Chapter 13

"Taufaaan, ayooo!"

Teriakan Gempa menggema tatkala mencoba menarik iblis biru itu masuk ke dalam bath tub. Taufan terus-menerus menggeleng dan mencoba lari. Blaze membantu menangkapnya.

"Ayolah Taufan, hanya mandi," bujuk Gempa. Iblis itu masih menggeleng di pegangan Blaze. Ia berusaha lepas meski usahanya sendiri sia-sia.

Sewaktu Taufan ikut-ikut saja dan Gempa menyuruhnya duduk didalam bathtub. Taufan duduk diam di dalam bathtub hingga Gempa menghidupkan keran dan Taufan meloncat dari bathtub karena terkejut.

Dan setelah itu mereka kejar-kejaran.

Gempa menghela nafas. Tak mengerti kenapa Taufan menolak untuk mandi. "Seret dia Blaze."

"Siap kapten!" Blaze tanpa basa-basi langsung menyeret Taufan menuju bathtub.

Dan lagi. Saat berusaha membuka baju iblis itu. Ia malah terlihat menolak dan menendang-nendang. Membuat Gempa kewalahan. Lalu Ice dan Thorn pun datang membantu.

Mereka melucuti pakaian Taufan hingga Gempa menutupi bagian larangan dengan handuk.

Lalu Blaze langsung membuat Taufan masuk dalam bathtub. Meski sempat memberontak. Akhirnya mereka berhasil memasukkan Taufan dalam bathtub yang berisi air hangat.

Blaze siap-siap jika Taufan mau loncat lagi dari bathtub. Namun ternyata Taufan hanya diam. Ia menikmati dirinya berendam air hangat.

"Sudah? Ribet juga cuman mau mandiin iblis satu doang." Terdengar tawa mengejek dari Solar. Ia hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi bersama Ice dan Thorn.

"Ya sudah kalian sana. Ngapain rame-rame dikamar mandi." Gempa melambaikan tangan dengan gerakan mengusir. Blaze beranjak dari sana, "Kalo loncat lagi, bilang aja."

"Oke."

Setelah itu pintu kamar mandi di tutup. Menyisakan Taufan yang tengah berendam dan Gempa yang mengawasi agar Taufan tidak kabur lagi.

Taufan terlihat senang dengan acara rendam-rendam air hangat ini. Bahkan ia menenggelamkan sedikit mulutnya. Menutup matanya dan menikmati air hangat tersebut.

Gempa terkekeh melihatnya. "Gimana? Enak mandinya kan?"

Mata Taufan terbuka. Lalu terlihat rona merah di pipi karena malu.

Gempa mendekati bathtub dan menaruh beberapa bebek karet di sana. Taufan terlihat takjub melihat bagaimana bebek bebek karet itu mengapung di atas air.

"Ya udah sini keluar sebentar, bersihin badanmu pakai sabun dulu." Gempa sedikit menjauh. Memberi gerakan tangan agar Taufan mendekat ke arahnya. Taufan keluar  dari bathtub. Handuk yang dililit Gempa di pinggangnya masih tetap disana.

Ia duduk begitu Gempa menyuruh Taufan untuk duduk di depannya. Gerakan tangan Gempa yang hendak mengelap punggung Taufan pun berhenti sesaat ketika melihat banyak bekas luka bakar di tubuhnya. Namun terlihat mulai menghilang, sepertinya luka sebelum Taufan kemari.

Gempa mengusap punggung Taufan dengan kain lembut. Taufan sedikit tersentak, namun kemudian diam. Lagi-lagi Gempa terkekeh. "Enak kan?"

Taufan mengangguk.

Selesai mengusap punggung Taufan. Gempa beralih mengambil shampo dan menaruh banyak shampo di atas kepala Taufan lalu mulai menggosoknya. Taufan masih diam saja, tidak berusaha lari atau apapun.

Gempa menyiram seluruh badan Taufan dengan air begitu selesai. Setelah itu, ia memperbolehkan Taufan untuk berendam lagi. Karena kelihatannya Taufan sangat ingin berendam.

Taufan dengan antusias kembali ke dalam bathtub, sedangkan Gempa mengambil pakaian bersih untuk Taufan.

Selang beberapa menit berlalu. Taufan sudah selesai dengan acara mandinya dan memakai baju dibantu oleh Gempa. Mereka berdua keluar dari sana dengan Taufan yang sudah bersih. Rambut Taufan dirapikan oleh Gempa, disisir kebelakang, menampilkan jidat iblis itu.

"Lama sekali mandinya." Blaze menyapa mereka dari ruang makan bersama dengan yang lain. "Ah maaf, Taufan sibuk bermain dengan bebek karet di bathtub tadi." Ia sendiri terkekeh melihat kelakuan Taufan di kamar mandi.

"Ya udah ayo sini makan, kalian datang tepat waktu." Solar menyuruh mereka duduk di salah satu kursi. Para pelayan yang melihat Taufan awalnya terkejut, namun mereka berusaha bersikap biasa aja.

Taufan ikut duduk di salah satu kursi dengan bingung. Seorang pelayan menaruh daging steak di hadapannya.

"Eh, tapi Taufan makan daging mentah." Gempa hampir saja hendak menyuruh sang pelayan menggantinya sebelum Solar menghentikannya. "Iblis makan apapun selama itu daging," ujarnya.

Taufan menatap sedikit bingung dengan makanan di hadapannya ini. Ia mengambilnya begitu saja dengan tangan dan melahap sekaligus semuanya dalam mulut. Membuat mulutnya penuh dengan makanan.

"Aduh Taufan, makan pelan-pelan." Gempa mengambil serbet dan mengelap mulut Taufan yang kotor.

"Wuih kak Gempa kayak ibu-ibu lagi ngurusin anaknya." Blaze tertawa, lalu Thorn hanya mengangguk-angguk setuju tanpa mengerti maksudnya.

"Eh bukan, Taufan yang—ah sudahlah ... " Gempa tidak bisa berdebat dengan mereka. Ia memutuskan untuk diam saja dan makan.

Taufan mengutak-atik makanan di atas meja. Mengambil apel, mengendusnya, kemudian mengembalikannya lagi ke tempat semula.

"Masih lapar? Aku bisa meminta untuk dibuatkan lagi, kau mau?" tawar Solar. Taufan tentu saja mengangguk tanpa basa-basi. Makanan gratis itu harus diterima dengan lapang dada. "Pelayan! Tolong berikan dia beberapa steak lagi."

Tak lama, beberapa pelayan datang membawa steak untuk Taufan. Dan lagi-lagi Taufan memakannya tanpa menggunakan sendok ataupun garpu.

Karena Taufan tidak tahu caranya makan pakai sendok dan garpu.

.

.

.

Seorang pemuda merenung di kamarnya sendirian sembari menopang dagu menghadap ke luar jendela. Tak lama, datang pemuda lain yang lebih tua ke kamarnya. Berjalan pelan lalu menepuk pundak pemuda yang lebih muda itu.

"Ah, Kak." Ia berucap lirih. Menatap sekilas sang kakak sebelum kembali menatap langit. "Apa aku bisa?" tanyanya.

Pemuda lain itu berdehem. "Kau bisa, hanya perlu melihat dan melaporkan."

Angin berhembus. Membuat kedua surai ungu lelaki itu berterbangan. Ia memakai kacamata berlensa biru miliknya. Lalu berbalik arah menatap sang kakak.

"Kalau begitu kita pergi sekarang, aku takkan mengecewakan kakak." Pemuda itu—Fang—berucap dengan tegas dan niat membara terlihat di matanya. Kaizo tersenyum tipis menanggapi kelakuan sang adik. "Baiklah, kalau ada sesuatu yang janggal, kau bisa segera melapor."

Mereka berdua keluar dari rumah. Menghampiri Halilintar yang berdiri menunggu di pekarangan rumah. Mereka bertiga lalu beranjak pergi dari sana.

"Aku tak yakin Solar akan menerima Fang tinggal disana," ujar Halilintar sedetik kemudian. Ia berjalan tanpa memperdulikan mereka yang akan tertinggal. Karena Halilintar ingin menemui adiknya.

"Tak apa, kita coba saja dulu."

Mereka sampai di pemukiman milik ayah Solar dan segera dipersilahkan masuk oleh sang penjaga dan diantarkan menuju ruang tamu oleh pelayan. Mereka duduk di sana, diam menunggu tuan rumah datang.

Tak lama, Solar datang bersama para sepupu-sepupunya kecuali Taufan yang langsung disuruh diam di kamarnya Gempa.

Solar duduk lebih dulu. Sedangkan sepupunya yang lain hanya diam sambil berdiri di dekat Solar, tak ikut duduk.

"Ada apa kemari?" tanya Solar tanpa basa-basi.

"Begini, aku ingin menitipkan adikku, Fang." Kaizo juga langsung to the point. Dahi Solar berkerut, "Disini bukan tempat penampungan anak."

"Bukan begitu, kulihat kalian sebaya dan bukankah bagus menambah teman? Lagipula aku dan Halilintar adalah seorang pasukan, kami tidak bisa meninggalkan adik kami sendirian di rumah." Perkataan Kaizo membuat Gempa sedikit tertegun. Ia tahu, rasanya sendirian di rumah dan berharap sang kakak pulang lebih awal.

Solar mulai tidak suka. "Tapi tetap sa—"

"Sudahlah Solar, lagipula hanya menambah satu orang tak apa kan?" Gempa memotong, membuat Solar menoleh tak senang.

"Iya loh, kita bisa menambah teman!" Thorn menambahkan. "Semakin ramai semakin bagus." Blaze ikutan. Solar memicit kepalanya, "Apa kalian lupa? Argh.. Sudahlah!" Ia berdiri dari duduknya dan menjauh dari sana dengan langkah kesal. "Pelayan! Bawa anak itu ke kamar tamu."

Seorang pelayan pun menghampiri Fang. Kaizo dan Halilintar pamit. Halilintar sempat mengusap kepala Gempa tadi dan kemudian mereka beranjak pergi. Yang lain pun pergi menyusul Solar yang tengah kesal.

"Maaf Solar... Aku hanya...." Gempa mencoba meminta maaf. Solar menggeleng, "Sudahlah, kalian tinggal berhati-hati nantinya, jangan sampai dia melihat Taufan."

"Kalau begitu aku ke kamar dulu, mau mengecek Taufan." Gempa izin pergi kemudian berlari pergi.

Sesampainya dikamar, Gempa langsung masuk dan mengunci pintu. Takut jika Fang tak sengaja membuka pintu itu dan menemukan Taufan di dalam kamarnya.

"Taufan?" Panggil Gempa begitu tidak melihat adanya Taufan di sekeliling. Taufan tiba-tiba muncul dari balik kasur. Mengintip sedikit dengan manik safirnya. Membuat Gempa terkekeh melihat kelakuan iblis itu.

Gempa berjalan mendekat ke arahnya. "Sedang apa?" ujarnya. Taufan menggeleng, ia pindah duduk ke atas kasur. Ia menatap Gempa sebentar kemudian cengengesan. Membuat Gempa menatap heran lalu lagi-lagi tertawa.

"Taufan bosan ya? Habisnya kita nggak bisa keluar sembarangan." Taufan tidak menjawab. Hanya berguling-guling tidak jelas di atas kasur. Memeluk banyak bantal dan guling, lalu berguling lagi. Masuk ke dalam seprei lalu terjatuh dari atas kasur.

"Eh!" Gempa buru-buru menghampiri Taufan yang terjatuh. Taufan mengeluarkan sedikit kepalanya dari gundukan seprei. Lalu tersenyum, mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

Taufan lari-larian tidak jelas didalam kamar memakai seprei. Gempa hanya memperhatikan, tidak mau menganggu kesenangan iblis itu.

Kemudian Taufan mencomot sebuah buku diatas nakas. Membawanya ke hadapan Gempa lalu menyodorkannya. "Taufan mau dibacain?" tanyanya. Taufan mengangguk antusias.

Ia terkekeh, "Taufan tidak bisa baca dan menulis ya, nanti Gempa ajarin ya." Gempa mulai membuka buku itu. Sebuah buku dongeng peninggalan kedua orang tua Gempa. Gempa selalu membawanya, karena mengingatkannya semasa kecil.

Gempa mulai membaca. Taufan duduk dengan tenang, mendengar Gempa bercerita.

"Pada zaman dahulu kala. Hiduplah seorang gadis kecil kecil yang lucu. Ia memakai jubah berwarna merah pemberian dari kedua orang tuanya." Gempa bercerita dengan tenang. Taufan menyimak dengan seksama. Sesekali ekornya bergoyang kesana-kemari.

"Gadis kecil itu tinggal dirumah neneknya dan setiap hari pergi ke kebun apel untuk mengambil beberapa buah apel."

"Namun suatu hari, ada seekor serigala yang memakan neneknya dan menyamar menjadi neneknya." Gempa masih lanjut. Tapi wajah Taufan sudah mulai tegang. Masih menunggu lanjutan cerita tersebut.

"Gadis kecil itu tahu jika itu bukan neneknya melainkan serigala yang menyamar. Jadi dia mengelabui sang serigala hingga serigala keluar dari penyamarannya dan mengejar gadis kecil itu. Gadis kecil itu pun lari keluar dan meminta tolong. Datanglah seorang pemburu dan ia menembak mati serigala tersebut." Gempa tersenyum ke arah Taufan. "Dan gadis kecil itu pun selamat. Ia berterima kasih kepada sang pemburu. Lalu ternyata neneknya tidak dimakan, melainkan disembunyikan di dalam lemari."

"Tamat."

Taufan terlihat senang. Ia bertepuk tangan. Gempa mengusap kepalanya dengan gemas. "Suka dengan dongeng ya? Mau Gempa bacakan lagi yang lain?"

Taufan tentu saja mengangguk dengan antusias. Gempa melepaskan tangannya dari kepala Taufan dan mulai membuka lembar buku yang lain.

Hidup seperti ini, tidak apa-apa kan?

"Dahulu kala, hiduplah seorang manusia dan iblis..."

.

.

.

***tbc***

A/n:

Jawabannya adalah Fang!! Hayo siapa aja yang jawab Fang nih di chapter kemarin? Selamat, kamu bener 🎉🎊

Dan eak Taufan mandinya di seret. Kayak anak kucing XD

Gempa mendongeng gais, kayak book sebelah (kalo kalian baca, soalnya disana Gempa juga mendongeng)

Dan dimulai lah kegiatan mereka melawan pasukan khusus kerajaan. Maap ya kalo Ochobot terkesan OOC. Ruru gatau mau bikin dia gimana :'

Okay see you next time~

210221

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top