Chapter 19

Tes!

Tes!

Tetesan-tetesan darah itu terus jatuh dari hidungnya, semakin banyak dari biasanya. Taufan menahannya dengan tangan, berusaha menghentikan darah yang keluar dari hidungnya. Taufan memang bisa menyembuhkan orang lain, namun itu tidak berlaku untuk diri sendiri.

Lagi, ia tahu bahwa kali ini ada banyak iblis diluar sana yang berhasil dari segel. Ia sama sekali tidak mengerti, kenapa bisa ada banyak sekali iblis yang keluar setiap harinya. Tubuhnya sudah lelah, hati dan pikirannya juga. Kadangkala iblis bangsawan itu terus-menerus menggodanya untuk mengeluarkannya dari bawah sana.

Meski tawarannya menggoda pun, Taufan tetap harus menolaknya.

"Sakit."

Ia terduduk di atas atap sembari memegangi perut. Kepala ia senderkan ke cerobong asap. Daerah mulutnya dipenuhi darah bekas mimisan tadi.

Halilintar dan Gempa masih ada bersamanya. Mereka tengah tidur di kamar itu.

"Kau masih hidup rupanya."

Suara itu muncul lagi, padahal Taufan sedang berada dalam kondisi yang buruk. Telepati paksa ini membuat tubuhnya semakin lemas dan cepatnya berkurang energi yang dia punya. Meski memang energinya berbagi dengan iblis bangsawan di dunia bawah, tak ada jaminan dirinya takkan kehabisan energi.

Enyahlah, aku malas berbincang denganmu."

Taufan menutup mata, berusaha meredakan rasa sakit yang ia alami.

"Lucu melihat kau berjuang seperti ini. Tidakkah kau berlebihan? Kau dengar sendiri apa yang prajurit itu katakan."

Taufan berdecih, ia takkan bisa tidur malam ini.

"Dari awal aku kesini karena sebuah tugas. Ini bukan hanya tentang aku dan Gempa."

Suara tawa terdengar membahana di ujung suara. Membuat Taufan lagi-lagi berdecih.

"Perasaan takkan bisa menipu. Kenapa kau tidak mencoba saja bawa dia pergi?"

"Omong kosong!"

Taufan meringis. Pandangannya buram, ia benar-benar tidak ada lagi kekuatan untuk berdiri dan membasmi para iblis yang berhasil keluar lagi. Ia meringkuk, mencoba menahan rasa sakit yang ada sembari mempertahankan kesadaran. Meski tahu bahwa hal itu sia-sia.

Terdengar tawa samar dari kepalanya.

"Selamat tidur, iblis kecilku."

Dan pandangan Taufan pun menggelap seketika.

.

.

.

Gempa terbangun tepat sebelum fajar menyingsing dan merasa harus keluar. Ia memperhatikan kakaknya yang masih tertidur lelap di ranjang dengan nafas teratur. Tapi saat ia melihat ke sampingnya, ia tidak menemukan Taufan.

"Taufan sudah bangun duluan?"

Gempa bangkit. Ia berjalan keluar dari kamar sembari menyusuri rumah pohon yang kecil ini. Namun tetap tidak menemukan Taufan di mana-mana.

Nuraninya lantas membawanya ke atas atap lewat loteng. Awalnya karena gelap, ia tak bisa melihat apapun. Namun matanya memicing curiga terhadap sesuatu yang bersender di balik cerobong asap.

"S-siapa itu?" tanyanya gagap. Namun menunggu sekalipun, ia tak kunjung mendapatkan jawaban. Gempa memberanikan diri naik lebih jauh dan menghampiri sosok itu.

"Taufan?!" Alangkah terkejutnya Gempa saat menemukan Taufan yang tergeletak tak sadarkan diri dengan darah bercecer dari hidung dan mulutnya. Dengan panik, Gempa menggeser tubuh Taufan agar tidak mengenai darah yang menggenang.

Tahu jika dirinya tak bisa mengangkat Taufan sendirian. Terpaksa ia turun lagi ke bawah untuk memanggil kakaknya, meski ia tahu bahwa kakaknya sedang dalam tahap masa penyembuhan.

"Kak Hali! Kak bangun! Tolongin Gempa!"

Halilintar terbangun, ia menyesuaikan pandangan dahulu. Lalu menatap adiknya yang panik, "Ada apa, Gem?"

"Taufan! Dia tak sadarkan diri di atas atap! Aku tak bisa membawanya sendirian ke bawah." Bukan mengapa, selain tubuh Taufan yang kini jauh lebih tinggi darinya, ia juga takut malah terjatuh nantinya jika menyeret Taufan begitu saja.

Halilintar yang mendengar hal itu pun langsung tergerak. Ia naik ke atas atap melewati loteng dan terkejut menemukan Taufan dalam keadaan seperti ini. Gempa menatap dengan khawatir. Halilintar langsung menggendong Taufan dan segera turun ke bawah.

Gempa mengikuti, begitu Halilintar meletakkan Taufan di atas ranjang, Gempa buru-buru mengambil baskom dan air beserta handuk. Ia membersihkan darah yang mengotori wajah serta tubuh Taufan.

Halilintar mengerutkan dahi. "Kenapa dia bisa jadi seperti ini?"

Selesai membersihkan, Gempa terdiam mendengar pertanyaan kakaknya. "Sudah lama."

"Huh?"

"Sudah lama Taufan sering mimisan tiba-tiba seperti ini, namun semakin lama semakin parah. Taufan akan menjadi segel baru bukan? Aku menduga jika ia seperti itu karena iblis-iblis yang keluar paksa dari segel." Gempa mulai berteori. Setelah melihat beberapa hari jauh ke belakang, ia mendapat beberapa kesimpulan. Soal iblis yang selalu muncul apabila Taufan mimisan, lalu hal lain sebagaimana.

"Padahal dia belum menjadi segelnya." Gempa menggigit bibirnya kesal. Halilintar hanya menunduk, tidak tahu jika adiknya dan Taufan sedekat ini.

"Lalu, bagaimana menurutmu soal dia yang akan menjadi segel. Mengorbankan diri demi umat manusia?" tanya Halilintar agak ragu. Gempa memandang keluar jendela dengan pandangan yang jauh, seolah memandang masa depan. "Aku ingin Taufan tak mengorbankan dirinya. Aku ingin Taufan selalu bersamaku. Aku tahu aku egois tapi ..." Tubuh Gempa bergetar, ia sangat tak suka memikirkan hal ini. "Dia harus melakukannya demi menyelamatkan umat manusia."

Sebuah kenyataan pahit terucap lirih dari mulutnya. Gempa sangat enggan, tapi ia tak bisa berbuat apapun. Ia bersyukur bertemu Taufan hari itu dan membuatnya mengerti beberapa hal.

"Gempa."

Gempa tersentak. Ia langsung menoleh ke arah Taufan yang ternyata sudah siuman. Baru saja hendak tersenyum lebar sebelum Taufan mengucapkan sesuatu.

"Kalian harus pulang, sekarang."

.

.

.

"Sudah, apa masih ada iblis lagi?!" Kaizo berteriak, pasukannya menjawab dengan tidak adanya lagi iblis lain di sekitar.

Ocho turun dari kuda dan menghampiri salah satu bangkai iblis tersebut. Memperhatikan bagian-bagian tubuh lalu menyentuh-nyentuhnya dengan tangan yang telah memakai sarung tangan.

"Ada apa?" Kaizo datang menghampiri, merasa heran dengan kelakuan bocah pirang ini. Ocho berdiri, menggelengkan kepala. "Tidak ada, hanya sedikit penasaran."

Meski sekilas, ia bisa melihat kemarahan di wajah Ocho. Wajah yang biasanya tersenyum tipis itu selalu saja berubah dingin dan datar ketika melihat iblis. Seolah ada sesuatu yang menyebabkannya jadi seperti ini. Dulunya Ocho itu mengikuti pelatihan militer khusus secara sukarela, namun karena tubuhnya memang lemah, ia pun gagal. Namun melihat kemampuan bicaranya yang dapat memanipulasi lawan serta pandai, dia diangkat menjadi peneliti tentang seluk beluk iblis.

"Ukh!" Ocho terlihat kesal karena tidak bisa menaiki kuda. Tubuhnya memang terlalu pendek, dan kadang kesusahan ketika menaiki kuda sendirian.

Kaizo terkekeh, ia mengangkat tubuh bocah kecil itu dan menaruhnya di atas kuda. "Seharusnya kau naik kereta kuda saja."

Ocho cemberut. "Itu malah akan jadi aneh ketika kita datang untuk melawan iblis, pasti akan jadi bahan ejekan nantinya." Ia memegang tali kuda erat-erat. Tidak mau jatuh karena kecerobohannya.

"Kalau gitu tambahkan tinggi badanmu, kau seharusnya sudah cukup tinggi dengan umurmu sekarang," tutur Kaizo. "Jangan menghina, ini hanya ciri khas keluarga."

"Keluarga, hm?" gumam Kaizo. Ocho hanya memalingkan wajah, tidak mau melanjutkan pembicaraan dengan lelaki bersurai biru tua ini.

"Kapten!"

Mereka berdua tersentak. Hampir semua pasukan menoleh ke asal suara dan menemukan orang yang mereka cari. Halilintar dan Gempa, mereka berdiri di sana.

"Halilintar?" Kaizo langsung cepat menyuruh seluruh pasukan untuk menghampiri Halilintar dan Ocho. Mereka juga turut mendekati Halilintar yang berjalan tertatih, di papah oleh Gempa. Itu hanya akal-akalan, agar mereka tidak terlalu mencurigai Halilintar dan Gempa nantinya.

"Kau ... baik-baik saja?!" Kaizo memasang raut tak percaya. Ia pikir Halilintar akan tewas mengingat iblis adalah makhluk jahat yang suka membantai umat manusia. Namun melihat Halilintar yang baik-baik saja, membuat Kaizo menghela nafas lega.

"Sepertinya Gempa berhasil menyelamatkanmu, huh?" ejek Kaizo bercanda. Gempa terkekeh kecil, Halilintar hanya mendengkus kesal karena adiknya benar-benar nekat.

"Kalian baik-baik saja ya." Ocho muncul dibalik Kaizo. Matanya memicing dari atas hingga bawah dengan tatapan meneliti.

"Kalau begitu kita harus segera pulang," ujar Kaizo, memberi arahan pada pasukan untuk segera mundur. Ocho tersenyum menyeringai, seolah memikirkan sesuatu.

"Tunggu, tidakkah bisa kita berbincang sebentar?"

Mereka terdiam, saling memandang sebelum mengangguk. Ocho menarik Gempa menjauh dari Halilintar, Kaizo langsung gantian memapah Halilintar. Gempa hanya mengikuti dengan raut bingung, hingga jarak mereka bertaut sekitar 3 meter.

"Uh, ada apa?" tanya Gempa dengan agak ragu. Ocho hanya diam, lalu mendudukkan Gempa di atas sebuah batu datar. Lalu mendekapnya dari belakang. Halilintar merasa curiga dengan gerak-gerik dari Ocho.

Ocho tersenyum, "Kita harus mendiskusikan beberapa hal sebelum pulang."

"Apa itu?" tanya Kaizo. Prajurit lain hanya memperhatikan.

Ocho pun mengeluarkan sebuah belati dari pakaiannya dan mengarahkannya ke leher Gempa. "Tentang Taufan contohnya~"

Mata Halilintar membulat, "Apa yang kau lakukan?!!" pekiknya. Kaizo ikut-ikutan bersuara, "Apa maksudmu Ocho? Letakkan senjata itu, berbahaya."

"Sudah kubilang, kita harus mendiskusikan tentang Taufan terlebih dahulu." Ocho tiba-tiba mengangkat belati itu dan mengayunkan belatinya dengan cepat ke arah Gempa. Halilintar tidak tinggal diam, dia langsung berlari dan menahan tusukan belati itu dengan tangannya.

"Kak Hali!!" teriak Gempa. Cipratan darah itu mengenai wajah Gempa. Halilintar menggeram tertahan. Sedangkan Ocho menunjukkan ekspresi kemenangan.

"Apa yang kau lakukan, Ocho?!" Kaizo terkejut. Pasukan lain juga terkejut namun memilih untuk diam di tempat.

"Bukankah kau tadi pincang? Kenapa larimu cepat sekali?"

Tubuh Halilintar dan Gempa sontak menegang. Ocho mencabut belati itu dari tangan Halilintar.

"Hentikan, Ocho! Kenapa kamu melakukan itu? Kau bisa dihukum atas pasal penyanderaan!" Kaizo langsung berlari mendekat. Berusaha memisahkan sebelum Ocho mengacungkan belati itu pada Kaizo.

"Aku yang akan dapat hukum atas pasal penyanderaan atau kalian yang akan dapat hukum atas pasal persekutuan dengan bangsa iblis? Hm?" Ocho malah berbalik mengancam dengan senyum menyeringai miliknya.

"Apa maksudmu?"

"Kau tidak sadar, Kapten?" Mata biru bocah itu menatap lekat ke manik merah kaptennya. "Halilintar dan Gempa jelas menyembunyikan sesuatu tentang si iblis biru itu."

"Apa-apaan tuduhan tidak masuk akalmu itu?" Halilintar langsung menyela dengan amarah tertahan. Ocho malah tertawa dengan ancaman Halilintar.

"Tuduhan tidak masuk akal? Baiklah, mari kita lihat apakah sepupumu yang jenius itu baik-baik saja?"

Mata Gempa langsung melotot. "Solar? Apa yang kau lakukan pada Solar?!"

Ocho lagi-lagi hanya tersenyum misterius. "Hanya berbisnis dengannya dan saudaranya. Dan kali ini aku ingin berbisnis denganmu, bisakah kau memanggilkan Taufan untukku? Dengan begitu, kau dan saudaramu tidak akan dihantui oleh hukum kerajaan, bagaimana?"

.

.

.

***tbc***

A/n:

Taufan semakin sekarat dan waktunya makin mepet.

Ocho ternyata lebih licik dari dugaan.

Dan para prajurit tidak bisa menangkapnya karena sebuah pasal peraturan dari kerajaan. Dan Ocho lepas dari pasal penyanderaan karena berniat menangkap iblis dan hal itu memang pekerjaannya.

Dan tawaran Ocho sedikit mengerikan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top