🍬 8. Konflik 🍬
Malam, temans. Yang minta cerita ini dilanjut, kuyy langsung merapat. Yang gak suka, balik kanan ajahhh. Daripada darting.
"Kal ...."
Kalila bergegas keluar kamar begitu mendengar panggilan Indri. Untunglah shalat asharnya sudah selesai. Kalau tidak, bisa-bisa Aizar mengomel.
"Ya, Ma." Kalila duduk di samping Indri yang sedang memegang ponsel. Mata neliau bahkan tidak bergeser dari benda di tangannya meski Kalila sudah ada di dekatnya. "Apa yang bisa Kalila bantu untuk Mama?"
Indri berdecak. "Nggak gitu mestinya kalimatmu." Tangannya meletakkan ponsel di meja, lalu memberikan sebuah kartu ATM. "Antarkan Renita dan Afif beli keperluan mereka! Kalau mereka mau baju, belikan juga! Kamu juga belilah, terserah mau beli berapa pokoknya adik-adikmu senang."
"Tapi, Ma ...."
"Tapi apa?" Indri tidak mau tahu keberatan Kalila. "Biasakan untuk mengurus keperluan adik iparmu. Setelah menikah dengan Aizar, kamu kakak mereka juga, 'kan?"
"Iya, Ma." Kalila memang merasa menjadi kakak Renita dan Afif, tetapi apa kata Aizar nanti? "Kartunya dibawa Renita saja, ya, Ma?" Mata Aizar sedang mengawasinya seperti elang. Sungguh, dirinya tak ingin salah mengambil keputusan.
"Nggak pake!" tolak Indri mentah-mentah. "Bisa lepas kendali adikmu itu. Apa-apa dibeli. Kamu jangan aturlah! Sekiranya itu cukup untuk mereka."
Ragu-ragu Kalila menerima kartu mertuanya. Indri membisikkan sederet angka yang langsung dihafalnya tanpa kesusahan. Dia menarik napas panjang, semoga keputusannya tepat dan tidak jadi masalah setelahnya.
"Tante, Selina boleh ikut belanja, nggak?"
Indri melirik Selina. "Boleh. Sekalian saja suruh Mbak Kalilamu bayarkan!"
Ini yang tidak mengenakkan, batin Kalila. Dia harus mengontrol pengeluaran saudara ipar, tetapi Selina tidak termasuk di dalamnya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan dihadapinya di pusat perbelanjaan nanti dengan keberadaan si sepupu ipar.
Setelah berusaha mengelak dan gagal, Kalila pergi dengan adik iparnya. Tak diduga, Aizar juga ikut pergi bersama Selina. Tidak ada bantahan saat dirinya duduk di samping Aizar. Perjalanan singkat yang menyenangkan dengan celoteh adik Aizar yang mengatakan butuh sepatu olah raga dan beberapa baju rumahan.
Drama perbelanjaan dimulai saat Selina mengambil sebuah tas yang bagi Kalila terlalu mahal. Dia menolak membayar tas itu meskipun si sepupu bersikeras dan mengancam akan memberitahu Indri. Kalila dengan berani berkata bahwa itu lebih baik. Bagaimanapun, dia hanya menjalankan apa yang mertuanya minta dengan bijaksana.
Mungkin Selina memiliki kebiasaan menghamburkan banyak uang untuk hal yang menurut Kalila tidak perlu. Namun, amanat tetaplah harus dilaksanakan dengan baik. Tak dihiraukannya tatapan Aizar yang mulai tajam ke arahnya.
"Tante Indri bilang boleh, Mbak. Memangnya tadi Mbak Kalila nggak dengar kalau aku boleh beli apa saja?"
Inilah yang dikhawatirkan Kalila sejak awal. "Boleh, tapi nggak semahal itu." Apa yang sedang dia coba untuk ungkapkan adalah untuk tidak membuang uang untuk hal tidak penting. "Lagian, saya yang pegang kartunya. Saya nggak berani bayar tas itu sedangkan pengeluaran kedua adik tidak sebanyak itu."
"Kolot amat Mbak Kalila. Itu nggak mahal, Mbak."
Nggak mahal! Yang benar saja. Kalila hanya bisa diam mendengar ucapan Selina. Gadis itu hanya tahu menghabiskan uang dan mengatakan harga tas tidak mahal. Apa memang begitu gaya hidupnya?
Kalila berlalu menyusul Renita dan Afif yang sudah menuju butik busana muslim. Senyumnya mengembang diam-diam melihat apa yang terpajang di sana. Ada gamis cantik berwarna nude pink. Serasi dengan hijabnya yang berwarna senada bermodel sederhana. Sepertinya ingin beki, tetapi mungkin lain kali.
"Mbak Kal," panggil Afif yang tiba-tiba saja sudah memegang gamis yang tadi dilirik Kalila. "Sepertinya ini cocok buat Mbak Kalila. Ambil, ya, Mbak?"
Kalila menggeleng. "Enggak. Bajunya Mbak masih banyak lho." Sebenarnya berat mengatakan itu di saat hatinya menyetujui ucapan Afif. "Malah ada beberapa yang belum pernah dipakai." Itu benar. Rasanya hanya akan membuang uang jika membeli sesuatu dan tidak dipergunakan.
"Gimana ceritanya punya baju yang belum pernah dipakai?" Renita terlihat heran. "Aku lihat, baju yang Mbak Kalila pakai hanya itu-itu aja kalau di rumah."
"Ya karena Mbak nggak nemu saat yang pas untuk pakai." Kalila tak sepenuhnya bohong. Gamis yang belum dipakainya adalah seserahan ketika menikah dan belum ada acara yang mengharuskannya untuk memakai baju itu. "Nggak mungkin, dong, pakai gamis untuk pesta di rumah."
"Astaga! Jangan bilang Mbak Kalila lagu ngomongin gamis seserahan dari Mas Ai."
"Memang yang itu kok." Kalila tersenyum mengingat kotak seserahan yang dia masukkan lemari begitu saja. Reaksi Aizar saat melihatnya membuat dirinya berpikir bahwa mungkin benda-benda itu bukan untuknya. "Belum pernah ada undangan pesta, sih. Jadi, nggak tahu kapan mau dipakai." Seluruh benda-benda pemberian Aizar bahkan masih di rumah bapaknya. Utuh dan tam tersentuh.
"Jadi, mau ambil yang mana, nih, Mbak Kal?" Afif mulai tak sabar. Tangannya meraih dua gamis dari gantungan. "Ini atau ini?"
"Mbak Kalila nggak pengin beli gamis," tolak Kalila. Tangannya meraih dua baju dari tangan Afif dan mengembalikan ke tempatnya. "Lain kali saja. Sekarang, kita cari lagi kebutuhan kalian. Mau beli apa?"
"Sok ngatur dan jual mahal. Padahal aslinya mau, tuh. Secara, ya, itu semua barang mahal."
Kalila bukannya tidak mendengar gerutuan Selina. Dia hanya menggeleng sekilas sebelum menarik tangan Renita untuk keluar butik diikuti oleh Afif. Terserah Aizar mau ikut atau bertahan di sana. Dirinya hanya mau adik iparnya mendapatkan semua yang dibutuhkan.
"Istrimu, Mas ... gaya betul. Sok baik itu, padahal aslinya suka banget kalau ngabisin duit. Meskipun aku nggak lihat harga, gamis yang dia pakai itu nggak murah."
Kalila hanya mengelus dada mendengar ucapan Selina. Memangnya penting membahas harga baju di saat seperti ini. Lagi pula, buat apa membahas dirinya dengan Aizar? Mereka berdua sama-sama tahu kalau Kalila bukan istri yang diinginkan.
Tidak mungkin Selina tidak tahu kondisi hubungan Aizar dan Kalila. Hampir setiap hari gadis itu menempeli Aizar. Sebagai perempuan cerdas, gerak-gerik Aizar pasti sudah terbaca. Ditambah dengan kedekatan mereka, tak mungkin ada yang disembunyikan lagi.
"Mbak Kal, aku mau sepatu yang ini, ya?"
Kalila menoleh pada Selina. Matanya melihat sepasang sepatu yang dilihat dari harganya saja terlihat tidak masuk akal. Pikirannya menolak untuk menghamburkan uang mertua demi sepatu yang menurutnya bisa dibeli dengan harga sedikit murah.
"Bisa pilih yang lain?" tanya Kalila.
"Mbak Kalila ini kenapa?" Selina mulai meradang. Matanya tajam menatap Kalila. "Tadi nggak boleh, ini nggak boleh! Bukannya Tante Indri sudah bilang kalau aku boleh belanja?"
"Memang, tapi pilihlah yang sesuai kebutuhan. Adik-adik saja bijak dalam memilih produk. Kenapa ka—"
"Sudah!" Aizar yang diam sejak tadi menengahi. "Kalau kau mau menyimpan uang Mama untukmu sendiri, lakukan saja! Setidaknya, aku makin tahu—"
"Mas Aizar ...." Renita memotong ucapan kakaknya. "Mau ngomong apa?"
"Nggak usah ikut campurlah," sahut Aizar mendadak santai. Sana lanjut pilih barang! Keburu malem kalau kelamaan."
"Jadi, rupa aslimu itu adalah ingin merampok uang mamaku dengan cara yang sangat halus. Tapi, kujamin, itu hanya akan terjadi dalam mimpimu."
"Mas A—"
"Nggak usah ngomong apa-apa!" Aizar menghentikan ucapan Kalila dengan jari telunjuk di depan bibir. "Tahanlah sementara uang itu, biar aku yang bayar belanjaan Selina."
Kalila tak bisa membendung air matanya saat Aizar dan Selina berlalu. Apa kata suaminya tadi? Merampok uang mertua? Tuduhan itu sangat kasar. Dia bahkan diam saja saat pria itu tak memberikan nafkah seperti yang seharusnya. Dirinya bukan perempuan mata duitan yang akan memanfaatkan keluarga demi ketamakan.
Yuk kasih saia komen yang banyak. Jangan minta cepat2 ya. Yang mau ngebut boleh ke karyakarsa. Di sana sudah bab 14.
Mampir ke sini, yaa👇. Dijamin baper😍
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top