🍬 22. Ngeyel 🍬

Assalamualaikum, temans. Selamat pagiii ... pokoknya ya, yang kangen ngomelin Aizar mesti baca bab ini😁
.
.
Ada banyak hal yang kemudian dipahami Kalila. Sebagai kakak, dirinya sudah menyayangi si adik dengan sebagaimana mestinya. Mendengarkan segala keluh kesah Yana termasuk ketidakcocokan gadis itu dengan pola pendidikan pesantren yang diinginkan orang tua mereka. Kalila pernah berbicara bahwa tak baik jika memaksakan segala sesuatu.

Siapa sangka jika kalimat yang pernah terucap, kini menjadi bumerang untuk Kalila? Dengan terang-terangan, Yana mengatakan bahwa rumah tangga yang dipaksakan tak akan berujung baik. Dengan berani dan penuh percaya diri, adiknya juga mengatakan kalau Kalila tak akan pernah mendapatkan cinta sang suami karena ada nama lain di hati pria itu.

Tanpa diberitahu Yana, Kalila sudah tahu kalau Aizar tidak pernah mencintainya. Bahkan pernikahan yang sudah terjadi tetap tidak membuat sang suami mencintainya. Aizar menutup rapat dan menjaga hatinya untuk Yana atau mungkin orang lain. Menurut ingatan Kalila, ada setidaknya dua perempuan lain selain adiknya yaitu Selina dan orang yang pernah ditemuinya di restoran cepat saji.

Tak pernah dianggap dan menjadi istri yang tak pernah dicintai membuat Kalila memilih jalan untuk berpisah. Meskipun Aizar tampak keberatan dengan keputusannya, tetapi dirinya bisa apa? Cukup sudah dia diperalat suaminya untuk menutupi kelakuan-kelakuan dari pandangan Indri dan Bagus, sang mertua.

Tangan Aizar dan Kalila tak pernah bergandengan menuju arah yang sama. Dalam rumah tangga tak sehat itu, tidak ada Kalila dan pendapat-pendapatnya. Yang ada hanya Aizar, si penentu segalanya. Memaksakan segala kehendak dan akan bersuara tinggi saat kehendaknya dilawan.

Jika suami seperti itu yang diharapkan Yana, Kalila dengan senang hati melepasnya. Tanpa dipaksa pun, dia akan mengakhiri ikatan yang sudah membuatnya terbelenggu. Orang boleh menilainya lemah, bahkan Yana sekali pun sudah begitu berani mengatakan hal yang tidak pantas. Namun, satu yang harus adiknya tahu bahwa sebagai kakak, tak akan ada lagi pembelaan atas semua yang akan terjadi.

Dari pintu kamarnya yang tidak tertutup, Kalila bisa mendengar perdebatan Yana dengan bapaknya. Sungguh, dia tidak pernah tahu kalau adiknya bisa seberani itu. Dulu, jangankan untuk membantah setiap perkataan orang tua, satu kata "tidak" dari orang tua mereka saja cukup untuk membuat Yana mundur dari setiap keinginan yang dinilai tidak baik.

"Bapak dan Ibuk tak pernah mendidikmu untuk menjadi perempuan yang tak beradab." Maulana masihlah bapak yang tegas dan berpendirian kuat. "Jika Aizar berpisah dengan kakakmu, tak akan Bapak terima pinangannya untuk anak Bapak yang lain."

"Kenapa selalu membela Mbak Lila?" Yana masih tidak terima keputusan bapaknya. "Mbak Lila sendiri yang sudah mengusir Mas Izar, lalu mengapa Mas Izar tidak diperbolehkan meminang gadis lain?"

"Buka kupingmu baik-baik, Nduk!" pinta Maulana, "boleh, Aizar boleh meminang perempuan mana saja, asal itu bukan putri Bapak."

"Pak—"

"Jangan menguji kesabaran bapakmu, Yana! Sudah terbukti ... kamu ndak layak untuk diberi kepercayaan."

"Tapi, Yana cinta!"

Tangis keras Yana terdengar memilukan di telinga Kalila. Sebesar ini cinta adiknya pada Aizar, sementara dirinya ... apa yang bisa dilakukan sekarang? Sampai di sini, dia tak akan lagi mempertanyakan kualitas Aizar. Urusan pria itu tak pernah menjadi urusannya, tetapi bagaimana nasib adiknya?

Mencintai memang terlihat mudah dan indah. Namun, saat rasa itu terbentur masalah sebesar ini maka yang terlihat hanyalah jalan buntu. Kalila memejamkan mata dan menarik napas panjang. Hati dan pikirannya menyatu, tertuju pada fokus yang bisa menenangkan hati. Percuma mengurusi masalah Aizar. Sejak awal, mereka tak pernah saling memiliki.

Kepasrahan adalah jalan terbaik. Hidup sudah ada yang mengatur dan mengembalikan prinsip pada hal itu bisa membantu untuk menenangkan diri. Kepahitan dan kesedihan memang tetap ada, tetapi setidaknya bisa dialihkan dan tidak sampai merusak diri sendiri.

"Jangan menjadi perempuan yang tidak tahu malu, Nduk!" tegur Halimah.

"Kenapa harus malu menyuarakan isi hati? Yana nggak membicarakan orang, nggak mencela siapa-siapa." Dibutakan cinta, Yana lupa rasa hormatnya. Menghindar dari seluruh ajaran yang pernah diterima selama masa pertumbuhannya.

Kalila masih terus mendengar perdebatan Yana yang tidak mau menurut apa kata orang tua. Adiknya sudah berubah sedemikian jauh. Menurutnya, Yana bukan mencintai, tetapi terobsesi. Entah apa yang ada dalam pikiran sang adik. Apa yang ingin ditunjukkannya hingga bersikap sangat keras kepala?

"Jauh dari orang tua tidak membuatmu belajar, Nduk!" suara Halimah masih kalem. "Ibuk ndak ingin kamu bekerja. Keluarlah dari pekerjaan itu dan tempa dirimu dengan pendidikan bagaimana menjadi perempuan saliha! Sampai kamu mengerti bagaimana harus bersikap, jangan kembali ke rumah ini!"

"Ibuk, jangan ambil ponsel Yana!" teriak Yana. "Bagaimana Yana bisa menghubu—"

"Menghubungi siapa? Lima tahun di pondok, ndak pernah Mbakmu memegang ponsel dan dia baik-baik saja sampai sekarang."

"Mbak Kalila lagi, Mbak Kalila lagi. Kalian terlalu pilih kasih!"

"Justru mengizinkanmu kuliah itu adalah pilih kasih!" sahut Maulana. "Mbakmu menurut pada apa yang kami katakan dan seperti katamu, Nduk ..., supaya kami tidak pilih-pilih, kami mengirimmu ke pesantren Pakdemu dan belajarlah di sana sampai mengerti. Begitu pun Mbakmu, akan kami kirim dia ke Surabaya biar tahu rasanya kuliah sepertimu."

"Tapi, Pak ...."

"Ndak ada tapi!" tegas Maulana. "Kamu akan merasakan yang Mbakmu rasakan dan Mbakmu merasakan apa yang kamu rasakan. Adil, 'kan? Dan ndak ada bantahan, jangan pria terus yang kamu pikir!"

Ketika orang tuanya melunak, Yana pun melunak. Saat orang tuanya berbicara pelan, tak ada jalan bagi Yana untuk membantah. Kalila tahu kalau sebentar lagi adiknya pasti akan mendatanginya, lalu merengek dan meminta bantuan.

"Mbak ...."

Baru saja Kalila memikirkan tentang Yana, adiknya masuk ke kamarnya dengan wajah basah. Dia hanya menatap gadis cantik itu sekilas, lalu kembali memejamkan mata.

"Jangan cueki aku, Mbak!" Yana duduk di tempat tidur seraya memegang tangan Kalila. "Nggak lelah di kamar terus?"

Kalila membuka mata. "Nggak," jawabnya, "mau apa?"

"Aku nggak mau mondok di tempat Pakdhe. Bantu aku bilang ke Bapak, Mbak!"

"Kamu sudah dewasa dan lebih dari mampu untuk mengurus urusanmu sendiri!" tolak Kalila halus.

"Tapi, Bapak ...." Yana mulai tersedu, tetapi tetap Kalila mendiamkannya. "Tapi, Mbak Lila nggak berubah pikiran soal pisah sama Mas Izar?"

Kalila hanya bisa menatap Yana. Terdiam dan berpikir bagaimana adiknya berubah menjadi sedemikian tidak tahu malu. Sebentar menangis, kemudian diam dan mulai berbicara lagi. Menyuarakan perasaan kepada orang lain dan terlebih lagi menginginkan kakak iparnya.

"Mbak rasa, itu bukan urusanmu, 'kan?" balas Kalila tenang.

"Urusanku jika berurusan dengan Mas Izar." Yana bersikeras. "Seperti biasa, mengalahlah karena Mbak Lila bisa mendapatkan segalanya dengan mudah. Mbak Lila bisa mendapatkan pria manapun yang Mbak mau."

"Kenapa bukan kamu saja yang begitu?"

"Aku maunya sama Mas Izar!"

"Kamu maksa?"

"Iya, pokoknya tinggalkan Mas Izar!"

Definisi pen ditampol tuh kek gini, ya?😝😝
Buat temans yang pengen baca cepat bisa langsung melipir ke karyakarsa. Maciii🥰

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top