07. Keraguan
Raina menatap rumah besar nan megah di hadapannya. Hatinya merasa gentar, membuat tubuhnya jadi gemetar. Jauh di dalam sana terjadi pergolakan batin, sebagian besar hatinya mengingatkan untuk berbalik lalu melangkah pergi.
Rumah tanggamu gak bisa dipertahankan, Rain!
Entah sudah berapa kali logikanya memberi peringatan, tetapi sebagian hatinya bersikukuh untuk kembali menarik perhatian Dimas. Tekadnya bulat untuk menumbuhkan kembali cinta di hati Dimas.
"Masuk, Raina! Jangan ngelamun terus!" seru Maya menarik kesadaran Raina. Perempuan paruh baya itu sudah berdiri di ambang pintu. Arka yang sudah lelap sejak di pertengahan jalan menuju pulang tadi, sudah lebih dulu masuk digendong pak sopir.
Sebuah anggukan Raina berikan, segaris senyum dia paksakan. "Sebentar, Bu," sahut Raina seraya mengedarkan pandangan pada sekeliling rumah. Tarikan napas dalam dia lakukan, tetapi kegundahan tetap tak terelakkan.
Bangunan berlantai dua dengan cat light grey itu sangat tidak asing bagi Raina. Rumah itu yang menjadi saksi bisu bagaimana dia menggilai dan memuja Dimas segenap jiwa sekaligus kehancuran hati atas kisah cinta yang terpaksa kandas.
Sementara itu, Maya sudah lebih dulu masuk. Berulang kali dia mengatakan lelah dan sangat mengantuk di perjalanan tadi.
Raina mengeratkan cengkeraman pada gagang koper, mengumpulkan seluruh keberanian. Dia menunduk, untuk sesaat menarik napas dalam sekali lagi dengan mata terpejam rapat.
"Biar saya yang bawa, Nyonya." Seorang perempuan berusia tiga puluhan mengejutkan dan memaksa mengambil alih koper kecil di tangan Raina.
"Nggak, Mbak. Saya bisa bawa sendiri."
Untuk sesaat mata mereka beradu. Senyum di bibir perempuan berdaster katun itu menggugah ingatan Raina. Raina mengenalnya. Namanya Narti, asisten rumah tangga yang sejak lama sudah mengabdi pada keluarga Dimas.
"Saya senang akhirnya bisa ketemu lagi sama Nyonya," lirih Narti.
"Ya Allah, Mbak! Sampai pangling saya!" seru Raina memeluk Narti.
"Nyonya Raina banyak berubah. Makin cantik dan anggun pake jilbab gini," kata Narti jujur setelah Raina mengurai pelukan.
"Ish, Mbak Narti kayak sama siapa aja lagi. Gak usah panggil Nyonya. Saya gak suka, ah! Biasa aja, Mbak, kayak dulu."
"Nanti Nyonya Maya marah. Saya gak mau dapat teguran. Lagian Nyonya Hana juga gak suka, katanya terlalu lancang," ungkap Narti. Sejurus kemudian, dia membekap mulut lalu merutuki diri yang terlalu ember.
"Udah, gapapa, Mbak. Saya tau, Hana memang begitu orangnya. Dan Mbak Narti musti ingat kalo saya dan Hana berbeda." Raina tersenyum dan mengerling.
"Sini, saya bantu bawa kopernya Mbak Raina."
Kali ini Raina membiarkan Narti membawakan barang miliknya. Keduanya berjalan beriringan memasuki rumah. Mereka terus berbicara hingga tanpa terasa langkah mereka terhenti di depan sebuah pintu di lantai dua. Narti lalu membimbing Raina memasuki kamar itu. Dengan sigap dia meletakkan koper di depan lemari pakaian.
"Biar saya sendiri aja nanti, Mbak," ujar Raina ketika melihat Narti berjongkok ingin membongkar isi koper miliknya.
Narti menurut.
"Mbak Raina ini kayak mau liburan aja. Barangnya sedikit betul!" celetuk Narti.
Raina kembali tersenyum. Dalam hati, dia tidak yakin akan berada di rumah ini selamanya.
-***-
"Papa!" pekik Arka girang menyambut kedatangan Dimas di ambang pintu. Dia berlari menyongsong sang ayah dengan tangan terbuka lebar. Suara tawanya menggema tatkala Dimas menghujaninya dengan kecupan di wajah dan lekukan leher.
"Anak papa lagi makan apa?" tanya Dimas dengan senyum mengembang.
Jika biasanya Arka tak acuh dengan kehadiran Dimas, tetapi sore ini bocah itu seakan begitu merindukan sang ayah. Hal itu tentu saja membuat Dimas merasa sangat bahagia. Tubuh mungil Arka sudah terangkat ke dalam gendongan. Dimas dapat mencium aroma blueberry dari mulut Arka yang belepotan cokelat.
"Mamam, emm ...." Arka mengetukkan telunjuknya ke dagu, bibirnya yang mungil kemerahan mengerucut membuat ekspresinya begitu menggemaskan. "Bowonish," ujarnya setelah berpikir keras beberapa waktu.
Tawa Dimas berderai renyah, rasa lelahnya menguap melihat tingkah Arka yang menggemaskan sore ini.
Dimas lalu membawa Arka ke ruang tengah. Di sana sudah ada mantan ibu mertuanya-Maya, duduk santai sambil membolak-balik majalah. Di atas meja di hadapannya tersaji beberapa potong brownies dan secangkir teh.
Dimas duduk di sofa seberang Maya sedangkan Arka berada di pangkuannya. Sembari melonggarkan dasi, dia menghidu aroma manis yang begitu menggugah dari arah dapur. Samar-samar dia mendengar gelak tawa dan dua perempuan mengobrol.
Arka meminta diturunkan ketika melihat Raina berjalan menuju ruang tengah membawa nampan berisi lebih banyak potongan brownies beserta minuman.
"Bubu ... Ayka mau mamam bowonish yagi!"
Senyum yang tadi terukir di wajah Dimas seketika luntur. Wajah tampannya kini dihiasi senyum masam. Dalam benaknya mempertanyakan kehadiran Raina.
"Tadi Mama jemput Raina di tokonya. Masa kalian udah nikah, gak tinggal serumah." Maya angkat suara begitu melihat perubahan ekspresi Dimas.
"Saya permisi," pamit Dimas. Wajahnya semakin dingin, kedua rahangnya mengeras dan bibirnya mengatup rapat.
Raina menghentikan langkah ketika melihat Dimas berdiri. Tampak jelas di matanya kilatan amarah di sana. Keraguan yang tadi memudar, kini kembali merundung.
Kamu lihat? Di sini memang bukan tempatmu, Rain!
Lagi-lagi logikanya mengompori. Akal sehat berusaha terus memanggil kesadarannya. Namun, Raina kembali memantapkan diri, setidaknya dia berusaha. Saat Dimas memang tak mungkin untuk kembali diraih, Raina berjanji untuk ikhlas melepaskan dan mengubur semua kenangan. Setiap kepingan waktu yang telah terlewatkan akan dia kubur dalam-dalam.
-***-
Raina membuka pintu perlahan lalu melongok untuk melihat keadaan. Namun, nihil. Hanya ada kegelapan di dalam sana.
Setelah cukup lama terdiam di depan pintu, dia akhirnya masuk. Hatinya ketar-ketir saat melangkahkan kaki lebih dalam. Sebelumnya dia sudah mengetuk pintu berkali-kali, tetapi tidak menemukan satu pun jawaban dari dalam kamar tidur. Karena berdiam diri di luar sangat tidak mungkin, Raina memilih untuk masuk meski rasa was-was meneror hatinya.
Kamar ini terasa begitu sepi. Dengan berjingkat dan meraba, Raina mencari saklar lampu. Begitu lampu menyala menerangi seluruh ruangan, Raina terpekik saat lehernya tiba-tiba dicekik. Tubuhnya didorong hingga terimpit dan menempel pada kerasnya dinding yang dingin.
"Ap-aph ..." Raina berusaha mengeluarkan suaranya. Dia memberontak, sekuat tenaga mendorong tubuh Dimas. Kedua tangannya memukuli tubuh kokoh di hadapannya dengan membabi buta. Dia berharap Dimas segera melepaskan cengkeraman pada lehernya. Napasnya terasa begitu sesak dan pandangannya mulai mengabur.
"Jangan pernah berpikir kamu akan menang, bitch!" Dimas menatap Raina tepat di kedua bola mata. Sorotnya begitu dingin dan angkuh. "Satu langkah kamu mendekatiku, satu langkah juga kamu mendekati neraka dunia," ancamnya dengan penuh penekanan pada tiap suku kata yang keluar dari mulutnya.
Dimas melepaskan cengkeraman pada leher Raina dengan kasar. Tubuh Raina langsung lunglai menghantam dinginnya lantai. Raina terbatuk. Kedua sudut matanya menitikkan cairan bening. Tak menunggu waktu lama, bulir air itu berubah menjadi hujan.
Raina menangis memeluk diri sendiri. Tubuh mungilnya semakin merosot tanpa daya. Kerudungnya sudah basah oleh air mata yang membanjir. Nyalinya menciut, tetapi tarikan napas lega cukup menenangkan hatinya ketika melihat Dimas melangkah menjauh.
"Jangan terlalu keras kepala! Menuruti kemauan Maya, itu berarti kamu menggali kuburanmu sendiri," ujar Dimas masih dengan penekanan yang sama. Tiada rasa hormat tersirat ketika dia mengucapkan nama mantan mertuanya.
Dimas meloloskan kaos putih dari tubuhnya yang atletis. Dia juga menanggalkan celana bahannya lalu melemparkan benda itu ke dalam keranjang di dekat kamar mandi.
Sementara di belakang sana, Raina bergeming. Pemandangan di depan matanya yang bulat jernih membuat dadanya berdesir hebat. Wajahnya seketika memerah. Dengan sisa kekuatan, dia memalingkan wajah.
Dimas memasuki kamar mandi. Suara debam pintu cukup nyaring terdengar di dalam kamar tidur yang berukuran besar.
Raina bergerak perlahan. Tangannya lalu terangkat menyentuh wajah lalu menyapu air mata yang masih menggenang di pelupuknya.
"Apa kamu yakin bisa bertahan?" lirihnya pada diri sendiri sambil meraba leher yang terasa begitu perih. Air matanya kembali merebak. Dimas jelas-jelas menolak kehadirannya.
.
.
.
Thanks for reading 🥰
Jangan lupa tinggalkan jejak ⭐💬
Repost
21 September 2024
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top