14. Karena Terlampau Mencintai?
Perempuan bertubuh tinggi semampai memunguti pakaiannya yang berserak di lantai. Dengan terburu dia mengenakan pakaian dalamnya. Dress kekurangan bahan yang hanya menutupi dada hingga sebatas bokongnya yang bulat dipakai dengan terus menyuarakan kemarahan dan kekesalan yang merajam hati.
Habis manis sepah dibuang, mungkin begitulah yang perempuan itu rasakan saat ini. Terhina? Sudah pasti. Deretan nama hewan beserta sumpah serapah berupa kutukan, dia tujukan untuk lelaki yang berdiri pongah dengan kedua tangan berkacak pinggang. Semua yang keluar dari mulut perempuan itu dalam bentuk bahasa tanah kelahiran yang sudah pasti tidak akan dipahami lawan mainnya di ranjang selama hampir tiga jam tadi.
Lelaki itu—Dimas Arisatya—mengedikkan bahu tak acuh. Siapa peduli? Mereka hanyalah pasangan one night stand yang tidak sengaja bertemu di sebuah pub. Memasuki kamar untuk bercumbu dan melepaskan birahi sudah menjadi kesepakatan mereka berdua.
"Get out!" seru Dimas dingin, menunjuk ke arah pintu.
"Bastard!" maki perempuan itu dengan jari tengah mengacung tinggi sebelum melangkah keluar dari kamar hotel dengan pencahayaan minim. Dengan kasar dia membanting pintu. Amarah sudah membakar habis dadanya.
Dimas tampak bergeming, pandangannya kosong ke arah pintu. Senyum kecut terukir di wajahnya, menertawai hatinya yang beku.
Dimas berbalik, memandang hampa pada deretan gedung pencakar langit yang memadati kota New York, tempatnya melarikan diri beberapa hari ini. Bukan ke Malaysia seperti dugaan banyak orang, dia sengaja membuat skenario itu agar orang-orang berpikir dia melakukan perjalanan bisnis ke negara tetangga. Padahal, Dimas memerlukan jarak lebih jauh dari hanya sekadar perjalanan ke Malaysia yang dapat ditempuh dalam hitungan beberapa jam saja. Semua dia lakukan untuk menenangkan diri.
Kerlip lampu dan pemandangan lalu lintas yang tidak pernah sepi menjadi pelarian beberapa malam terakhir. Namun, pikiran yang penuh sesak dengan permasalahan yang tumpang tindih, membuat Dimas selalu merasa berat dan kesepian.
Menghabiskan malam dengan bergonta-ganti perempuan layaknya mengganti celana dalam pun tidak bisa membuatnya lupa akan sosok Raina.
Salah satu korbannya adalah perempuan tadi. Dimas tahu benar jika perempuan itu bukanlah wanita penghibur. Perempuan—berwajah khas Asia dengan mata sipit dan kulit putih—yang baru saja meninggalkan kamar hotelnya adalah seorang mahasiswi asal negeri tirai Bambu. Setidaknya itulah yang dia ingat, sebelum minuman beralkohol dan hawa nafsu membawa raib seluruh akal sehatnya. Dimas bahkan melupakan siapa nama lawan mainnya tadi.
Dimas terdampar di kota ini demi menghindari Raina, berupaya memutus rantai perasaan bersalah yang mendera. Dia masih tidak menyangka, dirinya bisa lepas kendali diri seperti itu.
Dimas memandangi telapak tangannya yang gemetar. Telapak tangan itulah yang dia gunakan untuk menyakiti Raina. Bukan hanya sekali, tetapi sudah dua kali. Rasa panas yang menyengat seakan tertinggal di sana, bahkan begitu melekat meskipun dia telah berpuluh—hingga mungkin ratusan—kali membasuh tangan. Dimas merintih dalam hati, penyesalan itu menghukumnya sedemikian rupa.
"Andai dulu kamu gak mengkhianati aku, Rain." Dimas mengepalkan kedua tangan.
Memori di otaknya kembali menayangkan kejadian bertahun silam, saat di mana Hana mendatanginya dan membeberkan segala kebusukan Raina. Dimas tidak dapat menguasai diri dari rasa cemburu dan amarah yang berkecamuk.
-***-
"Jadi, Mas Dimas mau apa sekarang? Apa Mas yakin untuk melanjutkan rencana pernikahan kalian?" Hana duduk di sisi Dimas. Gaun dengan rok melebar yang dia kenakan sedikit terangkat karena posisi kaki yang menyilang.
Dimas menggeram, kedua tangannya yang disanggakan di lutut mengepal erat. "Kamu yakin Raina begitu?" katanya setelah menggeram frustrasi. Rambut ikalnya menjadi pelampiasan dari seluruh rasa yang berkecamuk di dalam hati.
"Mas Dimas gak percaya sama aku? Apa aku terlihat mengada-ngada? Buat apa, Mas? Aku cerita semua kebusukan Raina karena aku gak mau cowok sebaik kamu dipermainkan. Raina bukan perempuan baik-baik. Aku tau betul gimana dia, karena aku ini sahabatnya. Bahkan Tivana, dia gak mengenal Raina sebaik aku mengenal Raina. Kalo Raina masih suci, bukan masalah besar, dong, menuruti keinginan Mas buat em-el? Tapi nyatanya, kalian gak pernah ngelakuin itu, 'kan? Padahal kalian udah mau nikah, rasanya sah-sah aja kalo kalian mau nyuri start. Logikanya, dia gak mau ngelakuin itu sama Mas Dimas sebelum nikah karena takut boroknya ketahuan."
Hana menjeda perkataan. Melihat Dimas hanya bergeming, dia kembali berkata, "Akhir-akhir ini, dia menghindari Mas Dimas, 'kan? Bahkan aku yakin Mas sering dengar dia mengeluh mual, nyeri perut, muntah, konstipasi dan lesu. Bisa Mas liat sendiri kalo dia agak kurusan. Itu ciri khas perempuan hamil muda, loh!"
"Dia hamil anak siapa, Han?" tanya Dimas putus asa. Dia menoleh, menatap Hana dengan sorot terluka.
Hana mengedikkan bahu tak acuh. "Aku sering liat dia menghabiskan waktu di luar sama banyak cowok kalo Mas Dimas sibuk sama kerjaan. Jadi, kalo ditanya cowok mana yang punya potensi nanam benih di rahimnya, aku gak tau mau nunjuk yang mana. Semua cowok itu berpotensi, bisa jadi juga, semua udah pernah nyobain gimana rasanya Raina."
Malam itu, Dimas memutuskan untuk melampiaskan seluruh kekecewaan pada minuman keras. Itu kali pertama dia menginjakkan kaki ke pub dan berkenalan dengan dunia malam. Satu sloki minuman beralkohol yang dia tenggak dalam sekali tegukan langsung menerbangkan kewarasannya. Dimas begitu bersyukur, Hana tidak keberatan terus menemaninya. Bahkan ketika malam itu dia dan Hana melakukan kesalahan itu, tiada rasa bersalah sedikit pun terbit di hatinya.
Dimas senang dan merasa bangga luar biasa, bahwa dia adalah lelaki pertama yang menyentuh Hana. Dia menjadi yakin, Hana dan Raina memang berbeda. Hana dengan berani menunjukkan perasaan cinta padanya dengan berkorban tanpa memedulikan masa depan.
Kamu sudah bermain api di belakangku, Rain. Aku juga bisa melakukan hal yang sama.
Meskipun Dimas merasa cintanya pada Raina terlampau kuat, tetapi sakit hati yang dia rasakan membuatnya tidak lagi memiliki akal sehat. Perasaan terkhianati sudah menjadikannya buta dan lupa diri. Dia ingat, sebelum Hana, mamanya juga beberapa kali mengatakan hal yang sama mengenai Raina. Masih masuk akal jika Hana membohonginya, tetapi mamanya?
"Ah ... Mas!" desah itu mengudara mengisi kekosongan malam yang sunyi. Kuku-kuku panjang jemari lentik Hana mencakari seprai berbahan sutera.
"Aku hampir sampai." Dimas terus bergerak memorak porandakan Hana. Tanpa mengingat dosa, dia terus mengisi rahim yang tidak halal baginya.
"Eungh ...." Lenguhan kedua insan yang dilenakan hawa nafsu bersahutan.
Hari terus berganti, minggu demi minggu berlalu. Beberapa bulan terlewati, diisi dengan melewatkan malam-malam panas nan erotik. Malam penuh gairah antara Dimas dan Hana. Mereka bertukar peluh, cairan dan saliva.
Dimas memejamkan matanya rapat-rapat, menikmati setiap pelepasan yang dia raih. Lutut yang gemetar karena letih, tulang yang seakan lolos dari setiap persendian, tak sebanding dengan kepuasan yang dia dapatkan. Semua terus berulang dan tak satu kali pun Hana menyadari jika Dimas hanya menjadikannya pelarian. Seratus persen pelampiasan. Dimas begitu menikmati tubuh Hana. Namun, pikiran dan segala fantasinya bermuara pada Raina.
Mendekati hari lamaran, Dimas merasa hubungannya dengan Raina semakin berjarak. Raina semakin susah dihubungi. Yang membuat darahnya semakin mendidih adalah aduan sang mama. Ibu kandungnya itu berkata jika Raina sudah berlaku tidak sopan dan berani membangkang. Perasaan Dimas semakin berkecamuk.
Tepat tiga hari sebelum acara lamaran, Hana datang ke hadapan Dimas dan berkata, "Mas, aku hamil."
-***-
"Pulangnya sama Tivana?" Badai bertanya pada Raina yang sedang mengemasi barang-barang yang akan dibawa pulang.
Raina menoleh pada Badai yang duduk di ujung ranjang pasien. "Iya, Mas," jawabnya tersenyum. Kehadiran lelaki itu selama beberapa hari dia dirawat di rumah sakit ini sudah menjadi kebiasaan baginya.
"Saya bisa mengantarkan."
"Ya?"
Badai menegakkan punggung, merasa jika kalimatnya tadi terdengar begitu memaksa. "Maksud saya, kalau Tivana gak bisa jemput, saya bisa mengantarkan Dik Raina pulang."
Raina terkekeh melihat kegugupan Badai. "Gak perlu, Mas. Saya bisa pulang sendiri kalo emang Tivana gak bisa jemput."
Badai tersenyum kecut, pandangannya lurus pada Raina yang sedang merapatkan retsleting tas. Ingin rasanya bersikukuh sampai Raina menerima tawarannya, tetapi dia cukup sadar diri. Tidak baik baginya jika terlalu memaksa. Pun tidak baik jika terlalu kentara melakukan pendekatan, di saat Raina dan suaminya berjarak. Badai ingin mendekati Raina dengan cara sehalus mungkin. Jika memang beruntung, dia yakin Raina akan menjadi miliknya suatu saat nanti. Namun, jika Raina bertahan di sisi suaminya, dia akan berlapang dada menerima ketetapan-Nya. Bukankah cinta tidak harus selalu memiliki?
Badai melihat arlojinya, jarum pendek menunjuk tepat ke angka empat sedangkan jarum panjang di angka dua belas. Jam kerjanya sudah usai beberapa jam lalu, tetapi berat rasanya untuk pulang. Terbiasa menemani Raina selama beberapa hari saja, membuatnya merasa begitu kehilangan hari ini. Tak memedulikan protes sang mama, dia merasa keterlambatannya pulang ke rumah sebagai sesuatu yang lumrah. Sepertinya Badai terlampau nyaman mencintai Raina dalam diam. Memperhatikan Raina dari jarak sedekat ini saja sudah cukup membuatnya bahagia.
Thanks for reading...
Jangan lupa tinggalkan jejak yang banyak
Mampir juga ke cerita aku lainnya, ya..
See you there, Guys 👋😊
Repost
Samarinda, 10 Oktober 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top