Chapter 7
Singkatnya, setelah Solar memaksa untuk tinggal bersama dengan alasan trauma dan takut. Mereka kini tinggal bersama dirumah Solar.
Tentu saja berbeda, Solar sebenarnya adalah anak seorang pedagang kaya. Ayahnya yang dulu meninggal dan kini ibunya menikah lagi dengan seorang baron kaya raya pengusaha penjual permata. Dengan banyaknya cabang yang tersebar dikota ini maupun kota lain.
Ayah tirinya ini memiliki seorang anak juga dari mantan istrinya. Ia adalah kakak Solar namun jarang keluar rumah.
Mereka melangkahkan kaki masuk kerumahnya. Sungguh, benar-benar berbeda dengan rumah mereka yang hanya seperti gubuk. Mereka hanya bisa meneguk ludah ketika masuk kesana. Rasanya canggung apalagi banyaknya pelayan yang memperhatikan mereka.
"Kau sungguh kaya ya," lirih Ice. Solar mengengkus sombong. "Tentu, tapi aku jarang pulang kerumah dan lebih sering menginap di perpustakaan," ujarnya.
"Aku selalu melihatmu dalam bentuk gembel. Tidak kusangka kau sekaya ini." Blaze terlihat kagum dan tidak percaya. Karena meskipun mereka sepupu. Mereka juga tidak terlalu dekat dengan Solar disebabkan Solar yang memang jarang mau bergaul dengan mereka.
Dan ini sebuah keajaiban dia mengajak mereka tinggal bersama.
"Lebih baik kita makan dulu. Nanti sore kita akan diintrogasi bukan?" Solar tersenyum sinis. Lalu memanggil pelayan untuk diminta menyiapkan makan siang yang tertunda.
"Berhati-hatilah saat diintrogasi nanti. Katakan saja jika kau tidak tahu apa-apa dan juga tidak mengenal Taufan." Solar mengingatkan. Gempa hanya menunduk lesu.
Mereka sampai diruang makan. Tidak lama hingga para pelayan datang dan membawakan makanan.
Terdengar suara derap kaki terburu-buru menuju ke arah mereka.
Bugh!
"Solaaaar!! Dari mana aja sih?" Seorang pemuda lain bermata hijau zamrud memeluk Solar dari belakang. Solar menghela nafas kecil sambil tersenyum. "Sudah kubilang aku menginap di perpustakaan. Seharusnya jangan menungguku kak Thorn"
Pemuda bernama Thorn itu melihat ke arah yang lainnya. Mereka terlihat bingung harus bersikap seperti apa pada anak seorang baron kaya raya.
"Wah ada tamu? Solar bawa teman? Kenalin, namaku Thorn. Ayo kita berteman!" Thorn terlihat antusias. Ia mengenggam tangan mereka satu-persatu dan menjabatnya.
"Jangan kaku begitu. Anggap saja rumah sendiri." Setelah Solar berkata begitu. Ia mempersilahkan mereka semua untuk makan. Mereka mulai menyantap makanan mereka.
"Uwaah! Baru kali ini aku makan makanan orang kaya!" Blaze terlihat antusias. Ia memakan banyak ayam yang tersaji diatas meja. Gempa dan Ice hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Blaze.
"Blaze suka ayam?" Thorn bersuara. Blaze mengangguk dengan semangat. "Thorn juga suka ayam, nanti main dengan Thorn ya."
Blaze menelan makanannya. "Bermain denganmu? Benarkah?" Thorn mengangguk.
"Maklum. Ia tidak punya teman karena dilarang keluar dari rumah." Solar menjelaskan. Mereka mengangguk mengerti.
"Tapi Solar. Kenapa kamu menawarkan untuk tinggal bersama?" Gempa menaruh sendoknya. Pikirannya fokus pada apa yang membuat Solar menyuruh mereka tinggal bersama.
Solar menghela nafas. Meminum-minumannya sebelum menjawab. "Aku tidak mau kita dijaga oleh para prajurit nantinya. Kita takkan bisa bertemu Taufan kalau begitu."
"Taufan?" Thorn bertanya.
"Itu teman kami satu lagi, namanya Taufan," sahut Blaze. Thorn mengangguk paham.
Mereka menyelesaikan makan malamnya. Tak lama kemudian, datang seorang pelayan mendekati Solar dan berbisik. Setelah pelayan tersebut pergi, Solar tersenyum sinis.
"Mari kita mengelabui kerajaan."
.
.
.
Mereka berempat kini berada di ruang tamu di rumah Solar. Beberapa prajurit kerajaan khusus termasuk Halilintar, Kaizo, Sai dan Shielda berada disana.
Ada satu orang asing. Tidak memakai baju besi seperti prajurit lainnya. Ia terlihat biasa saja dengan jubah berkerudung. Seorang anak laki-laki dengan rambut pirang dan mata biru cyan. Ia memperhatikan mereka satu-persatu.
"Selamat sore. Perkenalkan, namaku Ocho. Aku ingin bertanya mengenai kejadian tadi siang." Anak itu--ocho terlihat tenang.
Seperti perkataan Solar sebelumnya. Ocho adalah seorang anak yang kata-katanya mampu memanipulasi orang lain. Ia bisa membuat orang itu jujur akan apa yang ia tutupi.
Tapi kenapa mereka sampai mengirim orang seperti ini?
"Namaku Solar. Yang lainnya adalah sepupuku, Blaze, Ice dan Gempa." Solar memperkenalkan diri dengan sopan. Senyumannya tampak tegas bak seorang bangsawan. Thorn hanya mengintip dari jauh. Solar melarangnya mendekat agar tidak ikut terlibat.
Baik Gempa dan yang lain terlihat gugup. Mereka jangan sampai membocorkan soal Taufan. Taufan tidak boleh sampai tertangkap.
"Baiklah Solar, Blaze, Ice dan Gempa. Bisakah aku bertanya soal yang terjadi saat itu, ketika kalian diserang oleh sekawanan iblis liar?" Ocho memulai pembicaraan. Mereka langsung tegang. Salah-salah, nyawa mereka dan Taufan dipertaruhkan.
"Kami sedang makan siang santai dibawah pohon besar. Tiba-tiba ada lima iblis liar yang sudah mengelilingi kami." Solar lagi yang menyahut. Ocho tampak melirik ke yang lainnya dengan mata penuh selidik. "Dan ada seorang iblis, kami pikir dia manusia. Dan lima iblis liar itu malah bergaduh dengannya." Kali ini Gempa yang menyahut.
Dahi Shielda tampak berkerut. "Sesama iblis saling bergaduh?" serunya dengan nada tak percaya. "Mungkin itu karena iblis kecil itu kekuatannya sangat besar, jadi iblis liar itu merasa terancam," Kaizo sedikit beropini. Membuat mereka juga tampak bingung.
"Kenapa kalian piknik di tempat sejauh itu?" Ocho bertanya dengan suara mengintimidasi. Membuat atmosfir tegang karena mereka semua bingung untuk menjawab. Solar masih dengan wajah tegasnya, tidak ingin kalah dengan anak kecil didepannya ini.
"Memangnya tidak boleh? Kami ingin piknik sekali-kali ditempat rindang. Dan kudengar dari kak Gempa kalau hutan satu lagi ditemukan bangkai iblis. Jadi kami memutuskan untuk ke hutan satunya."
Persaingan sengit diantara keduanya tidak bisa dihindari. Mereka saling melemparkan tatapan tidak mau kalah. Akhirnya Ocho sedikit bergerak mundur dan memegang kertas-kertas digenggamannya. "Lalu, yang terjadi hanyalah kalian sedang santai kemudian dua jenis iblis itu muncul dan saling bertarung?"
Mereka semua mengangguk dengan ragu.
"Baiklah." Ia berdehem sejenak. Lalu membuka lembaran lain dikertas yang berada pada genggamannya. "Kami memutuskan akan melakukan pencarian menyeluruh pada iblis yang tingkatannya tidak diketahui itu dan menetapkannya sebagai iblis berbahaya."
Ocho menatap wajah mereka satu-persatu.
"Pe-pencarian menyeluruh?" Suara Gempa terdengar bergetar. Mengundang rasa curiga dibenak lelaki berambut pirang itu. "Kami akan mengerahkan pasukan untuk menangkapnya karena dia termasuk tingkat berbahaya."
"Dan iblis itu akan langsung dibunuh ketika ditemukan."
Deg!
Wajah Gempa memucat. Matanya memanas. Tubuhnya bergetar karena terlalu terkejut dengan ucapan tadi. Blaze dan Ice juga bingung harus bagaimana. Solar hanya melirik Gempa sebentar.
Halilintar merasa ada yang tidak beres dengan adiknya namun memilih untuk tidak menganggu pembicaraan.
Ocho masih ingin menggali lebih jauh. "Kami akan membasmi iblis itu, jadi kalian akan aman."
"Tidak."
Hening seketika ketika Gempa berbicara. Suasana makin menengang karena sikap Gempa. Blaze dan Ice yang berada disampingnya pun meneguk ludah dengan susah payah. Solar merasa khawatir, terlihat keringat dingin yang mulai membanjiri tubuhnya.
Tubuh Gempa bergetar. Dia menunduk dengan sangat dalam. "Taufan tidak..."
"Siapa Taufan?"
Tanpa ada yang melihat. Tercetak senyum kemenangan di bibir anak laki-laki itu. Mata Cyannya terus menerus menatap Gempa. "Bisa aku tahu siapa Taufan ini?"
Halilintar merasa bingung dengan keadaan yang tengah ia lihat. Adiknya bergetar seperti itu dan menyebutkan nama seseorang. Dan Halilintar sendiri tidak tahu siapa itu Taufan.
Sai dan Shielda saling berpandangan. Mereka juga sedari awal mencurigai Gempa. Karena itulah mereka mengajukan hal tersebut kepada petinggi agar mengirim Ocho kemari.
Mereka berempat terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Gempa sudah keceplosan, mereka tidak tahu alasan masuk akal apa yang dapat diterima oleh orang didepannya ini.
"Kamu mau tahu siapa Taufan?"
Tiba-tiba Thorn muncul didekat mereka. Thorn memiringkan kepalanya menghadap Ocho. Manik cyan itu bertemu dengan manik zamrud milik Thorn. Thorn tersenyum, memamerkan keimutannya.
"Thorn gak kenal sama Taufan tapi--" suaranya terjeda. Ia mendekatkan wajahnya pada Ocho. Ocho refleks mundur karena terkejut. Tatapan Thorn tampak sangat mengintimidasi. Senyumannya bagai sebuah mawar yang dapat melukai orang jika terbuai oleh sifat polosnya.
"Tadi mereka cerita tentang Taufan waktu makan siang barusan. Taufan itu anak yatim piatu yang gak punya rumah terus temenan sama mereka. Tapi pas piknik, iblis itu mencabik-cabik Taufan dan Taufan habis dimakan sama iblis itu." Suara Thorn terdengar berbisik namun mereka yang ada diruangan itu dapat mendengar secara jelas ucapan Thorn pada Ocho.
"Makanya kalau kalian bertemu iblis itu. Siksa dia sampai mampus dan bawakan kepalanya untuk mereka agar dendam mereka terbalaskan untuk Taufan." Wajah Thorn kembali melunak. Ia mundur dan menjauhi Ocho. Ocho kembali membenarkan posisinya.
"Jangan dibicarain didepan mereka begitu. Nanti mereka nangis lagi," ujar Thorn.
Tak disangka. Ice tiba-tiba menangis dan menunduk. Ia terisak-isak, membuat terkejut orang-orang disana.
"I-ice...?" lirih Blaze. Ia bingung.
"Hentikan!" Ia terisak-isak. "Taufan... Taufan anak baik... hiks... tapi kenapa dia dimakan iblis?! Hiks...." air mata Ice terus berjatuhan. Membuat para prajurit lantas merasa bersalah.
Thorn tersenyum pada Ocho. "Kan nangis lagi."
Ocho berdehem. Ia berdiri dari duduknya. "Maafkan aku telah menganggu waktu kalian dan telah membuat kalian mengingat kenangan buruk itu. Aku turut berduka cita pada Taufan."
Ia mengintruksikan para prajurit untuk segera pergi dari sana. Mereka semua berjalan ke arah pintu keluar dikawal beberapa pelayan milik Solar. "Kalau begitu kami permisi dulu, terima kasih."
Blam!
Hening melanda mereka dalam waktu beberapa saat. Ice sudah berhenti dari tangisnya. Ia menegakkan kepalanya dan kembali dengan wajah datarnya.
"Akting yang bagus, Ice." Solar menepuk bahu Ice pelan. Ice melirik sejenak, "Terima kasih."
"Haahh?! Jadi yang tadi cuma akting?" Blaze menatap saudara kembarnya tak percaya. Ice menyungging senyum sinis. "Kau tertipu?"
Blaze merasa kesal. Ia menjambak rambutnya sendiri. "Kupikir kau nangis beneraaaan!!"
Atensi Gempa fokus pada Thorn. "T-thorn, kenapa kau bilang begitu tadi?"
Thorn menoleh pada Gempa. Sejenak berpikir. "Karena Thorn liat kalian sepertinya dalam masalah. Jadi Thorn hanya mau membantu." Thorn menunjukkan senyumnya. "Tapi sepertinya Taufan itu sangat berharga ya?" lanjutnya.
Gempa tersenyum tipis sembari menghela nafas. "Taufan belum mati, lain kali aku akan memperkenalkannya padamu."
Mata Thorn tampak berbinar mendengar itu. "Benarkah? Asik! Thorn dapat teman baru." Thorn melompat-lompat girang.
Solar menepuk bahu Gempa. "Sudahlah, yang penting kita aman kan?"
Mereka saling bertatapan kemudian mengangguk.
"Sekarang kita akan mencari cara lagi untuk bertemu dengan Taufan."
.
.
.
***tbc***
A/n:
Taufannya gak muncul di chapter ini. Untuk beberapa chapter ke depan juga kayaknya gak bakalan muncul.
Sekarang Thorn udah dimunculin. Sisa Fang nantinya yang akan ketemu sama mereka.
Konflik belum terlihat dan masih aman-aman dulu. Tunggu mereka udah ketemu semua baru dimulai konfliknya //hehe
See you next time~
040221
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top