🍬 21. Terkuak 🍬

Assalamualaikum, temans. Selamat sore. Ada beberapa komen yang bikin aku ngakak saking lucunya. Jadi, karena hatiku lagi senang, kukasoh double update. Semoga syukaakk😁😁

gadisJelena Antara gumus sama bete, dadanya sampe mau dikeramik😅

MiizumiKaze masa mesti keramik dada juga biar sanggup mbaca? 😷

AnnaNoor326 pertanyaan yg begini banyak juga. Jawabnya ... ya sabar😁

Selamat membaca 👇👇👇

Kalau ada pukulan yang sengaja diarahkan padanya, Kalila  pasti tak akan sesakit ini. Kalimat Yana seperti runtuhan bukit yang terhempas begitu saja, lalu menghantam dadanya. Napasnya terasa berhenti, disusul gemetar yang yang susah disembunyikan, sebesar apa pun usahanya.

Apa yang terjadi dalam pernikahannya? Dimulai dari keterkejutan Aizar di hari pernikahan mereka, disusul perlakuan tidak menyenangkan yang masih terjadi hingga saat ini membuat matanya terbuka. Urutan kejadian yang disambungkan dengan perlahan, membentuk peristiwa menyakitkan berawal dari kesalahan menerima pinangan.

“Pinangan apa?” tanya Maulana tegas, “tidakkah kamu tahu kalau Aizar adalah suami kakakmu?”

“Suami ka ... kak?” Kali ini, Giliran Yana yang terperanjat. “Bagaimana bisa? Seminggu yang lalu ... sebelum libur, Mas Aizar bilang—”

“Berhenti!” sela Aizar sambil menatap tajam pada Yana. “Saya tidak mengatakan apa-apa, termasuk lamaran seperti perkataanmu tadi.”

“Mbak Kalila ....” Yana duduk di sisi kiri Kalila, memegang tangan kakaknya, dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Kalila diam. Jika biasanya dia mendengarkan setiap cerita dan curahan hati Yana dengan senang, tetapi kali ini tidak. Apa yang bisa dikatakan untuk menghibur adiknya, sementara hatinya sendiri telah porak poranda? Semula, dia berniat menyembunyikan seluruh cerita pernikahannya yang tidak bahagia. Namun, dengan kenyataan yang terjadi, rasanya tak ada yang perlu disembunyikan lagi.

“Mbak tahu, ‘kan, kalau aku tidak pernah berbohong?” Yana meremas sebelah tangan Kalila di meja.

“Ini sebenarnya apa yang terjadi?” Maulana mulai menangkap gelagat tak mengenakkan.

“Mas Izar bilang kalau mau melamar Yana. Tapi, tunggu dulu sampai lulus. Mas Izar bohong ....”

“Kalila ....” Maulana tidak mendengarkan ucapan Yana yang tidak karuan. Pria paruh baya itu justru menatap putri sulungnya dengan tatapan tajam. Sama seperti putrinya, ada pemahaman yang secara perlahan meresap ke dalam pikiran dan itu membuat beliau menunduk.

Mata Kalila terpejam sejenak. Kejadian mengenai adiknya yang tidak hadir di pernikahannya karena ujian. Kemudian kesibukan-kesibukan yang menyusul dengan alasan ingin cepat lulus. Untuk inikah semua itu adiknya lakukan? Demi pinangan dari pria yang kini berstatus suaminya?  

 “Nduk, ini pasti ada kekeliruan yang ha—”

“Pak .... Yana tidak pernah berbohong!” sela Yana, “meskipun tidak menempuh pendidikan dalam pesantren seperti Mbak Lila, Yana tetap berpegang pada ajaran yang Bapak dan Ibu ajarkan sejak kecil.”

Kalila bahkan tidak menegur Yana yang sudah berani memotong ucapan bapak mereka. Apakah tadi adiknya bilang berpegang pada ajaran? Jika begitu, mestinya Yana tidak menyela ucapan orang tua. Dari mana Yana belajar bermain kata dan mulai menggeser kebenaran serta adab yang ditanamkan sejak mereka sama-sama tumbuh di tempat ini?

“Nduk ....”

“Yana ....”

Halimah dan Maulana memanggil Yana secara bersamaan. Mata keduanya sama-sama tertuju pada putri bungsu mereka yang meskipun duduk tenang, tetapi matanya menyiratkan pemberontakan. Sudah pasti protes karena merasa kejujurannya sedang dipertanyakan.

Kalila tahu dan paham bagaimana harus menangani Yana. Mereka memang bersaudara, tetapi memiliki karakter yang berbeda jauh. Jika Kalila akan diam dan mengiyakan apa pun kata orang tua maka Yana tidak. Adiknya akan menolak segala hal yang tidak sesuai dengan hatinya. Apa yang dirasakannya akan diutarakan tanpa peduli itu menyinggung perasaan orang lain atau tidak.

Contohnya seperti saat ini, Yana menatap Halimah dengan berani. Tak peduli Maulana duduk di sana, gadis itu berpikir bahwa jika ibunya sudah mengatakan sesuatu, mustahil bagi Maulana untuk tidak setuju. Dia lupa bahwa secinta apa pun bapak mereka pada ibunya, ibunya tetaplah perempuan yang akan menurut pada keputusan Maulana sebagai kepala rumah tangga sekaligus imam yang akan terus membimbing keluarga mereka.

“Apa Bapak pernah mengajarkanmu untuk menatap wajah orang tuamu ketika sedang marah?” Pelan saja suara Maulana, tetapi mampu membuat Yana tertunduk. “Sudah dikatakan sejak awal bahwa Aizar adalah suami kakakmu. Masih pantaskah kamu mendebat?”

“Yana jujur, Pak!” tutur Yana. Kepalanya memang menunduk, tetapi keberaniannya tidak surut.

“Apa kejujuran membuatmu melupakan adab?”

Kali ini, Kalila menatap Iba pada Yana. Selalu ada jalan bagi Maulana untuk menunjukkan kesalahan tanpa ledakan kemarahan dan teriakan serta membungkam seluruh argumen yang siap dimuntahkan putrinya. Belum pernah dia melihat adiknya serapuh hari ini, rasa iba pun menyusup secara perlahan ke hati Kalila.

“Pak ... apa—”

“Jangan memulai sesuatu yang tidak pernah kamu lakukan, Lila!”

Kalila mengangguk, kembali menunduk, dan diam. Tak ada ceritanya ada bantahan ketika Maulana sudah berbicara. Baginya, setiap kata yang keluar dari bibir bapaknya adalah pembelajaran. Tidak ada jalan untuk membela Yana dan mungkin Aizar juga.

“Sampai Bapak mengetahui permasalahan ini dengan jelas, jangan ada yang  berbicara jika tidak ditanya!”

“Mbak Lila pasti akan menangis dan menggunakan air matanya untuk meluluhkan hati Bapak. Di mata Bapak dan Ibu serta semua orang, Mbak Lila tetaplah yang terbaik dan kalian—”

“Diam!” geram Maulana, “sekali lagi kamu berani berbicara, pergi dari rumah ini dan jangan kembali sebelum kamu mengerti bagaimana cara menggunakan mulutmu dengan benar!”

Jika sebelumnya Kalila menahan air mata, kini rasanya sudah tidak bisa lagi. Bulirannya sudah mulai menuruni pipi, sementara tangannya sibuk menepuk-nepuk wajah. Bukan ini yang dia inginkan terjadi. Tidakkah Yana tahu bahwa dirinyalah korban tunggal dari semua kesalahan ini?

“Jangan ada yang berani berbicara jika bapak belum bertanya!” Maulana menatap putri dan menantunya bergantian. “Paham?”

Tidak demi apa pun juga, Kalila ingin semuanya selesai hari ini. Dia lelah terus menutupi dan terlempar dari satu kebohongan ke kebohongan lainnya. Dirinya bosan tidak dianggap dan terus mengalah demi memuaskan ego Aizar yang tidak ada batasnya.

“Apa yang terjadi pagi ini, Bapak bisa menarik kesimpulan. Bapak tidak bisa membela atau menyalahkan siapapun. Jadi, Bapak beri kesempatan padamu, Lila. Ada yang ingin kamu katakan?”

Kalila menarik napas panjang. dia masih mengeringkan pipinya menggunakan punggung tangan. “Saat keluarga Mas Aizar datang untuk meminang, apakah benar nama Kalila yang ditanyakan?”

“Bapak katakan putri yang siap menikah bernama Kalila.”

“Apakah Bapak sudah menunjukkan foto Kalila?”

“Tidak. Mereka bilang tidak perlu karena sudah tahu.”
“Bisa jadi, Adik yang mereka maksud, Pak. Bukan Lila.”

“Mana bisa begitu?” Sepasang alis Maulana bertaut. “Mereka mengatakan dengan sadar dan benar kalau memang kamu yang dipinang.”

“Tidak, Pak ....” Kalila mengusap kembali air matanya yang tiba-tiba sudah membasahi pipi lagi. “Kalau pinangan itu benar, Mas Aizar—”

“Kal ...,” sela Aizar, “dengar dulu penjelasanku!” tangannya terulur meraih lengan Kalila.

Kalila menarik lengannya dari sentuhan Aizar. “Mas Aizar menghardik Lila setelah akad, Pak ....” Kalila masuk dalam rengkuhan Halimah dan menangis di sana. “Pernikahan itu ... salah,” ucapnya dalam isak. “Lila ....”

“Sudah!” kata Halimah yang tak bisa membendung air matanya. Tentu saja beliau trenyuh. Putri yang dilahirkan dengan taruhan nyawa, dibesarkan dengan penuh kasih sayang dalam balutan kesopanan dan norma-norma. Dijaga dari berbagai hal buruk dan kemudian diperlakukan tidak baik oleh pria yang bisa dikatakan bukan siapa-siapa.

Tidak ada satu orang tua pun yang rela anaknya diperlakukan dengan tidak baik. Begitu pula Maulana dan Halimah. Kemarahan terlihat jelas dari ekspresi keduanya meskipun mati-matian ditahan.

“Setelah itu, apa perilaku suamimu baik, Nduk?” Maulana masih mencoba menggali informasi.

“Tidak.” Kalila menggeleng, melepaskan diri dari pelukan ibunya, tetapi tidak melepaskan tangan dari pegangan beliau. “Tidak pernah ada kebaikan yang Lila terima dari Mas Aizar selain kepura-puraan.”

Seluruh cerita berhamburan dari bibir Kalila yang biasanya lebih memilih diam. Tak dipedulikannya Aizar yang mendadak terlihat pucat dan kusut serta meremas rambutnya berkali-kali.

“Mestinya, kamu bicara dengan Bapak ketika merasa bahwa lamaranmu tidak betul!” Sebagai orang tua yang sedang dilanda emosi, adab Maulana tetap terjaga, membalut emosi membara supaya tidak membakar apa saja. “Atau kamu bisa membatalkan pernikahan itu, Le ... dan bukannya menyiksa anak Bapak dalam pernikahan palsu yang kamu berikan.”

“Bukan begitu yang terjadi, Pak,” kata Aizar. “Semua ada penjelasannya.”

“Penjelasan apa?” tanya Maulana, “selama sekian bulan menikah, nyatanya Lila tak bahagia. Dengan kondisi ini, apa yang akan kamu jelaskan? Adakah kemungkinan hubungan ini bisa diperbaiki?”

“Ada!” kata Aizar tegas.

“Tidak!” kata Kalila bersamaan dengan Aizar. Keduanya saling tatap, tetapi kemudian Kalila pilih berpaling. “Tidak ada hak dan kewajiban dalam pernikahan Lila dan harusnya ....” Kalila tak sanggup mengatakan kalau sebenarnya pernikahan itu bisa dikatakan tidak ada.

“Bapak mengerti!” Maulana mengangguk-angguk. “Bapak rasa, kamu pulang dulu, Le! Bicarakan pada orang tuamu dengan kepala dingin!

Hayoo ... makin emosi apa justru simpati? Komenin yang banyak, syapa tahu othornya kilap trus update lagi😁😁

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top