Chapter 20
"Baiklah, bagaimana jika kita mulai?"
Ocho mengintruksikan sesuatu. Mereka semua telah berada di sel khusus yang berada di markas pasukan khusus kerajaan. Di tanah lapang tanpa atap yang berada di tengah-tengah markas ini, mereka berkumpul. Sekeliling hanya bercat putih, tidak ada niat untuk didekorasi.
Gempa ditahan di depan dengan keempat saudaranya berada di hadapannya dengan keadaan yang sama. Minus Solar, karena Solar sedang di rawat untuk menyembuhkan lukanya. Mata Thorn terlihat sembab, Ice dan Blaze pun terlihat pasrah.
Ocho berdiri di belakang Gempa. Membiarkan Gempa memperhatikan saudara-saudaranya.
"Panggilkan Taufan," perintahnya. Gempa hanya diam, tidak mau menurut. Ocho langsung memberi intruksi pada seorang yang berada di belakang saudara-saudara Gempa. Orang itu berjalan mendekati Thorn menjambak rambutnya. Thorn memekik kesakitan.
Ocho menyeringai, "Kuulangi, panggilkan Taufan."
Gempa menggigit bibirnya dengan tubuh bergetar. Thorn terlihat menggeleng samar saat Gempa melirik ke arahnya. Meski berderai air mata, ia tidak ingin Taufan datang ke jebakan ini.
Ocho menghela nafas, terlihat tidak senang. "Tidak bisakah ini dibuat lebih mudah? Jika kau memanggilkan Taufan untukku, maka kau beserta saudara-saudaramu ini takkan terkena hukum kerajaan." Ia mengusap-usap surai coklat Gempa yang berlutut di lantai. "Atau kalian mau disiksa dulu baru akan patuh, hm?"
Kaizo, Sai dan Shielda hanya diam di tempat. Mereka tidak bisa melawan karena Ocho benar-benar serius. Apalagi ini tentang hukum kerajaan. Ocho adalah salah satu orang yang layak untuk menerima posisi khusus bagian iblis. Kaizo tidak ingin mereka di hukum lebih jauh. "Ocho, bisakah kau hentikan ini?"
Sai dan Shielda hampir lupa bernafas saat kapten mereka mengatakan hal seperti itu. Tidak ada satu pun prajurit di dalam sini yang berani cari mati ke Ocho. Ocho adalah orang berkedudukan tinggi soal penelitian bangsa iblis. Hanya dia satu-satunya yang diberikan izin dari pihak kerajaan untuk meneliti iblis dan melakukan sesuatu dengan iblis.
Ocho takkan terkena hukuman kerajaan sedikit pun.
Ocho melirik dengan tatapan yang tajam. Merasa tidak suka dengan sahutan Kaizo yang seolah mengatakan jika dirinya berlebihan. "Kalau kau memang merasa ini berlebihan, coba buat ini selesai tanpa perlu melakukan hal seperti ini."
Kaizo bungkam, ia juga tidak tahu bagaimana caranya.
Ocho memberi kode lagi lewat gerakan tangan. Prajurit lain maju dan menendang Blaze hingga wajahnya mencium tanah. Lalu kepalanya di tahan dengan kaki prajurit itu. Gempa tersentak, ingin berteriak memanggil nama Blaze meski sia-sia. Blaze merintih kesakitan, tidak bisa melawan.
"Coba kita lihat, masih tidak mau?" ancam Ocho. Ia mengisyaratkan sesuatu lagi. Prajurit lain lagi yang maju dan kini mendekati Ice. Saat tangannya hendak meraih kepala Ice. Gempa berteriak. "Baiklah! Hentikan ..." Air matanya mengalir, sedih saat tak bisa melakukan apapun.
"Kak Gempa?" lirih Ice. Ia merasa tidak terima namun Gempa tak punya pilihan lain. Satu-satunya cara agar mereka semua selamat adalah dengan mengorbankan Taufan. Meski ia sendiri sama sekali tidak rela Taufan di korbankan.
Ocho tersenyum lalu bertepuk tangan. "Bagus, dari tadi begini dong. Nah silahkan."
Gempa menarik nafas. Air matanya kembali menitik karena tak sanggup. Dengan tak rela, ia berteriak memanggil nama iblis itu.
"TAUFAN!!"
Hening sebentar sebelum angin berhembus kencang. Para prajurit siap siaga di tempat. Gempa menangis dalam diam, merasa tak berdaya. Ocho menyeringai senang begitu melihat sosok yang ia inginkan kini telah tiba. Iblis itu berdiri di hadapan Gempa dan Ocho.
Taufan hanya menatap datar, seolah sudah tahu apa yang terjadi. Manik cyan dan safir itu beradu pandang, sebelum Ocho melepas kontak mata. Ia mengusap surai coklat Gempa, "Kerja bagus.
"Nah Taufan, ikut aku jika kau paham," perintah Ocho. Selagi Ocho berjalan menjauh, Taufan mulai ikut berjalan. Ia sempat melirik ke arah Gempa yang hanya menunduk sambil menangis. Halilintar yang menatap dalam diam, Thorn dengan wajah sendu, Blaze dan Ice yang bahkan tidak mau melihat ke arahnya.
"Maaf," lirih Gempa. Dan Taufan pun hilang begitu pintu lorong di tutup.
.
.
.
Taufan duduk di sebuah ruangan petak berwarna putih di mana-mana. Ditengah-tengah ruangan tersebut ada sebuah meja berwarna putih dan dua kursi dimana Taufan duduk di salah satunya.
Tak lama, Ocho datang dan menduduki kursi tersebut. Mereka saling berhadap-hadapan. Salah seorang prajurit masuk namun Ocho menatapnya tajam. "Aku akan baik-baik saja, aku tidak perlu pengawal!" Meski enggan, prajurit itu menutup pintu ruangan tersebut, dan tersisa mereka berdua.
"Aku dengan kau bisu, jadi kita akan sulit berbincang." Ocho mengeluarkan belati kecil dari balik jubah, lalu mengkode agar Taufan mengulurkan tangannya. Taufan terlihat curiga, dia enggan menyerahkan tangannya. Ocho masih memaksa, seolah mengancam dengan gerakan tangan. Gempa masih ada di tangannya, Taufan tak bisa macam-macam.
Taufan mengulurkan tangannya, Ocho meraih tangan tersebut dan menggores sedikit jari Taufan hingga mengeluarkan darah. Taufan sedikit merintih, Ocho menyimpan kembali belatinya dan mengambil sedikit darah Taufan dengan jarinya. Ocho terlihat memperhatikan darah itu, terlihat enggan, namun ia menjilatnya.
Taufan tentu saja terkejut. Wajah Ocho sedikit masam, ia baru kali ini menjilat darah seperti itu, apalagi ini adalah darah iblis. "Baiklah, sekarang kita akan bisa berbincang dengan mudah."
"Untuk apa itu?"
Ocho menghela nafas, sepertinya iblis ini hampir tidak tahu apa-apa tentang dirinya sendiri. "Salah satu cara terhubung dengan kaum iblis adalah hubungan fisik, tapi selain itu juga bisa jika menggunakan darah. Aku tidak mungkin melakukan kontak fisik denganmu." Ia memalingkan wajah, "Lagipula kau sudah kotor."
Taufan tertegun, ia hanya diam, memandang ke bawah. Lagi, ia teringat masa lalu mengenai dirinya yang disekap oleh iblis bangsawan. Ia sama sekali tidak mau mengingatnya.
"Kau mau membunuhku kan? Untuk apa mengajakku berbicara seperti ini?"
Ocho menyeringai, "Membunuhmu? Ah, sepertinya kau salah paham." Ia menopang dagu dengan kedua tangan. Manik safir dan cyan itu beradu. "Aku ingin mengajakmu bekerja sama."
"Bekerja sama?"
Ocho mengangguk. "Pekerjaanku di sini adalah meneliti segala hal tentang iblis untuk dicari kelemahannya, dan aku sudah mendapat izin dari kerajaan langsung."
"Jadi, aku dari awal sudah tahu semua tujuanmu datang ke dunia manusia."
Taufan membeku, tidak bisa mengerti maksud dari Ocho. Sebenarnya, apa yang benar-benar manusia ini inginkan?
"Kau mau memperbaiki segel bukan? Aku bisa membantumu. Aku tahu kau butuh satu energi manusia untuk melengkapi syarat, namun kau tidak mau mengambil energi Gempa, bukan?"
"Lalu, kenapa selama ini kau-?"
Wajah Ocho jadi muram, seolah dipaksa melihat ke masa lalu. Tangannya terkepal menahan amarah. Mata cyannya terlihat meredup. "Kau tahu sendiri hukum kerajaan itu bagaimana. Aku bersusah payah agar bisa berada di posisi sekarang."
Ocho memejamkan mata. Enggan mengingat masa lalu yang pahit. Moodnya lantas menjadi buruk. Air mukanya masih menggelap. Bahkan manik cyan itu masih terlihat meredup.
"Apa alasanmu?"
"Alasanku?" Ia mengangkat kepala. Manik cyan itu terpejam sebentar. "Aku hanya ... membenci iblis dan kerajaan."
"Jadi bagaimana? Tidak ada alasan bagimu untuk menolak tawaran kerja samaku."
"Lantas, kerja sama apa yang kau tawarkan padaku?"
"Kau butuh satu manusia kan? Kau bisa ambil aku. Kau mau Gempa aman kan? Aku bisa sembunyikan dia. Dan kau juga ... sebenarnya waktumu sudah sangat tipis kan?"
Taufan hanya menyungging senyum miring. Ocho benar, waktunya benar-benar sangat tipis. Sangat susah mempertahankan kesadaran di saat sekarang ini. Semakin lama, iblis bangsawan itu seolah mengambil alih dirinya.
Tubuhnya sudah benar-benar hancur.
"Baiklah."
Ocho menghela nafas. "Pembicaraan selesai, aku akan pergi."
Baru saja langkah Ocho hendak berlalu. Ocho sontak kembali menoleh saat mendengar suara tidak enak berasal dari Taufan. Lelaki itu baru saja memuntahkan banyak darah hingga meja dan lantai dipenuhi darah. Sudah sekuat mungkin Taufan mempertahankan kesadaran sampai tubuhnya bergetar.
"Segelnya!" Ocho panik. Ia segera berlari ke luar dan menghampiri beberapa pasukan yang kebetulan ada di sana.
"Cepat kirim pasukan khusus sebanyak-banyaknya ke arah segel!! Bawa juga tabib kesini dan suruh dia obati iblis itu!!"
"Baik!" Kedua pasukan tadi langsung berpencar. Yang satu akan mengumumkan hal tadi pada pasukan yang lain. Dan satunya akan mencari tabib. Ocho menjambak rambutnya frustasi.
"Aku telat? Telat?! Tidak ... tenanglah. Semua akan berjalan lancar." Ocho menenangkan dirinya sendiri. Ia berlari ke arah dimana Gempa dan yang lainnya di kurung. Ia memerintahkan beberapa pasukan yang berjaga di sana untuk mengeluarkan mereka.
"Keluarkan mereka dan pindahkan ke brangkar!! Lalu segeralah bersiap dan pergi bersama pasukan utama!" Ia menunjuk sisa dua pasukan. "Kau dan kau! Jaga mereka baik-baik."
Wajah Ocho tampak kacau, Kaizo bisa melihat itu. Ia meraih bahu mungil bocah itu, menuntut penjelasan. "Apa yang terjadi?!" Suara Kaizo menggema, Gempa dan yang lainnya sampai bisa mendengar suara Kaizo.
Ocho menepis tangan tersebut dengan kasar. "Segel telah terbuka! Kita harus cepat sebelum banyak korban jiwa!!"
"Apa?! Kenapa kau bisa mengetahui hal tersebut?"
Ocho melotot, manik cyannya terlihat tajam. "Karena aku tahu."
Ocho sedikit melirik ke arah Gempa yang menatap mereka dengan was-was. "Jangan lupa bawa iblis itu bersama mereka setelah diobati," ingatnya lagi pada penjaga lain.
"Dan kapten, tolong pimpin garis depan."
Setelah itu Ocho berlalu pergi dengan langkah tergesa-gesa. Meski begitu, raut Ocho terlihat memaksa untuk biasa aja. Meski nada suaranya bisa membuat orang lain panik.
"Taufan? Apa yang terjadi padanya?!" Mendengar bahwa Taufan harus di obati. Muncul perasaan negatif jika Ocho menyiksa Taufan untuk meminta penjelasan.
Namun Gempa tidak tahu apa-apa soal segel dan kenapa Ocho terlihat terburu-buru. Kapten Kaizo di depannya hanya diam, ia juga tidak mengerti.
Para pasukan mengeluarkan mereka satu-persatu dengan tangan yang masih terborgol. Halilintar, Gempa, Blaze, Ice dan Thorn di giring pergi dari sana.
Lalu, mereka bisa mendengar teriakan melengking dari arah ruangan Taufan berada.
"AAAAAAAA!!!"
.
.
.
***tbc***
A/n:
Okay see you~ ✨💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top