Chapter 22
"Kalian semua harus segera pergi dari sini, sekarang!"
Lantas mereka semua terkejut, sembari Blaze tampak siaga dengan kemunculan Ocho. Wajar saja, apa yang Ocho lakukan pada keluarganya itu sungguh di melebihi batas wajar. Apalagi yang lain juga memasang tampang marah.
"Apa yang mau kau lakukan, Ocho?" tanya Blaze sarkas. Ocho sadar diri, meski ia akan melakukan pengorbanan, yang mengetahui hal ini hanya dirinya dan Taufan.
"Pasukan iblis dalam jumlah besar tiba-tiba keluar dari segel. Kalian harus segera pergi dari sini untuk berlindung."
"Lalu apa? Kau pasti mau memanfaatkan kami lagi, ya kan?!" bentak Blaze. Ocho memasang wajah datar. Lalu Gempa menggeleng dan menyuruh Blaze mundur.
Taufan berdiri dari duduknya dan menghampiri pemuda berambut pirang itu. Ocho melirik, menghela nafas kesal.
Ocho mengeluarkan sebuah kunci dari kantung celananya dan menyerahkannya pada Taufan. Taufan menerimanya, sambil menatap Ocho, meminta penjelasan.
"Itu kunci untuk membuka ruangan di mana Solar berada. Kau harus menyembuhkannya segera dan membawanya pergi dari sini. Lalu ini," ujarnya lagi sembari menyerahkan benda bulat dengan ukiran raja terdahulu berwarna emas pada Taufan. "Jika kau menunjukkan itu pada kerajaan yang berada di daerah utara, kalian bisa masuk ke sana dan bersembunyi."
Taufan menatap Ocho dengan bingung. "Kenapa kami harus pergi? Aku harus segera menyegel gerbangnya kan?"
"Kau berbicara semudah itu ya. Asal kau tahu, gerbang itu sedang di jaga ketat oleh ribuan iblis. Kalau kau ke sana, kau hanya akan tertangkap." Ocho mendorong benda bulat yang merupakan akses masuk itu menghentak tubuh Taufan. "Makanya kau harus bersembunyi dahulu dan menentukan momen yang tepat untuk menyegel gerbang itu."
Mereka semua menyimak sedari tadi dan memasang tampang bingung. "Apa maksudnya ini?" tanya Halilintar.
Taufan menoleh, "Ocho menyuruh kita melarikan diri ke kerajaan utara."
"Tapi!" Gempa maju dengan wajah cemas. "Taufan adalah iblis. Orang-orang di sana tidak akan tinggal diam begitu melihat Taufan. Apalagi walaupun tanduk Taufan kecil, itu susah untuk disembunyikan."
Ocho menghela nafas. Susah juga jika hanya dia yang tahu betul soal informasi segala hal mengenai iblis. Kerajaan ini terlalu ketat, ia bahkan sudah mengotori tangan demi menipu kerajaan sialan ini.
"Dia bisa menyembunyikan tanduk dan ekornya. Berlatihlah selama perjalanan ke sana, kau akan terlihat seperti manusia biasa jika bisa menyembunyikan tanduk dan ekormu." Ocho menepuk pundak Taufan yang lebih tinggi darinya. Taufan mengangguk, meski sempat memiringkan kepala karena bingung.
"Jangan-jangan, mayat wanita yang waktu itu—"
Omongan Gempa dipotong oleh Ocho. Ocho mengangguk, menyetujui ucapan Gempa. "Benar, dia iblis. Tapi jika menyembunyikan energi, mereka bisa menjadi manusia. Karena hal itu ada dua cara." Ocho mengacungkan dua jarinya. "Pertama, belajar cara menyembunyikan energi, namun ini sangat rumit dan butuh usaha keras. Kedua, mati."
Gempa mengangguk paham. Sekarang ia mengerti kenapa wanita iblis yang mati malam itu dikatakan manusia oleh Shielda. Itu karena energinya hilang, dan ia jadi manusia sepenuhnya.
"Jadi ... Taufan bisa jadi manusia sepenuhnya?"
Ocho menggeleng, "Sayang sekali tetapi menyembunyikan energi itu beresiko apalagi dalam jangka waktu yang lama. Lama-kelamaan energi yang disembunyikan itu akan menggumpal dan meledak, lalu sang empu akan tidak sadarkan diri dan menghancurkan semua yang terlihat."
Mereka meneguk ludah, saling bertatapan. Gempa kecewa, tahu jika semua tak ada artinya. Sedangkan Taufan hanya diam, maklum dengan reaksi mereka.
"Kalau tidak disembunyikan, bagaimana dengan membuang semua energi itu?" Halilintar angkat bicara lagi.
"Aku anggap wajar kalian bertanya seperti ini karena kalian tidak tahu. Tapi bagi iblis, energi itu adalah kehidupannya, membuangnya sama saja dengan mati."
"Jadi, tidak ada cara rupanya." Thorn menunduk, memainkan jarinya dengan gelisah.
Tidak mau lama-lama bergelut dengan kesuraman. Ocho menepuk punggung Taufan. "Cepatlah pergi, tidak ada waktu lebih lama lagi."
"Lalu, kau?"
Ocho terkekeh. "Kau lupa? Aku adalah bagian dari Kerajaan, aku harus berperang demi kerajaan." Ocho baru saja hendak beranjak sebelum berhenti lagi sejenak, menatap Halilintar. "Oh iya Halilintar, kau dikeluarkan dari pasukan khusus."
Setelah itu, Ocho benar-benar pergi meninggalkan mereka.
Ocho tidak peduli jika mereka salah paham. Alasan Ocho mengeluarkan Halilintar dari pasukan khusus bukanlah karena Halilintar yang berkhianat. Melainkan untuk melindungi Halilintar itu sendiri.
Dengan keluar dari pasukan khusus. Artinya Halilintar tidak punya kewajiban lagi untuk bertarung di garis depan melawan iblis, demi kerajaan. Dan Halilintar bisa pergi dengan adik dan sepupu-sepupunya.
Tapi biarlah, toh Ocho melakukan itu bukan untuk mendapatkan pujian.
Ocho melakukan semua ini, semata-mata untuk balas dendam dengan iblis dan kerajaan. Balas dendam atas hal yang pernah terjadi di masa lalu. Karena hal itu, Ocho rela mengotori tangannya untuk menyelesaikan hal ini.
Taufan menatap lekat kunci dan akses masuk tersebut. Ia menoleh ke arah teman manusianya. "Ayo pergi."
Gempa mengangguk, memegang tangan Taufan. "Ayo."
Menatap yang lain, mereka siap untuk segera pergi dari sana.
Lalu, mereka benar-benar keluar ruangan tempat mereka terkunci. Berlari menuju ruangan tempat Solar berada.
Taufan mengendus udara, mencoba mencium bau tubuh Solar. Ice hanya memperhatikan, yang bisa ia lakukan hanyalah mencium bau iblis.
Taufan berlari ke sana-kemari dengan tangan Gempa yang masih menarik ujung baju Taufan.
"Ini?"
Akhirnya mereka sampai di depan pintu ruangan. Taufan memasukkan kunci dan membukanya. Di dalam sana, ada Solar yang terbaring lemah di ranjang. Taufan segera menghampiri, dengan kedua tangan yang menyentuh tubuh Solar.
Taufan menutup mata. Kalung birunya bersinar. Kedua tangannya juga bersinar, seolah memberikan kekuatan pada Solar.
Yang lain memperhatikan dalam diam. Melihat bagaimana seorang iblis memiliki kekuatan penyembuh dan menyembuhkan manusia.
Beberapa menit berlalu, Taufan menghentikan kegiatannya. Lagi-lagi darah mengucur keluar lewat hidung. Ia hanya mengelap dengan tangan.
Tiba-tiba tanah terasa bergetar. Mereka langsung panik. Ice tersentak begitu mencium bau iblis lain, "Cepat! Kita harus segera pergi dari sini!"
Taufan buru-buru mengangkat Solar dan menggendongnya di punggung. Setelah itu, mereka lari keluar dari sana.
.
.
.
"Ini, minumlah dulu."
Gempa menyodorkan sebotol air yang ia ambil dari sungai. Halilintar menerimanya, lalu meneguk air tersebut.
"Apa tidak apa-apa kita begini?" ujar Ice. Ia memainkan jari tangannya dengan gelisah. "Kita kabur, sedangkan yang lain—"
"Orang tua kita." Blaze menggigit bibirnya.
"Tenanglah, pasti pihak kerajaan telah mengevakuasi warga terlebih dahulu." Halilintar menginterupsi. Tidak ingin mereka malah kembali ke kerajaan mereka karena mau menyelamatkan orang tua.
Thorn mengelus surai coklat Solar yang terbaring di pangkuannya. "Thorn harap semuanya baik-baik saja." Ia menggigit bibirnya. "Thorn harap semuanya akan selesai dengan baik."
"Aku tahu kalian begitu cemas. Tapi setidaknya, kita harus selamat terlebih dahulu." Halilintar menghela nafas lelah. Ia lantas menoleh, menatap Taufan. "Dan kau!"
Taufan menoleh bingung. Menunjuk dirinya sendiri.
"Kau ...," gumamnya dengan gemeretak gigi. "Bisa gak sih jangan nempel mulu sama Gempa, hah? Aku risih liat kau dari tadi nempelin Gempa kemana-mana!"
"Ups, ada yang cemburu." Ice menutup mulutnya dan terkekeh kecil.
Halilintar kesal, berusaha menarik Taufan menjauh. Tapi Gempa lebih dulu menghadang. "Kenapa sih? Dia kan hanya rindu padaku."
"Tapi tidak harus melulu nempel seperti itu."
Taufan sepertinya senang melihat wajah kesal Halilintar. Entah kenapa iblis ini malah mau menganggu Halilintar.
Taufan menduselkan kepalanya ke leher Gempa. Halilintar langsung naik pitam. "KAU—"
"Eits! Gak boleh berantem." Blaze lebih dulu menahan Halilintar agar tidak mengajak Taufan berkelahi. Taufan memeletkan lidah, merasa menang.
Ice dan Thorn terkekeh di belakang.
"Ugh." Mungkin karena kebisingan barusan. Solar tersadar dari pingsannya. Thorn langsung antusias, "Solar!"
Manik kelabu Solar menatap lemah ke wajah kakaknya. "K-kak ... Thorn."
"Solar!" Thorn langsung memeluk Solar tanpa aba-aba. Tubuh Solar yang masih lemas pun tersentak. Tapi ia berusaha membalas pelukan itu.
"Untunglah! Untunglah Solar gapapa." Thorn merengek. Solar menepuk-nepuk punggung kakaknya itu dalam diam.
"Ice, mau peluk aku juga gak?" Blaze melebarkan tangan. Ice bergidik ngeri sembari menjauh. "Ih, nggak!"
"Ih ayolah Ice~"
"Jauh! Jauh-jauh!" Ice berlari menghindar Blaze yang gencar memeluknya dengan wajah jahil.
Halilintar melirik ke Gempa yang masih di tempeli Taufan. Gempa yang menyadari lirikan tersebut pun menoleh. "Ada apa? Bang Hali mau di peluk juga?"
"Nggak!" ketus Halilintar sembari memalingkan wajah. Tahu situasi, Taufan sedikit menjauh dari Gempa. Gempa berdiri sembari terkekeh. Lantas memeluk sang kakak dari belakang.
Halilintar tersentak. Berusaha menyembunyikan rona merah yang sudah lebih dulu menjalar memenuhi wajah. "Apa sih Gempa? Lepaskan!"
"Maaf ya Gempa sering buat kak Hali kesusahan, tapi Gempa juga mau berusaha buat bikin kak Hali seneng." Halilintar memutar tubuhnya. Memeluk balas adiknya dengan kaku seperti robot. Lalu mengusap surai coklat itu.
Gempa terdiam. Halilintar langsung melepas paksa pelukan itu dan berjalan menjauh dengan wajah memanas.
"Eh, kak Hali mau kemana?!"
"Berburu!"
Mendengar itu, Taufan berdiri dari duduknya. "Aku juga akan pergi." Setelah itu ia lari begitu saja meski Gempa telah memanggil namanya.
.
.
.
Malam telah menguasai hutan. Di bantu pencahayaan oleh api unggun. Mereka semua tertidur lelap di bawah langit malam. Daging hasil berburu telah ludes, mereka makan dengan lahap.
Taufan satu-satunya yang belum tidur. Ia menatap langit malam yang ditaburi banyak bintang. Senang melihat angkasa luas yang terlihat bebas.
Taufan menghela nafas, manik safirnya menatap satu-persatu teman manusianya yang tengah terlelap. Taufan menukik senyum kecil.
Angin berhembus pelan, mengurai rambut coklat Taufan yang berantakan. Ia menutup mata, memfokuskan energinya yang berantakan.
Tanduk dan ekornya perlahan menghilang. Seperti yang dikatakan Ocho, ia bisa membuat dirinya seperti manusia normal.
Manik safirnya terbuka lagi. Menatap langit malam dengan sendu.
"Aku ... akan melindungi kalian, sampai akhir."
Dan malam itu, di habisi dengan Taufan yang terus menatap langit berbintang dengan doa yang menghiasi dadanya.
.
.
.
***tbc***
A/n:
Anyway, Taufannya kelihatan OOC ya disini. Agak susah menyesuaikan Taufan yang petakilan ketika dihadapkan situasi semacam ini.
Bener-bener, aku nggak tahu lagi alur ini akan di bawa kemana.
Tapi, stay tune aja XD
See you~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top