Chapter 2
Matahari tampak bersinar di ufuk timur. Embun menambah suasana lembab dipagi hari. Para penghuni rumah sudah bangun untuk melaksanakan tugas mereka masing-masing. Tak terkecuali pemuda bermanik emas yang sudah berkutat dengan bahan-bahan dapur. Dua piring masakan tersaji diatas meja.
Pemuda lain keluar dari kamar dan duduk disalah satu kursi. Ia memandangi adiknya yang tengah membersihkan piring bekas ia memasak.
"Darimana saja malam itu?"
Pertanyaan yang sama dengan yang kemarin. Gempa tahu, kakaknya itu tidak pandai membuka obrolan.
"Hutan."
"Kapan kau pulang?"
"Tadi malam."
Setelah itu sunyi. Gempa benar-benar tidak mood untuk menjawab pertanyaan kakaknya. Apalagi setelah mereka bertengkar tadi malam.
Gempa duduk dan memakan masakannya. Halilintar juga memakan masakan adiknya itu. Mereka makan dalam diam. Hanya denting suara sendok dan piring yang beradu yang terdengar.
Tak lama kemudian, Halilintar berdiri begitu menghabiskan sarapannya.
"Mau pergi?" tanya Gempa. Halilintar mengangguk kecil, "Aku akan pulang malam."
Gempa tidak membalas. Dia mengambil piringnya dan kakaknya yang telah tandas lalu menaruhnya ditumpukan piring kotor. Ia mengambil keranjang di samping meja dapur dan beranjak keluar rumah menyusul kakaknya.
"Mau bareng?" Gempa mengangguk. Mereka berdua berjalan dalam sunyi.
Tidak perlu ditanya lagi. Halilintar sudah tahu Gempa akan kemana ketika membawa keranjang bambu. Gempa pastinya setiap jeda beberapa hari akan pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Dan sepertinya ini adalah harinya untuk membeli kebutuhan dapur.
Mereka berpisah ketika Gempa sampai di pasar. Gempa tidak mengatakan apa-apa ketika ia berpisah dari Halilintar. Halilintar menghela nafas, pasti adiknya masih marah karena kejadian semalam.
Halilintar beranjak pergi. Sekitar 20 menit perjalanan, ia sampai ke kerajaan. Dengan segera ia masuk dan menemui prajurit lain di pos peristirahatan.
Mereka berbeda dari prajurit biasa. Mereka adalah prajurit khusus kerajaan yang ditugaskan untuk memburu para iblis. Pelatihan mereka sendiri lebih ketat dan lebih melelahkan dari prajurit biasa. Namun itu tidak menghentikan mereka untuk memburu iblis. Karena masing-masing dari mereka, punya alasan tersendiri kenapa bergabung ke prajurit pemburu iblis.
"Kau baru sampai?" sapa Kaizo
Halilintar meletakkan perlengkapan yang ia bawa di atas meja. Lantas memandangi Kaizo sejenak. "Aku mengantar adikku dulu."
"Ah, Gempa ya."
Kaizo tentu ingat dengan pemuda bermanik keemasan itu. Dulu dia adalah orang yang menyelamatkan Gempa ketika rumahnya diserang oleh iblis. Dan Halilintar yang kala itu mencari bantuan diluar dan bertemu dengan Kaizo. Kaizo memang lebih senior daripada Halilintar. Namun ia tidak terlalu menganggap serius Halilintar yang selalu cuek padanya. Karena Halilintar adalah pasukan khusus dengan keahlian yang bagus.
"Kapan-kapan aku akan memperkenalkan adikku. Mana tahu mereka bisa berteman." Kaizo tersenyum kecil. Ia bersama Halilintar berjalan beriringan menuju tempat latihan.
"Gempa terlalu baik. Dengan hewan pun ia berteman," ujar lelaki bermata ruby itu. Kaizo tertawa, "Asal dia jangan malah berteman dengan iblis."
Halilintar mendengkus mendengar perkataan itu. "Tidak akan."
.
.
.
Gempa memasuki gudang dibelakang rumahnya yang memang sudah tidak pernah dipakai lagi. Isi gudang hanya beberapa kotak kosong dan selebihnya hanya debu. Ia membawa keranjang yang tadi ia bawa ke pasar dan masuk perlahan-lahan.
"Ka-kamu didalam?"
Gudang itu gelap. Hanya ada cahaya-cahaya kecil dari celah-celah kayu yang menerangi tiap titik kecil ruangan. Gempa tidak berani masuk lebih jauh. Dia hanya berdiri sekitar 1 meter dari pintu. Jika keadaan tiba-tiba berubah maka ia akan langsung lari keluar.
Terdengar suara benda jatuh disusul suara jatuh lain yang terlalu lembut. Ia bergerak, sesuatu dibalik kain itu bergerak mendekati Gempa. Gempa refleks mundur, mencengkram kuat kenop pintu.
Kain itu berhenti dan seorang anak kecil muncul dibalik kain dengan tangan direntangkan keatas dan senyumannya yang lebar. Seolah mengatakan 'BAAA!!' pada pemuda dihadapannya. Sayangnya hanya sunyi yang ada karena anak iblis itu bisu.
Gempa tertawa kecil. Ia berjongkok dan menaruh keranjang bambu tadi dihadapannya lalu mendorongnya ke dekat anak itu.
"Aku tidak tahu iblis makan apa, jadi aku membeli yang ada."
Anak itu terlihat bingung sebentar. Lalu membuka keranjang dan mengobrak-abrik isi keranjang. Ia mengambil wortel, lalu menaruhnya lagi. Mengambil nanas dan menaruhnya kembali. Hingga ia mengangkat daging mentah dan tersenyum riang.
"Sepertinya kamu suka daging. Mau aku masak?"
Tanpa diduga, anak itu langsung melahap daging mentah itu. Gigi-giginya yang tajam mencabik-cabik daging itu dengan liar seolah belum makan beberapa hari. Tubuh Gempa menegang, seketika ia ingat saat kedua orang tuanya dicabik-cabik tepat di hadapannya.
Anak itu menghabiskan dagingnya lalu tersenyum ke arah Gempa seolah berterima kasih. Gempa takut, namun sepertinya ia tidak terlalu takut dengan anak iblis di hadapannya ini. Gempa mengambil sapu tangan di ranjang dan mengelap sisa-sisa darah di mulut dan tangan anak itu.
Anak itu malah terlihat senang. Ia melompat-lompat sebentar lalu memeluk Gempa dari depan. Gempa sempat tersentak namun ia mengelus rambut coklat anak itu. "Karena aku yang memungut dan merawatmu. Kamu tidak akan memakanku bukan?"
Anak itu melihat ke arah Gempa. Manik biru safir dan emas bertemu. Mata biru itu begitu polos dan bersih. Gempa merasa bisa mempercayainya.
"Kau punya nama? Aku tidak bisa terus menerus memanggilmu dengan sebutan 'kau' kan?" Anak itu melepaskan pelukannya lalu duduk manis dihadapan Gempa. Gempa lagi-lagi terkekeh, melihat betapa manisnya anak iblis ini.
Merasa hening yang cukup lama. Sepertinya anak itu tidak memiliki nama. Gempa berpikir sejenak, mencari nama yang cocok untuk bocah iblis dihadapannya.
Gempa melirik kalung berbentuk simbol angin yang terbuat dari perak. "Taufan," sebutnya. Tiba-tiba saja anak itu senang. Sepertinya ia senang karena mendapat nama yang cukup keren.
Ini sudah ke sekian kalinya Gempa tertawa melihat tingkahnya. Anak itu--Taufan terus melompat-lompat lalu terjungkal. Gempa refleks mendekat, mengangkat Taufan yang jatuh ke pangkuannya dan memperhatikan hidung Taufan yang sempat duluan mencium tanah.
Tapi bukannya merasa sakit atau sedih. Taufan malah tersenyum lebar. Gempa mengelus pucuk kepalanya.
"Besok akan kubawakan daging lagi, jadi tunggu disini ya, Taufan." Taufan mengangguk. Tampaknya ia mengerti bahasa manusia.
"Hidungnya sakit?" Taufan menggeleng. Ia lalu turun dari pangkuan Gempa dan menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Gempa kembali terkekeh.
"Jadi anak baik ya disini, jangan keluar dan berbuat nakal."
Taufan duduk, mendengarkan Gempa sambil memasang wajah memelas. Seperti hendak bertanya "kenapa?" kepada Gempa.
"Diluar itu berbahaya, Taufan lihat sendiri kan bagaimana ibu Taufan malam itu? Taufan hanya boleh keluar jika Gempa bilang boleh, oke?"
Taufan mengangguk.
"Anak baik." Gempa mengacak surai coklat itu lalu beranjak keluar. Taufan hanya memperhatikannya dari dalam. Dengan tubuh hanya hanya dilapisi selimut usang berwarna coklat. Ia membawa selimut itu menutupi tubuhnya dan menutup mata safirnya.
Kemudian Gempa menutup pintu itu. Meninggalkan Taufan dalam gelap.
.
.
.
Gempa memasak makan malam sendirian. Kakaknya bilang bahwa ia akan pulang malam. Gempa tidak tahu pasti jam berapa kakaknya akan pulang.
Gempa menaruh hasil masakannya diatas meja makan. Ia duduk, hanya diam sambil menatapi makanannya yang ada diatas meja.
Pikirannya berlabuh pada Taufan. Anak iblis yang ia bawa diam-diam malam itu. Gempa pikir dia bakal dimakan. Namun sepertinya Taufan sama sekali tidak berminat memakan manusia.
Apalagi Gempa sangat penasaran dengan wujud fisiknya itu. Apakah Taufan adalah anak hasil pernikahan silang antara manusia dan iblis? Namun bagaimana caranya? Sedangkan iblis saja menganggap manusia sebagai mangsanya. Kenapa mereka malah mau melakukan hubungan dengan manusia?
Jika benar Taufan adalah campuran. Apakah malam itu ia dikejar karena hal itu? Apakah bangsa iblis sangat tidak menyukai manusia?
Tapi sepertinya itu tidak mungkin. Habisnya, wanita yang memeluk Taufan waktu itu juga sama sepertinya. Berarti wujud seperti Taufan bukan hanya satu tetapi ada banyak.
Gempa memicit dahinya, sepertinya ia terlalu banyak berpikir. Esok akan ia tanya saja pada temannya. Mungkin orang itu tahu mengenai hal ini.
Tok! Tok!
"Gempa."
"Ah, tunggu sebentar."
Gempa beranjak dari tempat duduknya dan terburu-buru menghampiri pintu. Ia membuka pintu dan menyambut kakaknya. "Kakak lama, eh--"
Mata Gempa terpaku pada dua orang prajurit dibelakang kakaknya. Wajah mereka berdua mirip namun yang membedakannya hanyalah gender.
"A--ah! K-kenapa ada prajurit lain kesini kak?"
Apa sudah ketahuan? Secepat ini?
"Oh, mereka akan menginap disini malam ini karena malam ini kami akan mengecek desa."
Gempa rasa jantungnya mulai berdetak tidak normal. "Mengecek desa?"
"Kami mendapat laporan dari prajurit yang bertugas disini, mereka menemukan bangkai iblis ditengah hutan dan mayat wanita." Pemuda disamping Halilintar yang menjawab. Mata hijaunya menatap Gempa penuh selidik. "Apa kau mengetahui sesuatu tentang itu?"
"Ah, t-tidak kok," tukasnya. Ia menyingkir dari ambang pintu. "Masuklah, aku akan menambah porsi."
"Tidak apa, aku dan kak Sai sudah makan." Kali ini perempuan disebelahnya yang menjawab. "Aku akan langsung berkeliling desa."
"Shielda, kita akan pergi setelah makan malam. Berbahaya jika kalian hanya berdua." Halilintar menahan mereka. Akhirnya mereka menurut dan ikut makan bersama. Gempa memasak sebentar, menambah porsi lain untuk dua tamunya.
Mereka makan dalam diam. Gempa merasa penasaran dengan percakapan tadi.
"Anu, apa benar-benar ada bangkai iblis di hutan desa ini?" Gempa memulai pembicaraan. Sai dan Shielda menoleh. Mereka saling bertatapan sebelum Shielda angkat bicara. "Ditemukan pagi hari, diperkirakan kejadian itu terjadi di malam hari."
"Bagaimana dengan mayat wanita itu, dia bukan iblis?" tanya Gempa lagi.
Shielda menaikkan satu alisnya karena pertanyaan Gempa. "Dia manusia, kenapa kau bertanya seperti itu?"
"A-ah tidak, hanya penasaran. Lalu, bagaimana bisa para iblis itu mati?"
Mereka terdiam. Gempa tidak bertanya lagi hingga Halilintar memilih untuk berbicara. Seolah mengingat sesuatu.
"Bukankah malam itu kau dari hutan, Gempa?"
.
.
.
***tbc***
A/n:
Jeng! Gempa keciduk *dikubur*
Akhirnya Gempa memutuskan untuk memelihara... Taufan!
Okeh disebutnya memelihara karena dia anak iblis. Bukan adopsi. Jahat sih tapi gapapa dipelihara aja.
Taufan : "jahat."
Ini masih awal awal sih. Ntar bakal muncul tokoh lain.
Nah, kira kira siapa orang yg dimaksud Gempa itu? Kalian pasti tahu kan? Ituloh yg ituuu //apa sih
Okeyy see you in the next chapter. Babay~
250121
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top