🍬 5. Sepupu 🍬
Malam, temans. Aizar menyapamuuu. Selamat membaca...
Sore itu, Kalila membuka pintu depan bertepatan dengan Aizar yang baru pulang kerja. Seorang gadis melingkarkan tangan di lengan suaminya dan itu membuat alis Kalila berkerut. Bukankah laki-laki dan perempuan tidak boleh sedekat itu?
"Maaf, ini sia ... pa?" Telanjur mengucapkan rasa penasarannya, Kalila baru ingat kalau dirinya tak berhak bertanya apa pun kepada Aizar. Sudah terlambat untuk menarik kata dan jadilah dia sedikit terbata.
"Ini Selina, sepupuku yang baru datang dari Singapura. Panggilkan saja Mama!"
Kalila berbalik meskipun hatinya ingin memisahkan tautan tangan berjari lentik itu dari lengan Aizar. Namun, perintah suaminya harus segera diikuti kalau tidak ingin mendapat omelan pedas menjelang tidur. Waktu tidak akan pernah tepat baginya jika itu berurusan dengan Aizar.
"Mama ...." Kalila berjalan cepat, lalu duduk di samping Indri yang sedang menonton televisi. "Mas Aizar datang dengan ... dengan ...." Kalila lupa siapa nama sepupu Aizar.
"Dengan siapa?" tanya Indri tanpa mengalihkan fokus dari televisi.
"Sepupu yang dari Singapura. Kalila lupa namanya."
"Selina."
"Iya, Selina. Mas Aizar bilang supaya memanggilkan Mama."
"Bocah kemarin sore minta Mama menemuinya?" melirik Kalila sejenak, lalu kembali mengalihkan tatapan ke televisi. "Biar dia yang ke sini! Kamu tetaplah duduk, Kal, jangan menjauh dari Mama!"
"Iya, Ma."
Tak lama Aizar masuk dengan sepupunya. Jari lentik itu masih berada di lekuk lengan Aizar tanpa merasa sungkan meskipun berada di depan Indri. Kalila hanya bisa menunduk.
"Aku menyuruhmu memanggilkan Mama, Kal. Kenapa malah duduk san—"
"Nggak usah nyalahin, Zar!" sela Indri, "Selina bukan tamu yang membuat Mama harus ke depan hanya untuk menyambut, 'kan? Biasa sajalah, nggak perlu berlebihan. Mama sudah tahu kalau dia mau datang, tantemu sudah menelpon."
"Apa kabar, Tante?" tanya Selina centil dan manja.
"Seperti yang kamu lihat. Tante baik dan nggak kekurangan suatu apa pun." Indri berucap sambil menegakkan duduknya. "Ini Kalila, istri Aizar. Sudah kenalan?"
Selina menggeleng. "Belum, Tan. Tadi cuma fokus cari Tante."
"Sudah ketemu tadi, Ma." Aizar menimpali.
"Bertemu kalau nggak dikenalin ya belum kenalan namanya. Lagian, kamu aneh, Zar. Istri bukain pintu malah disuruh masuk. Kenalin dulu lah biar persaudaraan ini tetap jelas."
"Kal, buatin minum untuk Selina!" pinta Aizar. Kali ini, suaranya pelan.
"Duduk, Kal!" Indri menarik tangan Kalila yang sudah bangkit hendak mengikuti permintaan Aizar. "Kamu bukan pembantu dan Selina bukan tamu. Kita semua keluarga. Jadi, dia bisa ambil minum kalau memang ingin. Atau ... dia bisa langsung ke belakang dan minta tolong sama Isah."
Kalila tahu pasti kalau Aizar ingin membantah ucapan mamanya. Begitu pun Selina. Terlihat sekali ekspresi sebal di wajah yang cantik dengan polesan makeup tebal.
"Mbak Isah ...." Selina berteriak tanpa rasa sungkan saat melihat Isah melintas sambil membawa setumpuk pakaian. "Tolong buatkan minum, ya?"
"Pakaian siapa itu, Sah?" Indri menoleh pada asisten rumah tangganya.
"Punya Mas Aizar, Bu."
"Berikan pada Kalila dan tolong pergi warung sate Pak Agus! Ambil pesanannya Bapak."
Kalila bangkit dan berjalan untuk mengambil pakaian Aizar dari tangan Isah. Sebenarnya bukan hanya milik Aizar, tetapi ada beberapa miliknya juga. Dia sudah sering berkata untuk tidak menyetrika bajunya dan yang terjadi tetaplah seperti ini.
Daripada ribut, akhirnya Kalila diam. Yang bisa diusahakannya hanyalah tetap mencucinya sendiri meskipun sering gagal. Hari-hari di rumah ini memang berbeda jauh dari tempat bapaknya. Dia yang terbiasa mengerjakan semuanya sendiri dan di sini harus belajar untuk berdiam diri. Sungguh, itu adalah adaptasi yang sulit baginya.
Saat makan malam, semua sudah duduk mengitari meja makan. Seperti biasa, Kalila akan mengambilkan nasi untuk Aizar dan bapak mertuanya. Indri makan nasi kalau sedang ingin saja.
"Mas Ai kenapa nggak ambil telor ceplok?" Selina sudah mengambil sebuah telur dan meletakkannya di piring Aizar. "Bagus tahu, Mas, untuk kesehatan."
"Makan saja kamu, Sel!" titah Bagus, papa Aizar. "Kalau Aizar mau apa-apa, biar dilayani sama istrinya. Kamu santai-santai saja makannya."
Kalila sempat merasa tidak enak melihat kelakuan Selina. Syukurlah, papa mertuanya peka sehingga gadis itu mulai makan dengan tenang. Meskipun beberapa kali tatapannya tertuju pada Aizar, tetapi tidak sekalipun pandangannya berbalas. Aizar fokus pada makannya sendiri.
Hal yang menggembirakan bagi Kalila adalah Aizar menambah porsi makan. Telor ceplok yang diambilkan Selina masih utuh di piringnya.
"Aku nggak mau telur itu."
Tanpa banyak bicara, Kalila memindahkan telur ceplok ke piringnya. Setelah itu, dia mengembalikan piring Aizar yang langsung mengambil sendiri kelengkapan lauknya. Kalila melanjutkan makan tanpa banyak bicara.
Kalila baru ingat, selama tinggal di sini, dia tidam pernah tahu Aizar mengambil telor ceplok. Rupanya, pria itu tidak menyukainya. Atau mungkin hanya merasa tidak enak pada keluarga. Bagaimanapun, bukan kewajiban Selina untuk melayaninya.
"Mbak Selina pasti nggak tahu kalau Mas Ai nggak suka telor ceplok," kata Renita, adik Aizar.
Selina menggeleng. "Kalau tahu, aku pasti ambilkan yang lain."
"Nggak usah repot, Sel!" timpal Afif, adik Aizar yang lain. "Ada Mbak Kalila yang ngeladenin Mas Aizar. Lagian, kamu di sini tamu. Nggak pantes kalau sampai begitu."
Selina melanjutkan makannya dengan malas. Kalila tahu itu. Mungkin, kalimat Afif terlalu kasar untuknya. Bagi Kalila, tidak biasanya Afif begitu. Semua adik iparnya baik, hanya Aizar saja dari tiga bersaudara itu yang sedikit pendiam.
"Selina pikir mau tinggal di sini selama liburan di rumah Mas Aizar." Selina mendorong piring kosongnya. "Tapi, baru tahu kalau Mas Aizar tinggal di sini setelah menikah."
"Meskipun Mas Aizar belum menikah, nggak pantes dong kamu tinggal sama dia," celetuk Renita.
"Sesudah menikah pun, tetep nggak pantes," sambung Afif. "Lagian, di sini kenapa, sih? Ada Mama sama Papa ini, lebih enak kalau mau ngantar liburan."
"Besok Sabtu, Selina minta diantar jalan-jalan. Mas Aizar libur, 'kan?"
Aizar tidak menjawab pertanyaan Selina. Pria itu memilih untuk terus menikmati makan malamnya. Kalila tahu, suaminya pasti menyetujui keinginan sang sepupu. Apalagi, melihat kedekatan mereka. Tidak mungkin ada penolakan, bukan?
"Mas Ai?" Selina memanggil Aizar, memastikan permintaannya dipenuhi.
"Hmm," gumam Aizar setelah mendorong piring kosongnya. Kalila segera memberikan air mineral yang sudah disiapkan sebelumnya.
"Mau antar Selina jalan-jalan, 'kan?"
"Boleh," jawab Aizar. "Mau ke mana?"
Apa pun yang Kalila inginkan, tak mungkin dikabulkan Aizar. Begitu juga saat ini. Tidak mungkin pria itu menolak keinginan sepupunya meski ada dirinya. Sebagai laki-laki yang sudah menikah, harusnya Aizar tahu bahwa keluar berdua dengan perempuan lain itu tidak baik. Namun, Kalila bisa apa? Dia bahkan tidak berani berharap supaya Aizar berkata tidak.
"Ke Araya. Aku pengin main golf, Mas."
"Wah, bagus itu kalau memang mau olah raga," komentar Indri. "Ajak Kalila sekalian, Zar!"
Gimana, gimana? Komenin yang banyak, dong.
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top