09. Lelaki Itu ...
"Aku dengar dari Mbak Narti, katanya kamu udah pindah ke rumah itu." Tivana menatap sosok Raina yang duduk di hadapannya. Sambil memainkan isi gelas tinggi berisi jus alpukat menggunakan sedotan, dia menunggu Raina membuka suara.
"Iya," jawab Raina setelah beberapa detik diam. "Udah seminggu ini."
"Dia yang jemput kamu?" tanya Tivana penuh selidik. Sangsi Dimas akan melakukan hal itu.
Raina menghela napas pelan sebelum menggeleng, senyum masam susah dihindari jika berkaitan dengan Dimas belakangan ini. "Bu Maya yang bawa aku ke sana," jelas Raina sembari menyuap potongan kecil roti bakar rasa cokelat keju favoritnya.
Tivana berdecak. "Heran banget, tau gak, sih? Gak anak, gak emaknya, suka banget bikin rusuh," omelnya tanpa menyembunyikan ketidaksukaan sama sekali.
Raina mengedikkan bahu. "Kurasa yang dilakukan Bu Maya ada benarnya. Setelah nikah, emang seharusnya seorang istri berada di mana pun suaminya berada, 'kan?" tanya Raina dengan mata menerawang. Pernikahannya nyatanya tidak seindah surga yang pernah menjadi impiannya. Pil pahit lain yang harus dia telan setiap hari adalah sikap dingin Dimas yang tidak pernah menganggap keberadaannya.
"Cih!" Tivana menahan gusar yang merongrong minta dimuntahkan. Sekuat hati dia menghalau gumpalan kata kasar yang berjejalan di tenggorokan. "Jangan terlalu baik jadi orang! Rain, aku tau betul gimana karakter suamimu. Dia bodoh, persis seperti mantan istrinya yang lagi disiksa malaikat di dalam kubur. Matanya gak akan pernah terbuka sebelum ada yang nampar dia pake kenyataan."
Raina menatap Tivana lurus-lurus. Ada kengerian menelusup hatinya mendengar keseriusan Tivana. "Please, jangan ngomong apa pun sama Mas Dimas."
"Meski aku gak ngomong, suatu saat akan ada yang buka mulut di depan dia. Ingat Rain, Tuhan itu gak tidur." Tivana mendengus seraya melipat tangan di depan dada. "Mungkin aja nanti aku khilaf keceplosan. Lagian enek liat kamu yang kayak nerimo banget dijajah."
Raina bungkam, lidahnya kelu dan otaknya mendadak buntu. Susah bagi Raina membalas perkataan Tivana. Dari dulu, dia memang terbiasa diam. Hingga acapkali Tivana marah padanya karena dianggap terlalu pasrah.
Tivana membiarkan Raina yang tampak merenung. Entah berapa ratus kali dia mengingatkan sahabatnya itu, tetapi bagaikan angin, nasihatnya berlalu begitu saja.
"Tivana?" Seorang lelaki menghampiri meja yang ditempati Raina dan Tivana.
"Bram!" Tivana terkesima untuk beberapa saat. Setelah sadar, dia berdiri menyambut kedatangan lelaki itu. Keduanya lalu berpelukan dan bertukar ciuman di pipi tanpa sungkan. "Gak nyangka kita bisa ketemu di sini," ujarnya girang.
Seorang lelaki kemudian menyusul Bram. Lelaki itu baru saja mengakhiri panggilan di telepon genggamnya. Dia menyimpan benda elektronik tersebut dengan membenamkan sebelah tangan di saku celana bahan yang dia kenakan.
"Oh, ya, kenalin. Ini teman seperjuanganku, dokter Badai," ujar Bram, si lelaki berkacamata pada Tivana. "Dokter spesialis anak yang masih betah dengan status jomblo." Tawa Bram berderai melihat ekspresi Badai berubah masam. Sedetik kemudian dia mendapatkan tonjokan ringan di perut.
"Hai." Tivana menyapa dengan menyunggingkan senyum ramah. "Tivana," ujarnya menyebutkan nama seraya mengulurkan tangan pada Badai.
Lelaki jangkung berkemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga ke siku itu menyambut uluran tangan Tivana. "Badai," ujarnya tersenyum menampakkan ceruk yang begitu dalam di kedua pipi.
"Nah, ini sahabatku, Raina," ujar Tivana memperkenalkan Raina pada Bram dan Badai.
Raina berdiri lalu mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Raina," katanya menyebutkan nama seraya menunduk.
Bram dan Badai saling bertukar pandang untuk beberapa saat. Keduanya lantas melakukan hal yang sama pada Raina seraya menyebutkan nama masing-masing.
"Boleh gabung?" tanya Bram.
"Kalau kalian enggak keberatan tentunya," timpal Badai melirik Raina yang memilin ujung hijab dengan ekspresi gelisah.
"Sure! Silakan duduk," kata Tivana dengan ceria. Matanya berbinar bahagia.
Raina diam-diam memperhatikan kedua lelaki itu. Keduanya tampak familiar di mata Raina. Namun, dia tidak ingat pernah mengenal atau melihat di mana.
Mungkin cuma perasaanku aja.
-***-
Badai memperlambat laju kendaraannya ketika melihat sosok yang begitu dikenalnya berdiri termangu di tepi jalan. Perempuan berhijab sewarna gamisnya itu terlihat sibuk mengotak-atik ponsel. Dari cahaya lampu jalan yang benderang, Badai dapat dengan jelas melihat wajah perempuan itu yang dirundung kecemasan.
Tanpa berpikir panjang, Badai menepikan mobil tepat di samping sepeda motor perempuan itu. Badai lalu menurunkan kaca jendela mobilnya untuk menyapa.
"Dik Raina?"
Raina menganggukkan kepalanya sungkan ketika melihat sosok Badai. Lelaki itu menyapa Raina dengan mencondongkan tubuh ke arah jendela yang terbuka lebar, sedangkan dia masih berada di balik kemudi.
"Ada masalah? Motornya mogok?" tanya Badai menerka-nerka.
Raina mengangguk sekali lagi. "Iya," jawabnya singkat dengan kepala menunduk.
"Sebentar, saya menepi dulu kalo gitu." Badai terus memajukan kendaraannya hingga menepi tepat di depan sepeda motor Raina.
"Mas Badai bisa benerin motor?" tanya Raina ketika melihat Badai sudah berdiri di hadapannya. Dia sangsi, seorang dokter spesialis anak yang terbiasa menggunakan stetoskop mengerti masalah mesin.
"Eum, gak begitu ngerti, sih, tapi kalo permasalahannya ringan, saya masih paham."
Raina mengangguk mengerti, selanjutnya dia memilih diam dan menjaga jarak. Raina mundur beberapa langkah dan memperhatikan Badai memeriksa keadaan motornya dari jauh.
Tiga puluh menit berlalu, Badai menyeka peluh yang menetes di ujung hidung. Usai menghapus keringat yang membasahi wajah dengan sapu tangan, dia lalu mendekat ke arah Raina.
"Ini dia masalahnya. Makanya motor Dik Raina gak bisa dinyalakan."
Raina tersenyum, merasa lega masalah perihal sepeda motornya sudah ditemukan.
"Jadi harus gimana, Mas?"
"Ini musti diganti dulu." Badai melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kanannya kemudian berdecak. "Tapi jam segini saya gak yakin masih ada bengkel yang buka," lanjutnya memupus harapan Raina. Badai dapat melihat jika senyum di bibir Raina perlahan memudar.
Raina mendesah lelah saat melirik arlojinya dan melihat angka jarum pendek di sana telah bergeser melewati angka sembilan. Benar apa yang Badai katakan, tidak ada bengkel yang buka karena malam sudah sangat larut.
"Saya bisa antar Dik Raina pulang," ujar Badai memecahkan keheningan yang menjeda selama beberapa saat.
"Terus motornya gimana?"
"Saya bisa minta tolong teman yang punya usaha bugel towing. Biar dia yang angkut motor Dik Raina terus bawa ke bengkel besok."
Raina terdiam, sangat serius memikirkan usulan Badai. Dia lalu mendesah sebelum akhirnya bertanya, "Apa gak akan merepotkan Mas Badai?"
Badai menggeleng. Senyum lebar tercetak di wajahnya hingga memamerkan ceruk yang begitu dalam di sepasang pipinya. "Saya justru takut kalo ninggalin Dik Raina di sini sendiri. Apa Dik Raina gak merasa, di sini makin sepi? Bahkan dari tadi gak ada satu pun kendaraan yang lewat."
Raina semakin murung. Sebenarnya dia sudah menyadari hal itu sedari tadi.
"Kalo Dik Raina setuju, saya bisa menghubungi dereknya sekarang."
Sepertinya tidak ada jalan lain lagi. Raina akhirnya mengangguk, menyetujui saran Badai. Tidak berapa lama sepeda motor tersebut sudah diangkut menggunakan mobil derek seperti perkataan Badai sebelumnya dan akan diantarkan besok pagi ke bengkel.
"Alamat Dik Raina di mana?" tanya Badai ketika sudah berada di balik kemudi. Dari ekor mata, dia dapat melihat Raina sedang memasang sabuk pengaman. Kegelisahan masih sangat jelas terlihat di wajah perempuan itu. Bagai tersaput mendung, wajah cantik Raina tak jauh dari kata murung.
Raina menyebutkan sebuah alamat dengan wajah tertunduk. Kegundahan hatinya semakin tidak dapat ditenangkan.
"Wah ... gak nyangka! Ternyata kita masih tetanggaan," ujar Badai diikuti tawa renyah.
Raina terpaku untuk sesaat, hingga akhirnya kedua sudut bibirnya terangkat. "Itu rumah Ibu saya, Mas."
.
.
.
Thanks for reading 🥰
Repost
Samarinda, 27 September 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top