🍬 23. Dikembalikan 🍬

Assalamualaikum, selamat siang, temans. Kalila Aizar datang lagi menyapamu. Selamat membaca ....
.
.
.
"Meskipun kami orang tua Kalila, tapi kami ndak pengin ikut campur rumah tangga anak," tutur Maulana siang itu di depan Aizar sekeluarga. "Bagaimana kelanjutan rumah tangga mereka, biar mereka putuskan sendiri."

"Tapi, saya nggak mau cerai!" tegas Aizar.

"Bagaimana, Nduk?" Halimah menoleh pada Kalila yang duduk di sebelah kanannya.

"Lila nggak mau, Buk!"

"Jangan memutuskan sesuatu saat hatimu terasa panas, Kal!" pinta Aizar.

"Mulai kapan hati Kalila panas?" Jika sebelumnya Kalila hanya diam, kini tidak lagi. Hati dan pikirannya sudah lelah terus memendam kecewa atas sikap suaminya. "Selama ini, Mas Aizar nggak pernah nganggap Lila. Jadi, buat apa minta bertahan?"

"Ada alasannya aku begitu, Kal!"

Kalila menunduk, mengalihkan pandangannya ke lutut Halimah. Buat apa menatap Aizar? Pria itu bisa besar kepala, berpikir bahwa dirinya masih berharap. Demi segala alasan yang ada di seluruh dunia, Kalila tidak mau memberi celah sedikit pun.

"Kal, Mama minta ma ... af." Suara Indri terbata. Mungkin malu dengan perilaku anak sulungnya.

"Maaf, kami tidak becus dalam mendidik anak, Pak Maulana." Bagus terlihat tak enak mengucapkan kalimat itu pada besannya.

"Yang jadi masalah bukanlah soal kegagalan mendidik," kata Maulana, "sebagai orang tua, kita sudah berusaha memberi yang terbaik dan ingin anaknya jadi baik. Tapi, ada hal-hal yang tidak bisa dikendalikan."

Maulana tidak menyalahkan Bagus dalam mendidik anak. Dia tahu, kegagalan memiliki beberapa faktor yang tak sepenuhnya bisa diketahui dari mana asalnya. Yana, putrinya sendiri sudah merupakan contoh dan hal itulah yang membuatnya berpikir bahwa segala sesuatu bisa saja terjadi.

Dulu, Maulana pernah berangan-angan bahwa kedua anaknya akan menjadi muslimah yang baik dan penghafal Al Quran. Seiring berjalannya waktu, Yana mulai terlihat jiwa bebasnya. Meskipun tetap rajin mengikuti semua kegiatan keagamaan dan setiap aktivitas di pondok pesantren, gadis itu tetap tak membatasi pergaulan. Di hari-hari tertentu, Yana izin keluar untuk belajar kelompok dengan teman-teman dan itu berlanjut pergi ke pusat perbelanjaan atau keramaian-keramaian yang ada di kota.

"Kami tetap minta maaf, Pak Maulana. Saya benar-benar ...." Indri tak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia sibuk menahan tangis supaya tidak pecah.

"Ndak ada yang perlu dimaafkan." Halimah terlihat tak enak karena Indri yang terus meminta maaf. "Yang bisa kita lakukan sekarang adalah meninggalkan masa lalu dan menjadikannya sebagai pelajaran. Saya juga minta maaf, mungkin Kalila juga melakukan banyak ke—"

"Tidak ada kesalahan yang pernah dilakukan oleh Kalila," potong Indri cepat, "dia adalah perempuan yang ingin diambil menantu oleh semua ibu untuk anak laki-lakinya."

Diambil menantu, tetapi tidak dicintai. Kalila ingin menambahkan kalimat itu. Namun, lagi-lagi rasa hormatnya masihlah di atas rasa kecewa. Orang tuanya tidak boleh mendapat malu hanya karena tingkah lakunya.

"Kami hanya menyesalkan satu hal," tutur Maulana, "ketika merasa tidak cocok dengan Kalila, mengapa tidak dikembalikan pada kami saja alih-alih menyiksanya secara batin yang berkepanjangan?"

"Bukan begitu, Pak," kata Aizar, "saya nggak bermaksud begitu."

"Ndak bermaksud begitu bagaimana, Le? Kamu kalau ndak suka, ya jangan menyakiti!"

"Pak, saya minta maaf!"

"Sudahlah, Le!" Meskipun kecewa, Maulana terlihat legowo (ikhlas). "Ndak apa-apa kalau kamu memang maunya begitu. Yang penting, Lila sudah di rumah."

Kalila tahu kalau Bapaknya memendam kecewa. Namun, ada rasa yang lebih dari itu dalam hati beliau. Seperti biasa, sakit hati seperti apa pun tak akan membuat Maulana gelap mata, kemudian marah, dan menyerang dengan kata tajam.

"Bukan akhir seperti ini yang saya harapkan, Pak!" ujar Aizar pelan. "Jauh dari dalam hati, saya mengharap rumah tangga yang adem dan bahagia."

"Mau adem dan bahagia bagaimana kalau ...." Maulana terdiam sambil menatap putrinya. "Bapak rasa, di sini, Kalila lebih berhak untuk bersuara. Bagaimanapun, ini rumah tanggamu dengannya, Le!"

Kalila tahu, apa pun kondisi rumah tangganya, bapaknya tetaplah orang tua yang tak ingin anaknya bercerai. Apalagi, jika masalah masih bisa dicarikan solusi. Bukan berarti menghalanginya, tetapi segala sesuatu harus dipikirkan dengan matang.

"Saya minta maaf untuk itu, Pak," kata Aizar. Raut penyesalan terlihat jelas di wajahnya yang hari ini terlihat lebih ramah. "Saya benar-benar tidak bermaksud buruk."

"Minta maafnya sama Kalila!" Maulana berucap tegas. "Di sini, bukan Bapak yang sakit hati setiap hari."

"Nyuwun sewu (permisi), Pak Maulana." Indri kembali bersuara. "Ini saya nggak paham, lo. Bagaimana maksudnya Kalila kecewa setiap hari?"

"Tidak ada hak dan kewajiban yang ditunaikan secara sempurna dalam rumah tangga mereka. Dengan kata lain, Kalila hanya tameng untuk menutupi per—"

"Astagfirullah, Zar!" sela Indri sambil memegang dada. "Kamu ...."

"Ma!" Kalila berpindah duduk ke samping Indri untuk memberikan segelas minum hangat. "Pelan-pelan, Ma!"

Tidak seperti sebelumnya yang sampai ke rumah sakit gara-gara emosi, kali ini Indri lebih tenang. Sikap Kalila yang tak berubah, sanggup membuat hatinya menerima bahwa putranya memang sekurang ajar itu. Merasa sia-sia terus berpikir sampai sakit, sementara si anak tetap tak tahu bagaimana harus bersikap membuatnya bertekad untuk terus sehat.

"Katakan pada Mama, Kal!" Indri memegang tangan Kalila seperti biasa saat mereka ngobrol berdua di sore hari. "Berapa Aizar memberikan uang belanja padamu?"

Kalila diam, tidak tahu harus menjawab apa. Mau jujur, artinya membuka aib lagi, tidak jujur dirinya tak mau berbohong lagi. Serba salah kembali dirasakannya. Lagi pula, bukankah tak seharusnya Indri menanyakan hal itu?

"Berapa uang jajanmu?" sambung Indri.

"Nafkah untukmu dan keuangan rumah adalah dua hal berbeda."

"Ma, itu—"

"Mama sudah menduga!" Tanpa diduga, Indri menarik telinga Aizar tanpa ampun. "Anak bandel ini pasti alpa dengan urusan itu!"

"Ma, ampun, Ma!" pekik Aizar. "Ai kasih uang sama Kalila, dia aja yang nggak peduli!"

"Kasih uang bagaimana?" Mendengar ucapan Aizar, kemarahannya sedikit surut. Setidaknya, masih ada sedikit kebaikan yang dilakukan putranya di antara sederet keburukan yang ada. "Kalila bukan tipe perempuan yang nggak peduli."

"Ini buktinya!" Aizar membuka tas kerjanya, lalu mengeluarkan beberapa amplop coklat yang tak pernah dibuka. "Ai letakkan belanja ini di meja dan Kalila tak pernah menyentuhnya."

"Kamu bilang itu buat dia?"

Aizar menggeleng. "Kamar itu milik kami, buat apa mesti bilang?"

"Bocah nggak bener!" Indri kembali menarik napas panjang. "Kelakuanmu saja begitu, mana mungkin Kalila tahu maksudmu?

"Sudah!" pungkas Bagus. "Rasa-rasanya, ucapan Pak Maulana memang benar. Maksudnya bisa dipahami. Untuk apa berumah tangga kalau seperti ini keadaannya?"

"Apa maksud Papa?" tanya Aizar mulai terlihat cemas.

"Sebagaimana kami meminta Kalila secara baik-baik, hari ini kami kembalikan pula seca—"

"Papa, jangan!" Aizar memotong ucapan Bagus. Kali ini dengan tegas dan berani, lebih dari yang sudah-sudah. "Nggak ada cerai-cerai!"

Emang enak mulai bucin?? Seperti biasa, yang mau baca cepat langsung meluncur ke karyakarsa. Bab 41-42 sudah mengudara.

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top