🍬 7. Memanas 🍬
Malam temans. Kutemani malam minggumu, yaa. Selamat membaca😁
"Pikiranmu di mana?" Tatapan Bagus garang memaku Aizar. "Kamu harusnya tahu, mertuamu itu orang yang memahami segala sesuatu dengan cepat dan kamu kirim Kalila ke sana tanpa mampir."
"Papa nyalahin aku?" Aizar tidak terima. "Makanya, kalau nyuruh or—"
"Aizar!" Potong Indri. "Apa begitu cara mama mengajarimu?"
Aizar menunduk. Jika suara Indri sudah menajam, artinya tak ada bantahan. Mau membela diri seperti apa pun, jangan harap alasannya diterima.
Kalila hanya bisa diam. Menunduk tanpa ada niat untuk membela suaminya. Mau bagaimana? Ini bukanlah kapasitas dirinya untuk membela atau Aizar akan mengatakan dirinya sok pahlawan. Dari sekian banyak tuduhan mertuanya, tak satu pun yang bisa dibantah Aizar.
Indri mengantar beberapa keperluan pesantren karena ternyata menjadi salah satu donatur. Kalila sudah berusaha menutupi kenyataan dengan mengatakan ingin ke rumah bapaknya. Namun, Indri tidak percaya. Begitu pun Bagus. Menurut beliau, Kalila adalah tipe menantu yang tidak akan pergi ke mana-mana tanpa izin. Tinggal di rumah mertua membuat Kalila memiliki kewajiban izin tak hanya kepada Aizar, tetapi juga pada mertua.
"Mbak Kalila yang minta ke rumah bapaknya, Om," ujar Selina lirih.
Hening. Tidak ada kata-kata yang terdengar setelah ucapan Selina. Kalila mengamati sepupu suaminya yang duduk gelisah. Mungkin menyadari bahwa kalimat itu bakal dimentahkan mertuanya.
"Om kenal Kalila sama seperti Om mengenalmu." Bagas berbicara tanpa basa-basi. "Om tahu baik buruknya dia sama seperti Om hafal baik burukmu. Jadi, apa yang kamu katakan itu nggak mungkin."
"Ya sudah, sih, Om. Tanya saja itu, Mbak Kalila-nya."
Sejujurnya, Kalila tidak ingin ditanya apa-apa. Dia tidak ingin berbohong dan tidak ingin suaminya mendapat marah di saat yang sama. Namun, mengatakan yang sebenarnya juga pasti akan menyulut pertikaian.
Kehidupan rumah tangganya saja sudah tidak tenang. Ditambah dengan masalah ini. Aizar pasti semakin membencinya.
"Mestinya kamu sadar, masmu itu sudah menikah. Lagian, kamu ke sini mau liburan, 'kan? Ini ...." Bagus meletakkan kunci mobil di meja. "Hubungi teman-temanmu dan pergi dengan mereka. Kamu bukan orang baru di kota ini sampai harus mengajak Aizar ke mana-mana."
"Tapi, Om ...."
"Nggak ada tapi-tapi. Mobil siap, bahan bakar penuh. Nggak ada alasan apa-apa lagi."
Ketika kemarahan sudah mereda dan tidak ada tanda-tanda membahas masalah yang sama, Kalila memilih pergi ke dapur. Di sana, dia membantu Isah yang sedang menyiapkan makan malam. Seperti biasa, asisten rumah tangga itu hanya memotong sayur dan menempatkannya di wadah-wadah.
"Mbak Kalila masak saja capcay-nya! Kerupuk udang sudah digoreng. Tahu goreng biar saya yang goreng."
"Iya." Tanpa diminta dua kali, Kalila langsung bekerja. Tangannya cekatan mengerjakan ini dan itu. Memilih bumbu yang dibutuhkan.
Ketika masakan matang dan menyiapkan semuanya di meja makan, Kalila melihat Aizar sudah duduk di sana. Dia tahu tatapan pria itu mengikutinya. Dengan beberapa kesibukan seperti sekarang, Kalila tidak sempat memikirkan hal lain termasuk suasana hati suaminya.
Makan malam berlangsung tenang meski sempat diselingi drama ala Selina. Gadis itu ingin ayam goreng dan Indri menyuruhnya untuk menggoreng sendiri. Protes yang diajukan sang keponakan tidak dianggap indah. Bagus juga mengatakan bahwa ketika orang sudah menganggap tempat itu sebagai rumah sendiri maka tidak ada alasan untuk tidak mengerjakan apa-apa sendiri.
Kalila masuk kamar setelah semuanya rapi. Dia pikir, itu adalah tempat yang tepat daripada ruang tengah. Obrolan di sana tidak akan masuk ke pikirannya apalagi topik yang Selina pilih adalah tentang fashion dan benda-benda yang katanya mendunia.
Kalila berniat untuk mengganti baju saat pintu terbuka. Aizar masuk dengan ekspresi tak menyenangkan di wajah. Memangnya kapan pria itu pernah enak dilihat jika di dekat Kalila? Tidak pernah, 'kan? Mukanya selalu masam atau bahkan garang.
"Mas Ai—"
"Nggak usah ngomong apa-apa!" Seperti biasa, suara Aizar tak pernah lembut. "Sudah cukup papa ngomel-ngomel dan kamu nggak usah nambahin!"
Aizar berlalu ke kamar mandi sedangkan Kalila membisu di tempatnya. Ada lega yang merambat ke hatinya. Aizar tidak menyalahkannya atas apa yang terjadi hari ini.
"Kenapa Mama sampai tahu kau pulang ke rumahmu?" tanya Aizar setelah duduk bersandar di tempat tidur.
Lega yang terlalu cepat datang bagi Kalila. Pulang? Dia merasa tidak pulang ke rumah bapaknya tetapi diminta pulang selama suaminya main golf dengan perempuan yang bergelar sepupu. Permintaan yang hatinya tahu tidak benar, tetapi tidak bisa membantah.
"Nggak mau jawab?" desak Aizar dengan nada tidak sabar.
"Saya diminta membantu adik-adik hafalan di masjid pas tiba-tiba ketemu Mama."
"Apa yang kau katakan pada Mama?"
"Nggak ngomong apa-apa." Kalila menjawab seadanya meskipun tahu kalimatnya tak akan menyenangkan hati Aizar.
"Nggak mungkin Mama marah sampai ngadu ke Papa kalau kau tak mengatakan apa pun. Pasti ada yang memicunya dan itu darimu."
Percuma menjelaskan sesuatu kepada Aizar. Salah atau benar, Kalila akan selalu salah. Tidak pernah ada kebenaran jika itu berhubungan dengannya.
"Kupingmu nggak dengar, Kal? Apa yang menyebabkan Mama marah?"
"Saya nggak tahu, Mas."
"Nggak tahu, nggak tahu. Kalau ditanya selalu nggak tahu. Tahumu apa?"
"Saya memang nggak tahu, Mas. Tiba-tiba Mama sudah ada di sana."
"Kamu nggak kirim pesan ke Mama?"
Kalila menggeleng. Tidak tahu kenapa Aizar terus mempermasalahkan hal yang sudah lewat. Papanya bahkan tidak memperpanjang hal ini sedikit pun. Seperti kurang pekerjaan saja.
"Mas, Mas Aizar suka dengan Selina, ya?"
Aizar bangun dari posisi rebahnya. Tatapannya tajam menghunus Kalila yang seketika mengkerut, menyesali pertanyaannya. Seharusnya, dia tidak mencari perkara dan tetap diam.
"Apa maksudmu bertanya begitu?"
"Karena Mas Aizar memilih untuk mengusir saya pulang dan berduaan dengan Selina. Itu nggak baik, Mas."
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Begitu kalau punya pemikiran picik. Nggak ada hal baik yang bisa dipikirkan selain mencari kesalahan orang lain."
Kalila tidak tahu dari mana kata picik itu berasal. Apa yang dikatakannya benar. Menurut bapaknya, tidak baik bagi laki-laki dan perempuan bersama-sama meski mereka adalah sepupu.
"Dengarkan!" Suara Aizar mantap dan tak mau dibantah. "Sadari posisimu yang secara kebetulan memiliki status sebagai istriku. Aku tidak menyukai pernikahan ini dan tetaplah jaga batasanmu!"
"Mas Ai—"
"Diam!" sela Aizar, "kau pasti dididik untuk tidak menyela kalimat orang lain. Jaga sopan santunmu yang katanya tanpa cela itu dengan menghormati aku." Aizar tidak peduli pada air mata Kalila yang sudah menetes dan berkali-kali diusap dengan ujung jari. "Aku malas berbicara berulang-ulang seperti kaset rusak sementara kau hanya bisa menangis. Sebenarnya, kau ini sudah dewasa atau masih anak-anak? Menyebalkan sekali."
Batas, batas. Getok niyy pala Aizar🤐
Kasih saia komen yang banyak, yaaaa.
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top