berbicara dengannya."

Mata Taufan membulat. Suasana tiba-tiba sunyi. Hanya terdengar bunyi jangkrik dari jarak jauh. Bulan pun tertutupi awan dan keberadaan Taufan pun mulai ditelan gelap.

Terdengar tawa lagi dari sosok itu ketika Taufan terdiam.

"Bagaimana? Bukankah itu sangat menguntungkan?"

Dalam gelap itu, tanpa cahaya bulan yang menerangi. Meskipun tubuhnya sudah tertelan oleh kegelapan malam. Matanya yang berwarna safir itu tiba-tiba menyala terang dalam gelap. Diikuti dengan cahaya dari kalung miliknya.

Suara sunyi itu digantikan oleh suara deru angin yang sangat kencang. Taufan menggunakan kekuatannya secara tidak sadar. Angin itu berputar kuat disekelilingnya dan membuat pohon-pohon roboh.

Tatapan mata Taufan yang kosong itu terlihat mengerikan.

"Diam kau, brengsek."

.

.

.

***tbc***

A/n:

Halilintar dan Gempa sudah mulai akur

Dan semanggi berdaun 4 itu disimpan baik-baik oleh Halilintar karena disuruh sama adiknya.

Lalu Taufan?

Sebenarnya Ruru mulai capek karena si Taufannya gak ngomong-ngomong X'D

Taufannya ngobrol dari telepati dong, tapi cuman bisa sama iblis yang satu itu doang.

Dan soal mengotori? Apa maksudnya hayo? '3'

Okeh, see you in the next chapter~

080221

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top