Chapter 30

"Paman, aku bisa jelaskan!"

Tarung tidak mendengar sama sekali. Tatapannya masih bengis. Ocho sendiri bahkan sudah bersembunyi di belakang Gempa dengan tubuh kecilnya.

Tarung mengangkat pedang. Sepertinya benar-benar hendak menebas Gempa. Ocho langsung mendorong Gempa. Tahu jika Gempa bisa benar-benar mati jika diam saja.

Pedang itu mengenai tangan kiri Ocho. Ocho terpelanting karena pendiriannya goyah.

"Pergi ...," lirih Ocho. Gempa langsung menggeleng kuat-kuat.

Ocho menggenggam pundak Gempa dengan kuat. "Dengar, orang seperti Tarung tidak akan mendengar alasan apapun yang kau berikan. Iblis tetaplah iblis dan musuh manusia. Aku akan berusaha menghentikannya, kau harus ke laut dan membuat segel."

"T-tapi."

Ocho tersenyum ke arah Gempa. Ekspresi wajah yang benar-benar berharap. Ekspresi yang seolah tiba-tiba saja mengingat masa lalu yang mengerikan.

Ocho, seorang anak kecil yang seluruh keluarganya habis dibantai Iblis. Ocho, yang keluarganya ditipu habis oleh anggota kerajaan. Ocho, yang berjuang hidup sendirian saat tak ada seorang pun yang menginginkannya.

Ocho, cuma anak kecil yang menginginkan pembalasan dendam atas apa yang terjadi pada hidupnya.

"Kalau aku masih hidup, aku akan ke sana dan mengorbankan diri untuk melakukan penyegelan. Jadi aku mohon, Gempa."

Gempa bisa melihat manik jernih Ocho yang berwarna Cyan itu. Teringat akan Taufan yang berharap padanya ketika dihari pertama mereka bertemu.

Terkadang, mereka lupa jika Ocho masih kecil.

"Apa yang kalian rencanakan?" Tarung mendekat. Ocho langsung lompat dan memeluk perut Tarung. Menahannya agar tidak mengejar Taufan dan Gempa.

"PERGI!!"

Dengan tidak rela, Gempa berlari pergi dari sana membawa Taufan. Meninggalkan Ocho yang berusaha mungkin menahan Tarung.

"Maaf! Maaf! Maaf!"

Kata-kata itu terus digumamkan Gempa. Ia terus berlari tanpa arah. Mencari letak dimana lautan berada. Meski ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa ketika sampai di sana.

.

.

.

Reverse hanya diam di atas bangunan kuno tersebut. Sejak beberapa saat ketika Taufan menghilangkan diri bersama Gempa dan Ocho. Ia sudah tidak bisa merasakan energi Taufan sama sekali.

Halilintar beserta yang lain sudah pergi dari sana ketika melihat Gempa dan Ocho menghilang. Meski mereka tidak tahu kemana Taufan membawa mereka berdua. Yang pasti, mereka harus mencari lebih dulu.

Reverse melihat langit biru berhiaskan awan. Ia bosan, sangat bosan. Apapun yang ia lakukan sudah tidak bisa lagi membuatnya senang.

"Harus berapa lama lagi?"

Ia sebenarnya juga tidak terlalu peduli tentang penyegelan. Tapi jika ia kembali disegel dan dikurung di dunia bawah, ia pasti akan bosan lagi.

Mau membantai umat manusia? Lalu setelah itu apa?

Manusia hanya akan habis. Para iblis lalu mulai saling membunuh masing-masing. Dan dunia pun akan menuju kehancuran.

Tidak ada yang baik sama sekali. Mau bagaimana pun pilihannya.

Menjadi yang terkuat di antara iblis bukanlah suatu kelebihan. Bahkan ketika dirimu hendak mati. Namun tidak ada satupun iblis yang bisa membunuhmu. Reverse merasa frustasi.

Sebenarnya kapan iblis akan mati?

Tahun depan?

Seribu tahun lagi?

Atau akan selalu hidup selama-lamanya?

Jika Reverse bunuh diri, bukankah itu terlalu lucu? Apa yang akan tersebar di antara para iblis nantinya. Itu akan membuatnya malu menembus dimensi alam ghaib.

Sudah membuat percobaan. Lahirlah Taufan dengan kekuatan yang melampaui perkiraannya. Namun siapa sangka bahwa kekuatannya juga ikutan bertambah.

Reverse kesal bukan main. Walaupun Taufan sudah seniat itu ingin membunuhnya. Taufan tidak bisa karena Reverse yang malah kesenangan bertarung. Dan berujung Taufan K.O.

"Oh."

Sebuah ide muncul di kepalanya.

"Kalau aku bunuh Gempa. Apakah Taufan bisa membunuhku ketika mengamuk?"

.

.

.

"Kau cium aromanya, Ice?"

Ice mengendus udara. Wajahnya mengernyit. "Terlalu jauh. Sepertinya mereka ada di kerajaan selatan."

"Owh, itu sangat jauh!" Blaze bahkan jadi ikutan mengernyitkan alis. Letak kerajaan utara dan selatan itu sangat jauh. Bahkan mereka saat itu memerlukan waktu tiga hari untuk sampai ke sana.

"Apa yang harus kita lakukan?" Thorn melihat semuanya yang jadi murung. Ia jadi ikutan murung. Benar kata Blaze, kerajaan selatan terlalu jauh untuk mereka datangi.

Solar terlihat berpikir keras. Bahkan melihat arah datangnya angin.

"Kita bisa ke sana dalam waktu dekat," ujarnya tiba-tiba yang membuat mereka semua lantas melongo heran.

"Benarkah? Gimana caranya?" sahut Fang dengan nada sedikit tidak percaya. Habisnya mau Fang berpikir bagaimana pun, tidak ada jalan lain. Kecuali jika mereka berteleportasi atau terbang.

"Lewat jalur laut."

"Hah?"

Solar mengecek angin yang lewat lagi. "Anginnya ke selatan. Kita bisa naik perahu ke sana, apalagi kerajaan selatan dekat dengan laut. Kita bisa memanfaatkannya."

Mereka bertatapan sejenak.

"Tunggu apa lagi? Ayo!"

Mereka segera berlari untuk pergi ke Kamp pasukan khusus. Seharusnya kamp memiliki persediaan seperti perahu karet untuk hal darurat. Sampan atau semacamnya.

Yah, mereka berharap itu ada.

.

.

.

"Ah, laut!"

Gempa hampir keseleo jika tidak berjalan dengan benar. Ia benar-benar lelah karena berlari entah sejauh apa. Tidak tahu bagaimana nasib Ocho yang ditinggalkan. Tapi ia berharap Ocho baik-baik saja.

Gempa berjalan terseret-seret di pantai. Lalu menaruh Taufan di pinggir pantai. Sekarang, ia tidak tahu harus melakukan apa.

Taufan masih tidak sadarkan diri. Darah dan bekas pertarungan sebelumnya dengan Reverse telah hilang begitu saja. Jika diingat, memang Taufan memiliki kekuatan penyembuhan.

Gempa duduk di samping Taufan yang berbaring telentang. Menatap jauh ke laut dan entah memikirkan hal apa.

Mengingat tentang semua hal yang terjadi. Seolah terjadi begitu singkat. Padahal, baru beberapa saat ia menemukan Taufan di hutan. Namun sekarang harus melepaskan Taufan lagi.

Memorinya tentang Taufan tidak begitu banyak. Namun cukup untuk mengisi relung hatinya yang kosong dan hampa.

Ia yang awalnya hanya mengikuti takdir. Namun kali ini benar-benar ingin menentang takdir. Ia ingin merubah semua hal yang terjadi.

Namun sadar dirinya tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya seorang manusia yang bahkan tidak bisa menyembuhkan luka hatinya sendiri.

"Taufan, apa yang akan terjadi padaku jika kau pergi?"

Semua hal tentang Taufan yang menghiasi harinya, akan sirna hari ini. Tidak ada yang bisa Gempa lakukan. Bahkan Ocho sedang berjuang agar Tarung tidak kemari.

"Gemgem ..."

Tangan Gempa diraih. Gempa menorehkan pandangan. Menemukan Taufan yang sudah sadarkan diri tengah tersenyum padanya.

"Taufan!"

Gempa langsung menghambur untuk memeluknya. Tubuhnya bergetar karena terlalu senang. Bahkan air matanya turun tanpa ia sadari.

Taufan membalas pelukannya. Tersenyum bahagia karena masih bisa melihat Gempa di depan mata. Meski ia sempat melupakan segala hal tentang Gempa.

"Aku sayang Gemgem."

"Aku tahu," balas Gempa. Masih enggan melepas pelukannya.

"Jangan nangis ya."

Jeda sejenak sebelum Gempa kembali menjawab. "Ya, aku takkan menangis."

"Relain Taufan, ya?"

Jantung Gempa berdegup kencang mendengar kata itu. Ia dipaksa mengingat lagi meski tak mau. Ia dengan terpaksa mengangguk meski terasa berat. "Ya." Ia menggigit bibirnya.

Taufan mengelus-elus punggung Gempa. Seolah memberikan kekuatan pada Gempa agar tidak menangis. Meski hal itu bisa saja malah membuat Gempa tambah ingin menangis.

"Masih ada yang lain, Gempa nggak sendiri."

Gempa melepas pelukannya. Mengelap sisa-sisa air mata yang bisa saja jatuh lagi. Ia mengangguk.

"Nah gitu, sini dapat ciuman gratis dari Ufan~"

Gempa terkekeh. Ia mencium kening Taufan. Tapi Taufan malah cemberut. "Ih, kan Taufan yang mau cium Gempa."

"Coba sini cium."

Taufan malah ragu. Ia memainkan jarinya. Terlihat rona merah di wajahnya. "Ga jadi, malu."

"Berarti Gempa lagi ya yang cium."

"Jangan."

Gempa terkekeh melihat kelakuan Taufan. Taufan menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang kecil. Tubuhnya masih kecil. Sejak kembali menyusut, belum ada tanda-tanda tubuhnya akan kembali membesar.

"Aww, aku dicapit kepiting." Taufan loncat dari duduknya. Menendang kepiting yang ada di bawah kakinya dengan kesal hingga terlempar jauh.

"Hei, seharusnya jangan ditendang begitu, kasian kepitingnya."

Taufan kembali duduk. Memasang wajah sedih ke Gempa. "Tapi aku dicapit kepiting."

Gempa jadi gemas melihat wajah Taufan. Ia mencubit kedua pipi Taufan. "Mana?"

"Ini." Taufan menunjukkan betisnya yang memerah. Gempa menggosoknya dengan sayang. "Nah, pasti nggak sakit lagi."

Taufan terdiam sejenak. Ia melihat ke arah hamparan laut yang luas di hadapannya.

"Aku disuruh membuat segel di sini, ya?"

Gempa tertegun. Memasang wajah sedih lagi. "Ya."

"Tengah laut ...," gumam Taufan.

Taufan berdiri. Lalu berjalan lebih mendekat ke arah laut. Tepat ketika kakinya sudah bisa disentuh oleh air. Ia menutup mata, dan melukai tangannya sendiri.

Beberapa tetes darah terjatuh. Bercampur dengan air laut yang asin.

Taufan menggumamkan kata-kata asing yang tidak bisa Gempa pahami. Lalu mulai keluar aura kebiru-biruan dari tubuhnya. Air laut tiba-tiba bergerak tidak beraturan.

Keluar lingkaran asing yang pernah Gempa lihat sebelumnya. Lingkaran dengan tulisan-tulisan aneh di bangunan kuno waktu itu. Muncul bersinar di tengah laut. Di tubuh Taufan juga muncul tulisan asing tersebut.

"Gem," panggil Taufan.

"Ya?"

Taufan menoleh dengan mata birunya yang menyala. "Dimana Ocho?"

Suara Gempa mendadak tercekat. Ia tidak tahu harus bilang apa. Dia juga tidak tahu bagaimana keadaan Ocho saat ini.

"Dia--"

"Ketemu."

Gempa menoleh dengan terkejut. Pasalnya, ia sudah tahu suara siapa ini.

Paman Tarung.

Kalau Tarung ada di sini, berarti Ocho.

"Dimana ... Ocho?"

"Oh anak itu? Dia sekarat, tak kusangka sangat gigih melawanku."

Gempa melirik ke arah pedang Tarung. Banyak darah di sana. Pandangan Gempa hampir kabur.

Tarung berjalan hendak mendekati mereka. Gempa langsung pasang badan. Ia tidak bisa membiarkan Tarung menganggu Taufan yang sedang membuat segel.

Meski Gempa tidak tahu, kenapa Taufan masih menunggu. Serta menanyakan keberadaan Ocho.

"Aku butuh ... energi manusia." Taufan melihat ke arah Tarung. Melepaskan tembakan angin yang nyari mengenai kepala Tarung jika saja Gempa tidak mendorong Tarung hingga jatuh ke bawah.

"Taufan! Apa yang kau lakukan?!" pekik Gempa.

Taufan hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Jika Gempa sadari, sikap Taufan telah berubah sejak ia membuat segel.

"Aku butuh tumbal manusia untuk membuat segel."

Mata Gempa membelalak. Kini ia paham kenapa Taufan dan Ocho tiba-tiba bekerja sama. Serta ucapan Ocho sebelumnya.

Ocho akan menjadi tumbal segel untuk Taufan.

.

.

.

***tbc***

A/n:

Hayo, siapa yang bakal gantiin Ocho buat jadi tumbal segel?

Tarung?

Gempa?

Atau yang lain?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top