Chapter 16

Halilintar dan pasukannya terburu-buru berlari saat mendengar bahwa sebuah desa telah diserang oleh sekumpulan iblis. Sesampainya di sana, mereka bisa menemukan sejumlah iblis tingkat A yang sudah membunuh banyak warga desa. Dengan cepat, mereka mulai melawan iblis itu satu-persatu.

Berbeda dengan iblis-iblis sebelumnya. Iblis kali ini memiliki akal dan mampu menghalau serangan para prajurit. Dengan gerakan lincah dan kekuatan mereka, para iblis berhasil memporak-porandakan para prajurit.

"Cepat! Evakuasi warga!" Kaizo berteriak kencang. Sai dan Shielda yang berada di garis belakang segera membantu para warga yang selamat dan memasukkan mereka dalam kereta kuda yang besar. Lalu kereta kuda itu membawa para warga tersebut pergi. Hingga semua warga berhasil di evakuasi. Para prajurit pun mengerahkan semua kekuatannya untuk melawan para iblis tingkat A.

"Kapten! Banyak prajurit garis depan yang tewas!" Salah satu anak buah menghampiri Kaizo. Kaizo sendiri terlihat bingung, ia menghadap Shielda dan Sai. "Shielda! Sai! Bagaimana dengan semua warga?"

"Siap kapten! Semuanya sudah di evakuasi!"

"Cepat panggil bantuan! Kita butuh lebih banyak prajurit!" tegas Kaizo. Anak buah tadi langsung berlari pergi dengan kuda untuk melapor pada kerajaan dan membawa tentara prajurit sebanyak mungkin.

Sekarang mereka benar-benar kewalahan. Sudah banyak prajurit mereka yang tewas. Halilintar, Kaizo, Sai dan Shielda masih tetap bertarung.

Punggung Halilintar bertubrukan dengan punggung Kaizo. Mereka saling memunggungi sambil menjaga jarak aman dari serangan iblis. "Mereka terlalu kuat," ujar Halilintar disela suara ngos-ngosannya.

"Tak apa, kita hanya perlu mengulur waktu sampai bala bantuan datang." Kaizo berusaha tenang. Meski tubuhnya sama sekali tidak mencerminkan nada suaranya. Mereka mulai bergerak lagi, menebas bagian apa saja dari para iblis agar mereka tak bergerak. Dari kelima iblis yang ada, baru dua yang bisa ditumbangkan oleh mereka.

Sai tiba-tiba lengah. Ia melepas penjagaannya dan melihat kiri kanan dengan khawatir. Salah satu iblis memanfaatkan kelengahannya itu. "Sai! Awas!" seru Shielda berteriak kencang sambil berusaha berlari ke arah kakaknya tersebut. Namun ia kalah cepat, Sai sudah lebih dulu dihempas hingga terpental jauh menabrak salah satu rumah.

"SAI!!" Shielda langsung saja menghampiri Sai yang tertimpa runtuhan bangunan. Mengangkat satu-persatu bongkahan tersebut untuk mengeluarkan saudaranya. Namun iblis itu kembali mendekat, merasa belum puas hanya karena berhasil menghempaskan Sai saja.

Halilintar langsung gerak cepat. Ia berhasil tiba dan menghalau pukulan si iblis yang hendak meratakan Shielda dan Sai. Iblis itu menggeram marah, lalu kembali menyerang Halilintar dengan ganas. Kaizo menangani satu iblis. Dan sebuah masalah terjadi ketika sisa iblisnya juga mengincar Halilintar.

Shielda menarik Sai dari reruntuhan. Menepuk-nepuk pipi Sai agar dia bangun. Sai terbatuk-batuk dan menatap Shielda dengan lemah. "H-hati-hati... A...da I-iblis lain..." Sai kembali terbatuk-batuk. Meringis memegangi perutnya yang tersobek dan mengeluarkan banyak darah. Shielda langsung merobek kain pada roknya dan mengikat perut Sai. Setidaknya untuk menahan darah itu meski sementara.

Halilintar kewalahan menangani dua iblis sekaligus. Para prajurit lain yang hendak membantu Halilintar selalu dihempaskan dengan mudah. Bau anyir darah dan mayat, ada dimana-mana.

Iblis itu menggeram. Menyerang Halilintar secara bersamaan. Halilintar menangkis satu, namun satunya berhasil menghempaskan Halilintar hingga ia terpental.

"Halilintar!" teriak Kaizo khawatir. Sebenarnya Kaizo juga harus mengkhawatirkan dirinya sendiri karena tubuhnya sudah bergetar karena kelelahan.

Halilintar berdiri. "Aku tidak apa-ap—akh!"

Belum menyelesaikan kalimatnya. Sebuah panah yang dilemparkan iblis itu dari jarak jauh secara sukses menembus di badan pemuda itu. Kedua iblis itu tertawa kesetanan. Lalu menghampiri Halilintar yang tidak sanggup bergerak karena panah yang menusuk perutnya.

Salah satu iblis tadi menarik paksa panah di tubuh Halilintar hingga Halilintar menjerit kesakitan. Kedua iblis itu masih tertawa. Halilintar ambruk, panah itu tercabut dan darah mengalir dengan deras melalui lubang di perutnya. Rasanya pandangannya mulai berkunang-kunang dan kesadarannya sudah menipis.

Kaizo berteriak-teriak. Kaizo sendiri masih berurusan dengan satu iblis itu. Tiba-tiba saja iblis itu semacam mengaum untuk memberi tanda. Sontak kedua iblis yang bermain-main dengan Halilintar pun berhenti dan terkejut. Para iblis itu mulai was-was.

Iblis yang melawan kaizo tadi langsung saja menendang tanah dan membuat pandangan Kaizo jadi kabur. Lalu, ketiga iblis tadi tiba-tiba saja kabur terbirit-birit. Tak lupa dengan salah satu iblis tersebut yang malah membawa Halilintar yang sekarat di atas pundaknya.

"Uhuk uhuk! Tidak, Halilintar... Uhuk!" Kaizo lemas. Namun sesaat setelah pandangannya pulih. Ia menghampiri Sai dan Shielda.

"Kapan bala bantuan datang?!" tanya Shielda tak sabaran. Kaizo menyuruhnya sabar. Kaizo bahkan membantu Shielda menahan darah yang keluar dari Sai.

"Bagaimana dengan Halilintar, Kapten?"

Kaizo tampak ragu. Ia sendiri takkan bisa mengejar ketiga iblis itu. Para bala bantuan pun sepertinya takkan cukup untuk melawan tiga monster tersebut dan membawa Halilintar kembali.

Kaizo menghela nafas panjang. "Kita susun rencana dulu, ayo mundur."

.

.

.

"Akh!"

Halilintar dihempaskan begitu saja di atas tanah. Di antara kesadarannya yang berkunang-kunang. Ia bisa melihat tiga iblis lain bergerombol dan membicarakan sesuatu. Tapi Halilintar sama sekali tidak mengerti karena para iblis itu berbicara dengan bahasa iblis.

Salah satu iblis melirik-lirik ke arah Halilintar yang terbaring lemah di lantai. Lalu ia mengambil Halilintar dan membawa lagi Halilintar entah kemana.

Tubuh Halilintar benar-benar sakit. Halilintar tidak sanggup berdiri lagi. Pedangnya bahkan ketinggalan di tempat sebelumnya. Tubuhnya sudah terasa dingin.

Tiba-tiba para iblis itu was-was lagi. Mereka langsung lari terburu-buru dengan dirinya yang dibawa paling depan. Dari depan, Halilintar bisa melihat angin kencang yang tiba-tiba berhembus kuat. Dua iblis di belakangnya tiba-tiba saja kehilangan kepala.

"Graaaaaaa!!" Iblis yang tersisa itu mengaum marah. Muncul sosok iblis buronan yang dicari-cari itu ke kedua mayat dengan jantung di masing-masing tangannya.

Taufan memecah jantung itu dengan sedikit tekanan. Lalu berjalan pelan menuju ke arah iblis yang marah itu. Tiba-tiba Iblis itu langsung membanting Halilintar ke bawah kakinya dan mengancam akan menusuk Halilintar dengan jarinya jika Taufan berhenti. Taufan sontak berhenti, menatap terkejut karena tidak sadar ada Halilintar yang dibawa sedari tadi.

Iblis itu kembali berbicara dengan bahasa yang tidak di pahami. Taufan masih tidak bergeming di tempat. Kemudian ia menyeringai, membentuk kurva sabit di wajahnya.

Bruk!

Tubuh Iblis itu sudah terbelah menjadi empat begitu saja. Taufan mendekat dan mengambil jantung iblis itu lalu memecahkannya.

Halilintar berusaha untuk bergerak. Sekujur tubuhnya sakit semua. Seperti dihantam ribuan pisau, ia kembali jatuh ke tanah.

"Ugh..."

Taufan berjongkok. Memperhatikan luka menganga di perut Halilintar. Ia memutuskan untuk membawa Halilintar. Tubuh Taufan sudah menjadi lebih tinggi, ia bisa mengangkat Halilintar ke bahunya dengan mudah. Lalu menggendong Halilintar yang sekarat itu dengan gaya layaknya menggendong karung beras.

Hanya dengan hembusan angin. Mereka tiba dalam sekejap ke tempat lain. Sebuah rumah terpencil di tengah hutan yang tidak terurus. Taufan membaringkan Halilintar dengan pelan di atas ranjang tidur.

Taufan berlari keluar, lalu kembali dengan dedaunan di tangannya. Melepas baju besi Halilintar hingga terlihat tubuhnya yang dipenuhi luka.

Dengan pelan, Taufan menyentuhkan tangannya ke atas perut Halilintar yang terluka itu. Halilintar meringis tatkala jari jari itu menyentuh lukanya. Taufan lalu memejamkan mata, dan kedua tangannya mulai bersinar biru untuk menyembuhkan Halilintar.

Kesadaran Halilintar mulai pulih. Ia merasa tubuhnya mulai menghangat dan rasa nyaman yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia bisa melihat Taufan yang fokus menyembuhkannya.

Tes!

Darah mengucur dari hidung Taufan. Taufan terbelalak kaget. Segera ia lap darah tersebut dengan tangannya. Lalu kembali fokus menyembuhkan Halilintar hingga lukanya menutup sempurna.

"Hei! Apa yang kau lakukan?!" bentak Halilintar marah. Ia menarik satu tangan Taufan dan membuatnya berhenti menyembuhkan. Taufan yang tidak siap itu akhirnya terhuyung dan jatuh ke bawah dengan posisi tangannya yang masih di tahan.

Halilintar bisa melihat dengan jelas. Luka yang tadinya menganga kini sudah tertutup. Sama persis dengan kejadian pada Fang tadi malam.

Taufan terbatuk-batuk. Halilintar yang awalnya marah kini mulai melunak. Ia paksakan tubuhnya turun dari ranjang dan membantu Taufan duduk di atas ranjang. Wajah Taufan pucat, entah apa yang terjadi padanya.

Mendengar Taufan terbatuk namun tidak bersuara itu, membuat Halilintar sadar akan satu hal.

"Kau... Bisu?"

Tak disangka sama sekali oleh Halilintar bahwa iblis di hadapannya ini bisu. Taufan mengangguk lemah.

.

.

.

"A-apa?"

Gempa yang baru saja mendapatkan felling buruk kini benar-benar merasa hampa tatkala mendengar bahwa kakaknya dibawa pergi oleh gerombolan iblis yang menyerang desa.

"Lalu kenapa?! Kenapa kalian tidak menyelamatkan kakakku?!" Gempa berteriak marah. Kaizo hanya menunduk, "Kami tidak terlalu kuat untuk melawan iblis tingkat A itu."

Gempa berteriak frustasi. Blaze dan Ice memeluknya dengan upaya untuk menenangkan sepupunya yang satu ini. "Tidak! Kak Hali pasti ... bawa kak Hali kembali, kumohon!!"

"Kak ..." Ice menunduk sedih.

"Biarkan aku pergi! Aku akan menyelamatkan kakakku sendirian! Minggir!!" Gempa memberontak. Membuat Blaze dan Ice sampai terjatuh karena dorongan dari Gempa. Kaizo menahan tangannya, "Jangan! Berbahaya!"

"Aku tidak peduli! Kakakku hanya dia! Aku ... aku tidak mau kehilangan lagi!!" Gempa masih memberontak. Tidak ada pilihan lain selain membuat Gempa tak sadarkan diri. Lalu menyerahkannya pada Blaze dan Ice.

"Jaga dia, aku pasti akan membawa Halilintar kembali," ujarnya.

"Kak."

Fang menarik baju sang kakak. "Jangan pergi."

Kaizo mendengkus. Lalu mengelus kepala sang adik dengan lembut. "Ini tugasku, Pang. Aku harus pergi."

"Tapi iblis itu berbahaya! Bagaimana jika—"

"Tidak, Pang. Percayalah, kakakmu pasti akan kembali."

"Tapi ..." Wajah Fang terlihat sendu. "Tunggulah, Kakak janji akan pulang."

"Berjanjilah, aku akan terus menunggu. Karena itu, berjanjilah untuk pulang." Fang menunduk. Tidak mau memperlihat wajahnya yang berkaca-kaca itu pada sang kakak.

Namun tanpa mereka ketahui, ada seseorang tengah menyeringai memperhatikan cengkrama keluarga tersebut.

.

.

.

***tbc***

A/n:

Yo semua, akhirnya bisa ketemu lagi setelah Ruru akhirnya selesai ujian hehe

Gimana? Ada yang kangen dengan cerita ini?

Kenapa ya Halilintar dibawa sama iblis-iblis itu, ada yang tahu?

Lalu si Taufan kenapa sih? Kok lemes?

Siapa sih sosok yang menyeringai itu?

See you next chapter. Babay~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top