9. Pikiran Manusia
بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم
📗Takdir📗
-Mereka yang terlihat lebih beruntung, atau kita yang kurang bersyukur
🌹🌹🌹
Dunia sekarang adalah di mana semua orang menilai kita tanpa ingin tahu kebenaran yang sebenarnya
🌹🌹🌹
Hari ini aku tidak mengerti apa yang terjadi dengan Nadiya. Katanya, Meda sudah bersikap keterlaluan dan mengatakan hal yang tak pantas. Nadiya tidak pantas untuk bersaing dengannya? Entah kenapa aku tidak bisa percaya dengan pernyataan itu. Memangnya apa untungnya untuk Meda. Aku sudah lama mengenal Meda. Sepanjang aku bersahabat dengannya, tidak pernah sekalipun dia berkata kasar atau bahkan melukai hatiku. Di mataku, Meda begitu baik, si manusia pengunci rahasia yang rapat. Begitulah aku memandangnya.
Walaupun terkadang aku sering was-was atas rasia besar yang pernah aku katakan pada Meda. Tapi aku berusaha sekuat mungkin agar aku tidak memiliki pemikiran buruk ini. Karena seorang sahabat yang tulus tidak akan mungkin menyakiti kita bukan? Dia tidak akan pernah membuka aib yang membuat sahabatnya itu malu dan direndahkan. Jika sampai rahasia besar itu bocor dan sampai ke telinga orang tuaku, aku tidak akan pernah bisa membayangkannya. Mungkin saja aku akan dibuang dan tidak diakui lagi.
Hal itu tentu selalu menghantuiku setiap saat. Untuk sekali lagi, hanya Meda yang tahu. Aku mengagumi salah seorang santri laki-laki. Namanya Rifki.
Aku buru-buru masuk ke dalam Wartel tanpa melihat seseorang keluar dari dalam sana. Tanpa sengaja aku menabrak seseorang hingga membuatku jatuh mengenai ubin. Tanganku terhempas cukup keras, sehingga membuatku meringis menahan sakit.
Laki-laki itu berjongkok, aku melihat bahwa ia juga terkejut atas kedatanganku. Aku mengangkat telapak tangan yang terasa perih dan panas, ternyata ada bercak darah di sana.
"Maaf, aku nggak tau kalau kamu mau masuk."
Sebenarnya aku kaget, kenapa Rifki bisa ada di wartel kusus tempat santri wanita.
"Nggak apa-apa, aku yang buru-buru."
Rifki mengekuarkan saputangan dari dalam sakunya. Diberikannya benda itu padaku.
"Tangan kamu luka. Tutupin pakai ini ya."
"Nanti kotor."
"Nggak apa-apa, bisa dicuci kok nanti."
Aku tersenyum. Entah kenapa tubuh ini masih setia terduduk di atas ubin.
"Mau dibantu?"
Aku menggelengkan kepala dan kangsung berdiri. Tapi, ternyata rok bagian belakangku robek, aku merasa angin masuk menerpa kulit pahaku, pandanganku beralih ke belakang.
"Kenapa?"
"Rok aku robek."
Rifki mengebuskan napas. Aku melihat dia membuka jaketnya.
"Tutupin pakai ini. Jangan sampai aurat kamu terlihat."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Rifki pergi meninggalkanku. Itu adalah pertemuan pertamaku dengannya. Dan yang kedua saat aku mengembalikan jaket dan sapu tangannya. Bahkan saat itu aku pun ditemani Meda.
Tapi aku rasanya tidak mampu untuk menyimpan perasaan ini. Rifki terlalu baik untukku, sungguh aku tak pantas untuknya.
Tentang Meda. Ya, aku memang tidak tahu banyak tentangnya. Keluarganya dan menyangkut rahasia pribadi. Jujur, aku orangnya tidak pernah bisa menanyakan satuhal terlebih dahulu. Terkecuali dalam situasi darurat.
Dulu saat pertama kali satu kamar dengan Gladys dan Syahlaa aku tidak banyak bicara. Jika bukan karena Meda yang selalu mendesak aku untuk ikut nimbrung hal apa pun di dalam kamar mungkin aku tidak akan ada di titik ini. Sereceh dan segila apa pun saat ada di depan mereka.
Saat ini aku dan Meda sedang duduk di rerumputan yang ada di taman. Gladys dan Syahlaa sudah terbang tak kala melihat Gus Nuril yang berjalan di pelantaran masjid, sejak kemarin masih hangat tentang Gus Nuril itu. Awalnya aku pikir Meda hanya bercanda dengan hastag garis keras tentang Anti dengan Gus Nuril, ternyata dia benar-benar Anti, okelah.
Berhubung kami para Geng Micin ini masih mengalami menstruasi berjemaah, jadi memanfaatkan waktu salat dzuhur ini untuk santuy di taman.
Kulihat Galdys dan Syahlaa yang masih sibuk memperhatikan Gus Nuril dari jauh. Mereka benar-benar seperti orang yang melihat artis korea. Ahh aku tidak hafal nama-nama artis korea. Kecuali bollywood. Tanya aja deh, aku pasti tahu. Walau nggak hafal semua.
Pernah menonton drama Bajrangi Bhaijaan? Entah kenapa aku selalu ingin memiliki pasangan seperti Pawan. Dia lucu dan sangat baik. Dia bahkan rela berjalan kaki dan berjuang untuk mengembalikan seorang anak yang terpisah dari ibunya. Jujur, walau seratus kalipun diputar filmnya, aku selalu menangis. Pokoknya dia benar-benar tulus. Semoga aja nanti aku mendapatkan pasangan yang benar-benar tulus juga.
Beralih pada film-film India. Aku menatap Meda yang sedang mencabuti rumput-rumput yang ada di hadapannya. Sepertinya aku harus menanyakan ini padanya.
"Meda, kamu dan Nadiya nggak kelar-kelar urusannya?"
"Aku sama Nadiya? Kenapa lagi emang?" Meda mengangkat kepalanya, sejenak melirikku.
"Yaaa katanya sih kamu jahat sama dia. Tadi dia nangis, aku kasian."
Aku lihat Meda terkekeh pelan. Keningku berkerut, apa yang lucu?
"Terus dia bilang apa lagi?"
"Dia bilang kalau kamu bilang gini nih. 'Kamu nggak bakal mungkin bisa bersaing sama aku.' Gitu." Kata Hafshah dengan polos. Karena apa yang dikatakan Nadiya sesuai dengan apa yang dia ucapkan tadi.
Aku kembali melihat Meda yang tertawa terbahak-bahak.
"Kamu percaya?"
"Nggak tau, sih. Makanya aku tanya. Bener atau enggak. Soalnya dia sampai nangis gitu."
"Hafshah, Hafshah. Kamu itu jangan gampang kehasut, kamu itu mudah dipengaruhin sama hal-hal yang gak baik. Makanya kamu itu gampang dimanfaatin. Kamu udah tau aku berapa tahun? Masa kamu nggak bisa hafal sama karakter aku gimana. Apa aku perlu pusing-pusing ngomongin hal yang gak penting sama Nadiya. Lagian saingan apa coba? Masukin paku ke botol? Atau lomba manjat pinang? Yakali."
"Maksud kamu aku gampang dimanfaatin?"
"Iya. Makanya, kamu itu jangan mudah kehasut dan kebawa suasana."
Aku terdiam. Entah kenapa kata-kata Meda terasa seperti petir. Menyambar tiba-tiba. Apa itu artinya dia sedang menyindirku? Karena kesalahanku di masalalu dengan Afnan. Ya aku akui itu, aku memang terlalu mudah untuk dimanfaatkan. Karena otakku selalu menerima logika dan kejadian yang nyata.
"Udah, jangan bahas dia lagi. Lagipula nggak penting."
"Hummm, iya."
🌹🌹🌹
Nadiya menghentakkan kaki kesal. Usahanya selalu gagal untuk menghasut Hafshah yang bisa memancing emosi Meda. Ia pikir Hafshah bisa dijadikan senjata, setidaknya jika dia dan Hafshah bertengkar, pasti ia punya teman untuk menghancurkan Meda.
Nadiya memicingkan mata kuat-kuat, apa yang harus ia lakukan. Caranya untuk menghancurkan Meda memang harus lewat orang terdekat. Hanya Hafshah yang bisa diandalkan. Karena Gladys dan Syahlaa sepertinya tidak bisa dimanfaatkan.
Tiba-tiba sesuatu terlintas dibenaknya. Sepertinya ia punya cara untuk menghancurkan Meda. Kali ini ia bisa memastikan kalau rencana ini pasti akan berhasil. Persahabatan Meda dan Hafshah pasti akan hancur.
"Meda, Meda. Kamu liat aja. Aku pastikan kamu nggak akan pernah dapetin maaf dari Hafshah. Aku juga pastiin Haf, kamu pasti akan sangat membenci Meda."
Nadiya tersenyum penuh kelicikan.
Jujur, kebencian ini sudah sejak lama ditahan. Bukan hanya sekadar kesombongan Meda tentang kepintarannya di bidang matematika. Tapi, karena ia juga memiliki banyak teman. Apa yang ada pada diri Meda. Itu yang ia inginkan.
🌹🌹🌹
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top