Chapter 3

"Bukankah malam itu kau dari hutan, Gempa?"

Makan malam itu tiba-tiba menjadi sunyi dan mencekam. Gempa terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Mereka masih setia menatap Gempa, menunggu jawaban. Bahkan Shielda mulai merasa curiga dengan Gempa.

"A-aku kan langsung pulang. Aku tidak bertemu iblis kok."

Gempa harus berbohong. Ia tidak bisa membiarkan mereka membunuh Taufan. Iblis itu tidak bersalah sama sekali. Malah ia yang diburu oleh kaumnya sendiri.

Gempa ingin melindunginya.

Halilintar menghela nafas, lalu mengelus pucuk kepala adiknya itu. "Syukurlah kau baik-baik saja, Gempa."

Mereka kembali melanjutkan makan malam. Selesai makan, Halilintar memutuskan untuk segera berkeliling desa karena merasa tidak aman. Shielda dan Sai beranjak keluar rumah diikuti Halilintar dan Gempa.

Gempa mengantar mereka sampai di depan pintu. Namun tiba-tiba Sai berlagak aneh.

"Ada apa kak?" Shielda tampak was-was. Ia sangat paham jika kakaknya mulai mengendus-endus bau udara seperti ini. Sai itu punya penciuman yang tajam. "Samar-samar aku mencium bau iblis, tak jauh dari sini."

Gempa berkeringat dingin. Ia berdoa agar mereka tak mendapatkan Taufan. Namun Sai segera berjalan, tepat ke arah gudang dimana Taufan berada sambil mengendus-endus udara. Sai dan Halilintar mengikuti. Gempa turut ikut di paling belakang.

Ia takut.

Ia tidak ingin Taufan ditemukan.

Anak itu tidak salah apa-apa.

Sai sudah berdiri di depan pintu gudang. Saat ia hendak memegang kenop pintu. Gempa langsung berlari dan menghadang Sai. Sontak mereka sedikit terkejut.

"Apa yang kau lakukan?!" Bentak Sai.

"T-tidak ada apa-apa digudang ini." Gempa masih berdiri di depan pintu gudang. Tidak membiarkan Sai meraih kenop pintu.

"Kalau tidak ada apa-apa. Kenapa kau menghadang?" Shielda ikutan angkat bicara. Kecurigaannya makin meningkat melihat kelakukan Gempa yang aneh.

"Apa yang terjadi, Gempa? Biarkan Sai melihat isi gudang itu." Halilintar maju. Meraih lengan Gempa dan menariknya. Namun sang empu masih tetap bertahan meski ia sendiri lebih lemah dari kakaknya yang seorang prajurit.

"J-jangan." Gempa menggeleng kuat. Ia panik.

"Apa kau menyimpan iblis?" tuduh Shielda. "Berhenti bersikap seperti itu Gempa, kau bisa ditangkap!" Suara Halilintar meninggi. Ia dengan kasar menarik adiknya menjauh. Membuat Gempa meringis karena cengkraman kakaknya di lengan begitu kuat.

Sai tanpa menunggu lagi, langsung meraih kenop pintu dan membukanya.

Didalam gudang tersebut gelap. Shielda menyerahkan penerangan yang ia ambil dari rumah Halilintar. Sai mengambilnya dan masuk lebih jauh.

Terlihat dengan jelas isi gudang. Namun mereka tidak menemukan tanda-tanda iblis.

Shielda menyusul masuk diikuti Halilintar dan Gempa. Mereka ikut memperhatikan sekeliling. Gempa harap-harap cemas. Namun juga bingung karena ia tidak dapat melihat keberadaan Taufan didalam gudang ini.

Apa mungkin dia kabur?

"Aku mencium bekas baunya. Sepertinya sebelum ini ada iblis kemari." Sai berkata demikian. Jika Sai berkata begitu berarti Taufan benar-benar telah pergi dari gudang itu.

Gempa lega sekaligus khawatir.

Kemana Taufan?

"Mungkin iblis itu tidak jauh dari sini. Kita harus segera berkeliling." Shielda keluar duluan dari gudang, diikuti yang lainnya.

"Jika disini pernah ada iblis. Bukankah Gempa dalam bahaya?" Shielda bersuara. Halilintar lantas memandang ke arah Gempa dengan khawatir.

"Aku tidak apa-apa. Lagipula sekarang iblisnya sudah pergi." Gempa tersenyum kecil. Mencoba meyakinkan kakaknya bahwa ia bisa tetap disini. "Sebaiknya kau ke tempat Blaze dan Ice saja. Berbahaya disini sendirian."

"Nggak perlu kak. Aku baik-baik saja disini."

Halilintar memegang kedua bahu adiknya. "Dengar Gempa, aku tidak mau kehilanganmu yang merupakan satu-satunya adikku. Aku ingin melindungimu. Disini berbahaya." Wajah Halilintar tampak sendu. Gempa tidak tega jika begini jadinya. Ia akhirnya mengangguk menyetujui.

"Sai dan Shielda, berkeliling desalah terlebih dahulu. Aku akan mengantar Gempa. Kita akan ke hutan ketika aku kembali, mengerti?" Halilintar memberi arahan. Mereka berdua mengangguk mengerti dan pergi dari sana.

"Nah ayo Gempa." Halilintar membawa Gempa pergi. Membawa Gempa menuju rumah sepupu mereka, Blaze dan Ice. Mereka kembaran dan masih punya orang tua. Blaze dan Ice sangat baik pada Gempa. Karena itu kadang ia menitipkan Gempa pada mereka ketika dirinya sibuk.

Mereka sampai. Di salah satu rumah diantara banyaknya rumah di desa ini. Halilintar mengetuk pintu. Pintu dibuka dan menampilkan seorang pemuda beriris aqua. Wajahnya yang mengantuk menatap Halilintar penuh tanya.

"Orang tuamu ada, Ice?"

Pemuda bernama Ice itu menggeleng. "Mereka pulang besok, ada apa kak Hali?" Ice umurnya jauh dibawah Halilintar dan Gempa. Itu sebabnya ia memanggil mereka berdua dengan sebutan kakak.

"Waahh!! Ada kak Gempa. Masuk kak!!" Pemuda lain bermanik merah membara, muncul dan menarik Gempa masuk ke dalam rumah. Ice hanya bisa menggeleng melihat kelakukan saudara kembarnya itu. Sedangkan Gempa pasrah ditarik oleh Blaze--nama pemuda itu--menuju ruang tengah.

"Aku ingin titip Gempa dulu. Dirumah kami tidak aman, Sai mencium bekas bau iblis disana."

Ice memandang Halilintar hingga akhirnya mengangguk. "Tidak masalah, kami senang ada kak Gempa disini."

"Kalau begitu aku pergi dulu." Halilintar pamit. Ia beranjak dari sana dan Ice menutup pintu. Ia ikut bergabung bersama Blaze dan Gempa yang bermain bersama Cattus--kucing peliharaan mereka. Sebenarnya Gempa yang memungut, tapi karena Halilintar tak memperbolehkannya memelihara hewan, Blaze dan Ice yang mengambilnya.

Ice menguap, memperhatikan kegiatan keduanya. Matanya memicing ke arah Gempa. Ia ingin bertanya, tapi nanti saja. Ice tidak ingin menganggu suasana.

.

.

.

Hari sudah malam. Ice dan Blaze sudah tertidur. Gempa menumpang dikamar mereka. Dikarenakan kasur hanya ada dua. Mereka memutuskan untuk tidur dibawah dan di alas oleh kasur lipat. Mereka hanya memakai kasur lipat itu ketika Gempa dan Halilintar menginap ditempat mereka.

Ini bukan pertama kalinya Halilintar menitip Gempa pada mereka. Sudah berkali-kali, karena Halilintar sibuk sebagai seorang prajurit. Gempa sendiri sudah terbiasa dengan kedua sepupunya. Walau kadang mereka memang menyebalkan. Namun mereka menerima Gempa dengan senang hati.

Gempa tidak bisa tidur. Ia memutuskan untuk keluar. Diluar sepi karena orang-orang desa sudah tertidur. Lagipula ini tengah malam, mana ada orang yang mau beraktivitas dijam segini. Kecuali mungkin orang sibuk seperti kakaknya. Ia yakin kakaknya sekarang masih sedang berkeliling di hutan.

Tiba-tiba Gempa teringat dengan Taufan. Ia tidak tahu Taufan pergi kemana. Ia tidak ingin Taufan ditangkap.

Tapi takdir tetaplah takdir.

"Taufan, kamu dimana?" Lirih Gempa. Ia menatap langit diatasnya. Banyak bintang bertaburan di atas sana. Menampakkan keindahan langit.

"Kak Gempa nggak bisa tidur?"

Gempa tersentak. Ia menoleh dan mendapati Ice tengah memandanginya di ambang pintu. Gempa tersenyum, "Iya, aku sedang kepikiran sesuatu."

"Taufan ya?" Gempa terkejut. Ia memandang Ice tak percaya. Ia langsung membela diri, "Aku tadi mendengar kak Gempa menyebut namanya."

"Begitu." Gempa beralih kembali menatap langit. Ice ikut duduk disampingnya, memandangi hal yang sama.

"Kak, aku ingin bertanya sesuatu?" Ice tampak serius. Gempa menoleh kearahnya.

"Taufan itu... apakah Taufan yang dimaksud kak Gempa itu... iblis?"

Gempa terdiam. Sudah berkali-kali banyak yang selalu membuatnya terdiam seperti ini. Apalagi ketika membahas mengenai Taufan.

"Aku mencium bekas iblis dari tubuh kak Gempa," lanjutnya. Gempa tidak tinggal diam, ia harus mengelak. "Ah itu, bisa saja bekasnya dari kak Hali kan? Habisnya kak Hali pemburu iblis." Gempa terkekeh canggung.

Ice menatap Gempa dengan manik aquanya. "Kak Hali tidak memiliki bekas aroma iblis ditubuhnya. Kak Gempa tidak bisa lagi mengelak."

Gempa tertegun. Gagal sudah. Ia memang tidak bisa melawan Ice. Inilah yang ia khawatirkan ketika menginap dirumah Ice. Ice itu bisa mencium aroma iblis sama seperti Sai. Namun penciuman Ice jauh berkali-kali lipat lebih tajam. Ia bahkan bisa membedakan bau iblis dengan iblis lainnya. Menghitung jumlah iblis hanya dengan aromanya. Atau bahkan mengetahui lokasi mereka hanya dengan aroma.

Yang mengetahui ini tentu hanya Blaze dan Gempa.

Ditakutkan jika hal mengenai Ice tersebar. Pihak kerajaan pasti akan memaksa untuk membawa Ice. Merekrut Ice menjadi salah satu anggota pasukan khusus kerajaan mereka.

Dan Blaze sangat tidak ingin saudara kembarnya diambil. Maka dari itu mereka sepakat untuk menyembunyikannya. Dan karena itulah, mereka bisa berkali-kali selamat ketika sedang berada dihutan.

"Ya, tapi Taufan berbeda. Dia tidak seperti iblis kebanyakan." Gempa tersenyum ketika mengingat Taufan. Walau baru mengurusnya satu hari. Gempa bisa merasakan bahwa Taufan berbeda. Dan entah kenapa Gempa bisa se-khawatir itu padanya.

"Bukankah iblis itu mengerikan seperti monster?" Ice menjeda sebentar. "Kak Gempa nggak takut?"

Gempa menggeleng. "Taufan tidak mengerikan, dia malah seperti anak-anak."

Ice mengernyit. "Maksud--" Ucapan Ice terhenti. Ia langsung berdiri dengan was-was. Mata aquanya memicing ke segala sisi.

"Ada apa Ice?"

Ice masih tampak was-was. Sebelum akhirnya matanya membulat.

"KAK GEMPA! LARIII!!"

"Hah--?"

Belum sempat Gempa mencerna teriakan Ice. Sesuatu yang cepat melaju ke arah Gempa dan menabraknya. Gempa terjatuh ke belakang, atas tubuhnya serasa di tindih.

"Aduh..." Gempa membuka mata. Ia melihat sesuatu yang ada diatas tubuhnya. Matanya melebar seketika.

"Taufan!!"

Orang itu--Taufan--memeluk perut Gempa sembari tersenyum lebar. Menampilkan sederet gigi tajamnya pada Gempa.

"Taufan darimana saja?" Gempa tersenyum, matanya terlihat sedih. Ia senang bertemu dengan Taufan lagi. Apalagi Taufan tidak ditangkap. Ia mengelus pucuk kepala Taufan, anak itu melepas pelukannya pada Gempa.

"K-kak Gempa. I-itu..." Ice menjaga jarak. Ia masih was-was dan menatap tak percaya ke arah Taufan. Sedangkan Taufan malah memberikan senyuman pada Ice.

"Ah Ice, ini Taufan."

"D-dia beneran iblis?" Ice menunjuk ke arah Taufan. Ice tak percaya dengan sesuatu dihadapannya. Seorang iblis dengan wujud seperti manusia.

"Tak apa Ice. Dia tidak memakan manusia." 

Ice ragu. Namun memilih untuk mendekat secara perlahan-lahan.

"Coba elus kepalanya. Tenang saja, ia takkan menyakitimu."

Ice mengangguk. Tangannya terulur ke arah kepala Taufan. Tangannya bergetar. Taufan menatap Ice dengan bingung. Lalu menarik tangan Ice untuk menyentuh kepalanya. Ice sedikit tertegun. Taufan tersenyum lebar.

Ice pelan-pelan mengusap rambut Taufan. Taufan terlihat senang. Ice lalu kembali menarik tangannya dan tersenyum tipis. "Aku baru tahu ada iblis berwujud seperti manusia," ujarnya.

Gempa mengangguk setuju. "Aku juga baru tahu, awalnya aku terkejut."

"Sepertinya kak Gempa harus bertanya pada Solar deh."

Gempa sekilas melihat ke arah Ice. Lalu pandangannya beralih pada Taufan yang sedang melompat-lompat ria. "Besok pagi aku akan ke perpustakaan untuk menemuinya."

"Omong-omong." Gempa menarik Taufan mendekat. Lalu memperhatikannya dari atas hingga bawah. "Sepertinya Taufan mulai tinggi ya." Taufan hanya membalas dengan senyuman. Ice sedikit penasaran. "Dia bisu?"

Gempa mengiyakan. "Sepertinya sudah bisu dari lahir." Ice mengangguk, ia menatap kasihan pada Taufan.

"Ice, bisakah aku minta tolong padamu untuk merahasiakan soal Taufan? Aku tidak ingin dia diambil," lirih Gempa. Ice sendiri bingung. Disisi lain ia sedikit menyukai Taufan karena dia berbeda dari iblis kebanyakan. Sedangkan ia juga takut jika prajurit kerajaan menemukan Gempa dan Taufan. Gempa bisa dihukum.

"Aku mohon, Ice." Manik keemasan menatap langsung ke manik aqua milik Ice. Ice tertegun. Ia bimbang. Namun memilih untuk setuju. "Tapi jika keadaan tiba-tiba berbalik, aku akan membuang Taufan." Ice berujar dengan cuek. Tidak ada balasan dari Gempa.

Taufan sudah diam. Ia menatap ke Gempa. Lalu membuka mulut dan menunjuk-nunjuk ke dalam mulutnya.

Gempa langsung menyadarinya. "Taufan lapar ya?" Taufan mengangguk antusias. Senang karena Gempa pengertian.

"Taufan makan apa kak?" Ice berseru. Lantas memandang Taufan bingung. "Daging mentah," jawab Gempa. Ice hanya ber-oh-ria.

"Kalo gak salah, kami masih ada persediaan daging mentah."

"Gapapa nih Ice?" Gempa ragu. Namun Ice tidak masalah. "Daripada dia memakan kita karena lapar," candanya.

"Ice ada apa? Tadi kudengar kau berteriak."

Gempa dan Ice menoleh bersamaan dengan tampang terkejut. Disana, berdiri Blaze yang baru bangun. Ia menatap lurus ke arah Taufan.

Blaze mengernyitkan dahinya. "I-itu..."

Gempa dan Ice saling berpandangan.

Gawat.

.

.

.

***tbc***

A/n:

Ahaha... hai

Entahlah, Ruru gak tau mau ngebacot apa di a/n kali ini.

Akhirnya Blaze dan Ice udah debut di cerita ini~

Dan~ menurut kalian, gimana reaksi Blaze ngeliat Taufan?

See you next time. Babay~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top