Chapter 17
Semilir angin menggoyangkan surai coklatnya. Ia berlari tergesa-gesa keluar dari rumah sepupunya tanpa diketahui siapapun. Demi menyelamatkan sang kakak tersayang, hal itu akan dia lakukan senang hati.
Ia tahu dirinya sangat ceroboh. Meski telah berhasil menemukan kakaknya pun, dirinya takkan bisa mengalahkan iblis-iblis itu. Dan kemungkinan dirinya akan dijadikan bahan makanan juga oleh iblis itu.
Namun itu tidak mengurangi tekadnya untuk tetap menyelamatkan sang kakak. Ia bahkan telah bersiap dengan membawa pisau dan ketapel. Entah berguna atau tidak, dia akan mencobanya baru tahu.
Melihat dirinya yang sudah cukup jauh dari pemukiman sepupunya. Ia berhenti sebentar lalu menarik nafas panjang. Mengatur nafasnya yang ngos-ngosan karena berusaha tidak ketahuan oleh para penjaga.
Di waktu pagi buta seperti ini, entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Ia lalu mengambil pisau dari tas kecilnya untuk berjaga-jaga dan masuk ke dalam hutan.
Cahaya matahari yang belum muncul mengakibatkan minimnya cahaya. Sesekali Gempa hampir terpeleset karena tanah yang masih basah. Atau embun yang masih segar diantara banyaknya dedaunan.
"Uh, Kak Hali dimana ya?"
Gempa merenggut sebal ketika ingat bahwa dirinya tidak tahu info apa-apa mengenai kakaknya. Hanya mengetahui bahwa kakaknya di culik oleh gerombolan iblis dan dibawa entah kemana. Gempa hanya menebak-nebak jika para iblis itu akan membawanya ke hutan. Namun bahkan ia sendiri tidak tahu hutan yang mana. Satu hutan saja terlalu luas untuk dicari sendiri. Gempa benar-benar naif kali ini.
Lereng semakin curam. Meski sudah bisa melihat dengan jelas jalanan. Itu tidak mengurangi kemungkinan bahwa Gempa akan terjatuh.
"Akh!"
Tepat sesuai dugaan, Gempa benar-benar terpeleset dan terguling jatuh ke bawah. Badannya berhenti terguling saat menabrak sebuah pohon besar.
Dengan tertatih, ia berusaha berdiri dan beranjak dari sana. Melihat bahwa ia harus benar-benar keluar dari hutan ini jika tidak ingin mati konyol.
Jalannya membawanya keluar dari hutan menuju hamparan rumput luas. Ia melihat kanan dan kiri. Sebuah tempat yang cukup luas dan dirasa aman untuk berjalan sendirian. Segera ia lanjutkan perjalanan sambil mengeratkan pisau di genggaman.
Bukan Gempa namanya jika tidak menemukan sesuatu di jalanan. Tepat setelah berjalan beberapa kilometer dari hutan. Suara geraman terdengar dan siapa sangka itu adalah iblis.
I-iblis?!
Gempa mengacungkan senjatanya ke arah iblis itu. Namun bukannya takut, iblis itu malah bersiap-siap hendak menerkam Gempa. Ia menggeram, melalui gigi taringnya, dapat dilihat air liur yang menetes.
"K-kembalikan Kak Hali!!"
Tentu saja Gempa juga tidak tahu iblis bagaimana yang membawa kakaknya. Dirinya bukanlah Sai atau Ice yang mampu mencium bau iblis, atau bahkan membedakan setiap iblis dengan aroma.
Iblis itu melompat lalu menyerang. Gempa langsung berbalik dan berlari. Tahu jika dirinya tidak akan menang duel satu lawan satu melawan iblis. Bukannya menyerah, justru iblis itu semakin gencar mengejar Gempa.
Sialnya, muncul iblis lain dari sisi yang berlawanan. Dua iblis telah mengepungnya dan ia tidak bisa apa-apa. Kakinya bergetar karena takut. Pisau itu bahkan hampir lepas jika tidak dipegang dengan kuat. Posisi Gempa saat ini benar-benar cari mati.
Shuuu!
Angin kuat tiba-tiba muncul. Dan dirinya bisa melihat sosok yang telah lama tidak ia jumpai. Iblis kecil yang ia rindukan, kini bahkan telah tumbuh lebih tinggi darinya. Taufan tersenyum simpul di hadapan Gempa.
"T-Taufan..."
"Graaa!!" Iblis itu menyerang. Taufan langsung menggerakkan tangannya untuk mengendalikan angin dan melukai iblis itu dengan sabetan angin. Namun entah karena iblis itu yang gesit, angin Taufan tidak memotong habis lehernya.
Taufan ikut menyerang kedua iblis itu dengan hati-hati agar Gempa tak ikut terkena angin tajamnya. Tangan Taufan bergerak kesana-kemari untuk mengendalikan angin-angin itu dan dengan gesit pula kedua iblis itu menghindar seolah telah mempelajarinya.
Salah satu iblis menembakkan cairan beracun ke arah Gempa. Taufan sigap menjadi tameng dan membiarkan tangan kanannya menjadi korban. Terlihat tangan kanannya yang mulai mencair karena cairan beracun itu.
Taufan terjatuh, bukannya lemah, ia kemarin baru saja menghabiskan energinya untuk menyembuhkan Halilintar. Lalu malamnya mengalahkan hampir 7 iblis yang keluar dari segel. Dan pagi ini menemukan dua iblis hendak memakan Gempa. Taufan sama sekali belum cukup istirahat dan tenaganya belum pulih.
Kedua iblis itu melompat bersamaan untuk menyerang Gempa. Taufan sudah benar-benar murka. Dengan matanya yang menyala memancarkan cahaya biru. Tangan kirinya ia gerakkan dan seketika angin-angin itu mengelilingi kedua tubuh iblis itu.
Dan saat Taufan menggenggam tangan kirinya. Kedua iblis itu hancur bagai di penyet. Darah iblis itu muncrat kemana-mana bahkan mengenai Gempa. Mata Gempa melotot melihat kejadian itu. Hampir pingsan jika tak ingat Taufan di sampingnya tengah sekarat.
Taufan tentu bisa memulihkan diri. Tetapi cairan beracun ini membuat pemulihan tubuhnya menjadi lambat dan menghabiskan banyak energi.
Bruk!
"Taufan?"
Taufan terbaring di rerumputan dan terlihat tidak berdaya. Gempa langsung panik. Ia mengecek suhu tubuh Taufan, lalu merasakan nafas Taufan yang tiba-tiba jadi terputus-putus.
"Uh, n-nafasnya."
Gempa berusaha menekan dada Taufan. Berharap ia bisa bernafas dengan lancar. Namun tetap saja nafas Taufan terputus-putus. Tangannya masih memulihkan diri tanda ia belum mati namun tetap saja itu membahayakan.
Salah satu yang bisa ia lakukan sebagai pertolongan pertama.
"Nafas buatan!"
Gempa langsung membuka mulut Taufan dengan tangannya dan menempelkan bibirnya disana. Memberikan nafas bantuan, berharap Taufan membaik. Ia melepas lalu menekan-nekan dada Taufan lagi. Lalu kembali memberikan nafas buatan. Hingga akhirnya ia berhenti saat nafas Taufan mulai normal.
Dada Taufan naik turun dengan teratur. Tapi mata Taufan belum terbuka, masih tak sadarkan diri. Tangannya masih terus menyembuhkan diri hingga selesai. Gempa mengeluarkan beberapa tanaman obat yang ia bawa dari rumah untuk berjaga-jaga.
"Eh bagaimana caranya dia meminumnya? Disini tidak ada air dan aku tidak bisa mengulek daunnya."
Ia harus memberikan tanaman obat itu untuk Taufan. Setidaknya itu akan membuat pernafasannya lancar. Namun masalah itu yang terjadi. Dan Gempa tidak tahu dimana sungai berada. Apalagi dirinya tidak bisa meninggalkan Taufan sendirian disini.
"Selama masih ada aku, tanaman obat ini masih bisa kuolah." Lalu ia memasukkan beberapa helai daun tanaman tadi ke mulutnya. Mengunyahnya untuk menghancurkan daun itu dan membuatnya mudah tertelan. Setidaknya Gempa harus mendapatkan intisari tanaman tersebut meski sedikit.
Jangan tertelan! Jangan tertelan!
Gempa kembali membuka mulut Taufan.
Semoga kau sadar, Taufan.
.
.
.
Terik sinar matahari yang membuat tubuh panas menandakan jika hari sudah siang. Gempa masih setia menunggu Taufan terbangun. Tadi Gempa menyeret Taufan agar mereka pindah ke bawah pohon rindang.
Taufan masih setia dengan tidurnya. Gempa memandangi wajah itu lekat.
"Padahal saat kutemukan waktu itu, kau sangat kecil. Sekarang kau bahkan tumbuh lebih tinggi dariku." Gempa terkekeh mengingat Taufan yang dulunya masih mungil. Ia terbiasa menggendong Taufan, tapi kalau sekarang, yang ada dirinya yang digendong oleh Taufan.
Tinggi Taufan memang tidak menyamai kakaknya si Halilintar. Namun memang lebih tinggi dari Gempa. Gempa rasa, Taufan tingginya hampir sama dengan Fang, lelaki yang ikut menginap di rumah Solar.
Gempa dengan lembut mengelus surai coklat milik Taufan. Ia tertawa lirih, "Andaikan kau manusia."
Gempa tahu ia berharap hal yang tidak mungkin terjadi. Taufan adalah iblis yang dikirim kaumnya untuk kembali menyegel kaumnya sendiri di bawah tanah. Sedangkan dirinya hanyalah anak biasa, anak seorang ksatria pasukan khusus untuk membasmi iblis.
Mau apapun yang terjadi, mereka berdua takkan bisa bersatu.
Taufan membuka mata. Mencoba mengerjap beberapa kali hingga matanya menyesuaikan cahaya.
"Ah, kau sudah bangun." Gempa menyambut bangun tidurnya dengan senyum hangat. Tanpa aba-aba, Taufan menghambur ke pelukannya Gempa. Membawa tubuh kecil Gempa ke dalam dekapannya.
"Aku rindu."
"Eh?" Gempa terdiam sebentar. Ia yakin disini hanya ada dirinya dan Taufan. Suara siapa yang dia dengar tadi?
Atau jangan-jangan—
"Taufan, kau berbicara?"
Taufan melepas pelukannya lalu menatap Gempa bingung.
"Mana mungkin, aku kan bisu."
"Eh? I-itu benar-benar suaramu?" Gempa bisa melihat bahwa mulut Taufan tertutup. Tapi Gempa benar-benar mendengar seolah Taufan berbicara.
"...mana mungkin Gempa bisa mendengar suaraku."
"Aku bisa loh."
Hening melanda. Taufan menatap Gempa dengan raut tak percaya.
"Beneran?"
Gempa mengangguk. "Itu suara hatimu? Kok aku bisa dengar?"
Taufan teringat sesuatu. "Jangan-jangan..."
Gempa penasaran. "Jangan-jangan apa?"
"Gem! Apa yang kau lakukan tadi padaku saat aku tertidur?!"
Gempa tampak berpikir. "Aku memberikan nafas buatan dan memberikan obat, kenapa?"
"Berapa kali melakukan nafas buatan?"
"Hanya dua kali. Lalu memberikan obat lewat mulut—eh, Taufan? Kenapa wajahmu memerah? Kau sakit?"
Seluruh wajah Taufan memerah. Ia lalu menutupnya karena malu.
"Kau bisa jelaskan kenapa ini bisa terjadi?"
Meski enggan, Taufan akhirnya menjelaskan. "Karena kau telah melakukan kontak fisik denganku, kau jadi bisa membaca pikiranku."
"Eh benarkah?" Gempa tersenyum senang. Pasalnya, ia akhirnya bisa mendengar suara Taufan meski hanya di dalam hati. Dan Gempa melupakan fakta bahwa itu terjadi karena dirinya yang memberikan nafas buatan.
"Tapi ini terbatas. Karena Gempa melakukannya 3 kali maka hal ini hanya akan bisa bertahan sampai 6 hari."
Gempa berpikir sejenak. "Aku bisa melakukannya karena melakukan kontak fisik kan?"
Taufan mengangguk.
"Kalau gitu aku tinggal melakukannya lagi," ujar Gempa dengan mudahnya. Tanpa mengetahui jika Taufan kembali pingsan akibat ulahnya.
"Eh Taufan? Apa perlu kuberikan nafas buatan lagi?"
"Aaaaa!! Jangan!!"
Taufan langsung bangkit lagi. Gempa lantas terkekeh melihatnya. Taufan menarik Gempa mendekat, lalu mendaratkan kepalanya ke bahu Gempa.
"Aku rindu Gemgem loh, sangaaaaat rindu."
Gempa tersenyum tipis. Lalu mengelus surai iblis itu dengan halus. "Gempa juga, rindu dengan Taufan."
"Taufan mau selalu bersama Gempa."
"Aku juga."
.
.
.
***tbc***
A/n:
Dan chapter ini dipenuhi dengan Taufan dan Gempa tanpa ada karakter lain.
Gemes liat mereka gini, aww 💙
Tenang, cuma sebatas ini kok. Karena Taufan mau *ekhem* yahh tau lah dia kan mau ngapain di dunia manusia.
Okeh segini dulu, see you~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top