🍬 24. Negosiasi 🍬
Assalamualaikum. Selamat soreee ... lama nggak jumpa. Kangen, 'kan, yaa?
"Lila nggak mau!" Isak Kalila tumpah dalam pelukan Indri yang terus mengusap punggungnya. "Kalila nggak mau mengulang kesalahan lagi."
Kalila alpa menjaga ucapan. Kalimatnya membuat dua keluarga saling pandang, tetapi tak sanggup berkata-kata. Maulana yang terus membisu dan diam-diam berharap menemukan jalan keluar dari masalah ini. Kemudian, Bagus juga tak mampu bersuara. Sebagai mertua, belum pernah satu kali pun pria itu melihat perilaku buruk Kalila. Namun, sebagai orang tua, dia tahu perasaan Maulana.
"Papa rasa, mengembalikan Kalila pada orang tuanya adalah keputusan bijak, Zar!" Bagus masih tetap dengan pendapatnya. "Papa nggak mau anak orang tersiksa karena ulah anak sendiri."
"Aku nggak seburuk itu, Pa!"
"Mau buruk atau baik, Papa nggak tahu. Yang dilihat sekarang itu hanya fakta. Kalila saja nggak mau kamu jadikan istri, kami ... papa dan mamamu serta orang tua Kalila bisa berpikir apa?"
"Kalau perilakumu baik, Kalila pasti nggak ngomong gitu, 'kan?" Indri turut memojokkan anaknya.
Sungguh, Kalila tak ingin menjadi istri Aizar lebih lama lagi. Baginya, pernikahan yang seharusnya menjadi ladang pahala, nyatanya membuatnya jadi pembohong. Menutupi banyak hal buruk terus-menerus tanpa tahu kapan semuanya berakhir.
"Kal ...."
"Nggak usah panggil-panggil!" seru Kalila sambil mengusap air mata. "Bapak dan Ibukku nggak pernah bersuara tinggi padaku. Dan kau ap—"
"Kalila!" Nada memperingatkan sudah terdengar dalam suara Maulana untuk putrinya.
"Mas Ai selalu begitu sama Lila, Pak. Kau, kau, kau, dan kau ...."
"Kalila ...." Indri memeluk Kalila dan mereka menangis bersama.
Kalila tahu, sebagai orang tua Indri merasa malu. Beliau pasti merasa sedang dikuliti karena kelakuan putranya di depan besan. Pasti ada rasa gagal menjadi orang tua. Anak yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang, diberi pendidikan tinggi, berharap menjadi orang baik, nyatanya berperilaku seperti pria tidak terdidik.
"Sekali lagi, kami minta maaf, Kal!" Bagus tak dapat menyembunyikan penyesalan.
"Bukankah setiap orang berhak untuk mendapat kesempatan kedua?" lirih Aizar.
"Nggak mau!" isak Kalila, melepaskan diri dari pelukan Indri. "Aku nggak mau mendapati diriku berdiri di belakang Selina. Mengalah untuk Selina, apa-apa Selina. Lalu, perempuan tak punya baju yang—"
"Kalila!" Maulana kembali memperingatkan putrinya.
"Dasar kau anak kurang ajar!" Bagus tak lagi berhasil mengendalikan diri. Tinjunya melayang mengenai rahang Aizar dengan keras dan membuat putranya tersungkur.
"Mama ...." Kalila kembali dalam pelukan Indri setelah perempuan bergelar mertua itu berusaha menariknya berkali-kali.
Kalila tidak ingin melihat atau bertanya bagaimana keadaan Aizar. Biar tahu rasa, begitu pikirnya. Namun, kebaikan hatinya kembali muncul saat bogem mentah Bagus kembali membuat suaminya mengaduh.
"Sudah, Pa!" kata Kalila masih dengan isak tangis tertahan. Aizar bisa mati atau dilarikan ke rumah sakit jika terus menerima pukulan Bagus yang seolah tak berhenti.
"Untuk apa kamu hentikan, Kal?" protes Bagus. "Dia bahkan nggak pantas untuk dapat pembelaanmu."
Urusannya bisa panjang kalau terjadi apa-apa pada Aizar di rumah ini. Kalila menatap bapak dan ibunya yang terdiam dan hanya melihat emosi Bagus yang tak terkendali. Sama seperti mertuanya, mereka juga kecewa.
"Bisa repot kalau sampai patah tulang, Pa!" ujar Kalila.
Ada satu waktu saat Kalila merasa trenyuh melihat Aizar. Ketika pria itu didiamkan oleh Indri. Sebenarnya, Aizar bukannya tidak menurut sama sekali. Orang lain pasti menolak terang-terangan ketika dinikahkan dengan orang yang tak dicintai, sedangkan pria itu tidak.
Meskipun perilaku Aizar tidak baik, Kalila tidak mendendam. Dia hanya ingin melepaskan, kemudian hidup bebas tanpa saling menghalangi kebahagiaan masing-masing. Hatinya mencoba untuk berkompromi, tetapi ketika tidak ada timbal balik, semuanya sia-sia.
Masih jelas dalam ingatan Kalila kejadian di restoran cepat saji. Dia sudah berusaha menghindar, tetapi dituduh yang bukan-bukan. Kemudian, kesempatan kedua seperti apa yang akan diberikannya setelah semua itu? Setelah itu, kejadian dirinya menunggu sangat lama, sementara Aizar mengantar makan untuk Selina.
Rasanya, tak ada hal yang bisa Kalila berikan untuk Aizar. Dia sudah pernah mengabdikan diri sebagai istri, tetapi yang diterima hanya cemoohan dan makian-makian menyakitkan telinga. Hatinya sudah lelah diam.
"Perempuan yang kamu sakiti ini, bahkan nggak tega membiarkanmu terluka!" Bagus berniat memukul putranya kembali.
"Pak Bagus, sabar!" Maulana mendorong tangan besannya menjauh. "Semua ini, bisa kita bicarakan dengan baik. Lagi pula, kita semua orang beradab, 'kan?"
"Saya malu, Pak Maulana!" Bagus memegang sepasang alisnya yang berkerut dengan ibu jari dan telunjuk. Kemudian, mencubitnya hingga merah. Mungkin, meredakan sakit kepala akibat amukan emosi.
"Saya mengerti, mungkin Bapak benar, lebih baik kalau mereka i—"
"Bapak, jangan!" Meskipun menahan sakit dan memegang bibirnya yang pecah, Aizar mampu bersuara tegas memotong ucapan Maulana. "Saya tidak ingin bercerai dengan Kalila."
Maulana menarik napas panjang setelah menatap Halimah sekilas. "Pikirkan sekali lagi, Le! Bukankah sekian bulan pernikahan kalian tidak baik? Untuk apa lagi diteruskan?"
"Pernikahan kami baik!" Aizar bersikeras. "Kalila baik, Kalila sempurna dan melakukan kewajiban sebagai istri dengan sempurna. Yang tidak baik adalah saya. Saya yang tidak tahu diri dengan terus meninggikan ego dan tidak menganggap keberadaannya."
"Bukankah yang seperti itu sebaiknya diakhiri saja?" Maulana menatap tajam Aizar. "Kalila bisa mendapatkan orang lain yang menginginkannya, begitu pun kamu, Le!"
"Tidak, Pak!" tolak Aizar tegas, "saya hanya mau kesempatan kedua. Tolong restui kami!"
Kalila terdiam. Dia tidak tahu apa motif Aizar mengatakan bahwa pernikahan mereka baik. Segala sesuatu memang baik, sebenarnya, kecuali perangai suaminya yang bisa dikatakan kurang ajar.
"Bapak minta maaf karena sudah menyebabkanmu sengsara, Nduk!" Maulana mengalihkan tatapan pada Kalila, seratus persen mengabaikan permohonan Aizar. "Tapi, bagaimana rumah tanggamu adalah keputusanmu. Bapak ndak bisa memutuskan apa-apa setelah kesalahan yang Bapak buat."
Kalila tidak menyangka kalau bapaknya merasa bersalah atas nasibnya. Bukan begitu yang dia inginkan ketika menolak rujuk dengan Aizar. Semua ini murni tentang hatinya.
"Kal, aku minta kesempatan kedua!" Kali ini, Aizar pindah ke depan Kalila. Bersimpuh di lantai sambil memegang tangan istrinya. "Aku janji akan menjadi suami yang baik untukmu."
"Nggak mau!" Kalila menarik paksa tangannya dari genggaman Aizar. Namun gagal. Suaminya memegang tangannya erat tanpa menyakiti. "Lepas!"
"Tidak, Kal!" Aizar makin erat memegang tangan Kalila. "Aku tidak mengucapkan talak padamu! Aku ingin memulai rumah tangga kita."
Benar. Aizar memang tidak mengucapkan talak untuk Kalila. Namun, bagaimana memulai kembali rumah tangga? Bukankah rumah tangga mereka sudah dimulai sejak lama dan sekarang sudah hancur?
"Nggak ma—"
"Kal ...." Kali ini, Indri meraih kembali Kalila untuk dipeluk. "Maafin Mama, tapi ...." Indri diam sejenak. Tatapannya berpindah-pindah dari Kalila ke Aizar. Begitu terus sampai beberapa saat lamanya sebelum kembali berujar, "Memang hakmu untuk menolak Aizar karena pengalaman burukmu. Tapi, Mama pun rasanya nggak bisa pisah sama kamu. Jadi, setidaknya demi Mama ... kembalilah ke rumah!"
Kalau urusannya sudah orang tua, hati Kalila terasa gamang. Mau menerima itu berat, tidak diterima juga merasa bersalah. Di seluruh hari saat dirinya jadi menantu di rumah Bagas, Indri selalu menyayanginya. Bisa dikatakan, mereka adalah menantu dan mertua yang kompak.
"Mau, ya, Kal?"
"Bolehkah Kalila pikirkan dulu?" tanya Kalila. Bimbang merajai hatinya. "Dua atau tiga bulan?"
"Boleh," kata Indri, "ambillah waktu seberapa pun kamu mau, asal kembali ke rumah Mama."
"Tidak," tukas Aizar, "dua atau tiga bulan itu terlalu lama. Bagaimana kalau seminggu?"
Kalila menatap Aizar sekilas. Seminggu? Memang suaminya pikir dirinya apa? Berapa lama perasaannya tersiksa dan sekarang hanya diberi waktu selama tujuh hari untuk berpikir? Aizar waras?
"Seminggu setelah kelakuanmu?" Sebagai ayah, Bagas seolah tak pernah melewatkan kesempatan untuk mencela. "Sudah untung Kalila tidak bersikeras untuk bercerai."
Sebenarnya, siapa yang sanggup meninggalkan orang tua sebaik Bagus dan Indri? Namun, suami seperti Aizar tetap harus dipertimbangkan. Akan selalu ada resiko dari sebuah keputusan yang diambil.
"Tapi ...." Aizar kembali menoleh pada Kalila. Kali ini, memperhatikan wajah ayu itu dengan saksama sampai Kalila merasa jengah dan berpaling. "Kal, aku benar-benar tak ingin menceraikanmu."
"Apa-apaan?" Tanpa salam dan permisi, Yana masuk dari pintu ruang tamu yang terbuka. "Gimana caranya menikahi aku kalau Mas Izar nggak menceraikan Mbak Lila?"
Adek kek gini minta diapain, sih?
Love, Rain❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top