🍬 20. Kejutan Pahit 🍬
Assalamualaikum, temans. Selamat pagiiii. Hari libur, hujan, dingin. Halah ... males mo ngapa-ngapain. Hyuk selimutan lagi sambil mbaca Aizar-Kalila.
Kalila masuk rumah dibantu dua santri yang membawakan belanjaan. Santri itu pergi setelah menghabiskan pukis mini dan segelas air serta mengucapkan terima kasih. Dia masih tersenyum saat beberapa juru masak pesantren datang.
"Mana pisang dan ubi yang mau dipakai untuk pesantren, Mbak?"
Kalila menoleh, senyumnya semakin lebar menyambut perempuan-perempuan baik yang dulu begitu akrab dengannya. "Pak Sugeng mana? Ini bawaannya banyak loh yang untuk dapur pesantren." Kalila menunjuk pisang dan tumpukan belanjaan. "Pisang itu semua dibawa ke sana, juga ubi dan labu kuning. Kacang hijau itu juga, termasuk kelapa dan gula merah."
"Astaga!" juru masak itu terkejut mendengar jawaban Kalila. "Itu Mbak Kalila belikan, ya? Kalau untuk sehari-hari, nggak sebanyak itu kebutuhannya, Mbak."
"Dibelikan mertua Kalila. Tolong panggilkan Pak Sugeng buat bawa semua itu ke dapur pondok. Ibu bawa yang ringan saja!"
Juru masak pergi membawa belanjaan sesuai ucapan Kalila. Kalila sendiri membawa belanjaannya ke dapur. Lumayan berat, tetapi kesenangannya lebih dari itu. Jarang-jarang bisa ke sini meskipun hanya sekadar berkunjung. Jadi, sekalinya datang harus dimanfaatkan dengan baik.
"Bu, pisangnya taruh mana?" Kalila sampai dapur dan mendapati ibunya sedang menanak nasi. "Tinggal saja, Bu, biar Kalila yang kerjakan itu"
"Apa-apa mau kamu kerjakan, Nduk." Halimah meneruskan pekerjaannya setelah menoleh sekilas pada Kalila. "Letakkan di bale-bale saja semua belanjaan itu!"
Kalila meletakkan belanjaan seperti yang dikatakan Halimah. Dia membawa ayam ke wastafel dan mencucinya. Tangannya yang cekatan membersihkan potong demi potong, kemudian meniriskannya dalam wadah supaya bisa langsung dimasak oleh sang ibu. Setelah itu, diambilnya wadah lain dan mulai memotong sayur.
"Adik mana, Buk?"
"Di dapur pesantren," jawab Halimah. "Biasa, mau ngecek persiapan syukuran kelulusannya. Dia itu, 'kan, sudah diterima bekerja di perusahaan periklanan. Malah sudah sebulan bekerja. Katanya, mau menggunakan gaji pertamanya untuk syukuran ini bersama santri-santri."
Kalila mengucap syukur dalam hati. Senang adiknya yang memilih jalur pendidikan sesuai kemauannya bisa mendapatkan pekerjaan tanpa kesusahan melamar pekerjaan sampai lelah. Namun, alisnya berkerut saat berpikir ada kejanggalan. "Kerja sebelum wisuda dan sekarang malah pulang kemari? Nggak apa-apa itu sama bosnya, Bu?"
"Ya nggak apa-apa." Halimah berdiri dari duduknya di samping Kalila untuk memasukkan ayam ke dalam panci yang airnya mendidih. "Dia kenal bosnya sudah lama. Katanya, mau ke sini untuk mengkhitbah adikmu."
Penjelasan Halimah menjawab rasa ingin tahu Kalila. Masuk akal adiknya mendapat keistimewaan seperti itu. Rupanya, memang ada niat baik yang akan disegerakan. "Kapan itu?"
"Adikmu bilang hari ini."
"Syukurlah kalau begitu. Niat baik memang harus disegerakan." Kalila melanjutkan memotong sayur. Yang dia herankan, kenapa selama ini dia tidak pernah tahu kalau adiknya ada niat untuk berumah tangga. Dulu, sebelum adiknya pergi kuliah ke Surabaya, apa saja selalu diceritakan. Sebagai kakak, Kalila mendengarkan dengan saksama. Memang dia lebih banyak diam sehingga adiknya yang banyak bicara merasa didengar.
"Iya, memang seharusnya begitu. Ngomong-ngomong, itu kamu beli pisang kok banyak banget. Ubi juga dan ... kenapa kolang-kaling kamu beli sebaskom gitu."
"Itu pisangnya dikasih murah sama Pak Yono. Beliau bilang, anaknya mondok di sini. Kalau ubi dapat dari yang punya langsung. Pas lagi diturunkan waktu Lila nanya, sekalian kolang-kaling itu. Katanya mesti beli paling tidak lima kiloan baru dapat harga murah. Ya, sudah ... bisa dipakai syukurannya adik, atau kirim saja ke dapur pesantren . Pasti nggak mubazir."
"Minum dulu jus manggamu!" titah Halimah, "ada di kulkas, tadi Ibuk yang buat."
Percakapan ibu dan anak itu berlangsung sambil mengerjakan pekerjaan masing-masing. Kalila tersenyum berkali-kali mendengar penuturan ibunya. Kata beliau, ada beberapa santri yang masih mencarinya untuk setoran hafalan. Ada juga yang mengatakan kalau dirinya lebih enak mengajar dibanding ustazah lain. Kalila ingat, di pesantren bapaknya, dia memang bertanggung jawab terhadap beberapa santri yang katanya sulit belajar.
Setelah menikah dan tidak tinggal di lingkungan pesantren, santri yang sebelumnya jadi tanggung jawab Kalila diserahkan kepada Inayah. Cara mereka mengajar sangat berbeda. Jika dengannya, santri itu diminta tidak menghafal banyak. Berbeda dengan Inayah, anak –anak itu dibiarkan bermain dulu, lalu mulai menghafal. Di akhir minggu, temannya akan mengajak mereka makan bakso atau mi ayam jika bisa menyelesaikan target dengan baik.
"Adik-adik itu memang macam-macam karakternya, Buk."
"Iya. Untungnya, bapakmu ndak membuat aturan yang ketat." Halimah setuju pendapat putrinya. "Anak-anak itu bahkan bersenang-senang di akhir pekan. Walaupun hanya berenang di tempat sendiri dan boleh keluar bagi yang berkepentingan."
Pukul enam lewat, Maulana tiba diikuti Aizar di belakangnya. Keduanya duduk di meja makan, di mana sepiring kue disuguhkan Halimah. Selesai memotong sayur, Kalila meletakkan wadahnya di wastafel. Setelahnya, dia menjerang air.
"Ibuk mau dibuatkan kopi sekalian?" tanya Kalila seraya meraih gelas dan siap menakar kopi.
"Ndak usah, Ibuk teh saja," jawab Halimah duduk di sisi Maulana.
"Punya Bapak gulanya dikurangi, Nduk!" ujar Maulana setelah menghabiskan satu kue nagasari.
Selesai menyeduh kopinya, Kalila meletakkan tiga gelas minuman itu ke atas nampan untuk dibawa ke meja makan. Dia tahu kalau sejak tadi pandangan Aizar mengikutinya. Seperti biasa, pria itu tak akan berkata macam-macam jika mereka berada di tengah keluarga.
Semalam, Aizar sampai rumah setelah makan malam selesai. Untunglah pria itu membawa martabak. Sebuah kebetulan yang bisa menutupi ketidakharmonisan mereka. Di kamar, Aizar juga tak mengatakan apa-apa. Kalila tidak bertanya apa yang dilakukan suaminya sampai memerlukan waktu lama untuk menemui Selina. Sejujurnya, Kalila terkejut karena Aizar mengetahui rumah perempuan itu setelah keributan di rumah Bagus.
"Minummu mana, Nduk?" tanya Maulana setelah Kalila meletakkan semua gelas di meja.
"Kenyang, Pak!" jawab Kalila, "tadi minum jus mangga buatan Ibuk."
"Saya lihat, ada tukang di sebelah masjid itu. Bapak mau membuat apa?" Kalila tak menyangka, Aizar mengamati beberapa hal dalam diam.
"Oh itu ... bukan hal yang besar. Hanya mau membuat gazebo untuk duduk. Bapak lihat, beberapa santri suka duduk di bawah pohon saat siang sambil menghafal. Sekalian saja, Bapak buatkan yang nyaman." Maulana menjelaskan dengan senyum yang tak luntur.
"Lama!" kata Aizar, "Saya pesankan saja yang sudah jadi. Tukang-tukangnya Bapak tinggal menatanya saja, sekalian bikin pondasi, biar awet."
"Ndak usah, Le!" kata Bapak. "Itu sudah ada dananya."
"Nggak apa-apa, Pak," ujar Aizar santai, "anggap saja ada donatur dadakan!"
Kalila baru tahu kalau Aizar bisa sebaik itu. Syukurlah, meski rumah tangga mereka tidak baik-baik saja, masih ada sisi lain dari sebuah kebaikan yang ditunjukkan. Sudah sebaik itu, tetap tidak ada niat dalam hatinya untuk menanyakan sesuatu maupun sekadar ucapan terima kasih. Pengalaman mengajarkan bahwa suaminya bukanlah orang yang bisa diberi hati.
"Kalau begitu, terima kasih, Le!"
Kalila juga tidak menyadari, mulai kapan panggilan bapaknya dari "Nak" menjadi "Le" kepada Aizar. Suaminya juga terlihat nyaman berada di dekat bapaknya. Pernikahan hambar mereka sama sekali tidak tampak jika melihat kedekatan itu.
"Kalau perlu apa-apa, Bapak bisa bicara dengan Aizar atau sampaikan ke Kalila dulu. Setelah itu, kita bisa membahasnya di akhir pekan."
"Bagaimana menurutmu, Nduk?" Maulana menoleh pada Kalila yang sedang mengupas mangga.
Lebih baik tidak daripada aku berurusan dengan emosi menantu Bapak setiap hari. "Terserah bapak saja." Kalila mencoba untuk menjawab tanpa berpikir lama.
"Bisa juga kita menambahkan program-program tertentu di sini, Pak!" Sepasang Alis Aizar bertaut, lalu meneguk kopinya. "Supaya adik-adik punya keterampilan."
"Seperti apa misalnya?"
"Seperti membuat hasil karya dari botol bekas atau barang-barang yang bisa didaur ulang. Bisa juga merajut, uhm ... bisa saya datangkan gurunya nanti. Kalau ada hasil, secara berkala kita bisa ikutkan pameran. Jadi, selain mondok, mereka juga bisa memiliki penghasilan, tentu saja kegiatan itu jangan sampai mengganggu kesibukan utama di sini."
"Hal seperti ini sebenarnya sudah pernah digagas oleh Kalila," tutur Maulana, "hanya saja, Bapak belum memikirkannya lebih jauh. Fokus mereka di sini kan memang untuk menghafal?"
"Benar dan bisa dipertimbangkan dulu."
Kalila mendorong piring berisi mangga potong ke tengah meja. Setelah mendekatkan garpu di samping piring, dia bangkit untuk membuang kulit mangga. Setelah mencuci tangan, dia kembali ke tempat duduknya untuk menikmati mangga potong miliknya.
"Assalamualaikum ...." suara Yana terdengar dari arah depan, disusul kehadiran gadis itu di ruang makan.
"Ke mana saja, Dik?" sambut Kalila setelah menjawab salam bersamaan dengan Maulana, ibunya, dan Aizar. "Betah banget di dapur pondok. Membuat berapa menu masakan memangnya?"
"Loh ... Mas Izar?" Bukannya menjawab pertanyaan Kalila, perhatian Yana justru tertuju pada Aizar. "Kok nggak bilang-bilang mau kemari? Bikin kejutan buat aku, ya? Sudah bilang sama Bapak dan Ibuk kalau mau meminang?"
Fix. Pikiran mamak othor jadi ke mana-mana. #curigaberat
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top