02. Aku Mohon

"Apa-apaan, Han? Gak bisa mikir cara lain apa?" bentak Tivana berkacak pinggang. Suaranya yang memang melengking, memekakkan telinga. Kedua tangannya yang sedari tadi mengepal di pangkuan, menggebrak meja kayu berbentuk bundar yang mereka kelilingi.

Tivana memang seperti itu, meledak-ledak jika sedang marah atau menunjukkan ketidaksukaan. Menurutnya, permintaan yang baru saja Hana utarakan adalah ide paling gila di antara segala kegilaan perempuan itu-selama mereka saling mengenal.

"Kalo kamu mau mampus, ya, mampus aja!" hardik Tivana mengacungkan telunjuk tepat di kepala Hana. Perempuan berkulit putih pucat itu balas menatapnya dengan sepasang netra yang berkaca-kaca.

"Ini kepala ada otaknya gak sih? Gak bisa mikir! Aku tau kamu gak punya hati buat ngerasain simpati apalagi sampai berempati sama orang lain, tapi seenggaknya kamu masih punya malu untuk minta macam-macam sama orang yang udah kamu lukai hatinya selama ini." Napas Tivana turun naik seiring gerakan dadanya yang kembang kempis menahan emosi.

Raina terdiam setelah mendengar penuturan Hana, masih berusaha mencerna. Dia terlalu shock hingga tak mampu merespon permintaan 'sahabatnya' itu.

"Kamu!" Tivana mengacungkan telunjuk tepat di wajah Raina, "Jangan mau nurutin ide konyol dia! Pake otak kamu, jangan pake hati!" tekan Tivana tanpa memedulikan Hana yang kini berlinangan air mata. "Sekalipun Arka yang jadi alasannya. Anak itu bisa tetap ketemu sama kamu meskipun kamu gak nikah sama bapaknya yang juga gak punya otak kayak perempuan ini."

"Aku ...." Hana tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Dia sesenggukan, sekuat tenaga berusaha menyuarakan keinginan meski diserbu oleh rasa sakit karena perkataan tajam Tivana.

"Aku ... kembalikan Dimas sama kamu," lirih Hana. Matanya begitu sendu menatap Raina penuh permohonan. Dia acuhkan Tivana yang menikamnya dengan tatapan setajam belati. Dia tahu, jika bisa, Tivana tidak akan segan mencacahnya untuk dijadikan makanan bagi buaya di kali.

"Aku ...." Raina tercekat. Gumpalan emosi tertahan di tenggorokan. Dia kalut dan juga marah. Bagaimanapun dia diam selama ini, dia tetaplah manusia yang memiliki hati.

"Hana, maaf," ucap Raina setelah keheningan cukup lama menyelimuti. "Mungkin kamu bisa mengusahakan jalan lain." Raina menunduk, meremasi ujung hijabnya.

"Please, nikah sama Dimas. Aku gak tau gimana nanti hidupnya setelah aku tinggal. Dan, si kecil Arka, dia butuh sosok ibu yang penyayang dan berhati lembut. Dan, cuma kamu perempuan yang tepat untuk jadi ibunya," pinta Hana pada Raina. Sekali lagi dia mengutarakan keinginannya. Mungkin saja untuk yang terakhir kali.

Tivana berdecak melihat kekeraskepalaan Hana. Dia tak habis pikir, mengapa Hana begitu suka menyulitkan Raina. Dulu merebut Dimas di saat sepasang kekasih itu tengah merencanakan pernikahan, lalu sekarang mengembalikan lelaki itu tak ubahnya sebuah barang.

"Ikhtiar, Han. Pengobatan jaman sekarang canggih. InsyaAllah, Dia akan kasih kamu kesembuhan," tukas Raina. Kini perempuan berhijab abu-abu itu berani mengangkat kepala untuk menatap Hana tepat di kedua bola mata. Dia tidak boleh lemah.

Hana menggeleng. "Kanker payudara stadium tiga gak mudah untuk disembuhkan. Aku sekarat. Aku tau hidupku gak akan lama lagi. Dia saat ini sedang menghukumku. Aku ...." Dia menunduk. Kedua tangannya saling memilin gelisah. "Seorang pendosa," lanjutnya.

Tivana membuang muka. Terlalu muak melihat keegoisan Hana. Dia berharap Raina tidak cukup tolol untuk kembali jatuh pada tipu daya Hana. Bagi Tivana, Hana bukan lagi sahabatnya. Andai tidak menghargai Raina yang sudah berbesar hati memaafkan, Tivana tidak akan pernah lagi peduli. Di matanya, hubungan persahabatan mereka bertiga tidak lagi sehat. Semua penuh dengan kepalsuan.

"Akan aku pertimbangkan," putus Raina.

Tivana tercengang mendengar perkataan Raina. Di sisi lain, Hana tersenyum dan tiada hentinya mengucap terima kasih.

-***-

Hujan di luar begitu deras menghadirkan hawa dingin yang begitu menusuk. Dimas menarikkan selimut untuk Hana yang berbaring di bantal bulu angsa. Ditatapnya wajah pucat sang istri. Jujur saja, sampai saat ini di hatinya masih tidak merasakan cinta. Sedikit pun tiada getaran seperti yang dia rasakan pada mantan kekasihnya. Ah, sayang sekali, rasa benci pada Raina kini lebih besar dari rasa cinta yang dia miliki untuk perempuan itu.

"Please, nikah sama Raina. Lupain masa lalu. Kalian bisa memulai hidup bersama seperti rencana kalian dulu, sebelum akhirnya Mas memutuskan nikah sama aku," pinta Hana pada Dimas. Sekali lagi dia mengutarakan keinginannya. Lelaki itu masih bergeming. Dari rautnya, jelas sekali menolak keinginan Hana.

"Udah malam, istirahat yang banyak." Dimas mengecup kening Hana dan membelai rambut beraroma melati itu.

"Aku mohon, pikirkan lagi. Aku tau ...." Hana menjeda perkataannya. Ditatapnya Dimas lekat-lekat, menyelami kedua netra yang tak pernah memancarkan gairah apalagi cinta padanya. "Kamu masih mencintai Raina, Mas."

Dimas terkesiap. Untuk beberapa saat dia membisu, tetapi dengan cepat menguasai diri.

"Jangan ngomong yang aneh-aneh! Kamu tau pasti kalo aku sama dia udah lama selesai," tandas Dimas. Keinginannya begitu kuat untuk mengakhiri topik pembicaraan ini.

"Tapi, Mas," bantah Hana. Dia akan berjuang sekuat tenaga untuk mengubah jalan pikiran suaminya. Meski berat, rela tak rela, dia harus mengikhlaskan Dimas. Toh, selama ini dia sadar jika suaminya tidak sama sekali mencintainya. Segala perbuatan baik yang dia terima semata karena mereka terlanjur terikat dalam ikatan suci.

"Aku masih ada kerjaan. Jangan tidur terlalu malam." Dimas berdiri. Dia tidak ingin berdebat.

Berlalu dengan langkah lebar, saklar lampu kamar tidur yang berada di dekat pintu dia tekan untuk mematikan daya. Dalam sekejap ruangan itu berubah gelap gulita.

Hana memandang punggung kokoh Dimas. Dalam hati, dia semakin merasa bersalah. Andai dulu dia tidak terlalu berani dan lancang mengambil langkah, dia tidak akan pernah menjadi perusak hubungan. Sayangnya, dia begitu serakah. Awalnya dia kira seiring berjalannya waktu, Dimas bisa membalas perasaannya. Namun, ternyata tidak.
.
.
.
Repost
Samarinda, 11 September 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top